Malam ini Jihoon yang memasak. Kali ini menyiapkan menu rumahan Korea. Kimchi, chapjae daging, tumis sayur, ayam goreng bumbu, dan tahu jjigae pedas. Jungkook hampir melepaskan rahangnya karena melihat meja makan jadi sempit. Semenjak tinggal di Ohio, mereka lebih suka makan sesuatu yang simpel seperti kentang dan roti. Ayam goreng sesekali kalkun atau salmon, kadang malam malam hanya dengan salad sayur atau buah. Melihat nasi yang uapnya masih mengepul itu membuatnya jadi lapar.

Tak disangka nasi benar-benar membuatnya kangen.

"Kau membuatnya sendirian?"

"Ya, begitulah." Jihoon melepas celemek dan duduk setelah meletakkan satu pitcher besar es limun. Jungkook masih terpesona dengan makan malam ini. Luar biasa sekali memanjakan matanya, padahal seingatnya tidak ada sesuatu yang harus dirayakan. "Tapi tadi Adora datang membantu jadi aku tidak kesulitan,"

Namjoon mengangguk. "Dia pacar yang baik,"

"Oh, tentu."

"Bisakah kalian jangan bahas wanita sekarang?" Jungkook mengerang kesal.

Sontak kedua lelaki lain tertawa kencang. Menertawakan kejombloan Jungkook yang tak berkesudahan. Jungkook bilang memang sedang tak ingin, dan dia bukan jomblo tetapi memutuskan untuk single dan berkarir. Jihoon mencibir dan mengejeknya, nada suaranya membuat Jungkook kebakaran janggut (walau dia baru saja cukur) dan menjambak rambutnya yang diwarnai perak keunguan. "Ayah! Lihat kelakuannya itu!"

"Ayolah, aku hanya mau makan malam dengan tenang disini,"

"Ck! Lagipula Adora jauuuh lebih tinggi darimu, Jihoon."

"Yang penting punya cewek!"

Namjoon tersenyum geli. "Makanya, carilah pacar. Apa kau tidak bosan hidup sendirian begitu? Memangnya kau tidak ingin punya seseorang yang memerhatikanmu lebih dari seorang teman? Seingatku kau punya kawan perempuan yang cantik," keningnya berkerut. "Kalau tak salah namanya Olivia, atau Jesslyn? Mereka juga baik, kan."

"Aku tak punya waktu untuk itu," Jungkook mengunyah kimchi.

Memang masakan rumah itu selalu yang terbaik.

"Ya ya ya. Terus saja begitu sampai jadi perjaka tua!" Jihoon menaruh ayam goreng di piring Namjoon dan satu untuk Jungkook, kemudian untuknya sendiri. "Kau itu gila bekerja, Jungkook. Kurasa memang kau tidak punya waktu, dan pasti tak akan ada wanita yang suka dinomor duakan dengan berkas kantor. Jelas kau sendiri yang jadi masalahnya," ia tersenyum bangga melihat saudara dan Ayahnya menikmati makannya dengan lahap. Semenjak tinggal di negeri orang, Jihoon mulai belajar masak dan pacarnya, Adora, suka membantunya karena memang dia mengambil tata boga di kuliahnya. "Kau sudah kaya raya, Jungkook. Tinggal mengedip saja wanita bisa jatuh padamu, tahu? Oh, atau kau ingin mengencani petugas perpustakaan yang suka padamu itu?"

"Ewh. Dia sudah punya tiga anak dan yang termuda itu seumuran kita,"

Makanannya memang kelihatan banyak. Tetapi karena mereka bertiga laki-laki dan belum makan sejak terakhir jam satu siang, rasanya jika mereka pesan satu boks pizza mungkin masih muat. Entah karena memang makananya begitu lezat atau hanya buta makanan saja. Yang jelas makanan di meja kandas begitu cepat.

Jihoon mengeluarkan potongan buah nanas untuk pencuci mulut.

"Jungkook,"

"Hm?" ia sibuk mengunyah nanas.

Namjoon merogoh saku boxernya. Mengeluarkan amplop putih dan menyerahkannya pada Jungkook yang menatapnya bingung. Ia mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya singkat, mempersilahkan Jungkook membuka amplop polos itu.

Tiket penerbangan ke Korea.

Sepertinya mereka berdua memang merencanakan sesuatu. Sebab Jihoon memberikan senyum dan tatapan yang sama seperti Namjoon. Jungkook memandangi mereka dengan jemari yang gemetaran kecil dan tenggorokan yang mampet. "Papa –"

"Kau bisa pulang, Jungkook-ah."

Kenapa matanya jadi basah? Ah, sial.

"Anggap saja ini makan malam terakhir kita bersama di Ohio," Namjoon memandangnya dengan mata yang teduh dan juga hangat. "Aku memang sengaja menyuruh Jihoon untuk memasak makanan Korea karena ini malam spesial. Malam terakhirmu di Ohio," tangannya yang sudah kapalan itu menepuk kepala Jungkook yang membatu karena bingung. "Sudah tidak ada alasan lagi bagimu menetap lebih lama. Kami tahu kau dan Taehyung saling merindu, dan kau sudah membuktikan pada dirimu sendiri –dan juga Taehyung, bahwa kau berhasil. Kau berhasil disini, Jungkook-ah. Lalu untuk apa kau tinggal? Pulang dan temuilah Kakakmu,"

"Tapi –"

Namjoon mencubit pipi Jungkook, "Aku tinggal karena beginilah caraku menebus dosa di masa lalu. Selain itu, aku tak punya alasan untuk memeluknya lagi. Dia menganggapku monster, jadi aku tak berhak melihat senyumnya lagi." Ada sedih di matanya. "Dan Jihoon punya Adora di sini, hanya kau satu-satunya orang yang tak punya alasan untuk bertahan. Ini sudah waktumu untuk kembali padanya. Ini adalah akhir untuk Taehyung menunggu."

Diam adalah hal yang bisa dilakukan Jungkook.

"Aku pernah menjadi pendosa dan membuat kekacauan di masa lalu. Sekarang saatnya kamu kembali untuk mengambil langkah yang tak bisa kulakukan untuknya." Bahunya ditepuk dua kali, hangat dan membuat air matanya jatuh tanpa diminta. "Saatnya kamu kembali untuk memperbaiki semua yang telah kamu rusak. Kembalilah sebelum semuanya terlambat untuk kau raih. Ini akan jadi perintahku yang terakhir untuk kau lakukan. Setelahnya, jangan dengarkan aku lagi. Sebab kurasa kau sudah tahu apa yang baik dan buruk untuk dilakukan, Jungkook-ah."

Ia bisa merasakan Jihoon merangkul bahunya yang gemetar.

"Kau sudah cukup pantas untuk pulang dan menemui Taehyung hyung, Jungkook. Sekarang, jangan menahan diri lagi. Kau bisa memperbaiki semuanya, dan membangun lagi dari awal. Kehidupan yang selayaknya bersama keluargamu. Bukan dengan kami,"

Taehyung hyung, aku akan pulang.


My Mama

..

Kim Taehyung, Jeon Jungkook (as Kim Jungkook), Park Jimin, Kim Namjoon (as Lee Namjoon), Mama Papa Jimin, Kim Jiyeon, and other supporting casts

..

[Vkook as brothers]

[MinV]

..

You are my best gift from God, Mom.

..


Lagaknya sudah seperti wisatawan asing. Bermalam di hotel dan berjalan-jalan cuci mata. Padahal ini rumahnya sendiri, maksudnya, tanah kelahirannya. Jungkook juga tak paham mengapa dia malah menjejakkan kaki di hotel dan menghabiskan uang untuk tidur dan buang air di sana, jika sebetulnya dia bahkan punya rumah. Dia juga tidak tahu kenapa rasanya begitu sulit untuk melangkah pulang menengok kakaknya, dan menghabiskan waktu dengan malas-malasan di kamar, atau hanya jalan-jalan.

Ini sudah hari ketiga ia di Korea dan ia belum ingin bertemu Taehyung.

Bukan betul-betul tak ingin. Rasa membuncah di dadanya justru berkata lain. Dia sangat ingin bertemu kakaknya, tetapi entah kenapa ia takut. Takut melihat kakaknya di usia setua ini. Dia tidak punya gambaran tentang penampilannya, apakah dia menumbuhkan janggut, apakah dia mewarnai rambutnya lagi, ataukah dia benar-benar bertambah gemuk? Terakhir Jimin mengiriminya pesan ketika ia berulang tahun ke dua puluh, waktu itu ponselnya dicuri. Jadi tak ada kemungkinan untuknya mengetahui hal-hal tentang Taehyung. Padahal bisa saja Jimin mengiriminya banyak foto tentang Taehyung. Sial.

"Yah, kurasa sudah selesai main petak umpetnya." Jungkook turun dari ranjang dan ke kamar mandi. Mencuci muka dan gosok gigi, terlalu malas mandi. Ia mengenakan kaus putih kebesaran yang belakangan ini jadi pakaian favoritnya. Jeans jadi pilihannya untuk membalut kaki besarnya, lalu dia memakai jaket tipis dan sepatu puma hadiah dari Jihoon. Ia menyisir rambutnya yang sedikit basah di ujung dan mengulaskan lip balm.

Saatnya ia keluar mencari Taehyung.

Tetapi ia pikir, ia perlu membeli sesuatu untuknya. Rasanya akan sangat menggelikan memang, karena ia hampir tidak pernah sekali pun dalam hidupnya memberikan sesuatu untuk Taehyung. Miris, padahal Taehyung bisa saja memberikan satu ginjal untuknya. Kakaknya memang sekeren itu dan Jungkook tak bisa bohong kalau dia betul-betul bodoh telah buta untuk itu.

Dia masuk ke dalam mall dan berkeliling, langsung menemukan toko mainan dan aksesoris Cahaya Pelangi. Sejujurnya, penampilan toko itu menyeramkan. Warna pink pastel dan heboh dengan kelap-kelip lampu, juga pakaian pegawai yang roknya hanya menutupi seperempat bagian paha mereka. Cuci mata, sih, tapi Jungkook agak tidak nyaman. Hanya ada satu alasan mengapa ia sudi masuk kesana dan ditempeli seorang pegawai yang genitnya bukan main.

Boneka Evee, tokoh kesayangan Taehyung.

"Lima ribu won,"

Jungkook senyum saja membayar. Berusaha tampak biasa ketika semua mata pegawai wanita memandangnya kagum. Juga sedikit tarikan ketika Jungkook mengambil kantung kertas berisi boneka Eveenya. Oh, bahkan kasir juga? Meski sedikit senang karena ternyata dia seganteng itu, tapi Jungkook sedikit risih jika terus tertahan di toko yang memutar musik kencang-kencang seperti ini. Dia harus cepat angkat kaki!

"Gila, sepertinya mereka haus laki-laki."

