Haruno Sakura, usia dua puluh enam tahun.
"Jadi... kapan?"
Pertanyaan yang menjurus itu mungkin sudah yang ke seribu kalinya—entahlah. Sakura memutar kedua bola matanya bosan dan berusaha mengabaikan teman di sampingnya dengan meminum segelas sherry. Temannya yang diabaikan itu mengernyitkan kedua alisnya dengan kesal lalu ikut meminum air beralkohol di gelasnya sampai habis dan membantingnya kasar.
"For God sake, apa yang kau katakan tadi tidak lucu, bodoh!" Yamanaka Ino akhirnya meneriakkan kata-kata yang sedari tadi tertahan di mulutnya. Tidak peduli jika sahabatnya dari SMA itu merasa sakit hati karenanya. Gadis cantik itu menghela napas untuk yang ke sekian kalinya, "Sai sudah melamarku kemarin. Kami siap ke pelaminan sebulan lagi."
Sakura menoleh, ekspresi kaget sempat tercipta namun dia merubahnya dengan senyuman lebar, "Benarkah? Wow! Selamat, Pig!" ucapnya semangat sembari menepuk-nepuk punggung Ino kasar hingga gadis berambut pirang itu jengkel.
"Aw! Hentikan Forehead! Sakit tahu! Kekuatanmu itu tidak normal!" sahut Ino dengan warna memerah sedikit di pipinya—menunjukkan bahwa sedikit banyak dia senang dengan ucapan Sakura padanya. Dia memukul bahu Sakura pelan yang hanya dibalas dengan cengiran lebar gadis manis bermahkota soft pink tersebut.
"Hehe, sahabat baikmu ini harus mendapat undangan khusus dengan makanan kelas bintang lima," Sakura mengerlingkan sebelah matanya pada Ino, "atau aku tidak akan datang."
Ino memutar kedua bola matanya dan meminta bartender di depannya untuk segelas air putih sebelum bicara, "Tanpa kulakukan itu pun, kau tetap akan datang dan menghabiskan makanan-makanan yang kusediakan." Gerutu Ino.
Mendengar ini, Sakura tertawa lepas. Dia memukul bahu Ino sekali sebelum kembali meminum isi gelasnya. Dia meneguknya sampai habis lalu menghela napasnya. Entah Sakura menyadarinya atau tidak saat Ino menopang dagunya dan terus memperhatikan Sakura sejak tadi.
Haruno Sakura adalah anak tunggal keluarga Haruno yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMA—lebih tepatnya sejak kelas dua SMA dimana mereka kebetulan sekelas. Seorang gadis pekerja keras yang sangat suka belajar hingga memakai kacamata tebal dengan lensa minus kurang lebih empat di kanan kirinya. Mereka mulai dekat saat dipasangkan oleh guru mereka dulu untuk mengerjakan praktikum biologi. Yamanaka Ino sempat berpikir dia akan merasa awkward dengan salah satu anak terpintar di SMA-nya itu. Setidaknya sampai dia melihat sifat asli Sakura di balik topeng pemalu yang biasa digunakannya itu.
Terlalu ceria, tidak peka, egois, apatis dengan sekitarnya, keras kepala, dan... ambisius.
Ino sebagai salah satu perempuan yang bergonta-ganti pasangan sejak SMA selalu bercerita pada Sakura untuk meminta segala macam bentuk saran dan kritik dari gadis yang cenderung berpikir logis itu. Sakura akan berkata dengan jujur apa yang ada di pikirannya. Jika Ino berada di posisi orang bodoh, Sakura akan mengatakannya. Jika Ino berada di posisi orang menyebalkan, Sakura akan mengatakannya. Tidak ada yang disembunyikan.
Setidaknya Ino mengerti mengapa Sakura tidak bisa mempunyai teman yang tahan lama dengan dirinya.
Tapi, mengesampingkan seluruh kekurangan gadis menyebalkan itu, Ino akan selalu mengakui pada dunia bahwa Haruno Sakura adalah sahabat terbaik yang pernah dia miliki. Ino akan selalu berusaha mengedepankan kebahagiaan salah satu manusia yang disayanginya. Bahkan meskipun hal itu berlawanan dengan keinginan yang keluar dari mulut gadis dengan dua iris hijau emerald itu.
Bagi Haruno Sakura, karir adalah segalanya.
Segalanya... hingga dia mengabaikan sisi lain dari dunia yang masih bisa dia lihat.
Ino menghela napas lelah melihat Sakura yang kembali menuangkan sherry dari dalam botolnya itu ke gelasnya sendiri. Rambut soft pink sebahunya jatuh dari belakang telinganya, menutupi pipi putih dan senyumannya dari sudut pandang Ino. Mencoba tersenyum, Ino menjulurkan tangannya untuk menyelipkan rambut Sakura ke belakang telinganya lagi.
Saat kedua mata yang tertutupi soft lens itu melihat kembali ke arahnya, Ino bersuara, "Kutunggu kau menyusulku dengan calon suamimu, Forehead." Ucapnya lembut sebelum menyentilkan jarinya pada dahi lebar Sakura yang kembali mengerang pelan.
"Ugh, kau keras kepala sekali sih," gerutu Sakura sembari mengusap dahinya yang memerah. Ino hanya tertawa kecil di balik bibirnya yang terkatup, "aku tidak bercanda, Ino. Harus berapa kali kubilang sampai kau mengerti?"
Senyum Ino menghilang.
Mati-matian menahan ekspresi sedih di wajahnya.
"Aku tidak mau jatuh cinta dengan siapapun lagi."
Senyuman Sakura seakan mengatakan dia tidak berniat mundur ataupun menghapus kata-katanya.
Seolah apa yang dia katakan dan yakini adalah pernyataan paling benar yang tidak memiliki kesempatan untuk dibantah oleh siapapun.
