Pairings

ChanBaek, HunHan, KaiSoo

Genre

AU, Lemon, Action, Romance

Rating

M

Length

Chaptered

Disclaimer

All cast in this story belong to themselves. Story and plot, all belong to author. Do not copy this story, plagiarism is strictly prohibited.

Warning

Mpreg, sexual content, mention of rape, lots of drug and alcohol, violence and abuse.

e)(o

Tik

Tik

Tik

Hujan mengguyur bumi layaknya ribuan serdadu perang. Rintiknya jatuh melesat, menusuk bagai cucuk yang mencocok sampai ke tulang. Tanah dibawah menjadi berlumpur, menyimprat mengenai kaki sampai betis Baekyun yang gemetaran. Bocah dengan iris cokelat seterang bulan itu mengerjap cepat, mengusap wajah dengan satu tangannya yang beku saat napasnya berubah menjadi tersendat, sementara jantungnya berdebar sangat keras memukul sampai ke ulu hatinya.

Wajahnya menoleh waspada ke kiri dan kanan. Dari celah tubuh Jongin dan Minseok yang berdiri memunggunginya, ia dapat melihat sekumpulan orang asing berpakaian serba hitam, dengan kain penutup wajah tebal menodongkan pistol tepat ke arah lingkaran setan yang terdiri dari Sehun sampai Chanyeol. Jelas untuk melindungi dirinya dari serangan.

"Kusarankan untuk menyerah. Mungkin dengan begitu akan kuampuni nyawa kalian," ucap Chanyeol. Matanya semakin memicing saat ia berbisik melanjutkan, "Tapi jangan terlalu banyak berharap..."

Suara gemuruh petir yang menyambar-nyambar tenggelam bersama ketegangan di sekitar. Tidak ada satupun dari mereka yang membuka mulut atau bahkan bergerak barang seincipun. Bahkan tidak saat angin besar bertiup kencang hingga menggoyangkan pepohonan. Jongin di sisi lain mengernyit, merasa tidak asing dengan gaya yang ditujukan musuh. Seakan ia begitu mengenal mereka.

"Sepertinya mereka lebih suka mati!" Sehun berteriak geram. Mulut Mark 23 di tangannya mulai bergerak, mencari sasaran yang tepat untuk dilenyapkan.

Jongin berdecak, "Apa yang bedebah-bedebah itu pikirkan, mereka bahkan terkepung." Ucapannya menjurus pada beberapa Phoenix yang berdiri siaga di lapisan terluar. Layaknya anjing penjaga, mereka siap mengoyak daging siapa pun yang berusaha mendekati tuannya.

Semua ini berawal dari tembakan yang dilesatkan musuh. Yang kemudian sukses membuat Chanyeol berteriak, dan berlari menuju Baekhyun. Itu adalah teriakan pertamanya, yang disuarakan dengan begitu takut sekaligus kacau. Ia merasa hampir mati saat melihat bocah itu berdiri ketakutan tanpa dirinya, sementara orang-orang mulai berlari menuju ke arahnya dengan senjata api di tangan mereka. Jika mereka berani menyentuh meski hanya sehelai rambutnya saja, maka Chanyeol bersumpah, ia akan menghabisi mereka semua dengan cara yang tidak akan pernah mereka bayangkan. Hingga neraka sekalipun enggan menerima mereka.

"C-Chanyeollie." Baekhyun mencengkram kaus Chanyeol erat saat salah satu dari kawanan musuh menancapkan tatapan ke arahnya, dan menggeser mulut pistol hingga membidik tepat di jantungnya.

Dengan segera tubuh besar Chanyeol berdiri kokoh menyembunyikan si mungil Byun di balik punggungnya. "Jangan pernah berani... bahkan sekedar berpikir kau bisa," ucap Chanyeol lamat-lamat. Suaranya yang tenang dan terkontrol diselimuti amarah. Pria itu bahkan tanpa sungkan mengarahkan moncong Glock miliknya ke arah si pelaku, dan mendesah mengejek saat sosok dalang dari balik penyerangan mampir ke kepalanya.

Tidak salah lagi. Seseorang yang dapat memasuki wilayahnya dengan sangat mudah, layaknya kawanan semut saat tengah memasuki sarangnya sendiri.

"Apa? Kenapa?" tanya Minseok penasaran. "Apa kita mengenal mereka?"

Perlahan suara gemuruh petir semakin menjauh hingga akhirnya menghilang, dan hanya menyisakan kilat yang gemerlap. Di tengah kesunyian mencekam itu Chanyeol justru mendengus geli. Pria itu mengusap kasar wajahnya bolak-balik sampai ke rambut hitam legamnya, dan menatap musuh dengan seringaian mengejek.

"Kupikir Ayahku telah menyetujui kesepakatan. Tidak kusangka, dia berani berkhianat dariku," ucapnya penuh humor.

"Persetan," gumam Jongin. "Hei! Bukan begitu caranya bertemu menantu," sentaknya kasar. Ia bahkan menunjuk-nunjuk geram musuh di depannya; merefleksikannya sebagai ayah Chanyeol.

Umpatan Jongin nyatanya disambut gumaman Sehun. "Sudah kuduga. Orang yang bisa berbuat seperti ini. Siapa lagi kalau bukan dia." Pria itu mengeratkan genggaman di pistolnya menggunakan satu tangan selagi tangan yang lain mencengkram lengan Luhan erat, menarik lelaki itu berada di antara lengannya.

Di sisi lain Minseok terlihat berdecak malas. Lelaki itu bahkan memutar bola mata, lalu menoleh menatap Baekhyun lewat ekor matanya. "Baekhyun, tolong jangan tersinggung dengan sikap Ayah mertuamu. Dia memang sedikit... gila."

Mengapa semua orang berani mengata-ngatai ayah Phoenix, pikir Luhan ngeri. Wajahnya mendongak, menatap sisi wajah Sehun. "Kenapa kalian begitu berani mengejek Ayah Phoenix?" bisiknya ngeri.

Sehun mendengus geli, membuat Luhan merasa semakin kebingungan.

"Phoenix yang mengajarkan kami agar memperlakukan Ayahnya seakan-akan kami tidak takut padanya. Karena yang harus kami takuti hanya dia. Dulu begitu berat, tapi sekarang sangat mudah untuk melakukannya. Setelah dia mendapatkan seluruh kekuasaan dari dunia bawah tanah, God Father bukan lagi seseorang yang tepat untuk dihormati. Dia hanya legenda," sahut Sehun nyeleneh.

"Lalu? Siapa mereka?" tanyanya lagi. Jelas ditujukan ke arah para pria bertopeng.

Sehun menatapnya sekilas. Meski begitu, Luhan dapat melihat jelas kesedihan di matanya. "Mereka mesin. Mesin yang dirancang untuk satu tujuan... membunuh. Pilihan yang mereka miliki hanya dua. Berhasil dan tetap hidup, atau gagal lalu mati," jelasnya. Ia lalu melanjutkan, "Dibandingkan kami yang masih memiliki jiwa, mereka justru sebaliknya. Layaknya telur, mereka hanya cangkang telur kosong yang menunggu untuk di isi."

"Bagaimana mereka memulai itu semua?" bisik Luhan lagi. "Itu mengerikan."

"Mereka bertarung. Membantai kawanannya sendiri. Akan tetapi semua itu belum cukup. Tahap terakhir untuk menyempurnakannya adalah dengan membantai keluargamu sendiri," jawab Sehun kaku. Keningnya mengkerut dalam, diam-diam kembali menggali luka.

DOR

Tanpa tedeng aling-aling, Chanyeol menembak salah seorang musuh, semata-mata untuk memulai pertempuran. "Habisi mereka semua!" perintahnya pasti.

"Wohoo!" Jongin berseru keras saat mereka berpencar seperti gerombolan semut yang sarangnya dihancurkan.

Sehun memegang Luhan erat, dan mulai membidik tepat pada sasaran. Namun, tanpa sadar pikirannya melayang jauh ke awang. Membuatnya lupa di mana tempatnya saat ini berpijak.

Ayahnya adalah seorang mesin.

Ayahnya telah membunuh ibunya tepat di malam ulang tahunnya. Tetapi bukan Sehun yang melihat hal mengerikan itu, justru Jonginlah, adik kembarnya yang melihat dengan mata kepalanya sendiri saat nyawa ibunya direnggut paksa oleh sang ayah tepat di dapur rumah mereka. Jongin melihat ibunya yang terbujur kaku telah bersimbah darah, sementara sang ayah berdiri di depan mayat ibunya sembari menodongkan sebuah pistol.

Seseorang yang mereka idolakan, ternyata tidak lebih dari mesin pembunuh.

Mereka dipindahkan ke panti asuhan kumuh yang dipenuhi pengganggu, sementara ayah mereka menghilang seolah tertelan bumi. Jongin mengalami trauma berat sehingga kesulitan untuk berbicara dan harus menjalani pengobatan mental sepanjang tahun, sementara Sehun tidak pernah menampilkan emosi atau pun bicara sejak pertama kali dipindahkan. Tiga tahun yang berat dan menyedihkan itu berlalu dengan begitu lambat hingga seseorang yang mereka kenal mengambil mereka dari panti asuhan kumuh tersebut.

Itu adalah paman mereka, Oh Seungwon.

Paman mereka membawa mereka ke tempat yang mereka pikir terlalu mengerikan untuk disebut dengan rumah.

Sehun tidak pernah mengharapkan sebuah keluarga baru setelah keluarganya sendiri hancur. Tetapi bocah itu juga tidak berkengininan untuk menjadi seperti ayahnya karena ia sangat menyayangi Jongin, adik kembarnya yang malang.

Itu adalah sebuah akademi. Tempat yang Sehun ketahui sebagai markas Phoenix. Ayahnya pun tidak pernah kembali ke markas dan menghilangkan jejaknya dari Phoenix. Seorang mesin yang gagal dalam menjalankan misinya seharusnya mati. Entah ia membunuh dirinya sendiri, atau bahkan dilenyapkan secara paksa.

Tetapi ayahnya yang pengecut tidak dapat membunuh anak-anaknya yang malang. Malam itu ia hanya berhasil membunuh istrinya, dan meninggalkan dua target lainnya hidup, sehingga ia akhirnya memilih melarikan diri dari kawanan.

Malam itu saat Sehun tengah tertidur lelap di asrama mereka yang dingin bersama kawanan Phoenix muda yang lain, adiknya tiba-tiba berteriak meminta tolong padanya seperti orang kesetanan. Ia terbangun dan berlari ke balkon hanya untuk menemukan ayahnya tengah mencekik leher Jongin dari belakang menggunakan satu lengannya sementara tangan yang lain menggenggam pistol, mengarahkannya tepat ke kepala Sehun yang berdiri dua meter di depannya.

"Lepaskan adikku!" pekik Sehun.

Malam itu bukan hanya Sehun yang menyaksikan aksi mengerikan ayahnya, tetapi juga Chanyeol yang ikut terbangun dan diam-diam berdiri di celah pintu.

"Bunuh aku, atau aku akan membunuh adikmu yang sangat kau sayangi ini," balas ayahnya. Matanya nampak berkaca-kaca, tapi Sehun tidak dapat tersentuh sebab bocah itu hanya dapat menangkap gambaran ibunya yang mati bersimbah darah di malam ulang tahunnya.

Sehun tidak mengerti apakah itu sebuah ancaman, atau ia memang benar-benar meminta dirinya untuk membunuhnya.

"Bunuh aku!" perintah ayahnya. Pria itu dengan segera melemparkan pistol tadi hingga jatuh ke lantai dan berputar-putar sebelum akhirnya menyentuh kaki Sehun.

"Ayah, jangan lakukan itu pada Sehun!" teriak Jongin. Ia menangis keras dan menggeliat dalam cengkraman ayahnya yang berangsur-angsur mengendur hingga hanya terasa seperti sebuah pelukan. Jongin sangat merindukan ayahnya, tapi orang yang dapat ia percaya sekarang hanya Sehun kakaknya.

Sehun menunduk, memungut pistol tersebut lalu mengarahkannya tepat ke dahi sang ayah. Matanya berkedip mengingat seluruh kenangan manis mereka bersama sang ayah. Saat ia digendong, disuapi, dikecup keningnya sebelum tidur. Saat mereka bermain bola di depan rumah mereka sementara ibu mereka memperhatikan dari beranda rumah. Saat ayahnya mengajarkan Sehun cara menembak. Ayahnya mengatakan bahwa ia harus menggenggam pistolnya dengan kuat, menodongkannya tepat ke arah target yang dituju, dan menarik pelatuknya dengan mantap tanpa ragu.

DOR!

Tepat mengenai jantung.

Ayahnya terjatuh dengan kepala membentur tembok sebelum akhirnya tertidur telentang di lantai kayu yang dingin. Ia tersenyum, menatap Sehun bangga. Air matanya mengalir saat ia menyentuh kepala Jongin dan mengusapnya seperti seorang ayah yang sesunggungnya. Begitu menyakiti Jongin.

"Ayah," isak Jongin.

"Akh! Kakakmu menembak di tempat yang tepat." Ayahnya meringis sakit dan menyentuh dada kirinya yang bersimbah darah, kemudian tertawa di tengah napasnya yang putus-putus.

"Ayah." Jongin menangis dengan keras.

"Kau tidak merepotkan kakakmu, kan?" tanya Ayahnya lembut.

"Mmm!" Jongin mengangguk keras berkali-kali.

"Anak pintar." Ayahnya tersenyum. Manik matanya lalu bergulir, memandang Sehun yang masih berdiri kaku di depannya, membuatnya mendengus geli.

"Jaga diri kalian. A-aku tahu kau kakak yang hebat... dan selalu dapat diandalkan. Maaf karena sudah membuat... kalian bersedih. Saat kita bertemu lagi suatu hari nanti..." Tiba-tiba ayahnya terbatuk keras hingga mengeluarkan banyak darah yang membuat Sehun hampir melangkah mendekat. Tetapi bocah itu mengeraskan hatinya dan mengepalkan tangan.

"Ayo bermain bola bersama lagi... Sehun, Jongin..." bisiknya terakhir kali.

Malam itu Jongin menangis meraung-raung di samping mayat ayahnya yang terbujur kaku, sementara Sehun berdiri di samping mereka tanpa sepatah katapun.

Tanpa Sehun sadari perbuatannya malam itu semakin memacu dendam Chanyeol untuk melakukan hal sama pada seseorang yang begitu dibencinya.

Sehun sekali lagi tidak pernah berpikir untuk menjadi seperti ayahnya, meski malam itu ia telah berhasil melenyapkan ayah kandungnya tanpa ragu.

"Bahkan jika tergetmu adalah keluargamu sendiri, apakah kau sanggup untuk melenyapkannya layaknya musuh?"

Tidak ada satupun dari mereka yang menjawab.

Sehun menggenggan tangan adik laki-lakinya dengan erat. Berpikir bahwa Jongin adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, maka tidak mungkin ia berani melenyapkan Jongin. Ia tidak akan melakukan hal seperti itu, lagi, meski itu adalah sebuah misi. Membunuh ayahnya adalah sebuah pengecualian.

"Tentu kau harus selalu menyanggupinya. Itu bagian dari kewajiban."

"Huh!" Sehun tercekat. Manik matanya bergulir, menatap punggung seorang pemuda bertubuh tinggi yang berdiri kokoh di barisan paling depan.

Park Chanyeol.

Sehun mengingatnya, karena ia adalah keturunan dari God Father: pemimpin mafia asia yang merajai dunia bawah tanah. Chanyeol adalah penerus kerajaan hitam ini. Seseorang yang akan mewarisi seluruh kekuasaan ayahnya kelak. Apakah Chanyeol benar-benar sanggup melenyapkan keluarganya. Bagaimana jika targetnya adalah ayahnya sendiri?

Saat Sehun mulai tenggelam pada pemikirannya, ia dikejutkan dengan suara Chanyeol yang membuatnya kembali menatap ke depan.

