"Siapa itu Sasuke?"

Pertanyaan yang sangat sederhana sebenarnya, bagi siapapun yang tahu jawabannya itu adalah pertanyaan yang sangat mudah. Sama seperti mengerjakan ulangan akhir semester.

Tapi, ketegangan yang dirasakan saat ini tidak akan menandingi ketegangan saat mengerjakan ulangan.

...Mungkin sebanding dengan ketegangan saat seorang murid ketahuan mencontek oleh pengawas ujian yang killer. Dan murid yang memberikan contekan pun hanya bisa menelan ludah melihat sang pengawas ujian menginterogasi temannya yang malang tersebut.

Yamanaka Ino ingin bertanya pada calon suami di sampingnya melalui tatapan, "Apa ini salahku?" ...tapi Sai hanya diam menatap balik Ino dan menggeleng pelan sebelum kembali melihat Sakura.

Sakura melirik Ino yang menatapnya panik lalu dia menatap Sai yang memberi isyarat bahwa laki-laki itu yang akan menjelaskan pada calon istrinya. Sekarang tergantung Haruno Sakura bagaimana dia bisa menjelaskannya dengan baik.

Berdehem pelan di depan semuanya, Sakura membuka mulutnya, "Sasuke... dia orang yang kutemui kemarin," ucapnya. Gadis itu membuka kedua matanya dan menatap pria berambut merah yang bertanya sebelumnya, "Dia hanya menawarkan suatu proyek yang berhubungan dengan desain padaku. Tapi karena dia meminta untuk cepat dikerjakan sementara kita sudah banyak antrian proyek, jadi aku memutuskan untuk menolaknya."

Akasuna no Sasori terlihat tidak puas dengan penjelasan itu, dia mengernyitkan kedua alisnya, "Kenapa kau yang harus mengurusnya secara personal? Jika kau jelaskan pada kita, kita akan menemanimu dan membantu menjelaskan padanya." Sasori melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap tajam Sakura yang masih enggan menatapnya balik.

"...Kau tidak lupa bahwa kita adalah satu tim, 'kan?"

Mendengar ini, Sakura memejamkan kedua matanya erat lalu menggeleng cepat, "Bukan begitu, dia yang memintaku untuk datang sendiri!" Sakura berdiri dari kursinya sehingga dia tidak perlu mendongakkan kepalanya terus-terusan untuk melihat Sasori yang berdiri melihatnya.

"Dia memintaku datang sendiri agar kami lebih leluasa berbicara karena dia..."

Jeda sejenak, Sakura tidak percaya dia akan mengatakan ini,

"...adalah teman lamaku."

Yakushi Kabuto dan Deidara menatap Sakura dengan kedua bola mata mereka yang membulat sekilas. Tapi, tentu saja Sasori tidak langsung mempercayainya. Pria itu menoleh pada Ino, "Apa benar?" tanyanya, penuh dengan nada intimidasi.

Kaget tiba-tiba ditanya, Ino gelagapan membuka mulutnya, "I-Iya benar, kak!" berusaha mengumpulkan bakat aktingnya, Ino melanjutkan dengan selancar mungkin, "Aku hanya menggodanya dengan Sasuke karena mengetahui mereka adalah teman semasa kecil yang sudah lama tidak bertemu tapi sekarang dipertemukan. Kau tahu, mirip seperti drama-drama picisan begitu, 'kan? Ehehehe." Ucapnya diakhiri dengan kekehan kecil.

Reaksi kedua gadis itu terlalu mencurigakan. Membuat Sasori tidak ingin mempercayai mereka. Tapi, dia tidak punya bukti untuk terus menekan mereka. Selain itu, perlu diingat kembali... dia masih belum menjadi siapa-siapa bagi Sakura. Terlalu mencampuri urusan hidupnya dan membuat Sakura marah padanya adalah hal terakhir yang ingin diterima oleh Sasori.

Dan lagi, memang kenapa jika Sakura memiliki teman laki-laki bernama... Sasuke? Bukankah Sakura sejak di kampus memang terkenal sebagai tipe perempuan yang memiliki lebih banyak teman lelaki daripada perempuan?

Bahkan sekarang saja dia menjadi rekan kerja Sakura bersama tiga laki-laki lain. Sasori juga tak pernah merasa marah, kesal, atau sejenisnya jika Sai, Deidara, dan bahkan Kabuto berdekatan dengan Sakura.

Lalu, perasaan macam apa ini?

Protektif. Ya, dia hanya terlalu protektif. Jangan terlalu dipikirkan. Siapapun laki-laki bernama Sasuke ini hanyalah sejenis lembaran baru yang sekedar lewat di kehidupan Sakura. Dia tidak perlu mengkhawatirkan pria itu. Lagipula Sakura terlihat tidak peduli dan tidak suka dengan Sasuke.

...Tenang saja.

"Baiklah," Sasori menghela napas dan menundukkan kepalanya sebelum memindahkan kedua tangannya di sisi-sisi pinggangnya, "Aku bukannya marah karena kau ada hubungan dengan Sasuke itu atau apalah, toh aku hanya bertanya." Dusta Sasori. Pria berambut merah dengan wajah baby face itu mencoba mencairkan suasana dingin yang sempat dia ciptakan secara tak sadar.

Mendengar ini, Sakura tersenyum lembut dan mengangguk, "Siap kak, semua sudah baik-baik saja—"

"Tapi!"

Mendadak Sasori berjalan mendekat lalu menjentikkan jarinya di dahi lebar Sakura yang langsung mengerang kesakitan. Membuat Ino menutup mulutnya dengan tangan karena kaget, begitu pula yang lain. Suara jentikan Sasori terdengar cukup keras meyakinkan mereka semua yang berada di dalam ruangan betapa laki-laki itu tak menurunkan kekuatannya sama sekali.

"Aku tetap marah karena kau selalu mengambil keputusan sendiri tanpa berdiskusi dengan kita dulu! Setidaknya kau bisa memberi tahu kita keadaannya! Di pekerjaan ini kau bekerja dalam kelompok, bukan individual!" cerocos Sasori kesal sembari terus mengetuk dahi lebar Sakura dengan ujung jari telunjuknya.