Lari adalah hal yang akhirnya dilakukan. Dan itu membuatnya lapar. Begitu ia lihat jam, pas sekali sudah masuk waktu makan siang. Mungkin dia akan makan Mc Donald's saja karena dia ingin sesuatu yang cepat. Dan mungkin sekalian Mc Flurry bluberi –oh, perutnya menggerung kesal. Dia harus cepat sekarang, dimana dia bisa menemukan Mc Donald's?

"Ya! Bangun, Tae –"

Kakinya malah berhenti ketika ia menemukan Jimin kepayahan menggendong tubuh kurus Taehyung dipunggungnya. Dia juga berhenti untuk memastikan apa yang dilihatnya. Tangan yang digunakan mengeratkan kaki Taehyung supaya tidak jatuh dari gendongannya pun sedikit gemetar, kemudian tanpa sadar mengerat lebih kuat. "Jungkook,"

"Hyung,"

Tangan kurus Taehyung terkulai lemas, pun kepalanya yang jatuh ke bahu Jimin. Membuat Jimin terlonjak dan menatapnya kaget, sama seperti Jungkook yang tak tahu kronologi. "Jimin hyung –"

"Kita harus cepat bawa dia pulang,"

"Ayo,"

.

.

Jungkook membawa dua teh hangat ke kamar Taehyung. Sengaja ia berikan satu untuk Taehyung jika ia sudah bangun, dan untuk Jimin yang berwajah kacau. Ia bisa melihat keringat dingin di sekujur tubuhnya yang semakin maskulin. Jungkook memerhatikan setiap detil raut wajah Jimin sejak tadi. Ia juga menawarkan diri untuk menyetir mobil dan mengawasi setiap gerakan Jimin pada Taehyung yang tak sadar diri. Pingsan, lemah di pangkuan Jimin.

Ia memilih berdiri sebentar di ambang pintu. Masih asik memandangi Jimin yang menautkan jemari mereka dan mengusap lembut rambut Taehyung. Omong-omong, Taehyung mewarnai rambutnya jadi keperakan, nyaris seperti Jihoon tetapi miliknya lebih gelap dan seksi di wajahnya. Lupakan saja pendapat terakhirnya. Jungkook memerhatikan bagaimana Jimin memperlakukan kakaknya luar biasa lembut. Ia sendiri yang adik pun, rasanya tak pernah sesayang itu memperlakukan Taehyung, tetapi Jimin bisa sebesar itu mencurahkan perhatiannya.

Saat ini ia merasa lega.

Pertama; karena ia tahu Taehyung bersama dengan orang yang tepat. Jimin betul-betul orang yang pantas bersanding dengannya, karena Jungkook yakin Jimin akan melindugi Kakaknya sampai mati. Ia yakin Jimin akan menjadi teman hidup untuk Taehyung.

Kedua; karena ia tak lagi merasa cemburu ketika orang lain mencium Taehyung. Ia justru merasa bahagia ketika Jimin menangkup wajah tirus Taehyung, mengecupnya di setiap sudut. Dahi, pelipis, kelopak mata kanan dan kiri, hidung, pipi, dan bibir dinginnya. Jungkook tidak merasa marah, apalagi gatal melihat itu. Tidak. Dia merasa nyaman melihat kakaknya dicium oleh orang yang tepat. Mungkin, jika ada orang yang brengsek memperlakukan begitu pada Taehyung dia akan beri hantam. Tetapi mungkin, karena ini adalah Jimin.

Perasaan bodohnya sudah hilang.

Taehyung benar, ini hanya perasaan sesaat yang tersesat.

"Ini kubuatkan teh, hyung." ia mendekat dan duduk di samping Jimin. Matanya melirik tangan Jimin yang menggenggam milik Taehyung begitu erat namun lembut. Ia meletakkan satu gelas teh untuk Taehyung di atas nakas, dan meminta Jimin untuk memegang teh miliknya. "Taehyung hyung kenapa, hyung? Kenapa dia pingsan?"

Jimin meletakkan gelas yang sudah kosong. "Dia mungkin belum sembuh dari demam. Tapi rengekannya membuatku luluh, jadi aku setuju mengajaknya jalan-jalan. Tapi kepalanya mungkin masih pusing dan akhirnya ia tumbang," napasnya dibuang kasar. "Seharusnya aku bisa tegas jika dia mulai merayu. Ini sering terjadi,"

"Apa kesehatannya memburuk?"

Interval jeda sebelum Jimin membuang napasnya kasar, lagi. "Ya. Dia belakangan ini mudah flu, dan ia semakin bandel untuk makan sayur. Sifatnya kembali seperti anak kecil."

"Aku akan memastikan dia makan sesuatu yang sehat,"

"Ah," barulah Jimin menatapnya. Tersenyum. "Selamat kembali, Jungkook."

Jungkook membalas senyum teduh Jimin. Ia jadi berpikir, mungkin inilah mengapa Taehyung jatuh cinta pada Jimin. Pria itu tenang, hangat, pemaaf, sabar. Jauh berbeda dengan sikap egoisnya yang menyebalkan. Semakin dipikir, ia semakin yakin Jimin betul-betul tepat untuk Kakaknya, ia ikut bahagia dengan itu. "Maaf aku baru muncul, hyung. Aku... mungkin pulang, tetapi masih ada rasa takut untukku datang melihat Tae hyung. Ponselku hilang jadi aku tak bisa melihatmu yang mungkin mengirimiku pesan. Aku tidak punya petunjuk tentangnya, dan itu membuatku takut."

"Setidaknya, Tuhan membuat skenario seperti ini."

Jemari Jimin mengusak rambut legam Jungkook. "Tuhan sudah menyiapkan ini. Tuhan pada akhirnya mempertemukanmu dengan Taehyung, meski dengan cara yang tidak baik. Parah sekali kau harus melihatnya dalam keadaan pingsan," ia terkekeh. "Dia akan menghabiskan sekitar 5 menit untuk pingsan, jadi biasakan itu. Sekarang dia sedang istirahat,"

Seperti memang Taehyung mudah pingsan, ya?

Mata bulat Jungkook mengerjap ketika Jimin bangkit. "Aku harus kembali,"

"Tapi Taehyung belum sadar,"

"Tidak apa," Jimin mengenakan jaketnya. "Aku harus pergi menjemput Ibuku di stasiun."

Jungkook menggigit bibirnya. "Akan sangat aneh jika dia bangun dan menemukanku. Sebelum ia pingsan, yang dilihatnya itu kau. Dan rasanya aneh kalau tiba-tiba mendapatiku di rumahnya. Dia akan mengira ini mimpi,"

"Dia mungkin akan langsung memelukmu, Jungkook."

Akhirnya Jungkook mengangguk pasrah. Tidak mungkin juga menahan Jimin lebih lama, dia juga punya kegiatan lain. Meski itu akhirnya ia harus siap untuk menatap mata Taehyung yang seindah mawar mekar. Ah, dia merindukan itu. Jungkook bangkit dan memandang Jimin yang tersenyum sendu menatap Taehyung yang masih terbaring.

"Baiklah, aku harus pergi."

"Hyung –"

Jimin berhenti dan berbalik, "Ya?"

"Kapan kalian akan menikah?"

Dan Jungkook tak tahu arti dari senyuman Jimin.

.

.

Taehyung membuka matanya. Berat, dan pandangannya sedikit berputar. Tetapi dia tahu kalau dia bukan berada di mall. Dia sadar kalau dia berbaring di ranjang. Langit-langit ini, ini kamarnya. Sejenak ia merasa sedih dan kecewa pada dirinya sendiri. Lagi-lagi menyusahkan Jimin dengan merengek. Padahal masih merasa tak enak badan, dan ia malah pingsan. Jimin pasti akan marah jika tahu ini.

Lengannya ia gunakan untuk mengusap mata. Kenapa rasanya dia ingin sekali menangis? Padahal ini bukan hal yang menyedihkan. Tetapi Jimin mungkin sudah kepayahan merawatnya, dan Taehyung merasa buruk karena itu. Dia bangun perlahan, beradaptasi dengan kepalanya yang pening dan hidung yang mampet. Matanya cepat menangkap boneka lucu yang sebesar anak anjing, terletak di sisi ranjangnya yang sempit.

Matanya membulat. Dipeluknya dia, "Evee-yah?"

"Apa Jimin yang beli ini?" ia menarik notes kecil di dahi Evee.

[Hai, hyung! Apa kabar? Sehat selalu, hm? Rambut perakmu indah, hyung. Dan, ini mungkin terlambat tetapi selamat ulang tahun! Sudah tiga puluh empat, eh? Hyung tuaaa! Ayo makan eksrim bersama!]

Jungkookie?

Kepalanya menoleh ke sisi pintu dan terpaku mendapati adiknya tertidur. Duduk bersila menyandar ke tembok, bersebelahan dengan pintu kamar. Seketika napasnya tercekat, matanya panas dan basah nyaris meledakkan tangis. Taehyung menggigit bibir, menahan isaknya keluar. Meski rasanya ia sudah ingin berteriak seperti monyet.

Adikku sudah pulang.

Ia turun dan mendekat. Bersimpuh dengan tubuh gemetaran. Rasanya ia tak menyangka bisa melihat Jungkook ada di hadapannya. Entah karena terlalu lama kehilangan sosoknya, atau karena kini adiknya tampak jauh berbeda. Lebih tinggi, tampan, dan besar. Adiknya tumbuh dengan baik, itu yang bisa Taehyung simpulkan. Keberadaannya disini sungguh terasa mustahil. Taehyung nyaris menampar pipinya sendiri karena tak percaya.

Wajah bulat itu ia tangkup. Hangat.

"Hyung," mata Jungkook terbuka. Indah. Jernih.

Saat itu Taehyung meneteskan air matanya. "Jungkook-ah,"

"Aku pulang, hyung."

Taehyung mengangguk. "Ya, Jungkook. Selamat datang,"


"Sudah merasa baikan, hyung?"

Taehyung mengangguk lemas. Membiarkan Jungkook menariknya ke sofa kecil dan mengelus bahu kurusnya. Hanya terasa tulang saja, seperti tidak ada lemaknya. Ia membantu Taehyung meminum air hangat perlahan. "Memangnya kemarin makan apa saja?"

"Tidak ingat juga,"

"Lalu kenapa bisa diare?"

Bibir tebalnya ia gigit sendiri, "Sudahlah. Mungkin aku makan jajan sembarangan yang tidak tahu higienitasnya. Atau aku sendiri yang tak terbiasa cuci tangan sebelum makan." Ia tersenyum meyakinkan dan menepuk perutnya. "Lagipula kan sudah keluar, jadi jangan dibahas, oke? Rasanya aneh kita membicarakan kotoran,"

"Kita tidak membahas itu, hyung."