"Karena itu, aku tidak akan menikah."
Suara dentingan es batu di dalam gelas mengiringi tanda titik dalam pertanyaan itu.
Mengamati tatapan gadis cantik dengan suit kerja yang dikenakannya itu menerawang.
"Tidak akan pernah."
.
.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Kira Desuke
Warnings : semi-OOC, AU, heavy and explicit language
Genres : Romance/Angst/Hurt/Comfort
Main Pair : SasuSaku
Rate : M
.
.
.
WORKAHOLIC
.
Chapter 1
.
.
Uchiha Sasuke, usia dua puluh delapan tahun.
"Makanya kapan kau menikah, Teme!?"
Ugh.
Pertanyaan ini lagi.
"Kau tampan tapi belum pernah terlihat dengan perempuan satupun sejak SMA!"
Memutar kedua bola matanya.
Mencoba tak peduli.
"Oh, jangan-jangan kau—"
Anggap saja angin lalu.
Uzumaki Naruto itu hanya tong kosong yang nyaring bunyinya.
"—homo ya!?"
TIK—CREP
Naruto menatap horror ujung bulpen yang menancap di tembok tepat di sampingnya, "TEME, KAU BERNIAT MEMBUNUHKU!?" teriaknya penuh dramatis. Sasuke masih belum merubah posisinya setelah melempar bulpen itu dengan kecepatan penuh. Baru setelah kepalanya terangkat perlahan, Naruto bisa melihat wajah Sasuke yang penuh kerutan di setiap sisinya. Tanda dia benar-benar kehabisan kesabarannya.
"Tenang, tenang, aku hanya bercanda, aku tidak benar-benar menganggapmu 'itu' seriusan, kok..." lanjut Naruto dengan ngeri. Sasuke mendengus lalu mengambil bulpennya yang lain dan kembali mengerjakan dokumen-dokumennya. Naruto terkekeh pelan lalu menyandarkan dirinya dengan nyaman lagi pada sandaran sofa di belakangnya, "...oh, aku juga tahu pernyataanmu tadi tentang kau tidak mau menikah itu bohong."
"Tidak." Sasuke enggan memindahkan perhatiannya dari dokumen di bawahnya, "Itu benar. Aku tidak tertarik untuk membangun keluarga."
"Aw man, sayang sekali wajah tampanmu itu jadi sia-sia," ucap Naruto sembari menengadahkan kepalanya, melihat langit-langit ruang kerja Sasuke. Tidak direspon membuat Naruto kembali bersuara, "apa ini masih ada hubungannya dengan perkataanmu tentang 'semua perempuan itu sama saja'?" tanya Naruto sembari terkekeh di akhir pernyataannya.
Sasuke mendengus tanpa berhenti menggerakkan tangannya, "Diamlah, Naruto."
"Ah, tapi aku tak bisa berhenti khawatir, Sasu—"
"Hanya karena kau sudah melakukan pertunangan dengan Hinata, bukan berarti kau bisa mengajak seluruh orang di sekitarmu untuk melakukan hal yang sama."
"Yeah, tapi—"
"Diam."
Perintah terakhir rekan kerja dan juga sahabat baiknya sejak SMA itu hanya membuat Naruto memutar kedua bola matanya. Pria Uzumaki itu menarik posisi dasi di kerahnya hingga terlihat menggantung dan tidak rapi. Namun bukan masalah yang besar untuk pemegang jabatan tertinggi sekaligus pemilik perusahaan pusat komunikasiterbesar di Tokyo, Uzumaki Seluler. Semua orang telah tahu perangai laki-laki yang dari luar terlihat santai tapi sebenarnya sangat jenius sebagai pekerja keras hingga sampai ke poin menyebalkan dari dalam tersebut.
Lalu sama dengan Uzumaki Naruto, semua orang juga tahu siapa itu Uchiha Sasuke.
Pewaris Uchiha Corporation yang merupakan perusahaan traktor marketing untuk pertambangan. Meskipun berbeda bidang, yang membuat kedua perusahaan itu menarik adalah sama-sama perusahaan yang dibangun oleh generasi pertama mereka dimulai dari nol. Generasi pertama itu sendiri adalah ayah Sasuke dan ayah Naruto. Jadi, dua sahabat sekaligus rival itu sama-sama menduduki posisi tertinggi mereka sebagai generasi kedua saat ini.
Untuk Uzumaki Naruto yang memang anak tunggal di keluarganya, orang tak perlu heran jika seandainya perusahaan yang dipegang ayahnya itu pasti jatuh ke tangannya. Selain itu, Uzumaki Minato tak perlu khawatir lagi mengingat sebelum memegang kendali perusahaan Naruto sudah memiliki inisiatif untuk membuat usaha kecil-kecilan dengan kemampuannya. Salah satunya adalah dengan membangun kafe miliknya sendiri yang masih bertahan sampai sekarang. Meskipun pemimpin perusahaan Uzumaki telah menjadi pekerjaan utamanya, menjalankan bisnis kafe yang telah terkenal dan memiliki cabang di setiap bagian kota itu masih merupakan usaha sampingan favoritnya.
Karena... well, dia bertemu dengan calon istrinya di kafenya itu.
Kembali pada Uchiha Sasuke sebagai anak bungsu di keluarganya, orang-orang sudah banyak yang mengira perusahaan akan jatuh ke tangan Uchiha Itachi—anak sulung keluarga Uchiha. Tapi, dia dengan santai melepas jabatan pemilik sekaligus pemimpin perusahaan itu dengan cepat pada adiknya yang sangat gila kerja. Itachi sebagai lelaki idealis yang memilih jalan berbeda dari keluarganya akhirnya menjadi seorang penulis novel yang belakangan semakin terkenal karena series best seller yang berhasil dikeluarkannya beberapa waktu lalu.