"Iya iya maaf! Aku tidak akan mengulanginya lagi!" teriak Sakura. Tangan Sakura terjulur ke belakang Sasori yang masih gemas mengetuk dahinya, "Hueee, tolong aku, Kabuto-senpai!"

Yakushi Kabuto hanya mendengus menahan tawa dengan muka sombongnya. "Maaf Sakura, kali ini aku setuju dengan Sasori." Dia menaikkan frame kacamata bulatnya dengan latar belakang Sakura yang berteriak semakin kencang diiringi tawa kecil yang lainnya.

Walau begitu tak lama kemudian, setelah puas tertawa bersama semua yang berada di dalam ruangan dan teriakan Sakura yang meminta pertolongan semakin kencang, Kabuto mulai menepuk bahu Sasori, "Sudah sudah, yang penting dia mau berjanji untuk tidak mengulanginya lagi." Ucap Kabuto menenangkan.

Akhirnya Sasori berhenti dan menarik kembali tangannya. Menghela napas, pria berambut merah dengan model yang sedikit berantakan itu melihat ke arah Sai, "Ngomong-ngomong aku tadi mendengar kau akan mengatakan sesuatu, 'kan?"

Tersadar, Sai langsung berpura-pura bersiul dan melihat ke arah lain.

Melihat ini, Sasori semakin menyeringai, "Aku harap itu adalah ajakan untuk mentraktir kami semua karena ada pasangan yang akan meninggalkan masa lajang mereka di sini."

Darn it.

Sai mengutuk dirinya sendiri yang sempat panik sebelum Sasori menginterupsi sebelumnya. Akhirnya setengah terpaksa, setengah ikhlas, Sai pun menyanggupinya, "Okelah, tapi jangan lama-lama. Masih ada proyek yang perlu kita kerjakan, 'kan?" keluhnya.

"Di saat seperti ini saja kau jadi terdengar seperti Sakura," canda Kabuto sementara Sakura terdengar protes tak terima di belakangnya. Mengabaikan itu, Kabuto merangkul Sakura dan menariknya keluar ruangan mereka, "Ayo ayo, aku sudah lapar." Lanjut Kabuto dengan santai.

"Woohooo! Makanan gratis!" teriak Deidara senang dan langsung berlari cepat keluar disusul Sasori yang mengejarnya sembari berteriak.

"Hati-hati Dei! Di luar masih banyak bahan yang belum kurapikan!"—JDHUK! Suara jatuh yang terdengar sangat keras di luar lalu diikuti teriakan Deidara terdengar. Belum lagi dengan suara Kabuto dan Sakura yang tertawa kencang.

"Bodoh! Makanya sudah kubilang kan!"

Kemudian Sasori pun berlari meninggalkan pintu ruangan tertutup.

Sebagai dua orang yang masih di dalam ruangan, Sai hanya tertawa kecil mendengar kegaduhan para kakak kelasnya dan Sakura di luar. Dia turun dari posisinya duduk di meja lalu meraih tangan Ino yang sedari tadi masih diam.

"Ayo, kita menyusul."

Ucapan Sai tidak langsung dibalas. Merasa ada yang aneh, Sai menoleh pada gadis yang akan menjadi calon istrinya tersebut. Sebelum dia sempat menyebutkan namanya, Ino sudah lebih dulu bertanya, "Sai, apakah... kak Sasori masih—"

Remasan tangan Sai pada tangannya membuat Ino berhenti.

"Ta-Tapi, bukankah seharusnya dia sudah menyerah? Sakura kan—"

Kata-kata Ino tertahan dan dia memasang ekspresi yang merasa sangat bersalah.

Sai hanya tersenyum penuh arti lalu berjalan sembari menarik Ino untuk berjalan, "Jangan terlalu dipikirkan. Anggap saja kita terlalu meremehkan perasaan kak Sasori hingga tak sadar dia tetap bertahan sampai selama ini."

Ino menundukkan kepalanya, dia membalas remasan Sai pada tangannya.

"Ino."

"...Ya?"

"Aku tidak tahu siapa Sasuke itu," Ino mengangkat wajahnya dan menatap Sai yang enggan menatapnya balik, "tapi aku ingin mendukung kak Sasori."

Tanpa menunggu balasan Ino, Sai membuka pintu di depannya lalu mereka berdua pun keluar melihat keempat teman mereka yang sudah menunggu kedatangan pasangan tersebut.

Tetap saja Ino tak mampu mengabaikan apa yang sudah terlewati begitu saja. Dia berbeda dari Sakura yang sudah terbiasa melupakan semuanya. Dia masih seorang perempuan yang mengutamakan emosi di atas logika. Hal yang mengimbangi dirinya sebagai seorang perempuan sejati.

Saat dia mengangkat kepalanya lagi, dia melihat Sasori dan Sakura yang berjalan berdampingan, seperti sedang membicarakan sesuatu. Tapi yang membuat Ino tak bisa berpaling adalah ekspresi tulus yang selalu dipasang Sasori setiap berbicara dengan junior-nya tersebut.

Ino menggigit bibir bawahnya.

Oh, apa yang telah dia lakukan?

.

.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Kira Desuke

Warnings : semi-OOC, AU, heavy and explicit language

Genres : Romance/Angst/Hurt/Comfort

Main Pair : SasuSaku

Rate : M

.

.

.

WORKAHOLIC

.

Chapter 5

.

.

Beberapa minggu kemudian...

"...Kerja sama?"

"Ya. Akhirnya Uchiha Corporation dan Uzumaki Seluler memiliki kesempatan untuk bekerja sama meskipun bidang perusahaan ini berbeda." ucap Uzumaki Naruto dengan ekspresi riangnya—terdengar berusaha menyembunyikan antusiasmenya meskipun gagal.

Sasuke hanya diam dan menatap aneh temannya itu. Teringat lagi dengan kejadian beberapa waktu lalu saat Naruto terlihat kesal dengannya, membuat Sasuke menduga teman yang bisa bertahan dengannya ini pada akhirnya akan marah padanya tapi...

...yah, anggap saja Naruto memang punya penyakit amnesia jangka pendek atau hanya mencoba bersikap profesional dengan memisahkan perasaan pribadi dan pekerjaan.