"Misi adalah misi. Tidak peduli siapa dia, atau dari mana dia berasal. Bahkan sekalipun dia adalah keluarga, kau harus tetap menghabisinya. Misi dibuat untuk dijalankan, untuk mengukur seberapa setianya dirimu. Sementara ikatan..." Chanyeol nampak sedikit ragu saat akan melanjutkan kalimatnya. "Ikatan hanya omong kosong yang akan membuatmu menjadi lemah. Lagi pula, manusia dilahirkan sendirian, dan memiliki jalan hidup yang ditentukan oleh dirinya sendiri. Bahkan saat mereka mati."

"Bagaimana bisa dia perpikir semengerikan itu," bisik Sehun gusar. Tanpa sadar ia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Jongin yang menoleh menatapnya bingung. Sekarang Sehun yakin, seperti itulah cara ayahnya berpikir dulu. Benar-benar licik.

Apa Chanyeol tidak pernah berpikir bahwa beberapa di antara manusia yang lahir, mereka tidak pernah terlahir sendiri. Lihat bagaimana Sehun dan Jongin memulai hidup mereka dari rahim yang sama.

"Sehun," panggil Jongin pelan.

"Ya, Jongin?"

"Apa kau juga akan mlenyapkanku seperti kau melenyapkan Ayah?" tanya Jongin pelan, bahkan hampir tidak terdengar.

"Apa yang kau katakan idiot. Jangan bicara sembarangan. Diamlah," balas Sehun kesal.

"Ujian kelulusannya sudah semakin dekat, tapi kemampuanku masih saja berada di bawah rata-rata. Jika aku tidak lulus nanti, kita akan dipisahkan. Kau akan pergi mengikuti pelatihan berikutnya, sementara aku.. aku.. entahlah. Mungkin mereka akan mengeksekusiku, dan menjadikanku umpan untuk me—"

"Kubilang diamlah!" Sehun berbisik keras.

Sehun tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi.

Tetapi masa pelatihan begitu cepat berakhir, dan Sehun menemukan adik laki-lakinya belum memiliki kemampuan yang dapat membuatnya siap untuk mengikuti ujian kelulusan besok. Jongin sangat buruk dalam hal menembak, dan tidak dapat berkelahi dengan baik bahkan hanya untuk posisi bertahan. Seluruh kekuatan adik laki-lakinya menghilang semenjak ia terkena trauma mental yang hampir menghabisi nyawanya tempo hari.

"Jongin, berusahalah!" ucap Sehun kesal. "Bukankah dulu kau sangat jago berkelahi, kenapa sekarang kau lemah?"

"Aku sudah berusaha. Aku memang payah. Sudahlah Sehun hyung!" Jongin mengusap luka berdarah di tepi bibirnya dan menangis seperti anak kecil.

"Bangun Jongin."

"Tidak mau. Aku menyerah. Kau seharusnya berlatih untuk dirimu sendiri Sehun hyung. Jangan hanya karena kau mendapat nilai sempurna, lalu kau bisa berleha-leha, pergilah bodoh!" teriak Jongin kasar. Remaja tiga belas tahun itu menekuk kakinya sampai menyentuh dada, lalu menangis keras.

"Bangun Jongin. Kau pikir berapa usiamu sampai kau berani menangis seperti laki-laki cengeng huh!"

"Bukan urusanmu!" isaknya. Jongin menghapus air matanya dan terisak lagi. "Aku ingin berada di tim yang sama denganmu Sehun. Aku tidak mau mati. Aku ingin bersamamu. Aku tidak bisa melakukan apa pun jika tidak bersamamu. Aku ini Alpha yang payah!" teriaknya.

"Kalau begitu bangunlah idiot!" ucap Sehun sambil diam-diam menghapus air matanya menggunakan kepalan tangannya yang gemetaran. "Bangun!"

"Aku bilang tidak mau sialan!" Jongin berteriak memaki Sehun yang sekarang menarik-narik kausnya brutal.

"Hei!"

Tiba-tiba suara berat seseorang menginterupsi pertengkaran dua saudara kembar tersebut.

Jongin menoleh ke kiri dan kanannya bingung namun tidak menemukan siapa pun. Tetapi Sehun tahu dari mana arah suara itu berasal. Wajahnya menengadah menatap dahan tertinggi pohon, di mana seorang pria dengan sepasang abu-abu terang menyala terlihat tengah berselonjor malas di atasnya.

"Park Chanyeol," desis Sehun. "Ba-Bagaimana bisa aku tidak merasakan keberadaannya? Dia tepat di atasku."

"Kalian benar-benar berisik ya. Aku sampai bangun dari tidurku karena suara menjengkelkan kalian. Terutama kau bocah cengeng!" cibir Chanyeol.

"Sehun hyung, ayo lari. Dia si anak itu kan?" bisik Jongin takut.

"Jangan berbicara di belakangku," desis Chanyeol tajam. Pandangan matanya berubah menjadi tajam. Mengejutkan Sehun dan Jongin yang dengan sigap membuat posisi siaga.

"Berdiri di belakangku Jongin," perintah Sehun cepat.

Chanyeol mendengus geli lalu turun dari atas pohon.

"Dia melompat seperti kera," bisik Jongin takjub.

"Diamlah bodoh!" hardik Sehun.

"Jadi.." mulai Chanyeol. Ia menjejalkan dua tangannya ke dalam saku jinsnya, dan menatap Jongin dengan seringaian mengejek. "Adikmu itu payah, ya?"

"Ya." Sehun mengangguk.

"Sehun!" Jongin mengerengek.

"Tapi itu bukan urusanmu," sambung Sehun dingin.

"Begitu," balas Chanyeol. Ia berdecak sembari menganggukkan kepalanya. "Padahal aku berniat membantumu, agar adikmu yang payah dan cengeng itu tidak menjadi tumbal. Karena kudengar, calon anggota yang tidak lulus, akan dikirim sebagai kurir khusus. Jauh dari wilayah Phoenix. Kurasa... kau dan aku adalah yang paling tahu bahwa adikmu sangat berpotensi untuk menjadi tumbal. Benar bukan?" terang Chanyeol dengan seringaian menyebalkan yang membuat Sehun bernafsu untuk meninjunya.

"Brengsek," desis Sehun.

"Kurir," ucap Jongin. "Sehun, bukankah tugas seorang kurir sangat berat. Ada banyak kurir yang mati sebelum mencapai wilayah. Bagaimana jika aku mati terbunuh sebelum barang itu sampai ke wilayah Phoenix," desisnya takut.

"Katakan, bagaimana caramu membantu kami?" tanya Sehun.

Chanyeol menyeringai setan, lalu berbalik begitu saja. "Entahlah. Hasratku untuk menolong kalian sudah padam."

"Park Chanyeol!" teriak Sehun murka.

"Kau." Chanyeol berbalik cepat. Raut wajahnya begitu mengerikan. Ada pancaran dendam di dalam bola matanya, tetapi gestur tubuhnya begitu tenang. "Beraninya menyebut namaku dengan lancang. Kau pikir siapa dirimu payah? Kau hanya anak menyedihkan yang Ibunya dibunuh oleh Ayahmu sendiri. Lalu kalian dibuang ke panti asuhan kumuh. Kalian berdua hanyalah target yang gagal dilenyapkan." Bola matanya menatap Sehun tajam. "Kau bahkan tidak tahu bahwa tujuan Phoenix membawamu ke tempat ini adalah untuk mendidikmu agar kau menjadi sama seperti Ayahmu."

Sehun tercekat.

"Adikmu telah menjadi target yang siap untuk dilenyapkan. Kami tidak membutuhkannya, dan ini hanya perkara waktu." Chanyeol kembali mendengus melihat Sehun dan Jongin yang terlihat kebingungan. "Kau bahkan tidak tahu tentang kenyataan menyedihkan itu. Beruntung, aku mau berbaik hati menyampaikannya," sambung Chanyeol.

Kenyataan itu begitu memukul Sehun. Ia tidak mengerti, mengapa orang-orang gila itu hanya menginginkannya. Mengapa adiknya juga akan dilenyapkan?

"Apalagi yang kau tahu? Apalagi yang kau ketahui tentang kami, cepat katakan!" pekik Sehun. Biar bagaimanapun dia hanya anak berumur tiga belas tahun.

Chanyeol berkedip, merasa bercermin saat melihat dinding pertahanan Sehun runtuh. Bocah itu akhirnya menangis.

"Ayahmu tidak pernah membunuh Ibumu."

"Apa?!" Sehun membelalakkan matanya, memandang Chanyeol tidak percaya.

"A-aku melihatnya... Ayah menggenggam sebuah pistol... dan... dan mengarahkannya ke arah Ibu yang tertidur di lantai," isak Jongin ngeri. "Ibu bersimbah darah. Ibu mati karena dia dibunuh." Bocah itu terisak keras.

"Ah." Chanyeol mengibas-ngibaskan tangannya tak acuh. "Dia hanya berakting. Itu hanya akal-akalan Ayahmu saja. Yang membunuh Ibumu, seharusnya kau tahu siapa dia," ucap Chanyeol bersemangat.

"Si-siapa?" tanya Jongin.

'Lupakan Ayahmu.'

'Huh?'

''Lupakan dia Sehun.'

"Paman," bisik Sehun tegang.

"Lihat, kau tidak perlu waktu banyak untuk mendapatkan namanya." Chanyeol menyeringai puas.

"Paman?" bisik Jongin. "Pa-Paman yang membunuh Ibu? Tidak mungkin!"

"Ibu mati di tangan Paman, Jongin. Itulah sebabnya... Itulah sebabnya Paman membawa kita ke tempat ini..." ucap Sehun kaku. Lebih seperti ia tengah berbicara pada dirinya sendiri.

"Sehun, Sehun a-aku sudah salah." Jongin mencengkram kaus Sehun kencang dan semakin terisak. "Jika bukan Ayah yang sudah membunuh Ibu... Itu artinya aku sudah..." Jongin bergumam ketakutan.

"Jongin..." panggil Sehun tenang.

"Seharusnya kita tidak membunuh Ayah!" Jongin mencengkram rambut di kepalanya dan menangis keras-keras, merasa hampir mati ketakutan.

Sehun memejamkan matanya sesaat sebelum kembali melihat ke arah Chanyeol. "Bagaimana bisa aku mempercayai kata-katamu? Bagaimana jika kau hanya sedang membual," ujar Sehun lemah. Ia merasa putus asa.

Biar bagaimana pun Sehun merasa jijik pada dirinya sendiri jika benar ayah yang selama ini begitu dibencinya ternyata tidak bersalah sama sekali.

Chanyeol mengangguk. "Benar, bagaimana bisa? Tentu kau bisa. Karena aku mendengar semuanya, dan aku melihat beberapa tragedi di antaranya. Aku menyaksikan setiap perintah yang diucapkan Phoenix pada Paman dan Ayahmu. Dan aku melihat bagaimana kau melenyapkan Ayahmu yang membuat Phoenix semakin memperhatikanmu."

"Lalu bagaimana Pamanku..."

"Target Pamanmu adalah melenyapkan keluarga Ayahmu," jelas Chanyeol. "Setelah Ibumu mati terbunuh, Ayah dan pamanmu menghilang. Paman kalian membawa lari kalian dari panti asuhan. Ini benar-benar rumit, karena sebelum terbunuh Ayahmu sempat membuat sebuah kesepakatan dengan Phoenix. Dia menumbalkan nyawanya dengan jaminan kalian berdua tetap hidup. Kematian Ayahmu, malam di mana kau membunuhnya, itu telah direncanakan."

"Kenapa dia melakukan itu?!" jerit Sehun.

"Agar Phoenix melindungi kalian dari Paman kalian," jawab Chanyeol.

"Lalu kenapa Pamanku masih berada di wilayah Phoenix? Seharusnya orang itu juga dilenyapkan. Bajingan itu sudah gagal melenyapkan kami!"

Chanyeol tertawa, menatap Sehun mencemooh. "Bodoh. Bukankah sudah kukatakan, Phoenix membawamu kemari untuk menjadikanmu seperti Ayahmu. Itu artinya, jika kau ingin Pamanmu mati, maka kau harus melenyapkannya dengan kedua tanganmu sendiri, sama seperti yang kau lakukan pada Ayahmu tempo hari." Bola mata Chanyeol berbinar terang, dan pupil matanya yang gelap dengan percikan serupa api itu menatap Sehun penuh provokasi. "Bunuhlah Pamanmu... maka aku akan memberikan sedikit kuasaku untuk menyelamatkan adikmu yang kau sayangi," desisnya menggiurkan.

Chanyeol begitu mengerikan. Ini sama halnya dengan Sehun yang harus menumbalkan nyawanya pada iblis. Tentu membunuh pamannya akan berbeda dengan ia yang membunuh ayahnya. Lagi pula, pamannya tidak akan menyerahkan nyawanya secara cuma-cuma. Terlebih lagi, ia hanya seorang anak kecil.

"Tunggu." Sehun kembali menatap Chanyeol dengan pupil mata melebar. "Jelas-jelas perintah ini diberikan oleh Phoenix, itu artinya..." Ia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Benar, semua ini skenario yang dibuat oleh Phoenix." Chanyeol menjilat bibir bawahnya sembari menggaruk pelipisnya menggunakan telunjuk. "Ayahmu adalah mesin pembunuh. Salah satu kebanggan. Tetapi dia selalu gagal dalam menyelesaikan misi utamanya."

"Misi utama?" tanya Sehun tidak mengerti.

"Misi untuk membantai keluarganya adalah tahap utama untuk menjadi seorang mesin." Chanyeol menyeringai, merasa terhibur dengan wajah tegang Sehun dan Jongin yang hampir mati berdiri. "Kesetiaannya diuji, tapi dia memilih menyerah. Seorang mesin seharusnya tidak memiliki jiwa, tapi dia menyimpannya diam-diam. Untuk itu Pamanmu bergerak membantunya. Dengan titah Phoenix, Pamanmu memiliki kuasa untuk melenyapkan kalian. Sayang, dia hanya berhasil membunuh Ibu kalian," ungkap Chanyeol enteng.

"BRENGSEEEEK!" teriak Sehun murka.

Sehun benci dengan wajah tenang Chanyeol. Semua ini tentu saja ada hubungannya dengan Chanyeol. Pria itu adalah anak dari dalang penyebab kehancuran keluarganya.

Tanpa buang waktu, Sehun berlari ke arah Chanyeol, bersiap untuk memukul dengan perhitungan yang tepat. Namun aneh, saat ia siap memukul, Chanyeol dengan begitu mudah menangkap lengannya, dan menarik kausnya hingga tubuhnya melayang-layang sebelum akhirnya terbanting jatuh membentur tanah.

"Sehun!" Jongin berteriak.

"Akh!" Sehun mengerang merasakan punggungnya yang kesakitan.

"Sehun hyung apa kau baik-baik saja?!"

"Akh!"

"Sudahlah Sehun hyung, jangan melakukannya lagi. Aku tidak ingin kau mati. Jangan melawannya." Jongin lagi-lagi menangis. Merasa tidak berguna.

"Tolong... selamatkan adikku," ucap Sehun sembari menoleh menatap Chanyeol yang nampak termangu. Meski ia menyimpan banyak dendam dan kebencian, namun Sehun tahu, hanya Chanyeol yang dapat menyelematkannya.

Chanyeol tercekat tetapi tidak mengatakan apa pun. Ia pergi, meninggalkan Sehun yang memukul-mukul tanah di bawahnya kesal. Ia benci dengan dirinya sendiri. Ia benci karena ia tidak bisa menyelematkan adiknya dengan kedua tangannya sendiri.

Malam itu Sehun merasa gelisah dalam tidurnya. Kata-kata Chanyeol terngiang-ngiang dalam pikirannya, dan wajah penuh kepastiannya seakan memberi setitik harapan bagi Sehun yang putus asa. Ia hanya harus membunuh pamannya, maka semua siksaan ini akan lenyap dari dirinya dan juga Jongin.