Walau Sasuke mulai gerah mendengar keluhan kakaknya itu dari seberang telepon karena kekurangan tidur semenjak terus-terusan dikejar deadline oleh para editor-nya, sedikit banyak Sasuke akan mencoba merasa bangga. Yeah.
Tak beda jauh dari Naruto, Sasuke sendiri sudah memiliki usaha sebelum ayahnya memberi jabatan pemilik sekaligus pemimpin perusahaan Uchiha tersebut. Stereotipe orang-orang yang mengira perusahaan akan jatuh ke tangan Itachi ternyata memang dipegang juga oleh Sasuke. Merasa tak memiliki kesempatan, akhirnya Sasuke mengikuti jejak ayahnya untuk ikut membangun usahanya dari nol. Cukup jauh dari bidang pertambangan, sang jenius Sasuke yang juga handal sebagai seorang programmer membuka usaha dengan membuat website search engine dan berbagai macam jenis website online lainnya yang tak diduga dapat berkembang semakin besar di negara hingga rancah internasional.
Berkat itu, Sasuke dapat membangun gedung perusahaannya sendiri dari hasil yang didapatnya dan memperkerjakan orang-orang yang membutuhkannya. Untung saja pekerjaan di bidang ini dapat dikerjakannya dimana saja tanpa harus datang ke tempat pusat tertentu. Bukan berarti Sasuke bisa mengabaikan perusahaan pertamanya itu, Sasuke tetap harus datang untuk mengontrol situasi dan siap sedia kapan saja jika ada program error yang dapat berakibat fatal.
Tentu saja ini dikarenakan tidak semua programmer yang bekerja di bawah Sasuke dapat menerima informasi utama yang menjadi kunci kesuksesan perusahaan—semua demi kesehatan persaingan bisnis bersama. Tipe perusahaan yang tidak akan bisa tidur—begitu sindiran orang-orang di sekitarnya.
Dan memiliki kedua perusahaan dengan bidang berbeda yang cukup sukses itu... bisa dikatakan menjadi pedang bermata dua untuk Uchiha Sasuke.
"Hei, hei... ayo istirahatlah," entah berapa lama waktu berlalu hingga Sasuke tak sadar Naruto telah berada di depannya, mendorong kaleng berisi air soda dingin di atas meja, mendekati posisi Sasuke. Uchiha bungsu itu menghentikan kegiatannya sebentar lalu duduk dengan posisi tegap sebelum melihat ke arah Naruto yang telah memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, "aku tidak tahu bagaimana denganmu. Tapi aku bisa gila hanya dengan melihatmu saja."
Sasuke memutar kedua bola matanya, "Apa yang baru, Naruto?" dia melipat kedua tangannya di depan dada, "Tanpa melihatku pun kau sudah gila." Sinis Sasuke.
Memasang ekspresi sakit hati, Naruto menyentuh dasi di atas kain yang menutupi dada bidangnya, "Aku terhina, Teme," ucapnya sebelum terkekeh pelan dengan kedua matanya yang menyipit seperti rubah, "jika sudah selesai, mampirlah ke kafeku. Malam ini aku akan di sana, kapan terakhir kali kau datang? Sombong sekali sih." Gerutu Naruto.
Mendengar ini, Sasuke hanya menghela napas sebelum memajukan kembali posisi duduknya. Membuka laptop miliknya yang sempat ditutupnya beberapa waktu lalu, "Mungkin... sebulan lalu." Jawab Sasuke pada pertanyaan Naruto—apa adanya. Sebelum Naruto mengutarakan protesnya lagi, Sasuke mulai menggerakkan jari-jarinya di atas keyboard laptop miliknya dengan sangat cepat dan keras hingga tak memberi Naruto kesempatan.
"Dan lagi... kapan aku akan selesai... Dobe?"
Pertanyaan balik yang membuat Naruto menggeram kesal sebelum memutar tubuhnya dan berjalan keluar ruangan pemilik Uchiha Corporation tersebut. Meninggalkan teman baiknya yang tidak akan mempedulikan kehilangannya jika sudah tenggelam di dalam dunia kerjanya.
Setidaknya itu yang Uzumaki Naruto simpulkan dari bersahabat dengan seorang penggila kerja tersebut.
#
.
.
.
#
Suara seseorang lari menuruni tangga dengan terburu-buru membuat Senju Tsunade yang sedang meminum teh susu hangat di pagi harinya mengernyitkan kedua alisnya kesal. Dia melirik arah tangga kayunya berada.
"JANGAN LARI-LARI, SAKURA!" teriaknya menggema hingga ke seluruh penjuru rumah. Wanita yang telah menjadi ibu angkat Haruno Sakura sejak bertahun-tahun yang lalu itu menaruh cangkirnya kasar di atas piring kecil.
Sakura mengintip dari balik lemari, menatap wanita tua namun masih berparas cantik tersebut dengan cengiran lima jari andalannya. Tsunade menaikkan sebelah alisnya melihat Sakura telah mengenakan baju bebasnya yang terlalu santai seperti biasa—baju T-shirt merah polos lengan pendek dengan celana jeans panjang yang menutupi lekuk kaki rampingnya. Tsunade melipat kedua tangannya di depan dada besarnya, "Kau tidak mengenakan suit kerjamu lagi?" tanyanya.
Tidak langsung membalas, Sakura berjalan mendekati Tsunade. Sekarang wanita berambut pirang tersebut dapat melihat apa saja yang Sakura bawa hari ini. Kertas-kertas ukuran A0 yang digulung dengan tali lalu dikaitkan pada bahunya, tas slempang di bahunya yang lain berisi berbagai macam alat-alat gambar yang tersusun rapi dan terawat dengan baik. Gadis itu tersenyum sebelum mengambil gelas berisi teh hangat yang telah disediakan Tsunade untuknya.