"Memang seperti apa prosedur kerja sama yang anda ajukan ini?" tanya Sasuke—kembali pada topik utama mereka. Dan juga nada formal yang biasa dia gunakan ketika berkomunikasi di dalam pekerjaan.

Naruto menyeringai. Seolah merespon teman baiknya itu, dia kembali duduk tegak dan rapi sebelum menjawab, "Meskipun saya menyebutnya kerja sama, mungkin lebih tepatnya lagi semacam Uzumaki Seluler hanya menjadi sponsor utama." Perkataan Naruto membuat Sasuke menaikkan sebelah alisnya,

"Uchiha Corporation itu perusahaan marketing traktor pertambangan, 'kan?"

Sasuke menatap Naruto dengan tatapan, 'memangnya-kurang-jelas?'

"Apakah traktor yang dijual masih impor dari luar negeri?" mendengar ini, Sasuke berhenti dan mengangkat kepalanya.

"Tentu saja," melihat senyum lebar Naruto, Sasuke mulai berpikir pria di depannya memang sudah gila.

Tidak mungkin dia memikirkan apa yang Sasuke duga, 'kan?

"Naruto-san, maksud anda—"

"Saya akan mengatakannya terus terang, Sasuke-san."

Naruto melipat kedua tangannya di atas meja Sasuke sementara pria berambut biru dongker dengan model raven di depannya itu mundur dan menyandar pada sandaran kursi di belakangnya.

"Saya ingin mengajukan proposal pada perusahaan anda untuk membuat traktor sendiri dan masuk ke dalam persaingan pasar industri dengan merk Uchiha."

Mendengar ini, spontan Sasuke menggeleng, "Tidak."

Senyum Naruto menghilang. Namun itu tak lama, karena dia telah kembali tersenyum dengan tenang, "Boleh saya bertanya mengapa Sasuke-san langsung menolak tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu?"

Sasuke masih menggelengkan kepalanya frustasi sebelum berhenti dan menarik napas, "Naruto-san, mau dilihat dari segi manapun juga, kita belum bisa membuat traktor sendiri. Tidak. Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama, meminta persetujuan, mencari kerja sama, banyak sekali pertimbangan yang perlu diperhatikan. Terlalu beresiko." Ucap Sasuke.

Merasa penjelasannya telah mengakhiri argumen mereka, direktur muda di Uchiha Corporation itu berniat mengurus kembali data klien yang menggunakan transportasi berat jualannya untuk membangun salah satu gedung pusat perbelanjaan di tengah kota. Setidaknya sampai suara Naruto kembali menginterupsi dan tangan pria berambut tan tersebut menutupi kertas Sasuke.

Uchiha bungsu itu seharusnya tahu sahabat berambut pirangnya terlalu keras kepala untuk menyerah di dalam segala hal.

"Anda bilang dari segi manapun. Tapi segi mana yang anda maksud? Negara kita sudah cukup kaya dengan teknologi yang maju. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?"

Pria berambut biru dongker itu menatap temannya sesaat sebelum dia menghela napaskemudian menulis beberapa catatan yang perlu diperhatikan untuk para salesman yang nanti akan dia kirim untuk menjual produk-produknya yang lain. Melihat ini, Naruto masih enggan berhenti dan akhirnya berkata.

"Sasuke-san. Apakah anda sudah merasa cukup puas dengan puncak kesuksesan anda sebagai seorang reseller saja?"

Di sini, tangan Sasuke berhenti. Perlahan tapi pasti Sasuke mengangkat kepalanya dan kedua tatapan tajamnya menusuk iris biru langit di hadapannya.

"Anda mungkin lupa, Naruto-san. Tapi, saya juga adalah direktur sekaligus pemilik Uchiha Technology Company. Kepala perusahaan yang telah membuat salah satu website search engine terbesar di Jepang dan berbagai macam software utility yang telah anda gunakan di komputer anda sekarang."

"Tentu saja, saya tahu anda jenius. Justru mungkin saya yang paling mengerti soal itu." Naruto menyeringai, "Tapi sebagai entrepreneur sejati, apakah anda memang tidak ingin mencoba tantangan yang baru?"

"Naruto-san—"

"Saya membicarakan saham di sini, Sasuke-san."

Sasuke mengernyitkan kedua alisnya sementara Naruto meneruskan.

"Uzumaki Seluler berniat menanam saham pada Uchiha Corporation jika pihak Uchiha Corporation bersedia menyanggupi produksi kendaraan traktor. Meski Uchiha Corporation adalah perusahaan marketing, kami percaya pengetahuan yang dimiliki baik dari Kepala Pimpinan hingga para karyawannya sudah cukup untuk membuat traktor mereka sendiri. Terutama mengingat sebagian besar karyawan yang terdata di sini adalah lulusan Sarjana Teknik."

Mendengar ini, Sasuke menopang dua sikunya di atas meja dan menyatukan kedua tangannya. Dia menyandarkan ujung dahinya pada kepalan tangannya tersebut. Seperti berpikir keras. Sebagai seorang pengusaha, Uchiha Sasuke tidak akan munafik. Tawaran saham ini sangat menggiurkan.

Terutama ketika tawaran ini keluar dari mulut direktur sekaligus pemilik Uzumaki Seluler yang merupakan perusahaan komunikasi terbesar di Jepang.

"Anda bisa menolak jika memang anda merasa tidak bisa menyanggupinya. Tapi, untuk sekedar informasi, karena ini proyek yang kami tawarkan, maka kami juga akan membantu setiap tahap yang perlu dilewati dalam proses pembuatan traktor dan tentu saja kami akan ikut mengawasinya."

Dan mengesampingkan keuntungan yang akan didapat, tantangan adalah hal yang tidak bisa ditolak oleh Uchiha bungsu itu. Sasuke semakin mengernyitkan kedua alisnya. Menatap tumpukan kertas di atas mejanya dengan tatapan tajam—entah kenapa.

Setelah cukup lama melewati berbagai pertimbangan, akhirnya dia menghela napas dan mengangkat kepalanya.

"Saya tidak bisa sepenuhnya menerima proyek tanpa proposal yang jelas."