"Ya ya, aku tahu." Taehyung meraih remot tv dan mengganti channel. "Hanya diare, astaga. Itu juga pernah kau alami saat TK! Aku sampai harus membekalimu celana dalam ke sekolah, oh, astaga tiba-tiba teringat begini! Itu lucu sekali, kan? Wajahmu saat pertama kali diare itu konyol, Jungkook. Seperti bayi yang pertama mengecap lemon, kecut!" lalu tertawa.

Tetapi Jungkook hanya diam memandanginya dari samping.

Ding!

Ia mengambil ponsel yang kebetulan ada di atas meja. Ada satu pesan masuk dari Jimin.

[Pastikan beri makanan padat untuk Taehyung. Dia mungkin akan diare karena suka makan sembarangan. Pencernaannya sedang tak baik akhir-akhir ini, jadi kupegang janjimu untuk memasakkan sesuatu yang sehat untuknya. Sepertinya dia alergi seafood dan tak bisa menelan sesuatu yang terlalu asam. Dan pastikan dia minum vitamin.]

"Dasar Jimin hyung," ia mendengus geli.

"Kenapa, Kook?"

Senyumnya terulas, ia menggeleng. "Tidak ada. Mau jalan-jalan?"

"Tentu!"


"Muntahkan semuanya, hyung."

Taehyung mengerang. Tangan lemahnya mendorong Jungkook pergi, atau setidaknya menjauh darinya. Matanya sudah basah, dan kepalanya pusing. Ia kesal dengan kehadiran Jungkook di kamar mandi. Ia tidak ingin ada siapa pun mendengar suaranya muntah. "Pergi keluar. Nanti kamu tertular ingin muntah, ini menjijikkan."

"Bicara apa, sih? Aku ingin bantu,"

"Tidak perlu," Taehyung menyalakan keran dan membasuh wajah serta mulutnya. Kemudian berkumur dengan listerine. Karena dia tahu mulutnya pasti bau asam. Ia sendiri tak suka dengan baunya jadi ia ingin membuatnya harum. "Aku sudah baikan."

Jungkook menatapnya heran. "Ada yang kau sembunyikan dariku?"

"Bicara aneh, ya?"

"Hyung, kau bisa bicara padaku."

"Ini juga aku sedang bicara padamu."

Napasnya ia buang perlahan. "Kau tahu bukan itu maksudku –"

"Ya ya, bawel." Ia mengusak rambut Jungkook dan keluar. "Aku akan pergi dengan Jimin. Ada sesuatu yang ingin kau beli? Biar sekalian titip saja padaku."

Dia terlihat aneh.


"Hyung, matamu..."

Taehyung mengerjap ketika Jungkook mendekat dan menyetuh bagian matanya. Wajah mereka terlalu dekat, dan napas hangatnya membuat Taehyung gagal fokus. Berapa lama ia merindukannya? Dari jarak setipis ini, ia bisa merekam wajah Jungkook lebih detil. Kulitnya mulus, bersih, matanya bulat dan jernih seperti gundu, hidungnya bangir, bibirnya tipis dan lembap, aromanya segar buah-buahan. Sepertinya stroberi, walau kadang ia mencium wangi jeruk atau sesekali melon dan mint. "Kantung matamu hitam, hyung."

"Begitukah?"

"Ya. Apa kau insomnia?"

Dia tertawa, "Bodoh, ya? Ini namanya faktor U! Tahu? Faktor umur, Kookie! Pria tua sepertiku memang sudah tidak masanya lagi berwajah ganteng. Keriput, kulit kendor, mata yang sayu; ya seperti ini lah! Katanya lulusan luar negeri tapi tidak tahu yang begini?"

"Tua apanya? Hyung baru umur tiga lima,"

"Kau tidak tahu ya, itu penghinaan halus, loh."

Jungkook sulit percaya padanya. Entah kenapa, ini terasa aneh. Salah. Dan ia tahu Taehyung menyembunyikan sesuatu darinya. Tetapi ia juga tak bisa menanyakannya lebih jauh. Sekuat apa pun usahanya meminta, Taehyung akan diam dan berbelok. Ini adalah satu-satunya hal yang tak bisa ia berikan sekali pun Jungkook berakting seperti bayi lucu.

Kenapa kau tak memberitahu aku semuanya?


Jungkook tidak mengerti kenapa pula ia harus mengajak Taehyung dan Jimin makan bersama di luar. Jika biasanya dia akan mengajak kakaknya saja, makan berdua dan menghabiskan waktu. Saat ini dia malah harus rela jadi obat nyamuk. Betul juga orang berkata, jangan sekali pun pergi dengan orang pacaran. Ya, baru kali ini dia merasakan. Biasanya Jihoon dan Adora langsung pergi kalau ada Jungkook, memangnya dia kotoran apa?

"Ck! Singkirkan hijau-hijau itu!"

"Ini hanya brokoli, Taehyung,"

Bibir tebal Taehyung merengut, "Tetap nggak!"

"Cepat ah." Jimin menusuk brokoli dengan garpunya dan menyodorkannya ke depan mulut Taehyung, hanya butuh waktu lima detik untuk kemudian masuk dan dikunyah pemuda itu. Jimin tersenyum miring karena sebandel apa pun Taehyung, pria itu akan luluh jika diperlakukan manis, walau sebetulnya hanya hal yang sederhana. Menyuapinya makan saja Taehyung bisa langsung menurut seperti anak kecil. Meski sedikit menggerutu. Tak apa, gerutuannya saja manis. Jadi Jimin tidak bisa tidak tersenyum untuk itu, "Sengaja ya, biar aku menyuapimu?"

"Gak, tuh? Aku bisa makan sendiri!"

Jungkook menelan ludahnya pahit.

Hah.. susah deh berada di tengah orang kasmaran.

"Diam saja, Kook?"

"Iya, ngomong dong! Kan kamu yang ajak kita senang-senang," jemari kurus Taehyung mengelus kepala Jungkook sayang. Membuatnya menoleh dan menatap mata Taehyung yang bulat dan bening cukup lama, lalu tersenyum menggeleng. Tiba-tiba merasa senang karena diperhatikan. Agak berlebihan memang, tetapi Jungkook suka kalau Taehyung memperlakukannya sebaik ini. Meski hanya mengusap rambutnya. "Kalau sedang makan kan tidak boleh bicara. Nanti keselek, hyung ini lupa? Kan hyung yang ajari aku,"

Mata Taehyung mengerjap, "Benar! Aish, Jimin sih!"

"Loh kenapa aku?"

"Ya pokoknya salahmu lah!"

"Salah apa?"

"Tidak tahu!"

Baru sebentar, pasangan ini mengabaikan Jungkook lagi.

Dia kuat, kok. Sabar.

"Uhm, aku mau pipis dulu ya." Taehyung nyengir.

"Aku antar, deh."

Jungkook mengetuk dahi Jimin dengan sendok. "Apaan antar-antar segala! Tidak usah, Jimin hyung disini saja. Nanti malah kasih yang tidak-tidak untuk Tae hyung. Diam saja disitu."

"Pikiran kotormu ketauan tuh," Taehyung tertawa.

.

.

Pipis hanya alasan yang terdengar masuk akal. Taehyung merasa pusing sekali, dan ia tidak bisa lebih lama berpura-pura di depan Jungkook dan Jimin. Setiap tertawa agak kencang, kepalanya berdenyut. Sepertinya ia memang harus lebih banyak istirahat daripada bermain. Ia meraba pipi dan leher bagian depan; hangat. Napas dihembuskan lambat. Kemudian ia menyalakan keran wastafel dan membasuh wajahnya yang terasa begitu panas. Panas. Sepertinya demamnya lebih lama pulih dibanding sebelum-sebelumnya.

"Sial," kepalanya berdenyut. Pening, berputar-putar.

Ada gerutuan di dalam dirinya sendiri. Kenapa dia begitu lemah untuk ukuran laki-laki? Ini hanya sakit demam biasa, tetapi kenapa dia bisa jadi begini payah? Dia kepayahan merasakan pusing di kepalanya, dan ia merasa konyol untuk itu.

Dia butuh napas. Satu atau dua menit.

"Apa kau merasa tak enak badan?"

Taehyung menoleh, bingung. "Ya?"

"Aku punya minyak angin," pria itu merogoh kantung jaketnya. Mengeluarkan botol kecil yang dia bilang adalah minyak angin. "Pakai saja. Kelihatannya kau pusing, kadang saat kita sakit memang tak perlu obat karena akan memperberat kerja ginjal. Kalau aku biasanya hanya dibawa tidur setelah mengoleskan minyak, aromanya menenangkan. Sakit itu karena pikiran, orang bilang."

Taehyung meraihnya agak sungkan. Mengoleskannya di tengkuk, pergelangan tangan, sudut dahi, dan agak lama untuknya menghirup aromaterapi dan kayu putih yang menenangkan meski agak sedikit menyengat. Tetapi dia merasa lebih baik karena itu. "Terima kasih,"

"Tak masalah."

Besok-besok ia akan tambahkan minyak angin ke daftar belanja.

.

.

"Kalian terlihat serius sekali,"

Ia segera duduk di samping Jungkook. Matanya melirik Jungkook dan Jimin bergantian, entah kenapa rasanya begitu tegang. Seperti mereka baru saja bertengkar lewat tatapan mata. Atau mungkin mereka usai berbincang sesuatu yang serius, Taehyung tak tahu. Tapi nafsu makannya jadi terganggu, karena aura menegangkan begini membuatnya agak tak nyaman.

"Hyung, kenapa kamu bau minyak?"

Taehyung menoleh, "Hah? Yang benar?"

"Iya, Tae. Aku tak tahu kau suka pakai minyak," Jimin mendekat dan mengendus aroma yang menguar dari tubuh Taehyung. Dahinya mengerut bingung. Dia benar-benar tidak tahu kalau Taehyung biasa memakai minyak angin. Dan sejak mereka bertemu pagi ini, aromanya tidak seperti sekarang. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di kamar mandi, tetapi ia tak mungkin bertanya macam-macam saat ini, jadi dia hanya diam. Berpikir.

"Aku tidak merasa, tuh?"

Jungkook mengerutkan dahi, "Tercium jelas, hyung."

"Kalian pasti tadi bertengkar saat aku pergi dan sedang mencairkan suasana," Taehyung mengendikkan bahu dan meraih sendoknya. Fokus ke makanan di hadapannya dan menyendoknya, menyuap besar dan mengunyah lambat. "Aku tidak mencium apa-apa sejak tadi. Kalau kalian bertengkar terus, jangan ajak aku pergi oke? Aku ingin senang-senang bertiga."

Lalu mereka terdiam. Jimin memandang Taehyung, tahu dia berbohong.

Sedangkan Taehyung merasa kosong. Makanannya terasa hambar.