"Tidak..." Sakura menggeleng pelan lalu menyesap tehnya, "...kemarin aku mengenakan baju rapi itu hanya untuk menemui klien saja. Semacam... rapat resmi?" tanyanya lebih ke diri sendiri.
Tsunade menggelengkan kepalanya pelan, "Dasar," memperhatikan kantung mata di bawah mata Sakura membuat wanita itu menyipitkan kedua matanya lagi, "jam berapa kau tidur semalam?"
"Emm... jam... dua... rasanya."
"Sakura—"
"Ya ya, maafkan aku, oke? Aku hanya ingin mengerjakan proses gambar teknikku lebih cepat," Sakura menggaruk pipinya dan tertawa hambar sebelum melihat ke arah lain—bersiap kabur, "versi digital sudah kukerjakan, tapi manual bisa lebih meyakinkan, bukan begitu?" dan tanpa menunggu jawaban Tsunade yang sudah berdiri, Sakura lebih dulu mencium pipi ibu angkatnya tersebut dan berjalan cepat menuju pintunya.
"Aku berangkat!" teriak Sakura sebelum menutup pintu rumahnya tersebut.
Melihat kepergian Sakura, Tsunade menghela napas kesal tapi memilih pasrah karena tak dapat berbuat banyak. Wanita cantik itu duduk kembali di kursinya. Saat dia membuka kedua matanya, dia melirik pigura foto yang berdiri dengan tenang tak jauh dari posisinya.
Di pigura foto itu, berdiri ketiga anggota keluarga yang tersenyum riang menghadap kamera. Pasangan suami istri yang sedang memegang masing-masing pundak anak mereka yang sedang merayakan kelulusannya di Sekolah Menengah Pertama. Wajah lelah Tsunade kemudian berubah menjadi teduh dan dia tersenyum lembut.
"Sudah sepuluh tahun ya... Kizashi, Mebuki."
Tsunade berdiri dari tempat duduknya, mengambil pigura foto itu lalu mengelapnya dari debu-debu yang menempel sebelum menaruhnya kembali. Foto gadis kecil di tengah kedua orang tuanya itu kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang memilih jalannya sendiri. Mendapat karir yang sesuai dengan hobi dan skill yang diminatinya.
Hidup Haruno Sakura bisa jauh lebih sempurna seandainya kecelakaan sepuluh tahun lalu itu tidak terjadi.
Senyum Tsunade hilang saat teringat akan hal itu. Keluarga Senju adalah saudara jauh dari keluarga Haruno dan sebagai satu-satunya wanita yang masih lajang dengan kehidupan yang lebih dari cukup, Tsunade tak merasa masalah ketika harus menerima anak tunggal Haruno untuk dirawat olehnya.
Hanya saja, kedua mata Sakura yang dingin saat Tsunade pertama kali menemuinya... tak berubah banyak hingga saat ini.
Seakan ada sesuatu yang hilang... sejak hari naas itu.
#
"Maaf, aku terlambat!" suara Sakura yang keras sembari membanting pintu ruang perkumpulannya membuat orang-orang di dalamnya bergidik kaget dan menghentikan kegiatan mereka. Sama sekali tidak merasa bersalah, Sakura mengangkat sebelah tangannya, "Halo~ hehe."
"Bukan 'halo' bodoh!"—DHUK! Seorang laki-laki bernama Akasuna no Sasori memukul kepala gadis malang itu. Tidak terlalu keras tapi cukup membuat Sakura mengaduh kesakitan. Lengah hingga membiarkan mantan senior-nya saat di kampus dulu itu memukulnya membuat Sakura mendengus kesal, "Kau telat satu jam, tak bisakah bangun lebih cepat—" melihat kantung mata Sakura membuat Sasori diam sejenak sebelum memicingkan matanya lagi, "kau habis begadang ya."
Sakura mengerjapkan kedua matanya sebelum menguceknya pelan, "Tidak juga," ucap Sakura sembari melirik ke kiri bawah—tanda dia berbohong. Sasori semakin memasang wajah galaknya. Sebelum pertengkaran keduanya berlanjut lebih parah, seseorang menginterupsi.
"Berhentilah, un!" mengetuk-ngetuk ujung spidol di tangannya pada kertas di bawahnya sambil emosi membuat perhatian Sakura dan Sasori tertuju pada pria berambut pirang panjang tersebut, "Kalian bertengkar sampai babak belur pun proyek kita ini tidak akan selesai!" gerutunya.
"Tapi, Deidara... jika kita tidak menegaskan padanya sekarang, dia akan terus begini selamanya!" Sasori mengangkat tangan kirinya dimana jam analog melingkari pergelangan tangannya. Wajah baby face itu merengut kesal, "Waktu adalah uang!"
"Ya, benar... dan apa yang kau lakukan sekarang juga pembuangan waktu yang sia-sia, Sasori," pria yang tiba-tiba muncul setelah membuka pintu di belakang Sakura dan Sasori membuat perhatian kembali teralihkan, "kembali ke pekerjaan, deadline kita seminggu lagi." Kata pemuda berambut abu-abu pendek dengan kacamata bulatnya tersebut sembari menggerak-gerakkan lembaran kertas di tangannya.
Sakura tersenyum lebar, "Siap, Kabuto-senpai!" lalu langsung berlari dan duduk di samping Deidara yang masih memasang wajah sewotnya.
Sasori memutar kedua bola matanya, "Kau terlalu memanjakannya, Kabuto."
"Oh ayolah, ini semua demi kelancaran pekerjaan kita semata," jawab Kabuto cepat tanpa ingin terlalu pusing memikirkan alasan lain. Tidak menyembunyikan senyuman mengejeknya, Kabuto menambahkan, "atau kau memiliki alasan yang bagus untuk tetap memarahi Sakura hingga harus melupakan pekerjaan?" tanyanya.