Menyeringai untuk yang ke sekian kalinya, Naruto mengatupkan kedua tangannya setelah tertawa pelan, "Benar sekali! Jangan khawatir, saya akan menghubungi sekretaris saya dan membuat proposal secepatnya. Mungkin akhir minggu ini sudah bisa diserahkan." Jelas Naruto.

Tak lama kemudian Sasuke kembali menatap sahabatnya tersebut, "Yang akan menjadi sumber pengeluaran terbesar mungkin adalah impor material ke sini." Kedua iris onyx itu menatap dalam iris biru langit yang cerah di depannya. Seakan mencoba membaca ekspresi Uzumaki Naruto.

"Itu bisa diatur," jawab Naruto langsung, seolah tanpa beban sama sekali. Pria yang masih memiliki darah asing yang mengalir di dalam tubuhnya tersebut terdengar sangat optimis.

Tak ada yang bisa Sasuke lakukan sekarang selain menghela napasnya, "Pembuatan traktor ini akan memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang tidak sedikit."

"Tidak masalah. Selama kerja sama ini akan menjadi hitam di atas putih, kita akan terikat bekerja sama dengan satu sama lain. Apapun yang kalian butuhkan selama masih menyangkut proyek ini, maka akan kami sediakan."

Naruto mengambil bulpen di saku kirinya lalu menekan ujungnya. Tersenyum melihat Sasuke yang masih menatapnya datar.

"Semua pasti membutuhkan pengorbanan untuk pencapaian yang lebih tinggi."

...Benar.

Uchiha Sasuke yang seharusnya paling tahu akan hal itu.

Sasuke melirik ke atas mejanya, kembali tenggelam di dalam pertimbangannya sendiri. Saat itulah, Naruto kembali mengeluarkan suarannya, "Sebagai seseorang yang lebih handal, saya ingin tahu apa saja proses yang perlu dilewati untuk produksi traktor ini. Dimohon kesediaan Sasuke-san agar bisa menjelaskannya untuk isi proposal yang nanti akan saya ajukan untuk anda." Ucap Naruto lalu diakhiri dengan senyuman yang menunjukkan deretan gigi putihnya.

Sasuke masih terdiam melihat Naruto yang begitu tenang dalam membicarakan proyek yang seharusnya tidak terlihat mudah sama sekali. Pria berambut hitam itu hanya bisa berharap semoga pria berambut pirang di hadapannya benar-benar telah memikirkan segala konsekuensinya—baik untung dan ruginya.

Menarik napas dalam, Sasuke kembali membuka mulutnya.

"Kami harus mulai dari mencari fungsi traktornya terlebih dahulu. Paling penting bisa berjalan di atas tanah berlumpur atau tidak rata, kecepatan sedang, dan bisa membawa beban seberat kurang lebih satu ton. Ini spesifikasi untuk traktor jenis paling standar."

Naruto mencatat dengan cepat, "Baiklah. Lalu?"

Sasuke terlihat diam sebentar sebelum akhirnya berkata, "Untuk penjelasan lebih detailnya, lebih baik langsung tanyakan pada teknisi yang lebih handal dalam bidang ini. Saya akan menghubungi teknisi yang bertugas memperhatikan mesin alat-alat berat yang kami jual."

Naruto hanya mengangguk saja lalu menjatuhkan bulpennya ke atas meja, "Siap. Sepertinya itu bisa menunggu," mengambil bulpennya lagi, Naruto mengetuk-ngetuk ujungnya pelan pada permukaan meja, "lalu apa tahap selanjutnya setelah mengetahui semua spesifikasi yang dibutuhkan?" tanyanya.

Tanpa terlihat berpikir sebelum berbicara, Sasuke menjawab.

"Desain."

Tapi, setelah itu Sasuke mendadak memberi jeda. Seakan teringat oleh sesuatu—namun Naruto tak menyadarinya.

"...Ya. Mendesain atau merancang bentuk tubuh luar dan bagian dalam traktor."

Tidak menyadari perubahan nada bicara Sasuke, Naruto bergumam, "Berarti untuk hasil yang terjamin, kita perlu mencari desainer yang profesional, 'kan? Paling tidak, sudah terbiasa di bidang transportasi."

Masih diam, pikiran Sasuke terbang ke pertemuan dengan seorang gadis yang belum memberinya jawaban hingga sekarang.

"Desain... adalah bidang pekerjaan perempuan itu, 'kan?"

"Apa yang sedang dia lakukan sekarang?"

"Apa dia masih ingat dengan proyek itu?"

Semua pertanyaan itu terus berputar dan saling terbentur seperti gasing. Mengabaikan Naruto yang terus bergumam sendiri, Sasuke kembali teringat dengan orang tuanya dan percakapan terakhirnya dengan mereka. Ibu dan ayah Sasuke sepakat untuk memberi waktu pada anak bungsu mereka sehingga kedua orang tua itu berhenti menekan Sasuke untuk menikah lebih jauh.

Meski ternyata hal tersebut justru membuat Sasuke melupakan salah satu proyek hidupnya tersebut.

Dan sekarang... mendadak data-data pekerjaan yang sampai tadi masih tersusun rapi di kepalanya kini menghilang begitu saja.

"Hm? Sasuke-san?" Naruto kini mengangkat kepalanya untuk melihat Sasuke yang baru saja kembali setelah tenggelam ke dalam pikirannya. Belum sempat bertanya, Sasuke sudah melanjutkan catatannya.

Seolah mengabaikan ekspresi bingung Naruto, Sasuke membuka mulutnya, "Iya benar, apa anda tahu desainer yang terpercaya untuk membantu proyek ini?" tanya Sasuke tanpa mengalihkan perhatiannya dari atas meja.

Pertanyaan Sasuke ini membuat Naruto menepuk kedua tangannya sendiri, "Ah! Kalau tidak salah memang ada tim desainer terbaik di Tokyo. Mungkin juga tim desainer terbaik di Jepang?"

Mendengar ini, Sasuke mengernyitkan kedua alisnya dan menatap temannya itu, "Apa anda yakin dengan kemampuan mereka?" tanyanya tanpa menyembunyikan keraguan sedikitpun dari suaranya.