Gugup menyelimuti dirinya sejak pagi. Malah sejak dia hendak tidur pun, pikirannya tetap terbangun hingga Jungkook sulit memejamkan mata dan bermimpi. Dia betul-betul gugup atas apa yang dia ucapkan semalam, padahal itu keinginannya sendiri tetapi ia malah bingung. Terlalu takut dan gembira, juga cemas dan gelisah.

"Kenapa harus gugup, sih," Taehyung tertawa.

"Ini baru kedua kalinya... setelah sekian lama –"

Taehyung menangkup wajah adiknya. "Hei. Ini Mama, Jungkook-ah. Wanita yang paling baik di dunia, paling cantik, seperti malaikat. Tahu, kan, kalau malaikat tidak akan marah? Maka begitulah Mama. Dia tidak akan marah walau kau tak pernah sekali pun datang berkunjung. Tetapi tentu dia akan senang jika kamu datang," ia tersenyum mengusak rambut Jungkook. "Mama pasti akan menjerit begitu tahu kamu tumbuh sangat baik. Tinggi, gagah, dan tampan. Pintar, pula."

Jemari Jungkook meremat tangkai bunga lily di genggamannya. Bibirnya ia gigit pelan, masih ada rasa ragu dan gugup itu di dalam hatinya. Dia baru sekali datang menemui Mama, terakhir saat ia berumur delapan tahun. Setelah itu, dia sudah jarang sekali berkunjung. Tahu-tahu dia sudah dua puluh tujuh dan baru menampakkan diri. Kalau Mama betul-betul hidup, Jungkook mungkin akan dapat baku hantam karena bertindak kurang ajar.

Dia bahkan tak tahu kenapa ia ingin hari ini.

"Ayolah, cukup datang dengan senyumanmu Mama sudah senang." Senyumnya teduh. Menggandeng satu tangan Jungkook yang bebas dan membawanya masuk. Genggaman hangatnya meluluhkan Jungkook, hingga ia perlahan merasa lebih baik. Entah karena Taehyung memang mampu menularkan ketenangan itu atau kulitnya sehalus itu untuk disentuh.

Jungkook bernapas gugup. "Halo, Mama."

Taehyung berdiri agak jauh di belakang. Memberi Jungkook ruang. "Sudah lama sekali, ya. Sekitar dua puluh tahun aku tak melihatmu, Ma. Aku anak yang bandel, ternyata. Terakhir saat aku kemari aku merengek minta cepat pulang karena tak tahan. Sekarang, setelah aku dua puluh tujuh aku ingin datang mengunjungimu," ia meletakkan bunga di sana. Agak kesulitan karena ruangnya agak lebih sempit. Maklum, dia tidak ingat kalau Mamanya dikremasi. Pikirannya ia akan datang ke pemakaman. "Enak ya jadi Mama. Sudah setua ini masih saja cantik. Lihat wajah hyung, dia bahkan sudah tidak ada ganteng-gantengnya,"

Kelakar itu membuat Taehyung mendengus geli.

"Maaf untuk datang terlambat," Jungkook tersenyum lirih. "Aku ingin melihatmu, Ma. Entah kenapa semalam aku berpikir begitu. Mungkin karena sudah terlalu lama, dan aku kangen. Aku bahkan masih kangen Tae hyung. Aku pergi begitu jauh dan lama, sampai pria tua itu menunggu seperti hachiko. Dan sekarang aku kembali, untuk memperbaiki apa yang telah aku rusak."

Taehyung memandang Jungkook lama. Bingung.

"Aku mewarisi darah pendosa dari Papa," bibirnya gemetar. "Aku betul-betul brengsek di masa lalu. Pergi meninggalkan masalah untuk Tae hyung, seperti seorang pengecut. Aku membuatnya terluka sendirian. Aku meninggalkan banyak kenangan pahit untuknya. Dan aku baru menyesalinya akhir-akhir ini, itu konyol. Dan mereka bilang, aku harus kembali. Untuk memperbaikinya sebelum terlambat,"

Jungkook tersenyum, "Ya. Aku datang untuk Tae hyung."

"Hyung," panggilnya. Wajahnya dihadapkan ke Taehyung, menatapnya separuh melas separuh bahagia. "Mungkin ini tak setimpal dengan apa yang kau alami karena aku, tetapi aku akan berusaha menebus apa yang kulakukan di masa lalu. Meski ini terlalu klise, tetapi tetap saja aku harus mengatakan ini." ia meraih lengan kurus kakakanya. "Maafkan aku."

"Jungkook-ah..."

"Maaf atas tingkahku yang brengsek. Maaf karena aku melukaimu begitu banyak. Maaf karena aku meninggalkanmu terlalu lama. Maaf karena aku baru menyadari kesalahanku. Maaf karena aku baru kembali. Maaf telah menjadi adik yang buruk,"

Senyum Taehyung hangat. Matanya sedikit basah karena permintaan maaf yang sederhana. Dia memang tidak minta apa pun. Bahkan tak seujung jari tentang minta maaf. Dia tahu Jungkook adalah orang yang baik, meski hanya nakal sedikit. Dia memahami Jungkook, jadi ia tak mengharapkan maaf darinya. Meski tak diucapkan, ia tahu adiknya menyesal. Itu sebenarnya tak perlu tetapi Taehyung terharu. Ia menghargai itu. "Kamu tidak seburuk itu, Jungkook. Hyung tahu kamu adalah anak baik, tidak perlu meminta maaf begitu."

"Nyatanya aku seburuk itu, hyung."

"Ssssh," jemari Taehyung mengusap pipi Jungkook. Basah dan memerah. "Baiklah, jangan menangis dong. Sudah besar, loh. Tanpa kau ucapkan pun hyung akan selalu maafkan. Jungkookie adik hyung yang paling baik, oke? Jangan pernah merasa buruk, kamu hanya bandel sedikit. Tidak sekali pun melukai hyung, jadi jangan menangis..." ia mengusap rambut Jungkook, "Nanti saat kamu menikah barulah menangis."

Jungkook malah semakin kencang menangis. Menarik Taehyung ke dalam pelukan.

"Aduh, bayi besarku." Taehyung tertawa, menahan tangis.

.

.

Memendam masalah memang jadi hal yang mendarah daging untuk Taehyung. Semua orang yang mengenalnya dengan baik pasti tahu. Dan Jungkook mengerti kalau kakaknya memang orang yang seperti itu. Terlalu tertutup dengan beban di pikirannya, seolah tak membiarkan orang lain untuk peduli padanya. Seakan-akan ia bisa mengatasinya sendirian. Padahal dia tidak melakukan apa pun selain menangisi hidup pahitnya.

Dan Jungkook tak bisa bermain peran.

"Hyung,"

Taehyung membalas dengan gumaman. Jungkook datang padanya dengan raut wajah yang keras tak terbaca. Seperti ketika ia menahan buang air besar. Wajahnya konyol tetapi karena malam begitu dingin oleh gemerisik hujan sejak sore tadi, Taehyung merasa Jungkook ingin membicarakan sesuatu yang serius. "Jangan lupa minum obat,"

"Obat apa, Kook?"

"Obatmu."

Ludahnya terasa pahit mendadak. "Aku baik-baik saja."

"Tidak, hyung. Berhenti," Jungkook meletakkan botol kecil berisi pil-pil di atas meja. Wajahnya betul-betul keras tanpa eskpresi. Sedangkan Taehyung sudah muak dan memalingkan wajah. Terlalu menyebalkan. Dia tidak suka berada di posisi terpojok dan tertangkap basah seperti ini, rasanya seperti ketahuan mencopet. Taehyung tak tahu harus membalas apa selain menatap remeh pada pil-pil itu dan tersenyum kecil, "Itu vitamin. Begitu saja tidak tahu?"

"Berhenti berpura-pura, hyung."

"Apanya yang pura-pura?"

"Jimin hyung sudah katakan padaku,"

Matanya basah. Putih di tepian. Dia tahu itu air mata. Taehyung betul-betul merasa kesal saat ini. Baru saja ia memaafkan Jungkook yang menangis, berkata Jungkook itu anak baik. Dan sekarang dia merasa menyesal telah memberi kesempatan kedua untuknya. Anak itu terlalu mengesalkan untuk merasa bingung atas sesuatu. Taehyung mengepalkan tangannya, keringat dingin, sembari menelan ludahnya yang betul-betul tak sedap. Antara kecut dan pahit.

"Kau sakit, hyung." suaranya bergetar, "Dan aku tak pernah tahu."

"Hyung baik-baik saja, Jungkook."

"Untuk sekarang; ya." matanya bergerak gelisah. Memancarkan ketakutan. "Tapi kita; kau dan aku tak pernah tahu waktu itu datang. Kita tak bisa menerka apakah cepat atau lambat, sampai tahu-tahu kau akan kepayahan karena ini. Pada tahap dimana kau tidak bisa hidup seperti orang normal lainnya. Dimana kamu sudah merasa bersyukur masih diberi napas, tidak menginginkan jalan-jalan keluar negeri seperti apa yang kamu harapkan. Dimana kamu mungkin tidak bisa melihat wajahku lagi. Dimana kamu sudah lupa padaku,"

Taehyung meraih lengan Jungkook. "Hei, mana mungkin akan begitu –"

"Itu bisa saja terjadi!"

Taehyung hanya bisa diam dan menghela. Tak punya pembelaan.

"Diantara milyaran manusia," Jungkook sudah gemetaran. "Kenapa harus kau, hyung?"

"Jungkook-ah,"

"Apa itu karenaku?"

Tidak ada jawaban pasti. Taehyung juga tak tahu apa yang salah dengan dirinya. Dia tidak mau tahu apa pun, lebih tepatnya. Ketika suatu siang ia datang dengan rasa bingung dan pulang dengan ketakutan luar biasa. Ribuan pesan dan telpon dari Jimin diabaikan. Pintu rumahnya dikunci. Ia tak pergi kemana-mana. Mengurung seperti anjing ingin beranak. Meski pada kenyataannya, Taehyung juga tak melakukan apa-apa. Diam seperti batu, tetapi dia bernapas dan buang air. Sesekali memasukkan air karena tenggorokkannya kering. Tapi ia tak kelaparan, atau karena pikirannya terlalu rumit untuk memikirkan makanan.

Ia juga tak bisa menerima ini. Seperti kutukan.

"Aku bahkan memberimu penyakit, hyung."

"Ssssh, tidak, Jungkook-ah."

"Tidak bagaimana?!" Jungkook menepis lengan kakaknya. Matanya memerah dan basah, wajahnya kacau seperti isi kepalanya. Wajah menyedihkan Taehyung membuatnya sakit. Dan lebih sakit lagi ketika ia menyembunyikannya begitu payah. Jungkook benci ketika kakaknya mulai bertingkah bodoh. Dia tidak butuh dihibur dengan kalimat 'aku baik-baik saja' dan semacamnya. Dia tidak butuh wajah yang terus berbohong itu. "Kau menderita karena aku, dan seperti itu tidak cukup untukku, kau sakit! Sekarang kau sakit karena aku, betul-betul sakit! Kau bahkan menggantungkan hidupmu dengan obat-obat itu! Jangan bohongi aku, itu obat, hyung!"