Pemuda berumur dua puluh sembilan tahun dan berambut merah itu terlihat tersentak sebelum membuang mukanya yang mengeluarkan semburat merah tipis. Saat itu, kedua matanya tak sengaja menangkap wajah Sakura yang sedang tertawa mendengar penjelasan Deidara yang masih memarahinya dengan jengkel sembari menunjuk-nunjuk salah satu desain yang mereka buat di atas kertas. Sasori menghela napas.
"Ayo kerja."
Mendengar kata-kata Sasori, Kabuto hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Dia mengikuti pria berambut merah di depannya lalu duduk di tempat yang telah disediakan. Kelima kursi yang mengitari meja bulat besar di tengahnya itu telah terisi.
Satu orang terakhir yang sedari tadi diam membiarkan teman-teman se-proyeknya berbicara akhirnya ikut mengeluarkan suara, "Sakura," suara pria itu rendah namun halus dan berwibawa, Sakura menoleh pada satu-satunya teman yang seumuran dengannya di dalam kelompok ini, "desain yang sudah di-acc klien kemarin itu yang mana ya?" tanyanya sembari membuka-buka tumpukan kertas dengan desain-desain di depannya.
Sakura menarik tumpukan desain di depan pemuda tersebut lalu mengambil salah satu kertas, "Yang ini," setelah laki-laki itu menerimanya, Sakura memasang wajah yang seakan teringat akan sesuatu lalu memukul bahunya kasar, "Oooh! Hampir saja aku lupa! Sai, kenapa kau tidak memberi tahuku kalau kau sudah melamar Ino?"
Pertanyaan Sakura sempat membuat keadaan hening sesaat, sampai— "HAAAAAAHHH!?"
"Sai, kau meninggalkan kami!?"
"Tega sekali kau, un!"
"Jangan bilang kau menikah karena ingin kabur dari pekerjaanmu!"
Mendengar teriakan dari setiap sudut membuat Sai melototi Sakura yang menjulurkan lidahnya jenaka. Laki-laki tampan dengan rambut hitam lurusnya itu berusaha menenangkan ketiga senior di depannya, "Aku... Aku bermaksud memberi tahu kalian nanti di jam makan siang, tapi apa boleh buat... haha," jawabnya. Dia menyipitkan kedua matanya dan tersenyum penuh arti, "tapi ya... aku berpikir untuk mengakhiri masa lajangku, lebih cepat satu urusan selesai lebih baik. Lagipula aku sudah memiliki pekerjaan tetap, jadi rasanya tidak ada masalah."
Deidara memutar kedua bola matanya, "Aku bahkan belum menemukan calon, un," dua mata beriris biru langit itu melirik Sakura di sampingnya, "kau sendiri bagaimana? Kudengar teman-teman seumuranmu sudah banyak yang menikah. Tidak berniat menyusul mereka?" tanyanya tanpa memikirkan efek samping atas pertanyaannya.
Sakura menoleh dengan lambat ke arah Deidara yang menunggu jawabannya. Sementara di seberang mereka, Sasori mengernyitkan kedua alisnya serius—berusaha menajamkan pendengarannya atas apapun jawaban yang adik kelasnya itu akan keluarkan. Kabuto di samping Sasori mati-matian menahan tawa melihat ekspresi pria itu, namun di sisi lain penasaran juga dengan jawaban yang akan dikeluarkan satu-satunya perempuan di kelompok mereka.
"Aku..." Sakura menggantung jawabannya. Kedua matanya sempat melihat ke arah lain, seakan menerawang, "...akan menemani para senpai kesayanganku menghabiskan masa lajang! Yey! Aku 'kan tidak kejam seperti Sai yang tega meninggalkan kita semua!" ucap Sakura lalu tertawa ketika Sai mendengus kesal sementara Deidara tertawa senang dan merangkul bahu Sakura di sampingnya. Melakukan high five berdua.
Jawaban yang terdengar bercanda itu membuat Sasori bimbang harus merasa lega atau kecewa. Dia lega karena Sakura yang disukainya sejak mereka semua masih kuliah itu terlihat tidak memiliki calon pasangan hidup di umur mereka yang sudah siap menyambut keluarga baru. Tapi... dia kecewa karena Sakura untuk yang ke sekian kalinya masih tidak menunjukkan tanda-tanda sedang memberi perhatiannya pada seseorang.
Harus... yang mana?
Tepukan pada bahunya membuat Sasori menoleh pelan. Kabuto hanya tersenyum, "Anggap saja kau masih memiliki kesempatan." Lalu wajah Kabuto berubah menyebalkan untuk yang kedua kalinya hari ini, "Yah, itu juga kalau kau bisa merubah kebiasaan jelekmu memarahi perempuan yang kau sukai."
Dan Sasori hanya mendengus sebelum memicingkan kedua matanya lagi melihat ketiga manusia di depannya yang masih berdebat ria soal pernikahan.
"HEI! KERJA!"
#
.
.
.
#
Uzumaki Naruto sedang menelpon ayahnya ketika ketukan di pintu ruangannya membuat dia cepat-cepat menyelesaikan pembicaraan dengan sang ayah lalu menutup teleponnya. Naruto merapikan posisi duduknya lalu berpura-pura mengetik di depan laptop saat berteriak, "Ya, masuk!" teriaknya.
Pintu terbuka lalu salah satu customer service yang cukup dekat dengannya membuat Naruto tersenyum lebar, "Oh, Ino! Ada apa?" tanyanya, langsung menghentikan kegiatan apapun yang sedang dilakukannya.
Yamanaka Ino menggelengkan kepalanya sembari tertawa. Dia berjalan dan menaruh tumpukan kertas di atas meja atasannya, "Memberi laporan keluhan konsumen kita minggu ini, bos," Ino mengendikkan bahunya, "sekretarismu tidak datang menjemput laporan ini dariku sementara shift-ku sudah selesai, jadi aku berikan langsung saja padamu, jika kau tak keberatan."