Pertanyaan itu membuat perhatian Naruto kembali teralihkan pada laki-laki di depannya, "Perusahaan kami juga belum pernah menggunakan jasa mereka, tapi apa tidak sebaiknya mencoba dulu? Lagipula sejauh ini review yang saya dengar tentang mereka cukup baik." Jelas Naruto.

Tidak menjawab, Sasuke membiarkan teman baiknya itu terus berbicara.

"Karena ini proyek yang besar, maka kita harus siap bekerja sama dengan berbagai tipe profesi. Dan tim desainer adalah salah satunya."

Seringai Uzumaki Naruto melebar, tepat saat alarm tanda jam istirahat dimulai berbunyi menggema di seluruh penjuru gedung Uchiha Corporation. Menandakan kedua sahabat baik itu bisa kembali ke percakapan mereka yang tidak formal seperti biasa.

"Bukankah ini akan menarik?"

#

.

.

.

#

Haruno Sakura adalah tipe perempuan karir yang jarang berada di rumah. Hal itu perlu diakui oleh dirinya sendiri sebagai sikap yang jelek dan seharusnya dikurangi karena itu membuatnya semakin jauh dengan keluarganya.

Tapi, mengingat Sakura sudah tidak memiliki keluarga, sepertinya tidak masalah...

...kecuali Senju Tsunade yang sedang menunggunya di rumah.

Teringat lagi dengan ibu angkatnya tersebut, Sakura melihat jam di ruangannya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, namun dia masih harus menyelesaikan render lima sketsa lagi. Walaupun sebagian menggunakan digital, tetap saja proses unlink untuk memisahkan setiap part agar warna yang berbeda bisa diaplikasikan akan memakan waktu.

Akhirnya menghela napas, Sakura mengambil hpnya untuk menghubungi telepon rumahnya.

Setelah nada sambung ketiga, teleponnya dijawab, ["Halo? Sakura? Kau pulang jam berapa sih? Jangan terlalu malam!"] sambar Tsunade langsung.

"Aku juga maunya begitu, tapi sketsa yang tersisa tinggal—"

["Aku tidak mau mendengar tinggal berapa, Sakura! Tidak baik untuk seorang perawan pulang ke rumah malam-malam terutama di atas jam sepuluh!"]

Sakura memutar kedua bola matanya.

Stereotipe perihal 'perawan' memang sangat kuat.

Akhirnya gadis cantik itu menjawab dengan malas, "Baiklah, aku akan berhenti menyelesaikan sketsa pada jam sembilan malam. Setidaknya, aku pasti akan sampai ke rumah sebelum jam sepuluh malam. Tidak terima protes."

["Sakura! Kau—"]

PIP

Memutuskan telepon secara sepihak sebenarnya bukan pilihan yang baik, tapi jujur saja... Sakura sudah tak tahan lagi. Daripada menghabiskan waktu untuk berdebat, lebih baik Sakura menggunakan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan tugasnya. Dia mengambil marker yang akan digunakan lalu mulai dengan membuka tutupnya terlebih dahulu.

Suara pintu yang terbuka tidak dipedulikan Sakura mengingat dia tahu siapa yang masih ada bersamanya malam ini.

Yakushi Kabuto meletakkan tumpukan kertas A3 dan A4 yang baru dibelinya di atas meja, tepat di depan Sakura yang masih mewarnai sketsanya. Kabuto masih bersiul dan memperhatikan gadis itu melakukan rendering dengan hati-hati dan teliti.

"Mau dibantu?" tawar Kabuto sembari memindahkan tumpukan kertas yang baru dibelinya ke meja lain. Dia menarik kursi untuk dia duduki saat Sakura menegakkan posisi duduknya.

"Silahkan," jawab Sakura apa adanya.

Lalu Sakura menggeser sketsa-sketsa yang tersisa pada Kabuto sebelum dia berpikir lagi, "Ah ya, aku juga perlu me-render versi digital-nya." Ucap Sakura sebelum kembali fokus pada laptopnya.

Kabuto hanya tertawa pelan, "Ada berapa versi yang kau kerjakan sih? Seriously," ujar pria berambut abu-abu sebahu tersebut sambil menggelengkan kepalanya.

Sakura hanya mendengus, tak berniat menjawab.

Seolah terbiasa, Kabuto tak memusingkan sikap adik kelasnya tersebut. Dia mulai mengambil marker miliknya sendiri, "Ada berapa alternatif sketsa?" tanya Kabuto.

"Lima warna versi digital dan lima warna versi manual. Total sepuluh sketsa. Yang sudah masuk ke dalam digital telah kubuat gambar dua dimensi sebelumnya, jadi jangan khawatir. Jika semuanya langsung dikerjakan menggunakan digital, takutnya ada bagian yang terlewat." Jelas Sakura panjang lebar tanpa menatap Kabuto yang medengarnya dengan seksama.

Mendengar ini, Kabuto hanya mendengus menahan tawa sebelum akhirnya memulai pekerjaannya. Sakura terlalu senang menyibukkan dirinya hingga terlalu rajin mengerjakan tahap-tahap detil yang sebenarnya kadang tidak perlu dan bahkan bisa dilewati dengan langsung mengerjakan tahap berikutnya.

Tapi, sudah terbiasa bekerja bersama gadis itu cukup lama membuat Kabuto akhirnya menahan komentarnya sendiri.

Dalam proses render atau memberi warna pada pekerjaan desain produk memang terbagi dalam dua cara. Pertama, render secara manual. Render cara ini biasanya digunakan untuk gambar dua dimensi dimana gambarnya hanya bisa dilihat dari satu sisi saja, tapi bisa menunjukkan sisi-sisi lainnya dengan gambar-gambar tambahan yang mendetail.

Gambar dua dimensi bisa dikerjakan secara manual dan digital sebenarnya, walau yang digital lebih disarankan menggunakan tablet pen.

Lalu yang kedua, render secara digital. Render cara ini cenderung digunakan untuk mewarnai gambar tiga dimensi dimana dibutuhkan aplikasi tiga dimensi yang khusus di dalam laptop atau komputer.