Setidaknya, dengan ini, rasa menyesalnya karena sudah membunuh ayah kandungnya akan sedikit terobati.

"Paman... aku menyayangi Ayahku, tolong temani dia."

DOR

"Sehun!"

Seseorang menarik kasar kerah jaket Sehun hingga tubuhnya dan tubuh orang tersebut bertabrakan. Sehun jelas merasa terkejut. Gerakan tidak terduga tersebut sukses membawanya kembali dari alam bawah sadarnya. Wajahnya mendongak, dan menelan ludah susah payah saat menemukan wajah murka Chanyeol.

Apa yang sudah terjadi?

"Apa kau tuli? Aku memanggilmu!" ucap Chanyeol geram.

Kepalanya berputar ke balik bahunya, dan menemukan Luhan masih berada dalam genggaman tangannya; ketakutan.

"Ma-maafkan aku..." ucap Sehun linglung. Ia menoleh, dan mengerutkan kening saat melihat kekacauan yang tengah terjadi di depannya. Pria itu bahkan dapat melihat Jongin yang baru saja mematahkan leher seseorang seakan ia tengah mematahkan sebuah pensil. Mereka bertarung tanpa dirinya, dan itu karena ia yang terlalu sibuk berkutat bersama masa lalunya. "Apa yang sebenarnya kulakukan?" desisnya.

"Kau kehilangan dirimu begitu banyak," ejek Chanyeol. "Kendalikan dirimu."

Mereka melangkah tergesa-gesa untuk dapat berbicara, meski suara tembakan dan lolongan kesakitan menggema hingga bersahut-sahutan bersama rintik hujan. Beruntung, sebab beberapa Phoenix terus setia mengikuti; membuat benteng pertahanan sementara.

"Aku hanya... mengingat semuanya," balas Sehun. Suaranya diselimuti penyesalan, membuat Luhan menatapnya cemas.

"Aku harap kau sudah selesai," kata Chanyeol. Tidak menahan-nahan tatapan jengahnya. "Aku muak melihat wajah lemah itu. Jika kau bersikeras untuk terus memasangnya, Sehun, maka aku akan melenyapkanmu tepat di depannya," lanjutnya sembari mengedikkan dagu tak acuh ke arah Luhan yang mengkeret.

"Maafkan aku." Sehun merasa menyesal.

"Aku tidak butuh permintaan maafmu," balas Chanyeol muak. Ia menarik lengan Baekhyun yang beku, membawanya hingga tubuh ringkih itu menabrak dada bidang Sehun tanpa sengaja—sukses membuat Baekhyun ketakutan dan dengan segera melompat menjauh. "Bawa dia pergi dari tempat ini," perintahnya.

Kendati hujan masih mengguyur tanah dan membuat suara mereka menjadi tenggelam, Baekhyun tetap saja samar-samar dapat mendengar perintah tidak masuk akal tersebut. Bocah itu berbalik cepat. Wajahnya mendongak menatap Chanyeol marah, membuat yang ditatap menunduk membalas tatapannya dingin.

"Aku tidak mau pergi ke mana pun!" teriak Baekhyun kesal. Ia mencengkram kaus di pinggang Chanyeol dengan tangannya yang keriput, dan menatap pria itu lewat tatapan penuh luka. Baekhyun hanya ingin bersamanya sampai akhir. "Kumohon..." Ia memohon dengan sungguh-sungguh.

"Bos, sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini!" Salah seorang anggota Phoenix berteriak ke arah mereka.

Chanyeol mengepalkan tangan kanannya sesaat dan menatap Baekhyun geram. "Aku tidak punya waktu untuk mendengar rengekanmu." Ia memegangi lengan kiri bocah itu, dan mendorongnya mundur. "Pergilah bersama Sehun dan kekasihnya, kau akan aman." Suaranya memerintah.

"Tapi aku tidak ingin pergi Chanyeollie!" teriaknya lagi. Ia memandang Chanyeol tajam, membuat pria itu semakin marah dan menarik lengannya kasar.

DOR

DOR

Tembakan melesat cepat, membuat Chanyeol dan Sehun mengumpat hampir bersamaan. Mereka melangkah terburu-buru, membawa Omega mereka di lengan masing-masing sembari menarik pistol dari balik punggung penuh waspada.

DOR

DOR

Salah seorang musuh melompat dari atas mobil, namun Sehun berhasil merespon cepat gerakan tersebut. Ia menembak orang itu tepat di betis, membuat ia jatuh membentur badan mobil, dan kemudian berakhir terkapar di tanah. Sekarang, tidak ada lagi penjagaan di sekeliling mereka, membuat mereka harus bekerja ekstra.

"Aku tidak ingin pergi!"

Baekhyun tidak berhenti berteriak meski ia tengah merasa ketakutan setengah mati dengan semua suara mengerikan itu.

"Aku ingin di sini. Aku ingin bersama Chanyeollie!"

Chanyeol menggertakkan giginya, geram dengan penolakan Baekhyun. Ia melepaskan lengan Baekhyun kasar, lalu mengangkat pinggang Omega itu hingga ia berada di gendongan lengan kirinya: percis seperti tawanan. Namun bocah nakal itu tidak melakukannya secara suka rela. Ini adalah sebuah paksaan, sehingga tidak heran jika Sehun dan Luhan melihatnya terus menjerit, dan menggeliat-geliat brutal seperti cacing kepanasan. Di sisi lain, Luhan tahu benar apa yang saat ini tengah Baekhyun rasakan; perasaan takut kehilangan, seperti apa yang selama ini Luhan rasakan terhadap Sehun, meski ia tahu pria itu akan selalu bersamanya.

"Kupikir, kau akan membiarkanku bertarung, bukan melarikan diri!"

"Di antara kita, hanya kau dan akulah yang dapat diandalkan dalam hal mengemudi!" jawab Chanyeol acuh tak acuh. Pria itu berbalik cepat lalu melesatkan tiga kali tembakan yang tepat mengenai musuh. Jadi, tidak ada waktu untuk bermain-main.

DOR

DOR

DOR

"Mereka semua berSIM A!" bantah Sehun. Ia membungkuk, membawa satu lengan di atas kepala sebelum berbalik dan ikut menembak sebanyak dua kali. Sayang, tembakan kedua meleset dan hanya mengenai kaca spion salah satu mobil.

"Aku memikirkan keselamatan Omegaku," balas Chanyeol terengah. Namun kata-kata yang seharusnya terdengar manis itu sama sekali tidak menghentikan rontaan Baekhyun. Bahkan ia memilih mengubah posisi bocah itu tanpa menurunkannya. Mata mereka bertemu pandang saat Chanyeol memeluk pinggangnya erat, membuat bocah itu mau tidak mau memeluk bahunya. Namun, bukannya berakhir akur, keadaan justru semakin ribut saat Chanyeol tahu-tahu saja memanggulnya layaknya karung beras.

"Aku membencinmu!" jerit Baekhyun mendarah daging. Ia memukul-mukul Chanyeol, dan berteriak marah namun tidak ada satupun yang mengacuhkannya.

"Kau seharusnya melibatkan Minseok. Wanita dengan wanita!" komentar Sehun.

"Minseok akan membuatnya semakin panik, sementara Kai memiliki pemikiran yang dangkal dalam bertindak. Aku tidak akan memilih satu di antara mereka. Tapi kau, kau tidak akan mengucapkan satu patah kata pun, sama seperti yang kau lakukan saat menyelamatkannya dulu!" sambungnya sembari memukul pantat sintal si nakal Byun yang tidak mau diam.

Sehun sebenarnya merasa tersanjung: Chanyeol jarang sekali memuji. Ia berdehem, dan menyebut nama yang lainnya, "Bagaimana dengan Zitao?"

"Dia akan menyusul!"

"Jadi mengapa tidak kau biarkan Zitao yang mengambil alih—"

Chanyeol meliriknya tajam. Sebuah kode bahwa Sehun harus menutup mulutnya. Zitao hanya seorang Beta. Ego Chanyeol yang keras—sebagai seorang Alpha—tidak mengijinkan Baekhyun berada dalam pengawasan penuh seseorang yang lebih hina dari dirinya. Zitao dari Huang memang sangat cocok untuk menjadi pengawal Baekhyun, namun hanya untuk melindunginya dari hal-hal yang mudah, bukan tugas riskan seperti sekarang.

DOR

DOR

Sehun berdecak dan memeluk Luhan lebih erat. Dilihatnya lelaki itu terus diam sedari tadi, sehingga Sehun berinisiatif mencium pipinya, lalu membisikkan sesuatu yang manis di daun telinganya—

"Malam ini kita akan tidur bertelanjang, dengan aku yang ada di dalammu. Jadi jangan khawatirkan apa pun."

—bagi si mesum Sehun, tentunya.

"Apa kau pikir ini waktu yang tepat untuk mengatakan hal bodoh semacam itu?!" Luhan hampir mencakar wajah sialan menyebalkan namun tampan itu.

Mereka berlari menuju mobil, dengan kaki-kaki mereka yang terbalut bot—yang sekarang kotor akibat lumpur. Keduanya tetap waspada, sebab serangan bisa datang dari mana saja. Meski sebagian musuh telah berhasil dilumpuhkan, namun mereka tetap tidak boleh lengah. Ini adalah sebuah kesempatan, dan Chanyeol tidak boleh menyia-nyiakannya.

"Lepaskan aku, aku tidak akan pergi ke mana pun!" Baekhyun kembali berteriak dan menggigit punggung Chanyeol, tetapi pria itu tidak peduli. "Lepaskan aku!"

Luhan masuk lebih dulu ke dalam mobil, sementara Sehun berdiri siaga selagi Chanyeol mengurus si mungil Baekhyun.

"Tolong, selesaikan dengan cepat," canda Sehun sembari memasang kuda-kuda dan menodongkan pistolnya ke depan.

"Akan kuusahakan," dengus Chanyeol. Ia menurunkan bocah itu perlahan, tidak ingin menyakitinya lebih.

Baekhyun benar-benar tidak punya tenaga untuk melawan tangisnya. Saat kakinya telah kembali menyentuh tanah, Omega itu terisak dan mulai menangis sampai sesenggukan. Hatinya sakit, dan Omega di dalam jiwanya merana sebab Chanyeol menginginkan kepergiannya. Dengan gemetar tangannya mencoba meraih leher Chanyeol, namun pria itu lebih dulu menarik kedua lengannya menggunakan satu tangan dan membuka pintu dengan tangan yang lain. Tidak ada kesempatan.

Ia hampir tidak bisa menyentuhnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Masuk," perintah Chanyeol. Ia membuka pintu mobil di depannya dan mendorong Baekhyun, namun bocah itu menggeleng brutal. "Jangan membantahku di situasi seperti ini Baekhyun!" ucapnya kasar.

"Aku bilang aku tidak mau!" Tangisnnya semakis keras. Bahkan ia menjerit histeris saat Chanyeol mencengkram lengannya kencang. "Aku ingin bersama Chanyeollie, biarkan aku di sini!" pintanya putus asa.

Chanyeol mencengkram bahunya untuk mendapat seluruh perhatian bocah itu. "Aku tidak ingin melihatmu berada di sini. Kau akan lebih aman saat telah sampai di Mansion. Ini tidak akan memakan waktu lama, jadi cobalah untuk menurutiku." Suaranya masih tenang seperti biasa. Namun kemarahannya kali ini terasa jauh lebih besar dibandingkan biasanya.

Baekhyun bertanya-tanya, apakah Chanyeol merasa risau?

Apakah kali ini Phoenix tidak bisa mengendalikan situasinya?

Baekhyun menggertakkan giginya marah, kemudian mendongak menatap Chanyeol tajam, dan berteriak, "Aku bukan bagian dari Phoenix-mu, jadi aku tidak akan menuruti perintahmu! Jika... jika mereka memang menginginkan nyawaku, maka aku akan memberikannya!" Ia terisak keras dan mencengkram kaus Chanyeol, menariknya dengan kekuatan entah dari mana hingga hidung mereka bersentuhan, lalu membeku dalam tatapan yang menggetarkan. "Aku tidak ingin sesuatu terjadi pada Chanyeollie. Aku takut kehilangan lagi..." ungkapnya pilu.

Chanyeol menyentak kepalanya ke belakang—terdiam sesaat sebelum akhirnya mendesah berat. Awalnya Chanyeol merasa marah dengan omong kosong yang Baekhyun ucapkan, namun mendengar kalimat terakhirnya justru malah membuatnya gelisah. Matanya membalas tatapan mata Baekhyun lewat emosi yang sama. Bocah itu terus menangis seperti anak kecil, berkali-kali menarik cepat ingusnya dan mengusap wajahnya kasar, hingga sukses membuat Chanyeol mendengus geli karena ulahnya.

"Chanyeollie, dengarkan aku," rengeknya.

"Tidak, kau yang dengarkan aku."

Chanyeol meraih pinggang ramping itu, memeluknya posesif. Ia mengusap wajah Baekhyun yang basah kuyup karena air hujan, lalu menghapus air mata dan ingus bocah itu dengan ibu jarinya yang besar. Wajahnya menunduk, menggosokkan ujung hidung mereka sebentar sebelum menempatkan ciuman menenangkan di bibirnya. "Tempat ini tidak aman untukmu. Mungkin sebentar lagi kawanan mereka akan datang menyusul. Jadi sebelum hal itu terjadi, aku ingin kau cepat meninggalkan tempat ini," bisiknya tanpa menjauhkan bibirnya dari bibir Baekhyun.

Ia sangat ingin mengatakan sesuatu yang dapat menenangkan Chanyeol; bahwa ia akan baik-baik saja. Namun Baekhyun ingat bahwa dirinya tidak berguna. Ia tidak memiliki kemampuan untuk membantu. Sebab itulah Chanyeol memintanya pergi. Keberadaannya di sisi Chanyeol hanya akan membuat situasinya semakin sulit.

"A-aku akan pergi," isaknya penuh kekecewaan. Ia memeluk leher Chanyeol erat, dan membuka mulutnya perlahan saat Chanyeol meminta ciuman lebih.

Meskipun apa yang mereka lakukan tidak cocok dilakukan disituasi genting seperti sekarang, toh mereka tetap menikmati setiap detiknya. Baekhyun menggenggam helaian rambut di tengkuk Chanyeol dengan tangan kanannya, selagi tangan kirinya mengusap kening pria itu untuk menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh menyentuh keningnya. Ia merabai wajah Chanyeol, menikmati konturnya yang tegas. Saat Chanyeol menjauhkan wajahnya dengan perlahan, kelopak mata Baekhyun perlahan terbuka—membuatnya melihat dengan jelas bagaimana Chanyeol menghisap dan menarik bibir bawahnya gemas dengan gigi-giginya yang runcing.

"Pulanglah ke rumah kita... aku akan menyusulmu," bisik Chanyeol lembut.

"Rumah kita," isak Baekhyun sedih. Ia menunduk lalu memukul dada Chanyeol karena merasa kesal dengan ucapannya.

Chanyeol menjilat bibirnya kilat, kemudian menyentuh kepala belakang Baekhyun lembut dan mencium keningnya dalam.

"Masuklah," suruhnya. Ia membukakan pintu untuk Baekhyun. Matanya terus waspada, memandang ke belakang badan mobil untuk memastikan keadaan sekitar.

Saat pintu telah tertutup, Baekhyun dengan cepat menekan kaca mobil menggunakan kedua telapak tangannya yang bergetar. Di saat yang sama Chanyeol merunduk, lalu mencengkram tepian jendela dengan tangan kirinya sementara keningnya menempel pada lengannya. Tatapan mata Chanyeol begitu dalam, membuat dadanya bergemuruh dengan hebat. Ia memajukan wajahnya yang penuh air mata, dan menempelkan keningnya ke kaca jendela, lalu berpura-pura menyentuh wajah tampan Chanyeol dengan menyentuh kaca di depannya.

Alphanya, belahan jiwanya, mengapa mereka harus kembali dipisahkan?