Naruto tertawa hambar sebelum berteriak sendiri, "Ah, hampir saja aku lupa! Karin kusuruh ke perusahaan Sasuke sejam lalu untuk mengambil hard disk milikku yang ketinggalan di sana," pria berambut pirang itu menepuk dahinya sendiri dan segera mengambil hpnya. Menekan nomor sekretarisnya tersebut, "pantas dia belum pulang juga, aaakh jangan bilang kalau dia menggoda Sasuke lagi! Aku bisa disidang Sasuke nanti!" teriaknya semakin panik.
Ino tertawa kecil melihat teman sejak kecilnya ribut sendiri di posisinya. Seakan lupa dengan status mereka di perusahaan sebagai seorang bos besar perusahaan dan karyawan customer service, Ino menarik kursi lalu duduk tepat di depan meja Naruto, "Tak perlu khawatir seperti itu, 'kan. Karin juga pasti pulang sebentar lagi. Mungkin dia hanya mampir ke minimarket," Ino mengedipkan kedua matanya, "ngomong-ngomong aku selalu mendengar Karin membicarakan Sasuke. Aku hanya tahu dia seorang pemimpin perusahaan Uchiha, tapi apakah dia memang setampan yang orang-orang katakan?"
Tidak langsung membalas, Naruto hanya mendesah pasrah begitu teleponnya ke hp Karin tidak diangkat untuk yang ke sekian kalinya. Dia menyandarkan dirinya sebentar pada kursi di belakangnya sebelum duduk tegak lagi, "Hm? Yah... tidak kok, benar kata orang-orang, Sasuke memang tampan," lalu Naruto menunjuk dirinya sendiri dengan cengiran lima jarinya, "walau tidak setampan diriku."
"Apa!? Jadi mukanya tidak seberapa dong?"
Tersindir, sudut empat siku-siku muncul di dahi Naruto, "HEI!"
Tawa keras Ino menggema di ruangan Naruto, "Hahahaha aku bercanda," mengabaikan Naruto yang sudah menggerutu kesal di depannya, Ino kembali berbicara, "ah tapi serius, jadi Uchiha Sasuke ini seperti apa orangnya?" tanya Ino.
Mendengar ini, Naruto menghela napas sebelum menjawab, "Gimana ya... kalau kau tanya aku sih... menurutku sifat dan sikapnya itu menyebalkan sekali. Bahkan sepertinya nilai tambahnya hanya wajah tampannya itu," gumam Naruto. Pria berambut pirang itu menggelengkan kepalanya, "tidak banyak yang bisa kujelaskan tentang workaholic seperti dia. Percayalah."
Ino memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung, "Workaholic?"
Naruto menatap Ino serius, "Sebutan untuk orang-orang gila yang mendedikasikan hidup mereka pada pekerjaan," pria itu memasang pose berpikir, "kalau diingat lagi, hampir setiap saat Sasuke itu terlihat membawa buku-bukunya atau laptop-nya. Melakukan pekerjaan dari jam istirahat hingga kembali ke jam kerja lagi. Dia senang sekali menyibukkan diri. Seakan tidak bisa hidup tenang barang sebentar saja." Jelas Naruto panjang lebar pada akhirnya.
Penjelasan Naruto membuat Ino mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, "Seperti Sakura," gumamnya pada dirinya sendiri.
"Siapa?"
"Oh maaf," Ino tertawa kaku pada Naruto yang menatapnya bingung, "mendengar penjelasanmu membuatku teringat dengan salah satu teman baikku sejak SMA."
"Haaah!? Ada workaholic seperti Sasuke!?" teriak Naruto, merasa ngeri seketika. Tidak bisa membayangkan ada dua Sasuke di dunia ini.
Ino tertawa kecil, "Iya, tapi dia perempuan," sekilas Ino mendengar Naruto menghela napas lega, "tapi bukan berarti dia lebih baik! Aku sampai lelah memintanya untuk beristirahat seperti mengajaknya berlibur barang sehari sampai dua hari saja dan dia selalu menolak! Menyebalkan, 'kan!?" teriak Ino kesal.
Naruto membuka mulutnya, mulai penasaran, "Memangnya apa pekerjaan dia?"
"Desainer produk, satu pekerjaan dengan Sai. Bahkan dia satu kelompok dengannya," Ino menggembungkan kedua pipinya kesal, "padahal Sai saja tidak sesibuk itu. Sakura sengaja menerima banyak proyek di luar proyek yang dikerjakan dengan kelompoknya. Aku tidak tahu apa tujuannya menyibukkan diri sampai melupakan kehidupannya! Bahkan rasanya dia tidak peduli dengan kesehatannya sendiri! Bagaimana kalau dia tiba-tiba sakit?"
Mendengar keluhan Ino membuat Naruto tersenyum penuh arti, "Kau perhatian sekali dengan sahabatmu ya, aku iri," wajah Ino sempat memerah meski tak lama, Naruto kembali melanjutkan, "tapi ya aku mengerti, menyusahkan sekali memiliki sahabat yang terlalu mencintai pekerjaan mereka." Keluh Naruto.
Ino membalas dengan ekspresi lelah, "Ya, benar."
Keduanya menghela napas mereka.
"Dan Sakura sudah bilang dia tidak ingin menikah, mengerikan 'kan?" / "Si Sasuke-Teme itu sampai tidak mau menikah, sok sekali, 'kan?"
Lalu keduanya berhenti setelah berbicara bersamaan. Kedua aquamarine Ino menangkap biru langit Naruto dan suasana di antara mereka hening seketika.
Ino dan Naruto tertawa kaku sebelum berkata lagi...
"...Serius, nih?"
#
.
.
.
.
.
#
"Sampai sini saja?"