Menyakitkan pula melihat Jungkook sedih seperti ini.

"Kamu bukan sakit karena lemah, tetapi lemah karena penyakit itu sendiri! Bagaimana aku bisa tidak marah mengetahui ini begitu lambat? Apa aku tidak bisa kau percaya untuk berbagi? Ini adalah hal yang kutinggalkan untukmu, tetapi kamu diam seperti aku memberi kenangan manis. Rasanya sepeti aku sudah membunuh orang, hyung." Jungkook tak peduli wajahnya yang sudah berlumuran air mata. Biar saja dikatai konyol. "Apa menyenangkan bagimu menyimpan segalanya sendirian? Apa menyenangkan ketika aku tak tahu apa yang terjadi padamu? Bagimu itu lucu? Hyung? Ini sudah setahun lebih kita kembali membangun hubungan baik, dan aku harus mendengar kamu sakit dan itu karena aku... bisa kamu bayangkan jika hyung diposisiku?"

Taehyung diam, membatu. Hanya maaf yang keluar.

"Membayangkanmu pergi membuatku takut, hyung."

"Aku tidak akan mati, Jungkook."

"Kamu positif HIV lalu apa yang kau harapkan?!"

Sekujur tubuh Taehyung tegang. Seperti darahnya bahkan sempat berhenti mengalir sejenak karena teriakan Jungkook barusan. Entah karena suaranya yang terlalu menggelegar dan perih, atau karena fakta memuakkan yang diucapkannya. Taehyung tak bisa memilih. Tetapi tahu ia betul-betul benci merasa terpojok seperti ini. Ada sudut hatinya yang marah dikatai begitu, meski sudut lain mencicit membenarkan fakta payah itu.

Apa salahnya berharap terus hidup meski kau punya penyakit parah sekali pun?

Taehyung bangkit dan meraih jaket. Menutup pintu kencang. Keluar menembus malam.


Taehyung tidak pintar. Tidak melanjutkan sekolah SMA. Makanya dia tak pernah tahu, dia benar-benar lemah dalam pendidikan. Entah karena memang tidak sekolah dengan benar atau dia sudah kepayahan sejak awal. Tetapi ia tetap merasa kesal jika mendengar orang bicara benar, rasanya menyebalkan jika mereka bisa mengatakan suatu hal yang sesuai fakta. Sedangkan dirinya bahkan tak bisa mengontrol hendak bicara apa. Hal yang ada dibenak dan ucapannya akan jauh berbeda.

Seperti, dia bilang dia baik-baik saja. Nyatanya ia sekarat.

Dan ketika ia bilang tak akan mati. Nyatanya kematian itu dekat padanya.

Ia benci ketika Jimin selalu berkata benar tentangnya. Semua yang dikatakan, amarah, gerutuan, nasihat, candaan, bahkan gombalan pun tak pernah ia berbohong tentang itu. Dan ketika Jimin berada disisinya untuk mengurusi kepayahannya, Taehyung tak pernah suka. Bukan karena ia tak ingin Jimin ada di sana. Tetapi karena ia tak bisa melihat wajah sedih dibalik ketampanannya. Pria itu terlalu baik untuknya, dan Taehyung tahu ia tak mampu membalas secuil pun ketulusan hati Park Jimin yang telah ia beri. Ini membuatnya keberatan untuk menahan Jimin terus disisinya.

"Menikahlah, Jimin."

"Kamu mulai ngawur," Jimin berujar kelewat tenang. Tetap telaten menyuapi Taehyung yang duduk selonjor bersandar dinding. Namun Taehyung betul-betul bicara serius, dan Jimin selalu menanggapinya sebagai candaan. "Makan saja yang banyak,"

Taehyung menjauhkan bubur dari mulutnya. "Jimin,"

"Apa kamu mau buah?"

"Jimin, astaga," ia meraih lengan Jimin yang jauh lebih berisi. "Aku sudah kenyang. Sekarang, tolong dengar aku bicara. Berhenti menganggapku bercanda atas ucapanku. Kamu tidak suka dianggap bercanda jadi tolong lakukan itu padaku juga," ia menangkup wajah Jimin yang gemuk. Pipinya hangat dan merah muda. Berbeda dengan miliknya yang pucat dan tirus. "Aku tidak mau melihatmu disini lebih dari dua puluh jam. Aku tidak mau melihatmu seliweran di rumahku, di kamarku, di dapurku, di pikiranku. Berhenti berkeliaran di tempat yang bisa kulihat. Aku tidak ingin melihat wajah bahkan seujung helai rambutmu dimana pun. Jadi pergi yang jauh, pergi jauh-jauh dan cari kehidupan yang lebih menjanjikan."

Ekspresi Jimin keras. Muak.

Jemari Jimin meraih milik Taehyung. "Untuk apa aku pergi jika kehidupanku memang disini. Ini adalah tempatku berpijak. Tempat aku kembali. Tempat aku melabuhkan hatiku. Tempat aku bisa mondar-mandir seperti semut. Tempat aku bisa bahagia. Kamu adalah rumahku, lalu apa ada alasan lain bagiku untuk pergi? Kehidupan yang lebih menjanjikan itu yang seperti apa, Taehyung? Aku hanya tahu bahwa inilah duniaku, disinilah aku seharusnya berada."

"Kau tidak paham, Jimin."

"Jika memang kau ingin, kau yang harus jadi pengantinku!"

Pukulan Jimin dapatkan di wajah. "Kau sudah gila?! Aku akan mati!"

"Apa bedanya? Aku juga akan mati!"

"Kau bodoh, Jimin."

"Kau juga bodoh. Kita memang sudah jodoh."

Taehyung menangis. Berdebat dengan Jimin memang melelahkan, seperti tanpa akhir. Pria itu akan jadi sangat cerewet mengenai banyak hal. Mulutnya seperti diberi oli untuk tetap licin. Tak habis kosakata untuk melawan bicara. Dan Taehyung capek meladeninya.

Ia hanya tidak ingin Jimin selalu mendampinginya. Hingga akhirnya dia mati dan meninggalkan rasa sakit untuknya. Sedikit banyak ia tahu kalau Jimin memang keras kepala, dan pria itu akan bersikukuh tentang apa pun yang sudah ia yakini. Dan itu yang membuat Taehyung merasakan berat di sekujur tubuhnya yang ringkih. Dia tidak ingin Jimin bertahan disisinya jika nantinya ia juga akan merasa sakit dan repot. Jimin sudah terlalu tua untuk membujang, dan dia mapan. Dia berkharisma, tampan, luar biasa baik hati. Rasanya agak menjijikkan jika ia memilih orang pesakitan seperti Taehyung, ini selalu singgah di benaknya setiap malam.

Jika sebelumnya ia suka, maka kini ia benci ketika Jimin menciumnya.

"Jimin –!" ia terengah.

Walau sejujurnya, Taehyung masih menyukai ciuman dalamnya.

"Apa?"

"Dasar bodoh! Kau bisa –"

"Ciuman tidak menularkan HIV!" bentaknya sebal. Matanya gelap dan tajam, dan tangannya yang panas membingkai wajah tirus Taehyung begitu kuat. Seperti berkata, dia takut. Juga benci dengan apa yang ia dengar. Kemudian menciumnya lagi. Lebih basah dan dalam. Berusaha kebal dengan cubitan dan pukulan dari Taehyung. Sudah lama ia mati rasa, jadi ketika pria itu menyakitinya dengan cara begitu remeh, Jimin tak akan bergerak.

Tingkah Taehyung padanya lebih menyakitkan.

"Aku tidak akan pergi dari rumahku, Taehyung."

"Dasar keras kepala," tangisnya pecah. "Kau bisa nikahi seribu wanita cantik, bodoh."

Kemudian mereka menangis. Bersama Jungkook yang berdiri di ambang pintu.


"Masuklah, Kook."

Setelah lama berdebat dengan pikirannya sendiri, ia menyerah. Melangkah masuk ke kamar Taehyung yang hangat. Aromanya masih sama manis, sebab Jimin selalu membuatnya begitu. Untuk menciptakan suasana menyenangkan. Jungkook tersenyum lirih. Matanya berat dan basah, rasa-rasanya selalu begitu seperti stok airmatanya tak akan habis.

Tidak bisa ia pungkiri bahwa kakinya gemetaran. Jungkook merasa luar biasa takut. Melihat tubuh kakaknya yang seperti boneka membuatnya takut. Tidak ada lagi Taehyung yang manis dan jenjang. Tidak ada pipi merah muda yang menggembung lucu. Tidak ada wajah ceria yang berbunga-bunga. Tidak ada mata jernih yang bersinar. Semuanya lenyap, dimakan waktu. Dan Jungkook selalu berharap ia bisa menukar penampakan itu untuk dirinya sendiri. Asalkan jangan Taehyung. Tetapi ini sudah jalan cerita Tuhan untuk Taehyung, dan Jungkook bukan seorang Rasul yang dapat meminta kepada-Nya semudah itu.

"Mimpi buruk?" suaranya tipis.

"Kurasa,"

Jungkook naik ke ranjang Taehyung yang empuk. Masuk ke dalam selimut yang sama dengannya, menatap wajah kakaknya yang jauh lebih mengerikan dari apa yang pernah ia ingat. Jungkook tidak jijik, tetapi selalu berhasil merasa emosional. Tangannya naik ke kepala Taehyung, mengusapnya lembut. Memainkan rambutnya yang sudah agak kusut. Menghirup aroma kakaknya yang sesegar melon, wangi kesukaan Taehyung dan Jimin. Ia memandangi wajah Taehyung yang dipulaskan senyum teduh. Mata Taehyung menyipit, sepertinya berat dan mengantuk.

"Aku ingin tidur denganmu, hyung."

Padahal dia sudah berumur tiga puluh lima. Tetapi masih ingin tidur dalam dekapan kakaknya. Dia tidak bermimpi buruk atau apa pun. Pikirannya terlalu mengerikan hingga ia tak bisa tidur. Dan ia pikir, memeluk Taehyung bisa jadi hal yang membuatnya lebih baik. Meski ia tahu ia tak berhak mengharapkan banyak. "Tubuhku sudah tidak hangat, Kookie."

"Bagiku, hyung selalu hangat."