"Aku mencintaimu!" seru Baekhyun panik. Ia mengusap-ngusap kasar kaca jendela di depannya yang perlahan memburam karena air hujan. Namun hal itu hanya berakhir sia-sia. "Chanyeollie," isaknya saat melihat Chanyeol menggulirkan bola matanya ke bawah lalu berbalik pergi.

Tak lama Sehun masuk ke dalam mobil, dan melihat kaca di atas kepalanya. "Mr. Park, tolong pakai sabuk pengamanmu. Aku tidak bisa menancap gasku jika kau belum memasangnya," ucap Sehun.

"Sehunnie jangan," sela Luhan cepat. Ia memegangi lengan Sehun, meminta pria itu untuk tidak mengganggu.

Dengan enggan Baekhyun menjauhkan wajah penuh air matanya dari sana. Ia lalu menunduk, hendak memasang sabuk pengamannya—saat tiba-tiba saja suara tembakan terdengar begitu keras hingga membuatnya terlonjak dari kursi. Matanya seketika membelalak. Ia lalu menoleh cepat ke jendela, dan hampir mati saat menemukan seorang pria baru saja jatuh tersungkur dengan tubuh bersimbah darah tidak jauh dari tempatnya berada.

"Chanyeollie!"

Tanpa pikir panjang Baekhyun bergegas membuka pintu mobil, dan berlari pergi.

"Baekhyun, mau ke mana kau?!" seru Sehun. Ia berlari keluar mobil lalu meraih pergelangan tangan Baekhyun kencang.

"Lepaskan aku," ucap Baekhyun linglung. Bola matanya bergerak-gerak tidak fokus, sementara tangannya terus berusaha melepaskan diri dari cengkraman Sehun. "Tolong, biarkan aku bersamanya." Ia memohon seperti budak, membuat Sehun membuang pandangannya tak tega.

Haruskah Sehun menyerah untuk membujuknya? Tentu saja tidak.

"Itu bukan dia Baekhyun. Dia akan baik-baik saja, percayalah padaku." Sehun berusaha meyakinkan. "Ayo, biarkan aku mengantarmu pulang," sambungnya.

Namun Baekhyun menolak mempercayai ucapan Sehun. Belahan bibirnya terbuka, mengais oksigen dengan rakus. Tubuhnya gemetaran hebat, sebab ia gusar bukan main. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan seakan ia tengah mencari benda atau semacamnya, sampai tanpa sengaja matanya menemukan benda perak yang menggantung indah di pinggang Sehun. Dengan kalap bocah itu menarik benda tersebut dari sarungnya, hingga sukses membuat Sehun melotot terkejut.

"Sial!"

Biar bagaimana pun Sehun tidak dapat menahan umpatannya saat tanpa diduga-duga Baekhyun berlari kencang ke arahnya; menyeruduknya, lalu melakukan gerakan mencapit dan membanting yang membuat tubuh besarnya melayang-layang sebelum akhirnya jatuh telentang membentur keras tanah di bawahnya.

Tik

Tik

Tik

Rintik hujan membasahi wajahnya tanpa ampun, namun ia masih saja terkejut. Demi Tuhan, apa yang baru saja terjadi?

"A-apa itu?" gumam Sehun. Ia mengerjap cepat saat merasakan nyeri yang lumayan di bagian punggung sampai pinggangnya.

"Cepat bangun dan kejar dia bodoh!"

Seperti orang bodoh Sehun mengangkat wajahnya dan menemukan Luhan yang tengah menjulurkan setengah tubuhnya dari jendela mobil sembari mengibas-ngibaskan tangan tidak sabaran.

"Cepat kejar dia!" Luhan berteriak, lagi.

Mengangguk patuh, ia kemudian menoleh ke arah Baekhyun berlari, dan terkejut menemukan bocah itu telah hilang dari pandangannya. Dengan cepat ia bangkit, dan berlari sekencang mungkin. "A-akh, sialan. Itu tadi benar-benar lumayan," umpatnya sembari memelankan langkah dan memegangi pinggangnya yang pegal.

"Cepat lari pria encok, atau—"

Dengan cepat Sehun berbalik, dan terkejut mendapati Bambi-nya tengah membuat gerakan menggorok leher sadis.

"—Jatahmu tamat." Ia mengucapkannya dengan bengis dan tanpa belas kasih.

"Matilah aku..." gumam Sehun sedih. Alpha di dalam jiwanya bahkan mencicit, kehilangan hasrat untuk tetap hidup.

Berlebihan sekali.

Sementara itu, kaki yang lebih muda masih terus berlari. Seolah kerasukan, Baekhyun menggenggam pisau belati di tangannya tanpa ragu. Bola matanya yang berkilau bergulir mencari keberadaan Chanyeol, dan terkesiap saat menemukan pria itu tengah bertarung dengan tiga orang musuh sekaligus. Ia nampak kuat, kokoh, dan indah. Ini adalah kali pertama Baekhyun melihat Chanyeol bertarung, dan tidak pernah menduga-duga bahwa Chanyeol setangguh itu saat tengah melawan musuh. Apa yang dilihatnya sekarang, di luar imajinasinya selama ini.

Matanya berkedip cepat, tidak melewatkan barang sedetikpun semua gerakan yang dilakukan Chanyeol. Meski ilmu bela diri yang ia pelajari di sekolah hanya Hapkido, namun ia dapat menebak bahwa gerakan bertarung Chanyeol memiliki beberapa unsur ilmu bela diri. Entah sampai mana kekuatannya, hingga ia dapat mematahkan leher seseorang lewat satu gerakan ringan, dan membuat mereka berlutut paksa hingga akhirnya mati dengan cara diledakkan kepalanya.

Salah seorang musuh yang terlihat cukup kuat datang dari arah belakang, lalu memulai pertarungan dengan cara yang curang. Baekhyun ingin berteriak, namun suaranya tertahan di ujung lidahnya. Ia merasa marah, sekaligus benci dengan cara kotor yang dilakukan musuh. Kakinya melangkah cepat berniat menghampiri mereka, namun mendadak matanya melebar. Terkejut setengah mati saat melihat darah mengalir bersama guyuran air hujan dari luka sayat di lengan kirinya, tepat di bawah lipatan lengannya.

"Cha-Chanyeollie," bisiknya parau.

Keterkejutannya bertambah saat musuh itu dengan bringas menendang betis Chanyeol, kemudian membuat gerakan mengunci pada kedua pergelangan tangannya hingga menyebabkannya jatuh tersungkur. Napas Baekhyun semakin memburu, geram dengan pemandangan tersebut. Bajingan itu berada di atas tubuh Chanyeol yang memunggunginya, bersiap menusuknya dari belakang. Namun beruntung, Chanyeol dengan gesit menarik pergelangan tangan si musuh yang membuat posisi mereka berbalik.

Tidak diragukan lagi, pukulan-pukulan mematikan tanpa ampun terus-menerus menghantam wajah bajingan itu hingga membuat bagian tersebut berlumuran darah. Sepasang abu-abu terang milik Chanyeol diselimuti kabut dendam dan amarah. Ia lekas menduduki perut bajingan itu, dan merebut pisau tadi dari tangannya. "Sudah keperingatkan, jangan pernah berani melakukannya, bahkan sekedar berpikir kau bisa!" amuknya.

TSUUK

Tanpa belas kasih Chanyeol menusukkan benda tajam itu hingga tepat mengenai dada kiri orang tersebut. Ia tidak peduli pada teriakan kesakitan musuhnya, atau bahkan darah segar yang menyimprat mengenai lengan juga kausnya. Justru, Chanyeol dengan tenang terus menekan pisau itu hingga tertancap seluruhnya.

"Akan ada akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun yang berusaha menyentuh milikku," ucapnya penuh ancaman. Suaranya dingin dan bengis, seakan diucapkan dari kegelapan.

"Aaarrggghhh!"

Pupil mata Chanyeol melebar, terang benderang. Rahangnya berkedut kasar saat ia semakin dalam menusukkan pisau dalam genggaman tangannya hingga darah terus mengucur deras, bercampur bersama aliran air hujan yang sebagian menggenang. Pemandangan ngeri tersebut tak ubahnya seperti sebuah ritual persembahan untuk menebus dosa.

KKRRRKK

"AAAARRRRGGGHHH!"

Tak lama berselang, bau besi dan anyir menyatu, lalu dengan segera menginvasi indera penciumannya. Membuatnya menjulurkan lidah dan mendesah puas.

Chanyeol terengah. Ia menyugar rambutnya sekali dan bangkit berdiri. Tubuhnya lalu berbalik, dan terkejut menemukan Baekhyun berdiri tidak jauh dari tempatnya. Belum sempat ia bereaksi lebih, musuh di belakangnya mendadak bangkit, lalu memiting lehernya hingga akhirnya ia kembali jatuh telentang.

"Aaarrgghhh! Ini belum berakhir!"

Orang itu berteriak kesetanan.

Tanpa pikir panjang ia menarik paksa pisau tadi keluar dari dadanya hingga lolongan kesakitan menggema di tengah hujan. Bajingan itu menggeram marah. Tatapannya yang bengis sejalan dengan aksinya yang bersiap menusukkan pisau di tangannya pada Chanyeol yang justru tengah termangu menatap Baekhyun. Namun, belum sempat pisau tersebut menancap di dada Chanyeol sesuai tujuannya, pisau lain telah lebih dulu menancap di punggungnya. Membuat matanya melotot, hingga biji matanya terlihat hampir keluar dari rongganya.

Chanyeol tidak bereaksi.

Meskipun pelaku penusukan berdiri tepat di depannya, dan nampak gemetaran.

Ia dapat melihat bagaimana anak itu membungkuk, lalu menekan pisau belati milik Sehun—yang menusuk punggung pria di atasnya—hingga benda itu menancap seluruhnya. Darah berlomba-lomba menyimprat hingga mengenai kedua tangan Baekhyun, namun anak itu hanya fokus menatap Chanyeol—semata-mata untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lakukan saat ini sudah benar. Ia hanya ingin melindungi Chanyeol yang selalu melindunginya, tidak peduli jika tangannya harus bermandikan darah.

"Baekhyun!" Minseok berteriak histeris. Kehilangan kata-kata saat melihat apa yang tengah bocah 'rumahan' itu perbuat.

Sementara Sehun, meski sepertinya ia datang terlambat, namun tanpa pikir panjang ia langsung menarik tubuh Baekhyun menjauh hingga setidaknya satu meter dari posisi Chanyeol berada.

"Sial, aku kecolongan lagi," umpat Sehun. Ia menjilat bibirnya, terengah-engah, dan membungkuk menarik paksa pisau belati miliknya dari punggung pria tadi.

"Apa semuanya baik-baik saja?!" seru Jongin. Ia berlari cepat menghampiri mereka setelah sebelumnya berhasil menembak kepala salah seorang musuh. Jongin merasa puas, sebab setelah masa cutinya yang panjang, ia akhirnya bisa kembali mendengar suara ledakan kasar dari tengkorak kepala seseorang.

Sehun berkacak pinggang. Ia terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk. Pria itu nampak kelelahan setelah dihadang beberapa musuh. "Yah, sepertinya semuanya sudah berakhir." Ia lalu menatap Chanyeol yang baru saja beranjak dari posisinya. "Aku minta maaf."

Jika saja ia tidak lengah sedikit saja, dan tidak menganggap remeh Baekhyun, dan anak itu tidak membantingnya—sial, hal ini belum dapat Sehun terima, biar bagaimana pun—bocah itu mungkin tidak akan menghilang dari pengawasannya.

"Hei, apa bocah itu yang melakukannya?" bisik Jongin pada Sehun yang nampak terdiam seperti orang linglung. Mendapati saudara kembarnya tidak bereaksi, Jongin lantas menyenggol bahunya. "Sehun, kau mendengarku tidak?" tanyanya lagi. Kali ini tangannya mengibas-ngibas tidak sabaran di depan wajah datar Sehun.

Namun Sehun seperti tidak memiliki niatan untuk menjawab pertanyaannya.

Dilihatnya sang kakak hanya memusatkan perhatian ke arah Baekhyun yang nampak sama termangunya. Bocah itu bahkan terlihat seperti tidak bernapas. Sementara Chanyeol, pria itu tengah sibuk berjongkok di sisi mayat, sepertinya untuk mencari informasi dari semua kantung yang ada di pakaian musuh tersebut.

"Oke, aku tidak akan mengganggu siapa pun. Lagi pula aku juga tidak mau bicara," monolog Jongin. Ia mungkin berniat marah dengan membuat gestur melipat lengan dan membuang wajah. Tapi siapa peduli dengan suasana hatinya?

Tak lama Minseok datang. Ia berlari cepat menuju mereka, dan menatap Baekhyun cemas. "Tidakkah sebaiknya kau bicara dengannya?" sarannya, jelas ditujukan pada Chanyeol. Ia meraih tubuh Baekhyun yang membeku, kemudian membantunya berdiri. "Sepertinya dia sangat ketakutan." Minseok menambahkan. Tangannya memeluk Baekhyun erat, mengusap-ngusap punggungnya lembut, dan mendesah berat saat merasakan tubuh bocah itu gemetaran dalam pelukannya.

Anak yang malang.

Minseok menatap Jongin dan Sehun, serta Zitao yang baru saja datang setelah sebelumnya mengurusi identitas para mayat. Mereka berempat hanya dapat diam; diam-diam merasa patah hati saat mendengar suara tangisan pilu bocah Omega dalam pelukan Minseok. Mungkin Baekhyun saat ini tengah merasa bersalah. Bocah itu sering berpikir negatif tentang Chanyeol, dan melihat bagaimana reaksi Chanyeol terhadapnya barusan, pastilah membuatnya sedih bukan main.

"Tidak apa-apa, semuanya sudah berakhir. Kau aman sekarang Darling," hibur Minseok. Ia memunduk dan meringis melihat darah mengotori seluruh tangan, serta kaus yang bocah itu kenakan. "Yang kau lakukan tadi sudah benar. Jadi jangan terlalu memikirkannya," bisiknya lembut.

Matanya kemudian bergulir menatap Chanyeol, dan terkejut saat melihat apa yang pria itu lakukan. Sebab, alih-alih menghampiri Baekhyun, Chanyeol justru menatap bocah itu sesaat sebelum kemudian membuang pandangannya dengan dingin. Ia bahkan pergi begitu saja menemui kawanan Phoenix yang telah menunggunya di dekat pembakaran.

"Apa-apaan dia itu?" desis Minseok kesal. Ia lalu menepuk-nepuk pantat Baekhyun, dan mengusap rambutnya yang basah kuyup sama seperti miliknya. "Sudahlah, jangan menangis lagi. Tidak usah dipikirkan," ucap Minseok lembut.

Beberapa Phoenix berkerumun di dekat perapian—termasuk Sehun, Jongin, dan Zitao—untuk membakar senjata-senjata musuh seperti apa yang biasa mereka lakukan. Beruntung karena bubuk-bubuk mesiu itu mempermudah mereka dalam pembakaran. Sementara Phoenix yang lain masih terus berjaga-jaga di sekeliling medan. Meski pada akhirnya mereka berhasil menghabisi seluruh musuh, dan menyisakan satu di antaranya untuk dijadikan pusat informasi, namun tetap saja mereka harus selalu mengantisipasi.

"Apa kalian menemukan sesuatu?" tanya Chanyeol. Tangannya mengambil kain yang diberikan Taecyeon kepadanya, dan menggunakan benda tersebut untuk mengikat luka sayat di lengannya.

"Tidak ada. Seperti biasa, mereka hanya menjalankan misi yang disampaikan secara langsung. Tidak ada perantara, tidak ada jejak, tidak ada bukti. Beruntung karena kita menyisakan satu dari mereka. Sekarang, dia sedang dalam proses interogasi," lapor Zitao panjang lebar. Ia kemudian menatap ke belakang sesaat, dan memambahkan, "Kurasa kita harus segera membawa Baekhyun pergi dari tempat ini. Aku tidak yakin mereka—"

DOR

DOR

DOR

Mendadak terdengar suara tembakan keras yang dilesatkan berkali-kali ke udara. Seketika membuat mereka terkejut dan menyapukan pandangan ke seluruh penjuru dengan penuh waspada.