Sakura mengangguk pelan, "Ya, aku sudah berjanji pada temanku untuk datang ke kafe Uzumaki hari ini," dia meraih tas kertas di sampingnya lalu mengaitkannya pada bahu kanannya, di bahu kiri telah mengait tas slempang berisi peralatan desainnya, "jika aku bilang aku tidak bisa datang lagi, dia akan mengamuk. Aku sudah terlalu banyak menolak permintaannya sih." Jelas Sakura.
Di bangku sopir, Sasori hanya menatap cemas. Meski tatapan itu tidak begitu kelihatan karena gelapnya suasana di dalam mobil ditambah keadaan di malam hari. Sasori menghela napas, dengan nada yang berusaha menunjukkan dia tidak peduli, laki-laki itu membuka kunci seluruh pintu mobilnya, "Baiklah, tapi jangan pulang ke rumah terlalu malam. Jumlah angkutan umum semakin sedikit di malam hari, kalau bisa minta temanmu mengantarmu sampai rumah, jika dia tidak bisa, telepon aku—"
"Ya ya, aku mengerti," potong Sakura dengan cepat. Tidak sahabatnya, tidak senior-nya, tidak ibunya, kenapa semua orang di sekitarnya over protective sekali sih? Sakura tertawa pelan lalu membuka pintu mobil di sampingnya, "terima kasih sudah mau mengantarku, Sasori-senpai."
Sasori menghela napas, "Dan entah sudah berapa kali aku mengatakan padamu untuk menghilangkan kata senpai."
"Well, kebiasaan lama tak bisa berubah secepat itu," kekeh Sakura. Tatapan galak Sasori membuat gadis itu hanya tersenyum jahil, "sampai jumpa besok!" lalu Sakura keluar dari mobil dan menutup pintunya.
Pemuda berwajah baby face itu memperhatikan Sakura yang telah melambaikan tangan ke arahnya dari luar. Dia menggigit bibir bawahnya, di sisi lain ingin segera memarkirkan mobilnya dan menemani junior-nya tersebut tapi di sisi lainnya lagi dia tak ingin terlalu mencampuri urusan pribadi perempuan yang belum menjadi miliknya. Akhirnya dengan segala kebimbangan, Sasori menghela napas dan mulai menjalankan mobilnya setelah menekan klakson sebagai tanda untuk memberi tahu Sakura dia akan pergi.
Tidak langsung menunggu mobil Sasori hilang dari pandangan, Sakura enggan menghabiskan banyak waktu dan langsung berbalik, berjalan menuju pintu masuk kafe Uzumaki. Baru saja akan memegang pintu, sang pelayan yang berjaga di depan bertanya, "Maaf, anda sudah memesan tempat sebelumnya?"
Mendapat pertanyaan mendadak itu membuat Sakura memasang ekspresi bingung, "Oh... ya dia bilang sudah memesan atas nama Yamanaka Ino." Jawab Sakura kaku.
Pelayan itu kembali melihat kertas di tangannya lalu mengerutkan alisnya, "Hmm, tidak ada yang bernama Yamanaka Ino di sini," sebelum Sakura sempat protes, pelayan itu kembali meneruskan, "maaf, kalau nama anda?"
"...Haruno Sakura."
Sontak, pelayan itu menganggukkan kepala dan menulis sesuatu, "Ah, kalau nama anda ada, silahkan masuk nona Haruno," ucapnya dengan sopan lalu membukakan pintu untuk Sakura yang semakin kebingungan.
Ino yang mengundangnya, kenapa tidak memakai nama dia saja sih?
Tapi, Sakura berpikir untuk meluapkan protes ini nanti saja. Lagipula sepertinya Ino belum datang, saat pelayan di dalam mengantar Sakura ke tempat yang telah dipesan, Sakura masih belum menemukan kepala berambut pirang panjang milik sahabatnya itu. Terlalu fokus dengan pencariannya, Sakura sedikit kelabakan ketika pelayan di depannya mendadak berhenti di depan tempat duduk bar panjang di bagian kafe paling dalam dan jauh dari meja kursi lainnya.
"Silahkan."
Sakura menunduk hormat lalu pelayan itu pergi meninggalkannya. Dia memperhatikan punggung pelayan tersebut sebelum kembali melihat ke depannya dimana seorang bartender sedang mengelap gelasnya di seberang meja.
Namun, ternyata tak hanya bartender itu.
Sakura melihat punggung seorang laki-laki berambut raven yang telah duduk membelakanginya di salah satu dari empat kursi yang telah disediakan di depan meja bar. Bingung, Sakura belum pernah melihat maupun mengenali pria ini sebelumnya. Lalu kenapa dia bisa berada satu meja dengannya? Tidak mungkin pelayan akan membiarkan orang asing duduk di tempat yang telah dipesan, 'kan? Terlebih untuk kafe bintang lima seperti kafe Uzumaki ini.
Tidak.
Dia tidak akan pernah tahu jika tidak bertanya sendiri.
Memilih diam dulu, Sakura akhirnya berjalan pelan lalu duduk di kursi paling ujung dekat tembok. Suara kursi bar yang ditarik olehnya membuat pria yang akan meminum apapun dari dalam gelas birnya itu menghentikan ujung gelasnya tepat di depan bibirnya. Sakura melirik takut-takut pada pria tersebut, tidak ingin mengganggu privasi seseorang yang belum dikenal.
Tapi, pria itu terlihat tidak peduli setelah beberapa saat dan kembali meminum air dari dalam gelasnya. Sakura diam-diam mendesah lega dan akhirnya mulai duduk di atas kursinya. Dia menaruh tas-tasnya di meja depannya. Bartender yang telah selesai mengelap gelasnya menghampiri Sakura untuk bertanya apa yang ingin dia minum dan Sakura hanya menjawab susu saja, tidak berniat mabuk hari ini.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Sakura mengerjapkan kedua matanya, melihat bartender yang masih sibuk di depannya, Sakura langsung tahu suara itu bukan berasal darinya. Berarti...