"Tapi aku sudah betul-betul kurus,"

Ia melesakkan dirinya memeluk Taehyung. "Kurus atau gemuk, pelukanmu adalah yang terbaik. Hyung akan selalu jadi rumah yang nyaman dan hangat untukku. Meski tubuhmu tersisa tulang belulang, aku akan selalu memelukmu. Pun dengan Jimin hyung," hidungnya gatal dan matanya sudah basah. "Tidak ada yang semenenangkan ini dibanding mendekapmu, hyung. Setelah sekian lama, aku akhirnya memelukmu lagi. Dan percayalah, kau harum dan hangat. Rasanya aku bisa memelukmu setiap waktu," ia mengusapkan wajahnya ke dada Taehyung yang kurus.

Ada debaran jantung yang berirama. Persis dengan miliknya.

"Aku juga senang bisa memelukmu," tangannya mengelus rambut Jungkook.

"Hyung,"

"Hmmm?"

Jungkook menggigit bibir, "Maaf. Karena aku –"

"Tidak begitu, Jungkook-ah."

"Hyung,"

"Hmmm?"

"Bertahanlah lebih lama," Jungkook memohon seperti orang sekarat. "Setiap saat aku dihantui rasa takut akan kehilanganmu. Padahal harusnya aku memerhatikan diriku sendiri, tapi tak bisa. Pikiranku tersita sepenuhnya tentangmu. Hanya ada Taehyung hyung di kepalaku sampai aku buang air pun memikirkanmu," ia meremas jemarinya. Gelisah. "Aku hanya berpikir, ini sangat tidak adil. Waktu berjalan terlalu cepat, dan aku tak bisa mengaturnya semauku. Kenapa tubuh kita diciptakan begini berbeda? Harusnya itu aku yang terkapar menyedihkan dan menunggu ajal. Rasanya ternyata lebih sakit melihatmu berjuang sendirian, sedangkan aku tak tahu apa yang bisa kuperbuat untuk membuatmu bertahan,"

Taehyung masih memainkan rambut Jungkook yang halus.

Suaranya parau. "Kita punya diagnosa yang sama. Tetapi kenapa hyung harus menderita lebih dari pada aku? Kenapa hyung harus merasakan kepahitan lebih dariku? Kenapa hyung harus ikut merasakan sakitnya? Harusnya cukup aku, cukup aku yang menanggung dosa dan karma sendirian. Bukannya melibatkanmu seperti ini," tangisnya jatuh dan ia terisak. "Mungkin ini egois tapi... bisakah hyung kabulkan permintaanku? Satu saja,"

"Apa itu?"

"Matilah bersamaku," Jungkook meremat punggung Taehyung tanpa sadar. "Hiduplah lebih lama. Kau harus baik-baik saja dan hidup sampai aku juga mati, hyung. Sialnya aku mungkin akan merasakan ini lebih lambat, maka dari itu bertahanlah lebih lama. Tahan sebentar lagi, sampai aku menemani rasa sakitmu. Tunggu aku sampai menderita sepertimu. Tunggu hingga hyung tidak perlu kesepian menahan siksanya. Tunggu aku. Dan untuk itu, hiduplah lebih lama... untukku, juga untuk Jimin hyung,"

Napas Taehyung dirasa berat. "Jungkook-ah,"

"Jika kau harus pergi, bawalah aku turut serta."

"Hei, dik,"

"Aku tidak mau," aroma Taehyung membuat airmatanya terjun. "Jika harus melihatmu pergi, aku tidak sekuat itu. Tidak setelah semua yang kuberikan untukmu; kesakitan, penderitaan, kenangan pahit. Aku tidak mau melihatmu pergi dengan mataku. Kita harus pergi sama-sama. Bukankah kita masih ada agenda untuk pergi makan eskrim bersama?"

Taehyung terkekeh ringan, "Pergilah dengan Jimin."

"Aku ingin pergi denganmu, hyung."

"Tapi aku tidak bisa," ada kecewa di nadanya. "Aku sudah tak bisa bepergian."

Suhu panas di tubuh Taehyung begitu terasa di indera Jungkook. Tangisnya belum reda, setiap Taehyung berkata atau tertawa, ia semakin menangis. Tanpa sadar menggenggam kakaknya terlalu erat, seolah ia betul-betul tak bisa melepasnya pergi. Ketakutan untuk menjadi lengah, jika sewaktu-waktu ia bisa pergi tanpa diminta. Dan Jungkook tak akan pernah siap menghadapi itu. Meski ia tahu, dirinya juga tak bisa mengenggam Taehyung sesuka hati.

Tetapi hanya ini yang bisa Jungkook lakukan.

Mendekapnya, merekam seluruh jejak Taehyung untuknya.

"Hyung,"

"Ya, Jungkook-ah." Suaranya nyaris menghilang, telalu kecil.

"Terima kasih untuk segalanya," ia menghirup aroma Taehyung lebih dalam. "Kau mengajariku tentang kehidupan, kamu juga yang memberiku kehidupan itu. Kamu yang membuatku dapat berpijak dan berjalan, menghadapi dunia. Kamu yang membuatku hidup, juga menghargai kehidupan. Kamu berperan terlalu banyak untukku," ia menjauh dan mengelus wajah tirus Taehyung yang pucat. "Sebagai keluarga yang utuh. Sebagai Papa, Mama, saudara, teman –kamu memberiku segalanya. Dan aku terlalu payah untuk terlambat menghargainya. Di waktu yang segenting ini, aku baru sadar betapa kamu sangat berharga untuk bisa diambil pergi oleh siapa pun. Kamu orangtua dan saudaraku, kamu keluargaku, satu-satunya. Kamu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia, dan aku adalah orang bodoh yang pernah melukaimu segini buruk."

Senyum Taehyung sangat lemah. Tetapi ia bahagia.

"Aku juga bersyukur, Jungkook-ah."

"Kamu adalah anugerah Tuhan untukku, hyung."

Jungkook memeluk Taehyung lagi. Lebih erat dan hangat, benar-benar takut kehilangannya. Melihat ekspresi teduh kakaknya membuat dadanya betul-betul sakit. Tak kuasa lagi membendung emosi yang berkecamuk di dalam kepalanya. Juga perasaannya yang campur aduk. Merasa lega dapat mengatakan hal yang mengganjal di ujung tenggorokannya. Ungkapan tulus yang selalu ia tahan-tahan, pernyataan sederhana yang menyentuh hati. Jungkook lega dapat mengutarakannya meski harus berperang dengan tangisnya sendiri.

Dan ia masih sempat mengingat-ingat kenangannya bersama Taehyung. Yang manis dan yang pahit. Ketika pertama Taehyung mengajarkannya bicara 'hyung', ketika ia mengajarinya cara menggosok gigi, membaca doa sebelum tidur, mencuci tangan sebelum makan, mengucap salam ketika bertemu seseorang, membaca dan menulis. Mengenalkannya pada bunga, buah-buahan, dan sayuran hijau. Memperlihatkan indahnya langit senja. Mengajaknya terbang dibahu sempit yang kokoh menopang tubuh kecilnya, merasakan basah yang mendebarkan ketika bersatu dengan hujan setelah musim panas. Merasakan kelembutan di kala demam dan flu.

"Hyungku sayang," napasnya tersengal.

Juga bagaimana ia menjadi brengsek untuknya. Mencaci. Tak mengakui. Memperoloknya. Tidak peduli padanya. Melukainya dengan banyak cara. Melecehkannya. Bagaimana dia pernah melihatnya kepayahan dengan tubuh telanjang, terengah-engah dan menjerit karenanya. Bagaimana dia pernah merasa senang melihatnya memohon dibawahnya. Tentang suara manisnya yang terdengar erotis di benak kotornya. Dan tangis menyedihkannya ketika ia pergi.

"Mamaku," ia nyaris menjerit. "Aku sayang padamu,"

Seperti orang bilang, kasih Ibu sepanjang masa.

Tak dapat terbayarkan dengan gemerlap duniawi. Pun dengan nominal uang.

Ketulusannya merenggut hati. Terlalu lembut. Tanpa pamrih, tak tergantikan.

"Maafkan aku,"

Wangi Taehyung masih disana. Meninggalkan jejak membekas di hati.

Tetapi tidak dengan debaran jantung dan napas yang berat itu.


Angin laut berhembus cukup kencang. Ada aroma laut yang bercampur-campur; amis dan manis. Pasir yang lembut memberikan kehangatan untuk kakinya yang telanjang. Rambutnya beterbangan tertiup angin. Hamparan air yang sebiru langit bertaburan gemerlap bintang-bintang. Keindahan yang akhirnya ia temukan. Terik mentari yang bersahabat, juga bising lautan yang merdu.

Ah, Busan.

Betapa Jungkook merindukan kota ini. Lautnya yang indah dan aromanya yang khas. Tidak dapat dijelaskan dengan ribuan kata, yang jelas terlalu indah dan menyenangkan. Jungkook tak melepaskan senyumnya sejak tadi menunggu matahari terbit hingga melihatnya berdiri gagah tepat di tengah-tengah langit. Hanya memandang lautan luas yang hening, tanpa melakukan banyak hal. Kecuali berjalan telanjang kaki dan membasahinya dengan riak air yang pasang surut.

Satu pesan masuk di ponselnya. Dari Jimin.

[Pulanglah. Makan siang sudah siap, jangan membakar kulitmu di pantai. Pastikan untuk membersihkan kakimu dulu, dan jangan mengeluarkan bau amis laut. Dan oh, tolong mampir ke toko kue dan beli cheesecake dengan topping stroberi.]

"Kue kesukaannya," gumamnya.

.

.

Pintu kamarnya diketuk pelan. Jungkook melangkah lambat setengah malas. Dia paling tak suka diganggu saat main game, sebetulnya. Tetapi karena ia tadi sempat melihat sekarang sudah pukul setengah dua belas malam, ia bangkit. Karena mungkin yang mengetuk pintu adalah Jimin. Dan ia selalu mengunci kamarnya. Tidak boleh ada yang masuk. "Ya, hyung?"

"Ayo, sebentar lagi sudah waktunya."

"Baiklah." Jungkook kembali sejenak untuk mengambil kotak kecil di atas nakas. Kemudian pergi dan mengunci kamarnya, mengikuti langkah halus Jimin yang jalan di depannya. Membinanya ke atap rumah. Tak ada perbincangan diantara mereka. Tahu kalau harus diam, sebab yang lain sudah tertidur di kamar masing-masing.

Mereka sampai. Jungkook mengamati bagaimana Jimin telah mendekorasi rooftop rumah mereka begini cantik. Empat puluh lilin yang disusun melingkar, taburan kelopak mawar, dan sekuntum bunga edelweis. Juga cheesecake dengan topping stoberi di tengah mereka. Jungkook mengikuti Jimin yang masuk ke dalam lingkaran lilin yang menyinari malam. Mungkin akan terlihat seperti ritual memanggil setan. Tetapi Jimin bilang, ini hal romantis. Jadi Jungkook pasrah menyerahkan semua hal padanya. Walau sedikit banyak Jungkook juga tersentuh. Pemandangan ini betul-betul indah.