"Sial, Ayahmu benar-benar tidak mau menyerah!" teriak Minseok marah.

"Aku jadi tidak sabar. Ayo, datanglah. Aku selalu siap," kekeh Jongin. Ia menyeringai, lalu melakukan peregangan dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Bahkan meloncat-loncat kecil, membuat Zitao menatapnya aneh.

"Kali ini aku tidak akan kecolongan lagi!" timpal Sehun penuh semangat.

"Beritahu yang lain. Perintahkan mereka untuk memblokade jalan. Jangan biarkan siapa pun memasuki wilayahku. Siapa pun..." ujar Chanyeol penuh penekanan. Pria itu berdiri seperti arca tepat di depan pembakaran yang berkobar-kobar melalap belasan senjata. Ia terlihat lebih bugar dari sebelum bertarung, atau itu hanya perasaan Minseok saja. Pria itu lalu menoleh, mengejutkan Minseok. "Bawa dia pergi dari tempat ini," perintahnya.

Sebuah ultimatum.

e)(o

Luhan menatap kaca spion di atas kepalanya hati-hati, dan meringis ngeri saat melihat jejak darah mengerak dari tangan sampai kaus yang dikenakan oleh Baekhyun. Baunya masih segar, membuat Luhan menelan ludah gugup. Ia tidak berbicara sejak memasuki mobil. Bekas-bekas air mata mengotori wajahnya, namun ia tidak berusaha menghapusnya. Mata dan hidungnya memerah, sementara tubuhnya basah kuyup sama seperti dirinya. Luhan bahkan bisa melihat bahwa tubuh itu menggigil hebat. Namun yang membuatnya terlihat menyedihkan adalah sorot matanya yang kosong. Padahal pagi tadi Luhan masih melihat bagaimana keping cokelat itu bersinar dengan indah.

Sekarang, ia hanya melihat kegelapan.

"Aku akan pindah ke belakang Sehunnie," ucap Luhan tiba-tiba. Mengejutkan Sehun.

"Hei, apa yang ingin kau lakukan, Lu?" Sehun menggenggam salah satu telapak tangan Luhan lembut saat lelaki itu beranjak dari kursi, dan melangkah terburu-buru menuju kursi penumpang.

Wajah Sehun mendongak memandang kaca spion di atas kepalanya, dan menyadari bahwa Bambi kecilnya hanya berniat menghibur Baekhyun yang nampak kesulitan di belakang sana.

"Ah." Luhan mendesah lega sesaat setelah dirinya berhasil menduduki kursi yang diinginkannya. Ia berkedip beberapa kali, lalu mengeluarkan dengungan kecil seakan tengah memikirkan sesuatu.

Untuk beberapa saat hanya terdengar suara halus mesin mobil, dan ban yang bergesekkan dengan aspal. Sehun bahkan beberapa kali kedapatan mencuri-curi pandang ke arah kaca spion untuk memastikan keadaan keduanya.

Tek

Mengerjap bingung, Baekhyun menarik pandangannya ke bawah dan menemukan Luhan baru saja memakaikannya sabuk pengaman. Ia lalu menoleh cepat ke samping kirinya, dan terkejut mendapati Luhan tengah tersenyum ke arahnya. Ia ingin membalas senyuman hangat Luhan, namun hatinya terlalu sakit untuk sekedar menggerakkan otot-otot di bibirnya.

"Apa kau sedih karena Phoenix mengabaikanmu?" tanya Luhan pelan.

Meski pertanyaan tersebut ditujukan pada Baekhyun, tetapi Luhan sama sekali tidak melihat ke arah objek yang dimaksud. Ia hanya bersandar malas hingga lehernya menghilang di lipatan dagunya, dan kedua tangan yang tersimpan di pangkuannya.

"Sebenarnya kau jauh lebih beruntung dibanding aku. Menurutku, Phoenix sangat-sangat mencintaimu. Meskipin aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya dicintai Alpha seperti Phoenix."

Tidak, Chanyeol tidak mencintainya.

Tapi menyenangkan mendengarkan hal-hal baik dari mulut orang lain.

"Dia melakukan apa pun untukmu. Bahkan dia melakukan semua ini hanya untuk melindungimu," ucap Luhan semangat.

Baekhyun hanya memalingkan wajahnya, menatap keluar jendela mobil.

"Kupikir sikapnya hari ini hanya karena ia merasa kecewa. Kau tidak menuruti ucapannya untuk pergi melarikan diri bersama kami, dan justru membahayakan dirimu dengan membunuh seseorang. Meski aku yakin dia bangga, tapi dia orang yang sulit untuk mengekspresikan, kau tahu, isi hatinya," terang Luhan. Ia mengambil rubik yang telah ia acak-acak sebelumnya dari kantung celana jin-nya, lalu memainkannya cepat. "Sehunnie pernah mengabaikanku selama bertahun-tahun lamanya. Bisa kau bayangkan itu?"

Tidak mungkin, pikir Baekhyun sedih. Sehun sangat mencintai Luhan. Tetapi kemudian ia mengingat apa yang Sehun perbuat baru-baru ini; meminta restu Chanyeol dengan, katakan saja, cara yang ilegal dan tidak biasa. Artinya, bukan tidak mungkin ucapan Luhan adalah benar.

Tiba-tiba Luhan terkikik kecil, membuat Baekhyun menatapnya bingung dari balik bulu matanya yang cantik. "Kau tidak mempercayai kata-kataku?" tuding Luhan.

Saat Baekhyun hanya diam, bocah yang lebih tua perlahan-lahan menarik kausnya, membuat bola mata Baekhyun melebar saat melihat guratan-guratan memanjang, berwarna cokelat tua hampir pudar yang terlihat menghiasi kulit putih porselen milik Luhan. Guratan-guratan itu terlihat seperti seseorang baru saja mencorat-coret tubuhnya menggunakan krayon.

"Itu?" bisiknya terperangah.

Luhan memajukan sedikit wajahnya dan berbisik, "Kau pernah mendengarnya bukan? Hukuman itu benar-benar nyata."

Baekhyun pernah mendengar hal itu, beberapa kali dari orang tuanya.

"Entah berapa banyak jalang yang sudah ia tiduri," sindir Luhan. Sukses membuat Sehun terbatuk keras di kursinya. Namun aneh, wajah Luhan tidak menunjukkan kesedihan, hanya senyum gembira yang terlihat tulus. "Aku bisa tersenyum seperti sekarang karena Sehun setiap hari selalu melimpahiku dengan cinta. Dia bilang dia sangat mencintaiku, dan kami saling mencintai. Dia juga bersumpah tidak akan memberikan cintanya pada jalang lain. Benar, kan, Sehunnie?!" seru Luhan.

Sehun berdehem, merasa sedikit canggung karena kekasih dari bos-nya melihat. "Ya, tentu saja, aku sangat-sangat mencintaimu!" katanya lantang.

Luhan terkikik-kikik sebelum kemudian menghela napas pendek, lalu memutar rubiknya cepat. "Tidak bisa kubayangkan jika Alpha-ku tidak membalas cintaku."

Ucapan itu sontak membuat Baekhyun tersentak di kursinya.

"Aku mungkin akan mati," bisik Luhan. Ia menyentuh dadanya dengan air muka sedih. Kemudian kembali terkikik, tidak menyadari raut wajah Baekhyun yang semakin keruh. "Sangat mengejutkan mengetahui kami masih dipertemukan dalam keadaan akur tanpa berusaha saling membunuh, atau setidaknya aku yang membunuhnya haha, sempat terlintas dipikiranku, kau tahu kan—"

CKIIIITTT

JDUK

"Aww!" Luhan mengaduh kesakitan. Ia memegangi kepala belakangnya yang baru saja terantuk punggung kursi, dan terburu-buru menatap ke depan hanya untuk menemukan wajah melongo Sehun. "Apa? Kenapa? Apa musuh berhasil membuntuti kita?!" tanyanya heboh. Ia bahkan memutar kepalanya, dan segera mencari-cari keberadaan musuh.

"Tidak ada musuh," jawab Sehun datar.

"Tidak?" beo Luhan. Ia memutar kembali kepalanya menghadap Sehun, bingung.

Sehun menggeleng, membuat Luhan menghela napas lega lalu tersenyum. "Huh, kupikir terjadi sesuatu." Ia tertawa kecil lalu menatap Baekhyun dengan wajah berpikir. "Sampai di mana tadi aku bercerita? Oh ya, tentang aku yang—"

"Luhanie," panggil Sehun tegang.

"Yah?"

"Bisakah kau tidak menceritakan semua dosaku, aku merasa—"

"Berdosa?"

"Berdosa, dan—"

"Merasa seperti bajingan?"

"Y-yah terasa seperti itu, memang. Tapi selain itu aku juga merasa—"

"Malu?"

"Tentu saja, dan—"

"Kau tidak akan mengulanginya lagi?"

"Tentu saja! Kenapa kau bertanya begitu?"

Mereka terus melempar omong kosong sepanjang perjalanan, sama sekali tidak memperhatikan Baekhyun yang diam-diam menangis. Hatinya semakin sakit, dan sakit, seperti dihancurkan dalam sekali genggam. Jika Omega di dalam jiwanya dapat berlari ke tempat tergelap, dan terdalam jauh di dasar hatinya hanya untuk menghukum dirinya, seharusnya Baekhyun juga memiliki tempat yang sama. Semua cahaya, dan kemewahan yang Chanyeol berikan, pada dasarnya tidak pernah membuatnya bahagia.

Ini membuktikan, bahwa ucapan Chanyeol yang mengatakan Sehun adalah orang yang tepat untuk membawa Baekhyun pergi melarikan diri, seratus persen salah.

Chanyeol lupa jika sekarang Sehun memiliki bayi rusa cerewet.

e)(o

Kakinya melangkah lebar, melewati lorong panjang dengan dinding berwarna cokelat hangat, dan dihiasi sulur-sulur indah, yang anehnya masih terasa dingin. Barang kali karena seseorang yang merawat rumah ini, serta selalu membuatnya hangat telah pergi bersama seluruh hatinya. Chanyeol mendengus sinis. Ibunya memang tidak seharusnya kembali ke tempat sialan ini. Langkah kakinya semakin cepat saat ia telah mencapai ujung lorong, di mana terdapat pintu rangkap berwarna cokelat tua yang menghias sudut ruangan. Tanpa mengetuk terlebih dulu—karena ia merasa tidak perlu—ia langsung membuka kenop pintu dan melangkah masuk begitu saja.

Ayahnya ada di sana; duduk nyaman di atas kursi roda, tengah menikmati santap siang, bermandikan cahaya dari balik jendela besar di balik punggungnya.

DOR

DOR

PRRAAANG

Chanyeol menembak dua kaki meja hingga semua piring, gelas, dan perabotan mahal yang menghias di atasnya tumpah ruah—tidak bersisa sama sekali. Dua orang pelayan wanita berteriak histeris, lalu berlari pergi setelah mengetahui siapa yang rupanya berani bertandang.

"Aku berpikir bahwa kita masih memiliki hubungan keluarga," mulai Chanyeol lamat-lamat sembari melangkah pelan menghampiri kekacauan yang dibuatnya. Sepatu bot hitamnya masih terlihat mengkilap meski meninggalkan jejak air dan lumpur yang begitu banyak. "Karena darah kotormu mengalir di tubuhku, membuat ikatan yang kubenci ini tidak pernah bisa terhapus, meski seberapa keras aku mencoba!" sambungnya marah.

Suaranya bahkan bergaung kasar di dalam ruangan yang terang benderang itu.

Sunyi sekejap.

"Bukan aku yang memerintahkan mereka untuk mengacaukan wilayahmu," balas ayahnya. Suaranya berat dan dalam. Penuh wibawa; tipikal pria paruh baya berbahaya yang sering muncul dalam film. Ia terlihat begitu tenang, hanya duduk santai sembari mengelap kedua tangannya menggunakan serbet merah di atas pangkuannya. "Bisnis adalah bisnis. Kau tidak bisa mencampur adukan antara bisnis dan keluarga. Itulah yang harus selalu kau ingat Park Chanyeol," dalihnya.

"Aku tidak peduli dengan bisnismu. Siapa pun yang berusaha menyentuh milikku, harus berhadapan denganku, Phoenix."

Ayahnya terkejut, jelas sekali. "Jadi kau marah karena milikmu diganggu? Sejak kapan kau menjadi pribadi yang setia?" Ada senyum mengejek dalam ucapannya.

Tetapi Chanyeol enggan terpengaruh. Pria tua itu hanya tengah mengulur waktu.

"Kau berkhianat dariku," ucap Chanyeol. Suaranya terkontrol dan profesional. "Maka segera, aku akan memutus seluruh bisnis dan perlindunganku selama ini—"

"Dia!" Ayahnya menghela napas berat, dan menatapnya seperti hampir kolaps.

e)(o

Lima orang pengawal berdiri siaga di depan pintu kamar Chanyeol. Sebab saat ini pengamanan rumah mulai diperketat.

Terdapat puluhan anggota Phoenix yang tersebar di hampir seluruh titik rawan. Bahkan gerbang Mansion yang biasanya terbuka lebar—lagi-lagi karena ego Chanyeol yang tinggi—kini tertutup rapat. Gerbang hanya memajang beberapa mobil Jip hitam besar, berisikan anggota Phoenix dengan seluruh senjatanya.

"Apa dia sudah pulang?" tanya Minseok sesaat setelah mencapai lantai kamar.

Sehun menggeleng. "Sepertinya dia masih menemui Ayahnya." Pria itu bersandar di dinding dekat pintu, bertugas menjaga keamanan, selagi Luhan dan Zitao berjaga di dalam kamar bersama para staf wanita.

"Ck, butuh waktu dua jam untuk sampai ke sana," ucap Minseok malas. Ia lalu melihat jam di tangannya dan berbinar. "Melihat dia sudah pergi sekitar empat jam yang lalu, aku pikir dia pasti tengah dalam perjalanan pulang. Yah, lagi pula dia hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengobrol bersama Ayahnya."

Sehun mengangguk mengiyakan.

"Dari mana saja kau?" tanya Jongin. Ia bersandar di dinding yang bersebrangan dengan dinding tempat Sehun bersandar, dan menatap Minseok penuh tanya.

"Aku harus melakukan rapat darurat, menggantikan Bos kita yang super sibuk." Minseok menghela napas panjang, lalu melangkah menuju pintu. "Ditambah aku hampir saja membuat salah satu investor melarikan diri melihat pakaianku dikotori noda darah. Selain itu, aku juga baru saja mengecek kiriman undangan. Kalian tahu kan? Rekan bisnis, pasar saham, obrolan politik. Tempat membosankan semacam itu. Tapi kalian tahu, hari ini aku mendapat banyak undangan pernikahan. Sepertinya sekarang sedang musim kawin, entahlah," ujarnya. Jelas sekali bernada sinis.

"Jadi kau iri karena belum dinikahi padahal kau sudah setua ini," cibir Jongin.

"Jaga bicaramu hitam!" hardik Minseok.

"Menikahlah. Kau sudah terlalu tua untuk menangis diam-diam di dalam kamarmu sambil memandangi foto unta sialan itu. Lihat, sebentar lagi kau bahkan jadi kakek-kakek," ucap Jongin kurang ajar.

Minseok menatapnya juling, lalu membuang pandangannya pada Sehun. "Hei Sehun, apa kau mendengar ada suara orang bicara, huh?" tanya Minseok. Ia menepuk lengan Sehun dengan punggung tangannya, dan membuka pintu kamar. "Jangan-jangan rumah ini angker," ucap Minseok ngeri. Ia sengaja mengatakannya untuk membalas candaan Jongin.

"Sialan," gumam Jongin.