Kedua iris hijau emerald miliknya melirik ke kiri, tempat dimana satu-satunya orang lain selain dirinya dan bartender itu duduk dengan jarak satu kursi di antara mereka. Pria misterius tersebut masih belum menoleh dan sedang menyesap minumnya dengan tenang. Tak mendapat respon dari Sakura sepertinya membuat dia berbicara lagi tanpa menoleh, "Aku bicara padamu."
Tersentak, Sakura menggigit bibir bawahnya dan memperhatikan segelas susu yang telah berada di depannya, "Ng, aku diundang ke sini oleh temanku," Sakura melihat jam yang melingkar di tangannya, "tapi sepertinya dia belum datang." Ucapnya.
Tanpa diminta, tak lama kemudian Sakura menghela napas dan reflek bergumam, "Padahal aku harus mulai mengerjakan prototype ini aaakkkhh!" geramnya sembari meremas rambutnya sendiri.
Pria itu diam sejenak sebelum—entah reflek atau tidak—bertanya, "...Prototype?"
Sakura tertawa pelan, "Model rancangan yang harus kubuat dulu sebelum memulai pembuatan produk aslinya," gadis itu meminum habis susunya, "melelahkan sekali, jujur saja." Lanjutnya.
"Melelahkan tapi menyenangkan, 'kan?" rasanya aneh, pria yang sekilas terlihat dingin itu terus membalas perkataannya. Sakura sudah mulai memutar posisi kursinya hingga lurus menghadap pria yang masih duduk menghadap meja. Laki-laki berambut biru dongker itu memiliki rambut yang cukup panjang untuk menutupi wajahnya dari samping, "dari telapak tanganmu yang kasar, sepertinya kau seorang pekerja keras. Tapi wajahmu tidak menunjukkan kau tidak puas dengan pekerjaanmu sekarang. Kau biasa bekerja dengan alat berat?"
Sakura menghilangkan senyumnya dan langsung melihat telapak tangannya. Bagaimana laki-laki itu bisa tahu keadaan tangannya? Sakura kemudian kembali menjawab, "Aku memang sering bekerja di bengkel," dia menatap penasaran laki-laki yang masih enggan menoleh itu, "kau bisa tahu banyak dengan sekali lihat. Luar biasa! Kau sendiri... apa pekerjaanmu?" tanyanya.
Tubuh pria itu mulai bergeming, dia mendorong gelas kosong di depannya hingga ke tengah meja, "Pekerjaan yang harus melihat hal sedetail mungkin atau semuanya akan berantakan." Kepala laki-laki itu mulai bergerak sedikit. Pertanda bagus.
Sakura menyeringai lebar. Kedua matanya akan berbinar jauh lebih terang seandainya dia bisa. Sakura mengetuk-ngetuk ujung jarinya di atas meja, menimbulkan suara di suasana hening di antara mereka, "Menarik. Pekerjaanku juga memperhatikan hal itu, bedanya aku lebih banyak melakukan praktek, tuan bertangan halus," perkataan ini sepertinya berhasil menarik perhatian pria itu lebih jauh.
Kata-kata Sakura berikutnya menjadi pelatuk yang memicu dunia baru di antara mereka.
"Mungkin kita harus berkenalan? Siapa tahu kita bisa kerja sama di sebuah proyek?"
Dan sesuai harapan, akhirnya pria misterius itu menegakkan tubuhnya. Dia menarik lalu mengeluarkan napas panjang, seakan sedari tadi dia tidak bernapas sama sekali. Laki-laki itu menoleh pada sampingnya, akhirnya melihat perempuan yang dari cara bicaranya memiliki sudut pandang kehidupan yang sama sepertinya.
Tanpa rasa takut akan terlibat dengan perasaan yang tabu di kamus kehidupan mereka...
...iris hijau emerald dan hitam onyx itu bertemu.
.
.
.
.
.
It won't heal, my loneliness is to the farthest ends
Other than us, ethics are overestimated
.
The true aim of happiness that isn't noticed,
"Please tell me!" / "Just tell me!"
- Kagamine Twins (Re-Education)
.
.
.
To be Continued
.
.
.
Udah lama gak nulis kata-kata TBC :)) #yakamu Halo semuaaaa, apa kabar fandom Naruto ini, masih ramai kah? Saya kembali dengan fic multichapter baru, semoga suka ehe. Masih banyak misteri di sini, akan dijelaskan nanti di chapter-chapter depan, jangan khawatir~
Walau romance, sebenarnya mungkin lebih ke pengenalan dunia kerja di sekitarku hahaha tapi gak mendalam juga sih, lebih ke dasarnya aja. Aku sambil belajar juga, jadi mohon maaf jika ada kesalahan, silahkan koreksi kalau ada yang perlu diubah. Yang kelihatan banyak penjelasan dan proses kerja di cerita ini berarti memang sangat berhubungan denganku di dunia nyata. Silahkan tebak yang mana wkwkwk. Konfirmasinya di next chapter kalau aku inget 8D #diinjek
Rencananya sih jumlah chapter fic ini gak akan banyak, paling banyak 10 chapter ;w; But know me, jangan terlalu berharap update cepet, tapi cerita ini pasti akan kuselesaikan x"D Lalu soal rating-nya... iya benar ini M, iya benar bakal ada lemon, tapi aku bakal lebih fokus ke jalan ceritanya, jadi jangan berharap ada nasty lemon di sini yang biasa aku bikin wkwkwk #heh
Segala kurang lebihnya, mohon maaf. See you at next chapter, mind to review, please? Thank you :3
P.S : Jumlah karakter/tokoh utama yang dimasukkan di summary fanfic ini akan bertambah seiring berjalannya cerita, prepare your self~