Dengan gambar tiga dimensi, produk yang akan dibuat terlihat gambarannya lebih jelas dari berbagai sisi dan ukuran sehingga dapat menghindari kesalahan fatal saat produksi. Selain itu, warna yang digunakan untuk gambar tiga dimensi akan lebih hidup dengan efek bayangan dan bentuk material asli yang sudah otomatis terpasang pada aplikasinya.

Jika dilihat sekilas, memang sepertinya lebih mudah mengerjakan digital. Tapi percayalah, mengerjakan dengan cara manual lebih memberi banyak kesempatan untuk berimajinasi dan menemukan ide baru.

Mungkin karena itu, sebagian besar orang justru menggambar dua dimensinya terlebih dahulu baru mengerjakan tiga dimensinya untuk lebih memperjelas. Walau ada beberapa orang yang cenderung melewati tahap dua dimensi dan langsung mengerjakan tiga dimensi. Dari gambar tiga dimensi ini pula lha, gambar teknik bisa ditentukan sebelum memulai pembuatan produk sesungguhnya.

Kembali pada Sakura dan Kabuto yang sibuk dengan bagian tugas mereka masing-masing, Kabuto mulai merasa bosan karena tidak ada suara sama sekali di antara mereka. Akhirnya tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas di bawahnya, Kabuto membuka mulutnya. Mencoba iseng menggali informasi selagi tidak ada siapapun di sini selain mereka berdua.

"Sakura."

Mendengar namanya dipanggil, Sakura hanya bergumam namun tidak sampai melihat ke arah Kabuto yang masih sibuk dengan sketsanya.

"Memangnya kau masih belum ada niat untuk mencari pasangan?" tanyanya tiba-tiba.

Sakura berhenti bergerak.

Oh, sampai Kabuto yang notabene tidak peduli dan tipe orang yang 'setuju-setuju' saja juga menyinggung pertanyaan ini?

Menghela napas, Sakura kembali melanjutkan pekerjaannya, "Tidak ada."

Kabuto tertawa pelan, "Apakah Sasori tidak cukup untukmu?" tanyanya dengan nada yang menyimpan banyak arti.

"Bukan begitu," Sakura melirik ke arah hpnya yang masih tergeletak di atas meja. Layar hp yang gelap itu menunjukkan jam digital pukul setengah sembilan pas.

Sakura mendesah pelan, dia harus bergerak lebih cepat sekarang.

"Aku hanya... tak pernah bisa melihat kak Sasori lebih dari sekedar kakak."

Kabuto akhirnya berhenti pada pekerjaannya lalu gantian dia yang memperhatikan Sakura.

Jawaban yang sangat klasik.

"Siblingzone, huh? Kasihan juga Sasori," gumam Kabuto. Pria itu tersenyum, "kau yakin tidak akan menyesal jika suatu hari nanti Sasori akan pergi meninggalkanmu?"

Pertanyaan itu membuat Sakura ikut berhenti. Wajah Sasori yang selalu menatapnya dengan lembut dan penuh arti langsung terbayang di kepalanya.

Pergi? Sasori?

Walau Sakura kemungkinan besar tidak akan merasakan apapun, tetap saja gadis berambut soft pink sebahu itu pasti akan merasakan kesedihan ditinggal oleh salah satu orang yang selama ini bisa dekat dengannya.

Itu hal yang wajar, 'kan?

"...Aku tidak tahu apakah aku akan menyesalinya tapi..." Sakura menundukkan kepalanya dan tersenyum sedih, "...aku pasti akan merasa kehilangan jika kak Sasori tidak ada di dekatku."

Mendengar jawaban itu, wajah Kabuto langsung terlihat cerah. Seakan dia baru saja mendengar sesuatu yang membahagiakannya.

Bukan untuknya... tapi untuk sahabat baiknya.

"Apa? Benarkah? Oh, Sakura..." dia tertawa pelan sebelum menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, "...aku baru tahu kau sepolos ini. Sakura, kau mencintai Sasori. Tidakkah kau menyadarinya?" tanya Kabuto sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Mencerna kata-kata Kabuto yang masuk ke dalam kepalanya, Sakura juga mencoba mengingat kembali apa saja yang pernah dia alami saat bersama Sasori. Bagaimana suasananya waktu itu, getaran yang dia rasakan, kehangatan, ketakutan, amarah, semuanya...

Adakah yang bisa menunjukkan bukti nyata bahwa dia memang memiliki perasaan yang spesial dan khusus terhadap Sasori?

Sakura bergumam pelan, "Tidak... ada."

Gadis berambut soft pink alami itu tetap tak bisa merasakan ada yang lebih dari perasaannya pada seorang Akasuna no Sasori. Dia merasa senang ketika berbincang hingga bercanda dengan laki-laki berambut merah itu. Tapi, jika Sasori sedang tidak ada atau membutuhkan sesuatu darinya... Sakura tidak pernah menyadarinya. Atau yang lebih buruk, dia tidak akan mempedulikannya.

Sakura masih yakin. Sebagaimana hidupnya adalah miliknya, maka hidup Sasori adalah milik Sasori. Dan Sakura sama sekali tidak memiliki keinginan untuk memikirkan kehidupan pria berwajah baby face yang harus dia akui tampan itu. Dia tiak pernah berpikir ingin masuk ke dalam kehidupan Sasori lebih jauh dari sekedar rekan kerja.

Lalu jika dia merasa kehilangan ketika Sasori pergi, apa itu berarti dia mencintai... Sasori?

Sebenarnya... apa itu cinta?

Apa memang cinta memiliki arti serendah ini?

Menggeleng pelan, Sakura mencoba berkata, "Kak Kabuto, aku—"

RRRRRR—KRING KRING

Sakura langsung melihat ke arah hpnya sedangkan Kabuto langsung melihat ke arah telepon khusus untuk klien yang dipasang di ujung ruangan. Menatap telepon yang masih berdering tersebut, Kabuto hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Siapa yang menelepon kantor jam segini?" tanya Kabuto pada Sakura.

Tentu saja Sakura hanya mengangkat bahunya sembari mengambil hpnya yang ternyata berbunyi karena ada pesan singkat yang masuk.