Sesaat setelah Minseok menutup pintu, sosok jangkung Chanyeol muncul.

e)(o

Pintu kamar mandinya tertutup. Lebih tepatnya: dengan sengaja dikunci dari dalam. Ia tidak ingin siapa pun masuk, bahkan Chanyeol sekali pun. Tubuhnya setengah telanjang, hanya terbungkus selembar kaus tipis tanpa celana. Ia duduk dengan menekuk kedua kakinya sampai dada, tepat di bawah kucuran air shower. Titik-titik air bergemericik, turun melewati puncak kepalanya yang panas, dan kemudian berakhir di punggung tangannya. Bekas-bekas darah perlahan memudar, terbawa aliran air. Matanya yang bening menatap dengan sorot kosong saat genangan darah segar itu memasuki saluran air, lalu menghilang.

Ia menangis, menatap telapak tangannya ketakutan. Ia berusaha keras dengan seluruh yang ia bisa untuk menghilangkan jejak darahnya, namun rasanya seperti benda itu enggan pergi. Tidak dapat dihilangkan. Entah ia mencucinya berkali-kali dengan sabun, sampo, bahkan pasta gigi. Semua itu tidak ada gunanya.

"Pergi, pergi, pergi!" Ia menyembunyikan wajahnya di lututnya, lalu menggosok-gosok telapak tangannya kasar, dan justru malah membuat kulitnya memerah.

Wajahnya mendongak dengan cepat saat ia mendengar suara dobrakan, sampai tak lama pintu kamar mandinya menjeblak terbuka, memperlihatkan sosok Chanyeol yang datang dengan wajah marah.

"Kenapa kau mengurung dirimu di sini?" sentak Chanyeol. Bola matanya bergulir, dan heran melihat beberapa peralatan mandi mereka berserakan di lantai.

Di momen itu untuk beberapa waktu mereka hanya saling bertatapan.

"Darahnya..." bisik Baekhyun parau. Ia mengulurkan telapak tangannya, dan terisak. "Darahnya tidak mau menghilang. Aku masih bisa merasakannya," adunya.

Chanyeol melepas sepatunya sampai ia bertelanjang kaki, melangkah cepat menuju Baekhyun, dan kemudian duduk bersila di sampingnya. Ia meloloskan kausnya, membuangnya sembarangan, lalu duduk bersandar sehingga Baekhyun lekas bersandar di lengannya. Bocah itu menangis tersedu-sedu, menggosokkan-gosokkan telapak tangan kanannya kasar di paha Chanyeol yang masih terbalut jins.

"Tidak mau menghilang," rengeknya.

Tanpa mengatakan apa pun Chanyeol meraih tangan yang bergetar itu, lalu mulai mengulum jari-jari mungil itu satu-persatu di dalam mulutnya yang hangat. Ia memulai dengan ibu jari, lalu telunjuk, sampai kemudian jari manisnya.

"A-ah." Baekhyun mendesah saat Chanyeol menggigit ujung jari manisnya.

Beberapa menit berlalu. Sekarang tangis Baekhyun mulai mereda hingga hanya menyisakan isakan-isakan kecil.

"Merasa lebih baik?" bisik Chanyeol.

"Hmm." Baekhyun mengangguk cepat.

Jejak darah itu telah berganti dengan jejak Chanyeol. Rasanya begitu hangat, membuat perasaannya membaik.

"Apa kau berjanji tidak akan mengurung dirimu lagi?" bisik Chanyeol lagi. Ia membungkuk dan mencium pelipisnya.

Baekhyun mendongak menatap Chanyeol, dan mengangguk patuh. "Mmm."

"Bagus." Chanyeol mendesah puas. Ia kemudian mendekatkan wajahnya hingga dahi mereka hampir bersentuhan. "Lain kali jangan pernah membahayakan dirimu seperti tadi. Apa kau mengerti?" bisiknya.

Manik mata yang lebih mungil bergetar saat ia mencicit tepat di depan mulutnya, "Apa Chanyeollie marah padaku?"

"Tidak, aku tidak marah," bisiknya lembut. Pria itu mengecup bibirnya kilat lalu kembali menegakkan duduknya. Kali ini ciuman Alphanya mulai berpindah ke telapak tangannya. Pria itu menjulurkan lidahnya, menjilat sambil lalu buku-buku jarinya yang kesemutan, dan mengecup punggung tangannya dalam, membuat wajahnya terbakar sampai telinga.

"Chanyeollie." bibir bocah itu melengkuh ke bawah, hampir menangis. Entahlah, Baekhyun hanya merasa sangat senang dengan perlakuan lembut Chanyeol.

"Ke mari." Chanyeol meraih bahunya yang bergetar, dan menarik tubuh itu masuk ke dalam pelukannya yang aman. "Jangan menangis lagi," ucap Chanyeol. Pria itu mencium puncak kepala Baekhyun, menyalurkan kasih sayangnya, kemudian meraih tangan yang memeluk perutnya.

"Apa kau kedinginan?" bisik Chanyeol lagi.

Baekhyun mengangguk-anggukkan kepalanya cepat. Ia berpegangan pada leher Chanyeol, dan membiarkan pria itu mengangkat tubuhnya ke atas pangkuan. Kening mereka beradu lembut, membuat Baekhyun memejamkan mata merasakan sejumput rambut Chanyeol menggelitik keningnya. Tubuhnya semakin merapat ke tubuh Chanyeol, bersandar sepenuhnya di tubuh Alphanya yang kokoh. Perlahan kelopak matanya terbuka, menatap manik mata Chanyeol yang indah. Ia membuat pola tak beraturan di tulang selangka Chanyeol menggunakan telunjuknya, dan tersentak saat pria itu menggamit bibirnya ke dalam ciuman memabukkan.

Chanyeol menciumnya dalam. Tidak menahan-nahan gerakannya. Pria itu menjulurkan lidahnya, dan menghisap bibirnya rakus. Tubuhnya semakin merapat pada kehangatan pria itu, dan merengek-rengek dalam ciumannya saat pria itu meremas pantat sintalnya gemas.

"Chanyeollie." Ia mendesah saat Chanyeol memutus ciumannya. Mata keduanya berpandangan dan Baekhyun merasa beruntung dapat menyentuh kulit Chanyeol dengan leluasa.

Ia menyibak rambut Chanyeol, dan mengusap dahi favoritnya. Tanpa sungkan bibirnya mencium dahi pria itu kilat, dan sama sekali tidak mendapat protes dari pemiliknya. Namun, setelah itu giliran Chanyeol yang mendekatkan wajahnya, dan mengecup bibir cerinya kilat. Sukses membuat yang lebih muda berdebar-debar hebat. Pria itu mengecupnya berulang kali, membuatnya hampir kehabisan oksigen. Baekhyun bahkan segera menyentuh dadanya yang bergemuruh, dan memeluk Chanyeol erat saat merasa hampir meledak.

e)(o

Jam menunjukkan pukul tujuh malam saat si mungil Baekhyun beranjak dari atas pangkuan Chanyeol yang duduk di dalam bak jacuzzi. Pipinya merah merona seperti kelopak mawar, sementara aroma stroberi dan floral menguar dari tubuhnya. Ia memberikan ciuman di bibir Chanyeol untuk terakhir kali lalu meraih jubah mandinya, dan berlari terbirit-birit keluar dari dalam kamar mandi yang panas itu.

"Aku malas berpakaian—hngh!" Bocah itu merengek-rengek sebelum melemparkan tubuh montoknya hingga jatuh telentang membentur kasur. Matanya memandang langit-langit kamar yang membuatnya untuk sesaat termangu. Sampai tak lama ia menguap lebar, dan mengerjapkan matanya cepat. Semakin lama kelopak matanya semakin memberat. Ia akhirnya menyerah pada rasa kantuknya dan membiarkan dirinya terlelap begitu saja.

Chanyeol bersandar pada kusen pintu, mendengus geli melihat pemandangan di depannya. Mafia itu melangkah perlahan menghampiri Baekhyun, membungkuk di dekatnya untuk memberinya kecupan selamat malam di dahinya. Chanyeol masih mengenakan jubah mandi, namun dengan gaya seperti itu ia masih tetap percaya diri memajang dirinya di depan dinding kamar, dan menatap ke arah pemandangan kota Seoul yang berkilau dengan ponsel menyala di telinga.

"Aku menantikan kedatanganmu," ucap Chanyeol pada sambungan telepon.

e)(o

"Tidak bisa kubayangkan jika Alpha-ku tidak membalas cintaku."

Baekhyun berdiri di tengah padang ilalang, mendengarkan suara yang menggema di telinganya, membuatnya sakit.

"Tidak bisa kubayangkan jika Alpha-ku tidak membalas cintaku."

"Aku mungkin akan mati."

Mati.

Mati.

Ia akan mati, karena Chanyeol tidak pernah membalas cintanya.

Chanyeol tidak mencintainya.

Tidak, tolong cintai aku.

"Tidak, tidak, tidak—huh!"

Ia membuka paksa kelopak matanya dan terduduk. Napasnya memburu, dan keringat dingin membanjiri tubuhnya. Bola matanya bergerak-gerak tidak fokus, sementara tubuhnya menggigil ketakutan. Baekhyun menyentuh dadanya yang bergemuruh ribut dan tersadar sesuatu menetes di pipinya. Ia menyentuh bagian itu, merasakan basah, dan terkesiap saat tahu bahwa itu adalah air mata.

"Chanyeollie," isaknya. Ia mencengkram tepian selimutnya dan menunduk, tidak terkejut saat menemukan tubuhnya telah berbalut piyama. Matanya mencari-cari keberadaan Chanyeol, namun seperti biasa, pria itu pergi entah ke mana.

Baekhyun berniat kembali tidur, dan melupakan mimpi buruknya, namun suara klakson mobil mengurungkan niatnya.

"Chanyeollie?"

Bocah itu menjejak selimutnya, dan beranjak. Ia melompat dari atas kasur, lalu berlari-lari kecil menuju dinding besar kamar. Wajahnya menempel di dinding itu, sementara manik matanya memandang ke bawah. Di sana, ada dua mobil hitam terparkir. Matanya mengamati satu-persatu penumpang. Namun dilihatnya mereka hanya sekumpulan orang ber-suit hitam. Saat Baekhyun hendak memutar balik tubuhnya, matanya tiba-tiba terpaku ke arah mobil hitam kedua di mana sebuah heels merah menyala berikut dengan kaki jenjang pemiliknya, nampak keluar dengan anggun dari celah pintu.

"Si-siapa?" tanya Baekhyun heran. Ia berpikir mungkin itu Seohyun, tetapi mustahil wanita itu berani kembali.

Tak lama, seorang wanita cantik dengan rambut cokelat sepunggung, dan gaun indah di tubuh boneka-nya melangkah keluar. Membuat Baekhyun menggigil karena rasa iri menggerogoti hatinya.

"Tidak lagi," bisiknya.

Kakinya tanpa sadar melangkah mundur.

Ia mengambil napas cepat, dan menyentuh dadanya yang bergemuruh sakit. Tidak, ia pernah mengatasi situasi ini sebelumnya, jadi seharusnya ia tidak perlu merasa khawatir. Chanyeol akan mengajaknya menemui wanita itu. Ia akan diperkenalkan sebagai Omeganya seperti yang biasa pria itu lakukan pada semua tamunya. Tidak ada yang perlu ditakutkan.

"Aku akan duduk, dan menunggu Chanyeollie datang," bisiknya. Lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri.

Kakinya melangkah sampai ke ujung tempat tidur. Ia lalu mengambil duduk pada tepiannya—mencoba untuk santai meski kakinya berubah menjadi sedingin es dan bibirnya terus menerus ia gigit. Tangannya tersimpan di atas pahanya, dan wajahnya menatap ke lantai. Sesekali ia akan menatap pintu yang tertutup, serta jam yang jarum panjangnya telah menunjukkan pukul sebelas malam. Mungkin sebentar lagi, pikirnya mencoba positif. Ia meremas tangannya dan mengentuk-ngetuk lantai dengan ujung jari-jarinya, namun belum juga ada tanda-tanda seseorang akan menjemputnya.

Pada akhirnya, tiga puluh menit berlalu begitu saja tanpa dapat ia cegah.

e)(o

"Aku merindukanmu."

Wanita itu menatapnya dengan tatapan memuja. Sama seperti dulu, tidak pernah berubah. Secara sengaja, ia menyilangkan kakinya agar kain dari gaunnya terbelah, dan memperlihatkan bagian seluruh paha sampai kakinya yang indah juga terawat. Sunbin memang pintar memanfaatkan fungsi dari gaunnya. Tidak heran karena ia merancangnya sendiri. Well, sekarang ia hanya harus menunggu respon Chanyeol.

"Aku akan langsung menyampaikan alasanku mengundangmu ke mari." Chanyeol duduk di kursinya, bersemangat. Ia hanya mengenakan kemeja biru gelap dan celana kain hitam. Meski begitu, apa pun yang dikenakannya selalu berhasil membuat siapa pun kepanasan.

"Aku tahu apa yang ingin kau katakan." Sunbin mengambil gelas sampanye-nya dan beranjak, melangkah menuju jendela yang tertutup. "Tentang penyerangan hari ini, memang aku pelakunya," ucapnya. Ia tersenyum dan mengangkat bahunya tak acuh. Wanita itu bersandar pada dinding, lalu meminum sampanye-nya tanpa mengalihkan pandangan dari Chanyeol.

"Aku senang karena kau selalu menjadi salah satu wanitaku yang jujur," balas Chanyeol serak. Pria itu menyeringai, memandang Sunbin dengan kilatan berbahaya. Telunjuknya mengetuk-ngetuk tangan kursi, seakan menunggu sesuatu.

"Apa kau suka kejutanku?" tanya wanita itu. Ia melangkah menghampiri Chanyeol, duduk di atas pangkuannya tanpa ragu, dan bersitatap dalam jarak yang dekat. "Aku menghabiskan banyak waktu di Paris, meniti karir, menyulam namaku di setiap kain tapi... cinta pertamaku selalu membuatku ingin kembali," bisiknya.

"Dari mana kau tahu jika aku memiliki seorang Omega?" tanya Chanyeol. Langsung pada inti pembicaraan.

Sunbin terkikik kecil, dan meremas bahu kiri Chanyeol tanpa sungkan. "Secara kebetulan aku bertemu Seohyun saat aku baru tiba di sini. Dia terlihat frustasi, aku pikir itu karena saudaramu. Mereka melakukan kesepakatan, tapi sepertinya Kris melanggar kesepakatan itu, entah karena alasan apa. Jadi aku berpikir..." Ia menatap Chanyeol dengan seringaian lebar. "Akan lebih baik jika aku yang mewujudkan keinginan Seohyun. Karena, aku juga ingin menyingkirkan anak kecil itu dari hidupmu," sambungnya licik.

"Jadi kalian berkomplot.."

"Tidak." Sunbin menggeleng. Wajahnya menjadi kaku, menatap Chanyeol marah. Ia beranjak dari pangkuan pria itu dan melangkah mundur. "Kami berbagi. Meski aku membencinya, dan dia diam-diam menyimpan dendam padaku, tetapi kami berusaha untuk merelakan itu."

Chanyeol tidak bereaksi pada kata-katanya, yang mungkin seharusnya membuat ia tersentuh?

"Saat itu setelah perceraian kedua orang tuaku, aku hanya memilikimu di hidupku, sementara di saat yang sama kau ternyata dijodohkan dengan Seohyun. Beruntung karena saat itu dia hanya gadis polos yang belum mengerti apa pun. Aku memanfaatkannya, hanya agar tetap bisa bersamamu." Sunbin memeluk perutnya dengan satu tangan dan mendesis marah, "Tapi Ayahku membawaku pergi jauh. Aku membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya, menunggu kematian Ayahku, hingga pada akhirnya aku bisa terbebas."

Wanita itu menyesap sampanye-nya dan terkikik-kikik seperti orang mabuk.