Tepat berhadapan dengan bulan yang utuh dan gemerlap bintang.

"Bagaimana kita harus menghabiskan waktu?" Jimin bertanya.

"Kita mengobrol saja," Jungkook menggenggam erat kotaknya. "Padahal ini malam yang dingin dan berangin, tetapi lilin masih saja menyala. Menurutmu kenapa, hyung?"

"Tuhan berkehendak."

Jungkook tersenyum setuju. "Terima kasih, hyung."

"Untuk apa?"

"Membiarkan aku hidup denganmu." Balasnya dengan tulus. "Aku tahu kau disini untukku, supaya aku tidak gila. Dan aku sungguh bersyukur mengenalmu di hidupku, yang begitu berarti untuk keluargaku. Kamu juga bagian dari keluarga yang kusayang. Kamu betul-betul baik, hyung. Sungguh seperti malaikat. Pemaaf dan penyayang," ia terkekeh. "Mungkin itu yang Taehyung hyung suka darimu,"

Jimin ikut tertawa. "Taehyung menyukai semua hal didiriku,"

"Benar," ia mengangguk antusias. "Dia betul-betul jatuh cinta. Aku tak pernah melihatnya punya perasaan sebegini spesial untuk orang lain. Seolah dia tak bisa melihat siapa pun kecuali Jimin hyung. Dan itu sebuah hal yang murni, aku tak tahu kakakku ternyata bisa jadi romantis. Mencintai satu orang di hidupnya, itu hal yang betul-betul romantis. Bukan begitu, hyung?"

"Aku bersyukur karena itu. Karena aku juga sama sepertinya,"

Tawa mereka mengudara. "Kalian hebat. Seperti ditakdirkan untuk bersama selamanya. Diciptakan saling mencintai tanpa akhir. Perasaan cinta itu bukan hal yang remeh untuk kalian, aku benar-benar iri untuk itu. Sampai sekarang, aku belum menemukan seseorang yang bisa aku cintai. Dan mungkin akan lebih baik seperti ini saja," Jungkook tersenyum hangat ketika Jimin mengelus rambutnya. "Ketika aku melihat mata kakak, dia terpesona. Baru sekali itu aku melihat tatapan memuja yang begitu tulus dan besar. Dan itu juga tampak dimatamu ketika melihat Taehyung hyung. Aku bisa merasakan hebatnya perasaan itu,"

"Suatu saat kau bisa menemukannya, Jungkook-ah."

"Aku tak tahu, hyung. Hatiku masih terisi penuh oleh Taehyung hyung. Dan belum ada yang bisa mengalahkan perasaan sayangku untuknya. Aku rasa cukup begini saja. Sama seperti dia, aku tak ingin meninggalkan rasa sakit untuk orang yang kucintai nanti,"

Jimin menatap Jungkook dari samping. "Aku juga berpikir begitu, pada awalnya. Tidak ada yang bisa menciptakan perasaan yang sama dengan bagaimana aku untuknya. Sampai kapan pun, perasaanku padanya akan selalu begini besar. Dan mungkin tak akan pernah berkurang, Taehyung akan selalu disini," ia mengetuk jantungnya. "Di setiap jantungku berdetak, di sela-sela napasku, juga di setiap detik aku memikirkannya. Tidak pernah berhenti, dan akan selalu seperti itu."

"Tapi kau sekarang punya istri," ejeknya.

"Sebab Taehyung meminta," matanya sendu. Ia teringat lagi. "Kau tahu sendiri aku lemah untuknya. Aku lemah jika itu tentangnya. Ketika dia memohon saat sekarat, agar aku bisa pergi pada seseorang yang lain. Meski sebetulnya aku kesakitan, seperti dia juga menderita; kami sama-sama sakit untuk saling melepas," bibirnya gemetar. "Dan dia begitu pasrah, percaya seutuhnya pada Jiyeon. Wanita yang betul-betul baik dan tulus. Yang pernah menukar kebahagiaannya untuk kami agar dapat bersama, meski pada akhirnya... Aku justru menikahinya,"

Jungkook menepuk bahu Jimin. "Taehyung hyung ingin kau bahagia juga,"

"Ya. Aku mengerti,"

Mereka diam dan larut dalam benak masing-masing. Jungkook dengan isi kepalanya, dan Jimin dengan gemuruh dadanya. Campur aduk dengan topik yang sama; Kim Taehyung. Memandang langit malam yang benderang, dengan harum bunga dan suara jangkrik yang sahut-menyahut. Malam yang indah dan sunyi, memberikan ketenangan batin untuk mereka.

"Omong-omong, kenapa Busan?" Jimin bertanya lagi.

"Ini rumah kami," Jungkook membalas. "Rumahmu juga, bukan? Dulu kita menghabiskan masa kecil di sini. Dan aku hanya ingin kembali, pulang ke rumahku dan Taehyung. Meski suasananya sudah berbeda, setidaknya aroma Taehyung masih di sini. Bersamaku. Dan Busan akan jadi rumahku yang terakhir, aku lelah bepergian, hyung. Sekarang aku ingin tinggal di tempat yang penuh dengan Taehyung hyung. Dan aku tahu Busan adalah tempat yang tepat agar aku tidak kehilangan kewarasanku jika tetap di sana, di rumah itu."

"Kenapa? Di sana juga beraroma Taehyung,"

Jungkook menggeleng, "Terlalu Taehyung. Dan aku bisa gila jika tenggelam di dalamnya. Aku ingin hidup dalam kedamaian sembari terus mengingatnya. Menciptakan kehidupan baru dengan memori kami. Bukan terlarut dalam kenangan pahitku disana. Aku bisa benar-benar gila jika bertahan di sana." Ia menghela napas, "Di sini sudah tepat. Dan terima kasih untuk menampungku, hyung. Sampai sebesar ini pun aku masih merepotkanmu."

"Tidak, kau juga keluargaku, Jungkook-ah. Kita sepersusuan, ingat?"

Mereka tertawa, "Benar. Susu dari Mama Park enak banget,"

"Itu pujian atau pelecehan, hmm?"

Jungkook tergelak ketika Jimin menjitak kepalanya.

"Hyung," ia memanggil setelah melihat ponselnya. "Sudah ganti hari."

Jimin tersenyum dan menyalakan lilin di atas cheesecake. "Selamat ulang tahun, Taehyung."

"Selamat ulang tahun, kak."

Jungkook membuka kotaknya. Mengeluarkan melodi indah. Kotak musik.

Mereka bernyanyi dengan suara parau. Jungkook sudah menahan airmatanya dengan kepayahan, hingga akhirnya jatuh juga ketika Jimin tak mampu membendungnya lagi. Mereka meledak karena tangis mereka sendiri. Kepayahan menyelesaikan lagu untuk Taehyung, sampai burung yang lewat saja mungkin bisa ikut menangis mendengar suara buruk mereka saat bernyanyi. "Bahagia selalu, Taehyung. Jangan pernah menangis lagi," Jimin berkata setelah meniup lilin.

"Kuharap hyung bisa belajar main harpa disana,"

"Aku bahagia disini. Jungkook juga bahagia," Jimin mengusap matanya yang berkedut dan basah. Sudah tidak tahu bagaimana mengendalikan emosinya. "Terima kasih untuk memberitahu kami agar meraih kebahagian sebelum kau pergi, Taehyung. Meski pada awalnya kupikir, kamu egois, kamu jahat, kamu bodoh... tetapi setelah aku mengalah, aku paham. Kamu ingin aku bahagia, kamu ingin aku tidak gila karena kehilanganmu. Meski tak bisa kupingkiri, aku hampir gila karena selalu melihatmu dimana-mana. Di makanku, di minumku, di pakaianku, di selimutku, di gelasku, di sendok dan sumpitku, di halusinasiku, di mimpiku." Ia kembali meledak dengan tangisnya. "Aku sudah menikah, Taehyung. Padahal aku sudah repot-repot memikirkan cara melamarmu dengan romantis. Aku memompa balon itu sendirian, aku menata kamarmu sendirian, aku mencabuti kelopak mawar itu sendirian, aku memikirkan kalimat-kalimat manis itu sendirian. Menghabiskan banyak malam untuk itu, agar kamu terkesan dan menangis karenanya."

Jungkook menggenggam tangan Jimin, memberi kekuatan untuk terus menyuarakan kepedihan di hatinya sampai habis. Dia tahu pria itu masih menyimpan banyak hal di sana. Tak mau repot-repot berteriak seperti monyet untuk mengatakan kesakitannya. Dan sekarang, ia akan membuat Jimin membunyikan suara hatinya yang merintih, sampai ke akarnya. Tanpa sisa.

Pipinya memerah karena tangis. "Kamu tak tahu bagaimana aku nyaris menjatuhkan diri dari gedung tingkat ketika kau menolak. Kupikir kamu menangis karena mau, tetapi kau menolakku tepat di sana. Tanpa alasan yang bisa kau jelaskan," ia menarik napas. "Dan kau itu memang tidak bisa menyembunyikan apa pun, Taehyung. Aku tahu, akhirnya aku tahu kenapa kau tidak ingin bersamaku. Karena kau takut akan menyakitiku. Karena kau sekarat,"

Jungkook ikut menangis. Genggamannya mengerat.

"Tidak pernah sekali pun aku merasa sesakit itu. Bukan karena kau menolak lamaranku, bukan karena kau sakit. Tetapi karena kau berpikir aku bisa sakit setelah kau pergi. Kau terlalu jauh untuk berpikir, dan kau terlalu payah untuk bertahan." Jimin meremas rambutnya sendiri. "Aku mau menemanimu yang sekarat. Aku mau hidup bersamamu. Aku ingin merawatmu. Aku ingin memanjakanmu selamanya. Asalkan itu bersamamu, aku tidak masalah, Taehyung. Tetapi kamu tidak berpikir itu ide yang bagus, kemudian menyuruhku pergi. Itu yang menyakitiku, lebih parah ketika kamu mendepakku pergi. Berpikir aku harus mengejar kebahagiaanku dengan orang lain, padahal kebahagiaan itu adalah denganmu, Taehyung."

Perih. Rasa seolah teriris itu masih membekas.

Dan Jimin selalu kepayahan mengatasinya.

"Tetapi kau benar. Aku harus hidup bahagia, meski bukan denganmu. Kami baik-baik saja, dan hidup dengan damai di Busan. Rumahmu saat kecil. Sekarang kami tinggal satu atap," ia membalas tatapan teduh Jungkook dengan senyuman. "Tahu tidak? Jiyeon menangis hebat setelah pemberkatan. Dia bahkan tidak mau dicium orang ganteng sepertiku, aneh memang dia. Tapi aku mengerti kenapa dia begitu, karena dia juga sayang padamu, Taehyung. Dan dia menghormati perasaan kita, sekarang aku mengerti kenapa kamu percayakan Jiyeon untukku. Dia gadis yang luar biasa, seperti malaikat. Meski kamu akan selalu jadi Dewi di hatiku,"

Jungkook terkekeh, "Tae hyung akan memukulmu jika dia disini."