Namun karena bunyi pada telepon tak kunjung berhenti, akhirnya Kabuto mendengus dan berdiri dari kursinya, "Siapapun yang menelepon itu sedang beruntung sekarang. Jam segini seharusnya sudah tidak ada orang lagi di kantor."

Walau begitu, Kabuto tetap berjalan dan mengangkat telepon ketika alat untuk komunikasi itu berdering untuk yang terakhir kalinya, "Ya, selamat malam. Dengan Lightning Design Corporation. Ada yang bisa kami bantu?"

Di saat Kabuto menerima telepon, Sakura menyalakan hpnya dan melihat pesan singkat yang muncul di pemberitahuannya ternyata berasal dari nomor yang belum dia simpan. Mengernyitkan kedua alisnya, Sakura menekan layar yang menunjukkan pemberitahuan tersebut lalu isi pesan itu pun terbuka.

'Ini aku, Sasuke.'

Membaca nama itu membuat Sakura terkejut. Kedua bola mata hjau emerald miliknya membulat kaget namun jarinya tetap bergerak untuk melihat isi pesan tersebut lebih jelas.

Sakura bertanya pada dirinya sendiri, "Kenapa pria itu mengirimiku pesan sekarang? Kapan terakhir kali aku dan dia bertemu? Bukankah... sudah lama sekali? Dua minggu—bukan, tiga minggu!? Sebulan?" suaranya cukup pelan hingga Kabuto tak bisa mendengarnya.

Sampai akhirnya Sakura menggenggam hp di tangannya lebih erat dan dia menggertakkan gigi-giginya dengan kesal.

"Jangan bilang... si brengsek ini masih belum menyerah soal pernikahan itu."

Sakura tak habis pikir. Padahal dia bisa membaca dengan jelas dari kedua mata Sasuke... sama seperti dirinya, pria itu pun tak pernah berniat membangun rumah tangga sedari awal.

Lalu kenapa?

Kenapa dia begitu keras kepala!?

Bukannya Sakura tak ingat dengan perkataan Sasuke yang mengatakan dia akan memberi tahu alasannya jika Sakura datang kembali menemuinya. Hanya saja memang Sakura sebisa mungkin tidak ingin berurusan dengan pria itu. Lebih baik lari sekarang selagi bisa. Karena tidak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi di masa depan, Sakura tidak mau mengambil resiko yang terlalu berbahaya.

Sakura melirik punggung Kabuto yang masih diam—sepertinya menunggu lawan bicara di telepon mereka selesai berbicara. Setelah memastikan Kabuto tak akan melihatnya, gadis itu mulai menggerakkan layarnya ke bawah. Sakura membaca pesan Sasuke dan mengucapkannya di dalam hatinya.

'Semoga saja aku tidak telat bertanya. Tapi... apakah kau bekerja di Lightning Design Corporation?'

"...Apa?"

Sakura menggenggam erat hpnya.

"Bagaimana dia bisa tahu? Apakah Ino memberi tahunya? Tidak. Tidak mungkin. Ino bukan orang yang suka ikut campur sampai sembarangan memberi informasi seperti itu. Terlebih dia sudah tahu aku membenci Sasuke jadi—"

Gadis beriris hijau emerald itu berniat mengabaikan pesan Sasuke sampai dia melihat masih ada pesan di bawah pertanyaan tersebut.

'Kuharap kau menjawabku agar kau tidak terlalu terkejut nanti.'

Rasanya jantung Sakura berdetak jauh lebih cepat dan keras dari sebelumnya. Bertekad untuk tidak memberi pria itu informasi yang dia inginkan, akhirnya Sakura mulai mengetikkan kata-kata yang berada di dalam kepalanya dengan ekspresi marah yang tertera jelas di wajahnya. Ini adalah kata-kata terakhir yang akan menegaskan pada Sasuke bahwa hubungan mereka telah berakhir dan jangan mengganggu pernah dia lagi.

Namun, suara telepon dikembalikan pada terminal-nya membuat Sakura berhenti dan menoleh. Kabuto masih belum membalikkan tubuhnya—entah kenapa.

Merasa aneh, Sakura mulai memanggil namanya, "Kabuto...senpai?" jeda sejenak, Sakura melihat Kabuto membalikkan tubuhnya perlahan.

"Telepon dari siapa, kak?"

Tapi, Kabuto tidak langsung menjawab. Ekspresinya seperti masih syok, kaget, terkejut, dan semuanya tercampur hingga Kabuto tidak tahu harus memasang wajah yang mana. Dia langsung berjalan cepat dan duduk di seberang Sakura yang reflek menjatuhkan hpnya ke atas meja karena kaget dengan suara keras yang Kabuto timbulkan.

"Err, kak?"

"Sakura, aku tidak tahu apakah ini yang dinamakan keberuntungan di tengah kesibukan atau..."

Kabuto terus berujar sembari menggerak-gerakkan kedua tangannya. Kedua matanya masih melihat ke sekeliling ruangannya. Kadang dia tersenyum seperti orang bodoh, tapi kadang pula dia memasang wajah kebingungan. Sakura hanya menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"...intinya... kita dapat klien baru."

"Oh... baguslah?" respon Sakura yang kebingungan.

Memangnya kenapa jika mereka mendapat klien baru? Bukankah hal itu sudah biasa? Yah, memang patut disyukuri, tetapi tidak perlu sampai sepanik ini, 'kan?

Setidaknya pertanyaan di kepala Sakura terjawab begitu Kabuto tersenyum sembari menaikkan frame kacamata miliknya.

"Tapi, bukan klien biasa!" Kabuto melipat kedua tangannya di atas meja, "Tebak apa yang akan kita desain sekarang!"

Sakura mengernyitkan kedua alisnya. "Furniture? Meja, kursi, lemari?"

Kabuto menggeleng.

"Motor lagi? Atau mobil?"

Masih menggeleng, akhirnya kini Sakura menghela napas.

"Baiklah aku menyerah, apa?"