"Tapi kau telah tumbuh menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Tidak sembarang orang bisa bertemu denganmu, termasuk aku. Jadi aku kembali pergi, untuk membuat diriku lebih kuat sampai aku merasa benar-benar pantas untuk bersanding dengan orang sepertimu. Sayang, saat aku hampir berhasil, aku justru mendapat kabar jika kau telah memiliki seorang Omega." Ia menatap Chanyeol dan tersenyum hingga sampai pada matanya, senyum yang dulu selalu ia berikan pada Chanyeol. "Meski begitu aku tetap yakin, akulah yang seharusnya terpilih. Akulah yang lebih pantas menjadi takdirmu. Bukan anak kecil bodoh itu," bisiknya.

Chanyeol mengepalkan tangan kanannya sesaat, dan mengalihkan perhatian dengan memainkan cincin peraknya.

"Tidak ada yang tahu siapa yang pantas dan tidak pantas untuk menjadi takdir seseorang. Pada kenyataannya, aku memang telah memiliki seorang Omega," ucap Chanyeol. "Bahkan sejujurnya aku telah melupakan sebagaian besar dari cerita lama kita, kecuali bagian di mana kau dan Seohyun mencoba untuk saling membunuh. Itu cukup menarik bagiku."

Ia menggenggam gelasnya sampai buku-buku jarinya memutih, lalu berteriak, "Kau merampas segalanya dariku! Bahkan, aku membiarkanmu meniduriku—"

"Aku meniduri banyak wanita," sela Chanyeol.

"Tapi tidak bisakah kau lihat kesungguhan hatiku?! Tidak bisakah kau mencintaiku seperti dulu? Tidak bisakah kau lihat aku sebagai seseorang yang berarti? Hanya tentang kita?" tanyanya bertubi-tubi.

"Dulu?" Chanyeol menaikkan alisnya skeptis. "Aku tidak pernah mencintamu."

Kata-kata itu sukses membuat Sunbin membuka mulutnya tidak habis pikir.

"Saat itu aku hanya melihat kalian sebagai dua orang gadis bodoh yang mudah sekali mempercayai kata-kata pria sepertiku," gumamnya tak acuh. Ia lalu mengambil gelas wiski-nya dan bergumam, "Tidak ada bedanya dengan sekarang."

Mereka kemudian saling berpandangan. Sunbin menatapnya marah, sementara Chanyeol menjilat bibirnya sensual.

"Tapi kupikir, sudah waktunya kita untuk melupakan itu semua," bisik Chanyeol.

Kali ini Sunbin menatapnya terkejut. Mata abu-abu itu berkilat terang, menatap keping hitam Sunbin dengan seringaian menggoda yang membuat wanita itu terkesiap dan melembutkan tatapannya.

Selalu ada kesempatan untuknya, pikir Sunbin senang.

"Jadi?" tanya Chanyeol penuh senyum.

Ia terdiam, hanya menatap Chanyeol dengan penuh penantian. Pria itu terlihat mendengus, seolah geli dengan sikapnya.

"Apa kau ingin melakukannya di sini?" goda Chanyeol. Pria itu beranjak dari duduknya, dan melangkah menghampiri Sunbin sembari membuka kancing mansetnya, lalu menggulungnya sampai siku; memperlihatkan lengannya yang dipenuhi pembuluh darah vena.

"Aku tidak peduli," desah Sunbin. Ia menyentuh dada Chanyeol saat jari-jari pria itu menyentuh lembut perutnya, dan mengambil posisi di belakang. "Di mana pun kau menginginkannya aku—akh!" Ia memekik merasakan Chanyeol yang baru saja merenggut kasar rambutnya.

"Kita akan melakukannya di sini," kekeh Chanyeol. Kemudian ia mencengkram dagunya, dan memaksa wanita itu mendongak menatapnya. "Aku akan memberimu sebuah tanda, hadiah," bisik Chanyeol lembut, tepat di depan bibirnya.

e)(o

Chanyeol bisa saja berada di ruang kerjanya, namun Baekhyun lebih yakin jika pria itu berada di ruangan yang biasa ia gunakan untuk menyambut tamu. Di mana pun Chanyeol berada, ia harus menemuinya, dan memastikannya aman. Sebab, entah mengapa firasatnya buruk terhadap wanita bergaun violet tersebut.

"Cepat, cepat, cepat!" bisiknya menyemangati diri sendiri saat kakinya mulai setengah berlari melewati lorong.

Ia menghentikan langkahnya saat mendengar suara ribut-ribut. Matanya mengintip dari sisi tembok, dan mendapati beberapa pria ber-suit hitam yang ia lihat di pekarangan rumah terlihat baru saja meninggalkan lorong bersama beberapa anak Phoenix. Tidak seperti sebelumnya, sepertinya wanita ini punya nyali yang besar. Mungkin ia sama ularnya dengan Seohyun, atau bahkan lebih: mungkin ia ular dari segala ular.

Itu artinya ia harus cepat!

Tanpa membuang waktu ia segera melanjutkan langkahnya, dan kembali berhenti saat telah mencapai pintu ruangan. Manik matanya bergerak dari bawah ke atas, memandang pintu rangkap di depannya penuh curiga.

Mendadak jantungnya berdebar ribut, membuatnya menggigit bibir gelisah.

"Aku merasa gugup." Ia melangkah maju dengan ragu, berniat mengetuk pintu saat tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan suara desahan melengking seorang wanita yang membuat gerakan tangannya terhenti.

Apa itu?

Rasa takut tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya, membuat tubuhnya mematung, hanya berdiri diam tanpa melakukan apa pun. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Saat ia menggeleng berulang kali untuk memberi sugesti pada dirinya bahwa suara yang didengarnya adalah bohong, suara menjijikkan itu justru lagi-lagi terdengar, membuatnya terlonjak.

"Tidak mungkin!" Bocah itu kembali menggelengkan kepalanya.

Namun suara itu lagi-lagi terdengar, kali ini jauh lebih keras.

Ia mengepalkan kedua tangannya dengan wajah hampir menangis. Manik matanya bergerak-gerak menatap pintu dengan liar. Seluruh bagian tubuhnya gemetaran hebat, dan sekarang begitu sulit baginya untuk berdiri saat lututnya terasa seperti akan lepas dari kakinya. Ia membuka mulutnya yang kaku dan beku, berusaha mengeluarkan kata-kata namun tidak ada satupun kalimat yang keluar. Perlahan ia melangkah semakin mendekat, dan mengulurkan telapak tangannya sampai menapak di atas permukaan pintu yang terasa dingin. Ia bertanya-tanya, mungkin suara desahan itu hanya halusinasinya, tapi mengapa terdengar begitu nyata?

Ia meraba permukaan pintu, dan berbisik memanggil nama Chanyeol dengan penuh luka. Suara itu nyata, datang dari balik pintu, membuatnya memejamkan mata merasakan perasaan patah hati yang merobek-robek hatinya. Chanyeol-nya, belahan jiwanya, Alphanya, takdirnya.

"Tidak, tidak, tidak, jangan lakukan!" Ia berteriak histeris dan terisak keras. Kedua tangannya mengepal, lantas kemudian mengetuk-ngetuk pintu berbahan kayu tebal itu dengan seluruh kekuatannya.

Kenapa Chanyeol melakukannya?

"Kumohon jangan melakukannya." Ia terus mengetuk, mengetuk, dan mengetuk hingga punggung tangannya menjadi kemerahan. "Kumohon, kumohon." Ia meminta, hampir putus asa.

Di mana Minseok? Di mana semua orang?

Tolong.

Baekhyun menoleh ke kiri dan kanan seperti orang kebingungan, namun tidak ada satu pun orang yang ia lihat. Ia kembali menatap pintu di depannya, dan merasa hancur saat Chanyeol tak kunjung membukakan pintu untuknya.

"Keluar, jangan lakukan ini padaku, kumohon Chanyeollie," isaknya pilu. Tubuhnya gemetaran, menggigil hebat karena nyeri di hatinya yang terkoyak.

Hatinya teriris, seperti ada luka menganga yang membuatnya merasakan sakit luar biasa. Omega di dalam jiwanya melonglong layaknya tengah sekararat, membuat rasa sakitnya menjadi berlipat-lipat hingga terasa menyesakkan.

"Chanyeollie," panggilnya susah payah.

Namun mendadak ia menghilang.

Lenyap.

Bocah itu tersentak dan menghentikan ketukan pada pintu. Matanya berkedip lamat-lamat saat perlahan salah satu tangannya menyentuh dadanya, mencari keberadaan sisi lain dari dirinya. Namun, tidak ada yang dapat ia rasakan selain kekosongan. Seakan ia pergi ke tempat terjauh di dalam dirinya, di mana ia tidak lagi dapat merasakannya. Sekarang seluruh tubuhnya menjadi dingin. Ia hampir bisa merasakan kematiannya. Seluruh tubuhnya terasa lelah, membuat ia akhirnya jatuh bersimpuh di lantai.

"Tolong jangan lakukan," bisiknya bersamaan dengan air mata yang menetes jatuh melewati pipinya.

e)(o

Ruangan itu terkunci rapat. Sengaja, karena si pemilik ruangan tidak ingin siapa pun menganggu aksinya.

Chanyeol menjilat bibir bawahnya dan mendesah puas, "Ahh, Sunbin... ini benar-benar nikmat." Ia terkekeh-kekeh dan menyugar rambutnya yang basah. "Kau memuaskanku malam ini. Aku senang pertemuan ini tidak akan berakhir sia-sia."

Tidak.

Sunbin menjerit setengah sinting, meminta ampun seperti seorang budak putus asa. Punggungnya dipenuhi guratan luka merah mengerikan; bekas cambuk yang dihadiahkan Chanyeol untuk malam mereka yang indah. Pria itu kerasukan, mencambuknya keji dengan sebuah ikat pinggang. Pening menyengat kepala saat ia berusaha membuka mata, mencoba mengais sisa-sisa kesadarannya yang mulai menghilang. Tidak banyak gerakan yang dapat ia lakukan dalam posisinya saat ini. Bersimpuh seperti seorang budak. Hanya kepalanya yang sesekali berputar ke belakang, menatap lemah sekelilingnya seperti orang linglung.

"Kau monster, kau bukan manusia!" jeritnya kepayahan.

Namun yang ia dengar justru suara kekehan serak Chanyeol.

"Kau mencoba menyentuh milikku yang berharga, jadi bagaimana bisa aku membiarkannya. Aku hanya memberimu tanda, agar kau bisa memamerkannya pada orang-orang. Mereka akan tahu, seberapa besar reaksiku terhadap setiap tindakan kecil yang mereka lakukan."

Suaranya bengis dan kejam, membuat Sunbin ketakutan.

Tidak, ia selalu takut dengan pria itu.

"Hh—cukup!" pintanya putus asa.

Ia memandang ke depan, namun didapatinya ruangan di depannya justru semakin menjauh, lalu menjadi buram dan bergerak mengombang-ambing membuat kepalanya semakin pening. Pada akhirnya, seluruh kesadarannya menghilang, dan membuatnya jatuh tersungkur.

"Sudah lama sekali aku tidak melakukannya," ucap Chanyeol terengah. Ikat pinggangnya yang berlumur darah menjuntai menyentuh lantai. Dengan cepat ia menariknya, menggulungnya asal, dan melemparnya ke sofa.

Kakinya melangkah lebar menuju meja, mengambil gelas wiskinya. Ia meminum alkohol itu dalam sekali tenggak, dan mendesah puas pada rasa pahit yang membakarnya. Mulanya Chanyeol berniat menelepon Minseok untuk meminta pria itu membersihkan kekacauan kecil yang terjadi, namun gerakannya yang hendak mengambil ponsel terhenti saat ia samar-samar mendengar suara seseorang.

Chanyeol mencoba memfokuskan pendengarannya—dan hanya butuh waktu sedetik sampai ia tersadar dari siapa suara menyedihkan itu berasal.

"Fuck."

e)(o

Pintu mendadak terbuka, membuatnya tersentak kaget. Ia mengenali suara langkah kaki itu. Wajah penuh air matanya perlahan-lahan mendongak, menatap ke arah sepasang sepatu hitam mengkilap yang berhenti tepat di depannya. Ia menarik pandangannya semakin ke atas, dan berhenti saat telah bertemu pandang dengan wajah tegang Chanyeol.

Pria itu berkeringat. Ada luka cakar di dekat rahangnya, bekas merah lipstik di ibu jari kirinya, dan penampilannya begitu berantakan; seakan ia baru saja melakukan sesuatu yang melelahkan.

Atau mungkin menyenangkan.

"Aku—"

Belum sempat Chanyeol menyelesaikan kalimatnya, bocah itu sudah lebih dulu pergi meninggalkan lorong tersebut dengan berlari terseok-seok.

e)(o

"Jadi jalang itu yang menjadi dalang dari balik penyerangan? Benar-benar jalang tidak tahu malu. Beruntung, Bos sudah memberinya hukuman yang setimpal. Sekarang aku yakin, dia pasti akan mulai memikirkan ide untuk kembali ke Paris."

Minseok berjalan mondar-mandir di dalam kamar Chanyeol sembari mengeluarkan komentar kebenciannya terhadap Sunbin yang kebetulan telah dibawa pergi oleh para pengawalnya. Mereka tidak akan mungkin berani melaporkan Chanyeol atas kekejaman yang pria itu lakukan malam ini—seperti korban-korbannya yang lain—karena Minseok yakin wanita itu masih waras dan tidak akan membawa dirinya terlalu jauh dalam bahaya.

"Phoenix pasti sangat kelelahan setelah mencambuk jalang itu, itulah sebabnya mengapa penampilannya terlihat sangat berantakan. Aku benar, kan?" Minseok melirik ke arah Baekhyun yang tertidur menyamping sembari memeluk guling erat. Bocah itu masih menangis, belum ingin berhenti mengeluarkan air matanya.

Yah, meski itu hanya kesalahpahaman, tetap saja hatinya merasa patah hati.

Baekhyun masih remaja, jika semua orang di rumah itu lupa.

"Kata-katamu kurang memprovokasi," bisik Jongin. "Kau harus mengatakan sesuatu yang lebih menghinanya. Itu akan membuat Baekhyun merasa lebih baik, karena dia akan berpikir semua orang berpihak padanya, bukan pada jalang itu."

"Benarkah?" bisik Minseok.

"Kau kurang berimprovisasi sebenarnya," timpal Sehun, mengingat betul perannya sebagai seorang pangeran tempo hari.

"Benar, improvisasi." Jongin mengiyakan yang disambut anggukan mantap Zitao.

"Nah, bagaimana jika kau membantuku?" balas Minseok pada Jongin.

"Baiklah" Jongin memberinya jempol. Pria itu berdehem keras untuk mengambil ancang-ancang, dan kemudian mulai berkata penuh provokasi. "Jalang bodoh itu berpikir Bos mengundangnya untuk sebuah alasan klasik," ucapnya angkuh.

Kedua pria dan satu lelaki yang mendengarnya mengangguk-angguk pada kata-kata seorang Jongin—sampai saat di mana Jongin melanjutkan kalimatnya, ketiganya justru melotot lebar, menatap Jongin lewat pandangan horor.

"Dia berpikir bisa menghabiskan malam panas bersama Phoenix yang akan menungganginya keras sampai—"

PLAK

Kepala belakangnya di tampar keras oleh saudara kembarnya.

"Kenapa kau memukul kepalaku?!" Jongin menyeru protes.

Sehun hanya menatapnya tak acuh dan justru Minseok yang menanggapinya dengan memberi Jongin sebuah kalimat sarkastik yang begitu sadis. "Karena kata-katamu sama hinanya dengan wajahmu!"

"Hei, apa kau bilang?" Jongin menunjuk Minseok marah, membuat Sehun yang berdiri di tengah mereka segera berusaha melerai. "Tidak Sehun, biarkan aku."

"Dasar kkamjong bodoh. Kata-katamu itu memang benar-benar memprovokasi. Memprovokasi mereka agar semakin bertengkar. Apa kau tahu itu?!"