"Aku tahu," Jimin mengusap wajahnya. Terkekeh. "Dia selalu sebal saat digombali. Tetapi dia akan jadi manis dengan wajah merona itu. Merah seperti stroberi. Apalagi saat rambutnya dicat merah, persis seperti apel merah. Lucu, manis, indah. Taehyung adalah hal terindah yang pernah kumiliki selama hidup,"

"Ya. Aku memahami itu,"

Mereka berpandangan dengan senyum. Genggaman tangan mereka erat, hangat, saling menguatkan. Kemudian memandang langit yang indah, bersama menikmati sapuan angin malam yang dingin. Menghabiskan waktu dengan bernapas dan mengingat Taehyung di benak mereka, memutar rekaman mereka tentangnya. Memejam mata, menikmati bagaimana otak mereka memainkannya seperti tengah menonton film. Dengan Taehyung sebagai pemeran utamanya.

Senyum dan tawa indahnya.

Ketulusan dan kepolosannya.

Tangis dan marahnya. Ucapannya. Perlakuan lembutnya.

Menjatuhkan tangis yang lambat. Memori yang membekas. Rekaman yang terasa nyata.

Meong!

"Hmm? Apa itu?" Jimin membuka mata dan menoleh.

Jungkook melepas genggaman tangannya. Berjengit kaget dengan kucing kecil yang tiba-tiba berlari dan duduk di pangkuannya. Tidak jelas berasal darimana. Juga bagaimana dia bisa ada di atap, tetapi dia pikir kucing itu punya banyak akal. Jadi bukan hal aneh menemukan kucing di tempat-tempat tak terduga. Tetapi ia agak bingung bagaimana kucing itu bisa dengan mudah nyaman dalam pangkuannya. Padahal biasanya kucing akan lari jika didekati.

"Dia lucu," Jimin mengelus bulunya. Dia me-ngeong manja.

Jungkook mengangguk. Ikut menggelitiki dagu kucing itu sampai terpejam dan menggerakkan telinganya seperti bergidik geli. Ia tertawa kecil dengan tingkah menggemaskan kucing itu. Bulunya halus dan cantik. Belang tiga; coklat, hitam, dan putih. Matanya bening seperti gundu, membuatnya jatuh hati. Meski tadi sempat kebingungan. Hatinya terenyuh oleh tingkah sederhana kucing yang hanya mengeong dan menggeliat lucu di pangkuannya. "Hyung,"

"Ya?"

"Aku mau pelihara dia,"

"Hmm?"

Senyum terpoles di wajahnya. "Aku ingin melindunginya. Memberinya kehidupan yang layak dan bahagia. Seperti Taehyung yang membesarkanku dengan baik, juga seperti Taehyung memberiku arti kehidupan. Aku ingin memberikan kehidupan untuk si kecil ini," matanya menghangat karena kaki lucu kucing itu menekan lengannya. "Jika Taehyung telah membuat hidupku berarti dan bahagia, maka aku juga harus bisa seperti dia. Meski aku gagal untuk membahagiakannya, aku bisa melakukannya untuk orang lain. Walaupun hanya untuk seekor kucing manis,"

"Kamu yakin?"

"Ya, hyung. Aku telah menemukan yang kucintai." Ia tersenyum lembut. "Dia hanya seekor kucing. Kedengarannya sederhana, tetapi bukankah cinta itu memang sederhana? Hal yang punya banyak arti dan sasaran. Cinta kepada Tuhan, alam, manusia, orangtua, teman, bahkan binatang sekali pun. Dan Taehyung juga sesederhana itu memberikanku cinta, dengan cara yang luar biasa. Maka dari itu aku ingin membalas cintanya untukku, meski itu harus kepada orang lain."

Ia menatap mata Jimin. "Sama sepertimu yang hidup bersama orang lain untuk meneruskan perasaanmu untuk Tae hyung. Aku juga ingin seperti itu. Aku ingin mencintai orang lain untuk melestarikan cinta kami sebagai saudara. Dan aku ingin dia selalu hidup di dalam hati dan kepalaku, meski dengan perantara... ya, kucing ini. Duh, aku juga sulit menjelaskannya."

"Aku mengerti."

Jungkook tersenyum. "Nyatanya, meski cinta itu sederhana, mengungkapkannya ke dalam kata itu benar-benar rumit, ya?" ia tertawa dan memainkan telinga kucingnya. "Perlu waktu bagiku untuk dapat mengungkapkan perasaanku padanya. Betapa aku sayang dia sebagai kakakku, keluargaku, harta di dalam hidupku. Tetapi sekarang, aku akan terus mengingat ketulusannya selama menghidupi kucing ini. Setulus dia menghidupi aku, sebesar dia menyayangiku."

Kucing itu me-ngeong lucu. Entah apa artinya.

"Mau dinamai siapa?"

"Tata,"

Jimin menatapnya lembut. Merasa bahagia dengan Jungkook yang menemukan sesuatu yang bisa ia cintai. Benar kata dia, cinta itu sederhana dan punya banyak sasaran. Tidak masalah jika itu tumbuhan atau bahkan binatang. Asal kita betul-betul mencintai mereka, setulus bagaimana Ibu kepada anaknya. Sebab tak ada sesuatu yang lebih murni dari itu.

Kasih sayang sepanjang masa yang tak ternilai.

..

Aku pernah bertanya kepada Tuhan, apakah hidup ini bisa jadi lebih adil untukku? Padahal aku sendiri tak tahu adil seperti apa yang benar itu. Aku hanya terbutakan oleh dunia, bagaimana orang selalu melihatku sebagai sampah tak berharga. Kemudian aku menjadi monster yang kejam, berubah jadi si brengsek yang bodoh. Melepas sebuah hal yang bernama ketulusan.

Kemudian aku bertanya lagi, kenapa Kau begini pada hidupku? Setelah aku akhirnya tersadar semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki. Seperti ketika aku harus memecahkan piring dan diminta membenahinya, itu hal yang mustahil untuk mengembalikannya menjadi piring lagi. Benda itu sudah hancur dan tak bisa kembali. Sama seperti dia, yang sudah terlalu rusak untuk aku pulihkan. Bahkan aku tak tahu bagaimana aku harus memperbaikinya lagi. Kecuali dengan selalu berada di sisinya sampai napas terakhirnya.

Untuk Kakaku, Kim Taehyung, tak bosan kukatakan maaf dan terima kasih.

Untuk Mama, terima kasih untuk mengirimkan Taehyung padaku.

Untuk Tuhan tempatku bertanya, maafkan pendosa ini.

Ini akan jadi doa yang terhina yang pernah Kau dengar. Tetapi bisakah Engkau memberiku kehidupan yang lebih lama lagi? Untuk memperbaiki kehidupanku sendiri, juga memberi kehidupan untuk makhluk-Mu yang lain. Agar aku bisa menebusnya, buat aku hidup lebih lama. Bersama Taehyung yang selalu ada di hatiku. Semua ini belum cukup bagiku untuk dapat membalas apa yang telah ia berikan selama hidup.

Tuhanku, jagalah Taehyung dan tempatkan dia bersama Dewi di sana.

Katakan padanya, aku akan datang, jika saatnya telah tiba.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tamat.


[edisi: sesi panjang lebar]

Noun; cuap-cuap

..

Pertama, selamat datang di ending!

Akhirnya, setelah sekian lama... cerita ini sampai pada ujungnya. Butuh kumpulan emosi dan fantasi di kepala saya untuk nyusun cerita yang pada akhirnya jadi amburadul, karena saya belum profesional untuk membuat fanfik. Seperti yang kalian tahu, banyak kesalahan dalam jalan cerita yang gak masuk logika. Dan karena mengedit bagian-bagian chapter di FFn itu cukup rumit dan merepotkan, saya gak mau mengubahnya. Biarlah jadi pelajaran saya ke depan. daaaan wow! Gak nyangka angkanya bagus, dua puluh! Dua puluh chapter untuk My Mama! Applause~

Endingnya kurang klimaks, ih!

Pasti banyak yang merasakan itu. Termasuk saya sendiri. Ada secuil perasaan itu untuk ending yang saya ciptakan. Padahal di awal pengerjaan, saya justru akan menamatkan (meletakkan ending) sampai di bagian Taehyung meninggal. Tapi setelah dipikir-pikir, rasanya gak ada gunanya kalau berakhir di adegan itu. Oke, Taehyung pergi, lalu? Makanya saya tambahkan kehidupan selanjutnya dari Jungkook yang sekarang hidup sama Jimin dan keluarga. Dan akhirnya, ia ingin berbuat kebaikan kepada yang lain, walau pun itu hanya kucing. Kenapa kucing? Saya cuma terus kepikiran Jimin si calico cat, wkwkwk.

Cerita kek sinetron dah. Kaga jelas.

Memang, tak semua penulis bisa menciptakan mahakarya indah. Dan itu tergantung perspektif masing-masing. Ada yang menganggap sesuatu itu biasa, ada yang memuja; terhadap benda yang sama. Jadi, sekali lagi saya tekankan, ini hanya cerita fanfiksi. Cerita buatan seorang penggemar tentang idolanya. Jangan dibawa serius, apalagi membenci. Cukup dalami karakter dan jalan ceritanya.

Aku mau ngasih kesempatan kecil-kecilan, nih!

Rencananya aku akan memberi kesempatan untuk kalian bertanya-tanya ke aku. Semacam Q&A, boleh tanya apa pun. Seputar fanfiksi ini, seputar ideku untuk My Mama, seputar pendapatku, hal-hal yang masih gak kalian pahami, bahkan tentang hal yang agak pribadi seperti media sosialku. Bisa kalian tanyakan bersama reviews. Akan aku buat chapter spesial isinya Q&A (itu pun kalau kalian memberikanku pertanyaan, dan lebih dari enam).

Sampai disini, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya untuk My Mama!

Rasanya terharu banget untuk bisa di tahap ini. membuat cerita chapter sebanyak ini, membuat banyak pembaca marah-marah dan nangis sebanyak ini. menjadikan saya kenal banyak orang, juga melihat banyak orang memberi atensi untuk My Mama. Saya senang kalian yang suka chat atau rekomendasikan ff saya ke teman-teman. Itu benar-benar membuat saya bahagia. Saya berterima kasih untuk semua yang kalian beri selama ini.

And lastly, the author of My Mama saying good bye.

Thanks for a lot of loves y'all gave to me for this fanfiction. You are the part of this story, to be this successfull, you all make this story be this good to spread.

Please give a lot of loves to all of my works too. And also for Bangtan, each members equally.

With love,

[ sugantea ]