"Traktor!" Kabuto mengepalkan kedua tangannya dan menggerak-gerakkannya dengan semangat. Sakura terkesiap di posisinya sementara Kabuto terus berbicara, "Wah, ini akan sulit. Aku tidak tahu apa kita harus senang atau pusing hahaha! Bukan hanya itu, bisa jadi kita juga akan membuat mesin-mesin berat lainnya. Ini proyek yang besar!" teriak Kabuto lagi—mendadak seperti anak kecil. Sisi yang tak pernah berubah dari Kabuto setiap dia merasa antusias sejak masih menjadi mahasiswa.

Terdiam sesaat, Sakura tak tahu harus berkata apa. Traktor? Ini akan menjadi pengalaman pertamanya. Gadis itu memasang pose berpikir untuk membayangkan desain-desain yang akan dibuatnya. Bidang otomotif bisa dibilang sebagai bidang paling rumit dan susah dalam pekerjaannya. Mereka harus memiliki pengetahuan yang cukup, teliti, dan lebih sabar dalam merakitnya.

Tidak boleh salah karena lengah sedikit bisa saja berakibat fatal untuk seterusnya. Proyek yang melibatkan transportasi dan semua produk bermesin akan membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi tetap saja mereka tidak bisa mengecewakan klien.

"Semoga saja klien yang akan terikat kontrak dengan kita untuk beberapa waktu ke depan ini tidak terlalu menyebalkan." Gumam Sakura dalam hati.

Tak lama kemudian, Sakura menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di belakangnya, "Proyek seperti ini tidak mungkin murah, 'kan? Dan lagi mereka tahu betapa rumitnya alat berat seperti traktor itu untuk dibuat."

Kabuto hanya tertawa tapi setuju dengan perkataan mantan adik kelasnya tersebut.

"Apa nama perusahaannya?" tanya Sakura lagi dengan nada yang—sejujurnya—tidak terlalu tertarik, "Pasti pemiliknya adalah orang gila." Batin gadis itu dalam hati. Tapi, dia tidak akan mengatakan ini secara terang-terangan atau Kabuto akan menceramahinya semalaman.

Lagipula gila atau tidak, Sakura akan melakukan pekerjaan ini selama dia mendapatkan bayaran yang setimpal. Jadi, justru ini akan menjadi keuntungan untuknya dan teman-teman satu timnya. Kenyataan dimana perusahaan ini meminta bantuan desain pada Lightning Design Corporation telah membuktikan bahwa perusahaan ini bukanlah perusahaan khusus yang biasa merakit alat berat seperti itu.

Dan jujur saja, berkat kabar terbaru dari Kabuto ini, Sakura hampir saja melupakan pria yang masih menunggu balasan dari pesan singkatnya dan bahkan melupakan janjinya untuk pulang sebelum jam sembilan malam.

Walau begitu, Sakura tidak sabar untuk mendengar nama perusahaan yang akan bekerja sama dengan mereka dalam jangka waktu yang cukup lama jika proyek ini benar-benar berjalan. Bisa memakan waktu setahun, dua tahun... bahkan lebih.

Mungkin Sakura akan tertawa geli melihat senyum Kabuto yang melebar hingga memenuhi wajahnya...

...seandainya kata-kata berikut yang keluar dari mulut Kabuto tidak menamparnya dengan sangat keras.

"Uchiha Corporation."

.

.

.

.

.

I wanna heal, I wanna feel what I thought was never real

I wanna let go of the pain I've felt so long

.

I wanna find something I've wanted all along

Somewhere I belong

- Linkin Park (Somewhere I Belong)

.

.

.

To be Continued

.

.

.

Special Thanks For :

Yoshida Rize, dewazz, Ss, Kamila29, Ranindri, Miyasato, wowwoh geegee, Yukiatsu, Ahza Pink, UchiHanara Hime-chan, ranisaannisa, sofi asat, Mustika802, Hideto-kun1802, Lea qiuan, uyaayu, Akine Saki, Denissachan07 (2x), puma178, arcen, Guest, Thaa, capt Rivaille, Lynn, Hiruka Ruchizu, vee, lyfa, echaNM, Miss Tomatcherry

Well, this is a little bit unexpected... tapi ngaretnya lumayan yha ;w; #yeuh Halo lagi di chapter 5 ehehehe. Ini chapter terakhir hasil remake dari orific yang sudah kubuat sebelumnya. Jadi, mulai chapter 6 sampai selanjutnya, (mungkin) bakal lebih panjang dan pastinya kata-katanya gak akan keburu-buru kayak 3 chapter belakangan ini. Maaf sekali ya orz.

Walau aku bilang gitu, tbh aku gak tahu kapan chap 6-nya bakal ditulis HAHA— #diinjek Yang jelas siap-siap lama aja pokoknya, belum lagi kalau aku harus nerima commish untuk biaya hidup _(:"3 Wish me luck saja, kali aku bisa dapet mood nulis fic ini lebih cepet wehehehe #plok

Terus di chapter ini SasuSaku (masih) belum dipertemukan karena pengen ngenalin dulu awal plot dimana kehidupan mereka bakal semakin ribet mulai dari sekarang trolololol. For some reason, alurnya lambat banget ya? Aku juga mulai gemes— #oi Yang jelas bisa kupastikan mulai dari chapter 6 interaksi SasuSaku bakal semakin kutekan. Biar kuingatkan lagi, 'Rate M fic ini lebih ditujukan untuk mental kedewasaan dan konflik mereka, bukan lemon/sex'. So yes, if you expect some hot lemon with hard kink, etc... then you won't find it here.

Sejujurnya, mulai ada godaan untuk nge-disc fic ini karena pengen ganti dengan fic multichap baru yang rasanya gatel pengen kuketik www. Rate T, setting canon, tapi fokus pairnya lebih ke SasuSaku dan MitsuSara haha. Mau kutulis tapi takut mengabaikan Workaholic jadi aku prefer pilih salah satu kali ya daripada numpukin utang multichap. Lol jadi galau— #plak Intinya... tolong bantu aku menentukan nasib (?) fic "WORKAHOLIC" dengan mengisi polling di profil FFn-ku. Terima kasih!

Akhir kata, terima kasih sudah membaca. Semoga kerasa feels-nya dan minim typo. Untuk semua istilah di sini bisa cari sendiri di google wkwk. Mind to review, please? :)