"Aku belum selesai bicara, kau saja yang terlalu sensitif, dasar perawan tua!"

"Kalian benar-benar dewasa," ucap Sehun saat keduanya hendak mencakar wajah satu sama lain, hingga Sehun membuat tameng dengan kedua lengannya.

Mereka lalu terlibat perang mulut yang membuat Zitao harus ikut turun tangan. Pada akhirnya mereka lupa pada Baekhyun yang nyatanya masih sibuk menguras air mata di atas ranjangnya.

"Keluar."

Suara berat dan dalam Chanyeol menyentak keempat kucing liar itu.

Chanyeol turun dari atas tangga. Pria itu telah berganti pakaian. Well, ia tidak mungkin memakai pakaian sebelumnya, sebab mungkin pakaian itu telah tercemar oleh aroma Sunbin—dan itu tidak baik untuk hubungan asmaranya bersama Baekhyun. Bahkan ia memilih mandi untuk membuat tubuhnya kembali 'bersih'. Sekarang ia hanya mengenakan kemeja merah malam, dan sebuah jins biru gelap. Malam ini ia ingin terlihat seperti pria muda Korea normal di depan kekasihnya. Bukan seorang CEO workaholik, atau bahkan pemimpin geng mafia yang sadis.

"Kubilang keluar," ulang Chanyeol sembari membuka kancing mansetnya, dan melipat lengan kemejanya sampai siku.

Tidak ingin terbunuh, dan mengalami mati konyol di usia belia, keempatnya bergegas pergi meninggalkan ruangan.

Sepeninggal ketiganya Chanyeol kembali melanjutkah langkahnya menghampiri Baekhyun yang masih setia mengubur wajahnya di bantal. Bahkan guling yang dipeluknya juga ikut mengubur wajahnya. Ia berpikir bagaimana cara Omega itu masih dapat bernapas dengan posisi seperti itu, namun ia sadar bahwa bukan hal itu yang seharusnya ia cemaskan.

"Baby," panggilnya lembut. Ia naik ke atas ranjang, merangkak mendekat pada Omeganya yang tak menghiraukannya.

Chanyeol mengambil posisi tepat di belakang Baekhyun. Ia menarik pelan guling yang menutupi wajah Omeganya, dan merasa bersalah saat mendengar isakan lelahnya, membuatnya tak kuasa untuk segera mencium pelipisnya dalam. Tubuh itu juga gemetaran sekaligus berkeringat. Tanpa mengatakan apa pun Chanyeol meraih tubuh itu, dan membawanya masuk dalam pelukannya. Ia mendekap bocah itu erat, dan membawa satu telapak tangannya agar menapak di permukaan wajahnya untuk mengingatkan Omega itu bahwa ia tidak pergi ke mana pun. Chanyeol berada di sisinya, dan ia tidak perlu merasa takut.

"Sst... Kau tidak perlu menangis, aku di sini, bersamamu," bisiknya. Ia menghapus air matanya lembut, dan mencium kantung matanya yang membengkak. "Buka matamu Baekhyun," pinta Chanyeol.

Baekhyun takut Chanyeol akan marah jika ia tidak mau menuruti perintahnya, jadi ia membuka matanya perlahan, dan terkejut saat menemukan wajah tampan pria itu begitu dekat dengan wajahnya. Manik matanya bergerak, meneliti wajah Alpha-nya lamat-lamat. Ia menyentuh wajah Chanyeol dengan jari-jarinya yang dingin, dan menggigit bibir untuk menahan isakan saat ia kembali mengingat suara desahan yang ia dengar di lorong.

Masih terasa sakit meski itu hanya sebuah kesalahpahaman.

"Aku tidak mengerti mengapa kau menangis?" ucap Chanyeol bingung. Pria itu membawa kepala Baekhyun terbaring di bantal dengan nyaman, sementara ia berada di atasnya. "Katakan," perintahnya.

Bocah itu nampak kesulitan untuk mengambil napas. Air matanya tidak berhenti mengalir, dan Chanyeol merasa semakin buruk karena ia tidak mampu membaca isi hatinya. Ia hanya bisa merasakan sakitnya tanpa bisa mengerti.

"Jangan menangis." Chanyeol mengambil sapu tangan miliknya dan menghapus air matanya. Jari-jarinya meraih tangan kanan Baekhyun, menggenggam dengan erat. Kemudian Chanyeol membawa tangan mereka lebih tinggi, hanya agar Baekhyun dapat melihatnya. "Lihatlah, aku di sini. Kau seharusnya bisa merasakan kehadiranku. Jadi berhentilah menangis," ucap Chanyeol di depan wajahnya.

Manik matanya bergulir menatap tangan mereka yang bergenggaman erat. Tangan Chanyeol terasa begitu hangat hingga menyentuh sampai ke hatinya. Ia dapat merasakan air matanya menetes cepat melewati sudut matanya saat ia meraih leher Chanyeol, dan menyembunyikan wajah sedihnya di lekukan lehernya.

Ia di sini, bersamanya.

Chanyeol di sini, memeluknya.

"Namanya Sunbin, Sunbin Lee," mulai Chanyeol. Meskipun tubuh dalam pelukannya tersentak oleh ucapannya, Chanyeol tetap melanjutkan, "Dia kekasih pertamaku. Hanya itu. Tidak ada yang istimewa dari hubunganku dengannya."

Kekasih pertamanya.

Kenyataan itu membuatnya iri.

"Dia sangat cantik," gumam Baekhyun.

"Kau mengatakan itu pada semua wanita yang kau lihat," balas Chanyeol geli.

Mereka hanya saling diam untuk beberapa saat sampai akhirnya Chanyeol menarik tubuh itu menjauh dari pelukannya, dan membawa kepalanya agar kembali terbaring di bantal. Ia menggamit dagu bocah itu, menariknya lembut untuk membuatnya mendongak menatapnya. Manik Chanyeol menatap matanya dalam, dan terkejut saat menemukan ketakutan dalam tatapannya.

"Apa yang kau takutkan?" tanya Chanyeol tidak mengerti.

Baekhyun tersenyum dan berbisik dengan getir, "Kehilanganmu."

Pria itu mengerutkan keningnya dan kembali bertanya, "Apa yang kau rasakan saat tahu jika aku Alpha-mu?"

"Aku ketakutan, tapi aku juga merasa sangat bahagia," balasnya. Ia lalu membalik pertanyaan tersebut. "Bagaimana dengan Chanyeollie—"

"Aku marah," potong Chanyeol. Matanya berkilat tajam. "Aku membencimu Baekhyun. Aku membencimu hingga aku terobsesi untuk melenyapkanmu. Tapi hal itu tidak pernah kulakukan. Mungkin karena aku menginginkanmu untuk berada di sisiku..." Ia merunduk dan hendak menciumnya, tetapi Omega itu memalingkan wajah seakan menolaknya.

"Aku tidak mau menunggu," ucap Baekhyun tiba-tiba.

"Apa?" tanya Chanyeol tidak mengerti.

"Aku tidak mau menunggu. Itu sangat melelahkan," ucapnya seperti akan kembali menangis. "Aku ingin berhenti."

"Kau ingin berhenti mencintaiku?" dengus Chanyeol.

"Aku ingin berhenti berharap," jawabnya. Ia kembali menatap Chanyeol, namun tidak berani menatap tepat di manik matanya. "Aku ingin menyerah," lanjutnya.

Chanyeol mencengkram dagunya, memaksa bocah itu menatap tepat di matanya. "Katakan kenapa?" tanya Chanyeol dingin. Mata itu bahkan berkilat bebahaya, seakan dikuasai oleh amarah.

"Seribu tahun terlalu lama... aku tidak sanggup menunggu sampai selama itu," isaknya. Ia menyentuh wajah Chanyeol, dan membelainya lembut. "Tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja hidup seperti ini," katanya sambil mencoba tersenyum.

Senyumnya begitu hampa, melukai hati Chanyeol.

Anak itu menghapus air matanya cepat, dan memalingkan wajahnya saat Chanyeol menatapnya tanpa emosi. Pria itu mungkin marah, atau bahkan bingung dengan ucapannya. Tetapi Baekhyun pikir tidak ada gunanya untuk terus menunggu. Saat ia melihat bagaimana pasangan lain dengan mudahnya mengungkapkan perasaan masing-masing, dirinya justru tidak pernah mendapat perlakuan yang sama. Itu menyedihkan, tapi ia pikir ia akan bisa melewatinya. Mungkin hal itu akan menjadi mudah saat telah terbiasa.

Saat Chanyeol terus menancapkan tatapannya tanpa berkata sepatah kata pun, Baekhyun memilih untuk kembali mengeluarkan isi pikirannya.

"Kupikir... kita tidak seharusnya menikah," ucapnya susah payah. Ia menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya dan melanjutkan, "Kau tidak—"

Chanyeol membungkamnya dengan sebuah ciuman.

Pria itu menggenggam kedua tangannya dan menariknya hingga melewati kepala mereka. Bibirnya melumat rakus bibir Baekhyun, menyalurkan kemarahannya. Ciuman itu begitu menuntut, membuat Baekhyun kesulitan mengimbanginya. Ia meremas tangan Chanyeol dalam genggamannya, dan menangis saat merasakan emosi Chanyeol yang kacau.

Sama kacaunya dengan dirinya.

Satu tangannya dengan susah payah melepaskan diri dari genggaman tangan pria itu hanya agar ia dapat menyentuh wajah tegangnya dan mengusapnya. Chanyeol menghisap dan melumat bibirnya tanpa ampun. Ia tidak berhenti memiringkan kepalanya ke kiri dan kanan untuk memperdalam ciumannya. Bahkan ia dapat merasakan kepalanya yang semakin lama semakin menekan bantal.

Meski ia bisa saja membiarkan pria itu berbuat semaunya, namun Baekhyun memilih bereaksi atas tindakan tersebut. Ia memukul-mukul dadanya, dan mencoba mendorongnya dengan satu tangan, namun semua itu hanya berakhir sia-sia.

"Chanyeollie." Ia mencoba menyadarkan pria itu di tengah-tengah ciuman mereka. Jari-jarinya menyelinap di antara dagu, naik hingga mencapai bibirnya yang hendak kembali menciumnya. "Hentikan," ucapnya mencoba untuk tegas.

Pupil mata pria itu melebar, menatapnya tajam dan bengis, seakan ia menatap seorang musuh. Dan Baekhyun tidak memiliki cara lain selain memeluknya.

"Jangan lakukan lagi, aku takut," ucap Baekhyun. Ia menekan bibirnya di bahu Chanyeol dan menangis. "Aku minta maaf. Tolong jangan marah," isaknya.

Chanyeol melepas kasar pelukannya hingga bocah itu kembali jatuh tertidur. Ia mengurung Baekhyun di antara lengannya yang kuat. Wajahnya mendekat hingga dahi mereka bersentuhan, sementara hidung mereka bergesekan intim. Napas mereka beradu, dan Baekhyun dapat meraskaan emosi Chanyeol yang seperti banteng mengamuk.

"Aku akan membunuhmu jika kau berani mengatakan hal seperti itu lagi," bisik Chanyeol. Suaranya serak dan memburu. "Berjanjilah padaku kau tidak akan mengatakan hal seperti itu lagi," desisnya.

Baekhyun mengangguk-anggukkan kepalanya patuh. "A-aku berjanji."

Mereka bertatapan dan Chanyeol tidak dapat melawan egonya untuk kembali mencium Baekhyun. Pria itu menciumnya rakus, dan melumat bibirnya seperti orang kelaparan. Ia hanya memberi waktu Baekhyun dua detik untuk bernapas sebelum kembali menciumnya dengan panas. Tubuhnya mendesak, namun ia tidak membiarkan dirinya dalam kendali. Ia menjilat pada tepi bibirnya, dan menyeringai pada rengekannya yang terdengar menyenangkan. Ciuman itu berlangsung lama, dan meski ia ingin hal itu berlanjut, ia memilih mengakhirinya.

"Kau ingin tahu perasaanku terhadapmu?" bisik Chanyeol di dekat telinganya.

Baekhyun mengangkat wajahnya, dan menatap mata Chanyeol dengan cahaya harapan di bola matanya.

e)(o

Ruangan asing.

Ruangan yang belum pernah dijumpainya.

Begitu luas dan kosong. Atapnya begitu tinggi, dan lantainya terbuat dari kayu yang hangat. Tidak seperti ruangan mewah yang biasa ia kunjungi di dalam rumah ini, ruangan ini justru begitu bersih dari segala perabot—kecuali grand piano besar yang berdiri gagah di tengah ruangan. Ia berdiri menghadap dinding kaca yang tertutup tirai tipis putih, nampak sendirian, dan muram.

Sejujurnya Baekhyun merasa terkejut, sebab ia tidak menyangka ada ruangan seperti ini di rumah seoeang mafia kelas kakap. Selain itu ia juga merasa penasaran, siapa penghuni rumah ini yang dapat memainkan alat musik tersebut. Satu-satunya sosok yang terlintas dipikirannya adalah Minseok.

"Chanyeollie, apakah itu milik Minseokie hyung?" Baekhyun tidak dapat mencegah rasa penasarannya.

Chanyeol bersandar pada tepian piano dan melipat lengannya. Pria itu tersenyum lalu menggeleng. "Bukan. Ini milikku."

"A-apa?"

to be continued

a/n:

Hai, apa kabar sahabat majalah bobo? hehehehehehe semoga sehat selalu~~~ Minal aidzin walfaidzin mohon maaf lahir dan batin. Kalau ada sumur di ladang boleh kita menumpang mandi, kalau ada keshilafan janganlah di simpan di dalam hati eheheh minal aidzin oke geng^^

terima kasih semangatnya. Aku dapat saran dari beberapa readers untuk mencintai tulisanku sendiri. Well, aku engga bisa HIKS. Setiap selesai posting biasanya aku engga bakal baca cerita itu lagi HAHAHAHA

Percayalah, mencintai tulisan sendiri itu jauh lebih sulit ketimbang mencintai tulisan orang lain. Itulah sebabnya ada plagiarism.

MMMMMMM!

Cie bentar lagi EXOH mau comeback, judul lagunya KoKoBop lagi, warna warni ceria dihatiku. Ceunah temanya dark. Naon anjiran, meuni caang kitu sampe-sampe yang buta warna aja langsung sehat. Kayak tema bajak laut tea ya, padahal katanya army gara gara baju konser mereka tea yang kayak baju tentara eropa(?) yah pupus sudah harapan, niat hati ingin jadi tentara, yang ada malah jadi preman pasar rebo. Tapi gapapalah, yang penting happy ae~~~

Oh iya rambut Baekhyun merah dan panjang gitu ya. Kayak Billy Cyrus. Kenapa si SM seneng banget bikin rambut begitu. Si Taeil aja gitu rambutnya kemarin kemarin. Mana suka ada kepang-kepangan lagih. Udah dua anak SM yang rambutnya di gimbal. Dan yang terdahulu tuh, si menangmenang NCT127 digimbal jadi mirip Jadon Smit. Ya gapapa si Jongin digimbal, cocok cocok aja dia mah diapain juga, mukanya rakyatjelataable. Ehehehe Onginongin kecayangan tapi lebih cayang Sehun sama Chanyeol.

Btw rambut Baekhyun itu jadi ngebuat aku terinspirasi. Pokoknya entar rambut Baekhyun di sini juga gitu. Gatau deh kapan. Tapi harus sesuai dong ya sama imagenya. Kan sekarang cute, dan udah mulai panjang. Entar, ya entar ajalah hehehehehehe

BTW aku bikin Twitter tapi khusus fangirl-ing. Masih baru, baru netes. Yang punya twt fangirl juga kuy follow followan biar bisa bacod bareng da etamah akun untuk menyampah. Resep siah gais hastag EXO-nya ada emotnyahh:(( syalalahun tong poho difollow, ke difollback hehe

Udah ya, inget, jangan ditungguin mmuah!