Disclaimer: Naruto punyanya Masashi Kishimoto

Warning: You guess. /bah

Please read and enjoy. :"))

.

Chapters 4: Two Cups Instant Noodles

Makan malam sudah tersaji rapi di atas meja dan para pelayan baru saja meninggalkan ruang makan. Ada banyak makanan mewah yang belum pernah Ino lihat sebelumnya, tapi tentu saja makanan-makanan itu terlalu banyak jika hanya mereka bertiga yang memakannya. Begitu, karena kenyataannya tak ada orang lain selain mereka yang tinggal di dalam rumah tersebut.

Perutnya merespon wangi jamuan yang tersaji di hadapannya. Namun perasaan Ino berkecamuk gelisah, rasanya ia kehilangan selera makan pada saat itu. Matanya melihat Kankurou yang berjalan mendekat, lalu disusul oleh Gaara yang mengenakan baju formal. Lelaki itu sepertinya sangat merasa tidak nyaman.

"Pakura seharusnya sudah tiba." kata Kankurou ketika mendudukkan dirinya di kursi seberang Ino. Ia satu-satunya yang memakai setelan santai.

Ah, ya.. tadi pagi lelaki itu berkata bahwa mereka akan melakukan bisnis dengan wanita Suna bernama Pakura. Lalu kenapa hanya lelaki itu yang menggunakan baju formal seperti itu? Pikir Ino heran melihat ke arah Gaara.

Dengan tidak nyaman Gaara membetulkan letak dasinya sesekali, padahal dasi tersebut nyatanya sudah betul pada tempatnya tersemat rapi di kerah kemejanya. Namun demikian tak ada kata protes yang terlontar, selang beberapa menit menunggu, pelayan datang mempersilakan seseorang masuk.

Seorang wanita cantik berjalan dengan anggunnya menghampiri meja makan. Sebelum ikut mendudukan diri di kursi, ia membungkuk sekilas dan menyapa mereka ramah. "Selamat malam, Sabaku-san." Katanya. "Senang bisa berjumpa dengan kalian semua."

Ino dan Kankurou balas menyapanya, sedangkan Gaara hanya mengangguk sekilas.

Wanita bernama Pakura itu memakai gaun hitam dengan model yang memperlihatakan belahan dadanya. Rambutnya dikuncir tinggi dengan unjung rambutnya yang bewarna berbeda. Hitam untuk warna dasar, dan oranye terang untunk ujung rambutnya. Sesekali Ino melihat Kankurou mencuri-curi pandang ke arahanya.

"Kau tak banyak berubah, Pakura," Kata Kankurou memulai. "Tetap memesona."

Wanita itu tersenyum, sedangkan Ino hanya memutar mata jengah mendengar kalimat basa-basi tersebut. "Sebelum membahas bisnis, alangkah baiknya jika kita tak menyia-niyakan makanan lezat ini." Sambungnya, dan semua orang memulai acara makan malam tersebut.

Ino dengan malas mengunyah suapan pertama, lalu tiba-tiba sebelah alisnya mengeryit heran ketika melihat Gaara meletakan kembali sumpit di tangannya. Lelaki itu menatap enggan makanan di hadapannya, membuat Ino bertanya-tanya hingga sebuah suara menyadarkannya dari kegiatan memperhatikan sang Kazegake.

"Aku sudah mendengar berita tentang kecelakaan pesawat yang menimpamu, Temari," Kata Pakura. "Kau sungguh beruntung menjadi satu-satunya korban yang selamat— meskipun kudengar ada gadis lain yang sempat dibawa ke rumah sakit." Ia memberi jeda. "Tapi tentunya gadis itu tak seberuntung dirimu."

Ino menjawab setengah bergumam. "Ya," katanya, wanita itu adalah orang kesekian yang mengatakan seperti itu padanya hari ini. "Aku tak bisa lebih beruntung dari ini."

Wanita itu mengernyit sekilas lalu kembali berkata, "Mengenai berita menghilangnya Gaara," ia mengalihkan pandangannya pada Gaara yang duduk kaku. "Oh—astaga. Kau bahkan masih tetap tampan seperti dulu, Gaara! Sangat menggairahkan!" Katanya disertai senyuman dan kedipan sebelah mata. Wanita itu terang-terangan menggoda Gaara, sedangkan Kankurou hanya mengedikan bahu dan tetap makan dengan tenang.

"Tolong langsung ke inti permasalahnnya saja," kata Gaara serius. "Mengenai bisnis yang kau tawarkan, aku tidak setuju dengan syarat yang kau inginkan."

Wanita itu tertawa yang menurut pendengaran Ino tawa itu sangat aneh. "Sayang sekali," katanya. "Akan sangat lucu jika rencana pertahanan militer kalian kekurangan senjata—tentu saja itu akan memberi peluang untuk Konoha." Meskipun suaranya begitu menyenangkan, kata-katanya mengandung ancaman.

Kankurou berhenti sejenak dari aktifitasnya dan berkata, "Seharusnya kau tak lupa bagaimana peran Sabaku saat dulu kau memulai karirmu, Pakura."

"Tentu," kata Pakura serius. "Tapi aku tetap ingin mendapat bayaran yang setimpal. Untuk itu aku ingin agar Gaara menikahiku—kau tahu saat berbisnis kau tak boleh setengah-setengah," Kemudian arah pandangnya melihat ke arah Ino. "Kau tak keberatan 'kan Temari?"

"Kenapa bertanya padaku?" kata Ino mengedikan bahu. "Semuannya tetap Gaara yang memutuskan."

Gaara menyahut cepat. "Aku tidak bisa."

"Kenapa tidak?" bahakn kini suara Pakura terdengar mendesak. "Jika masalahnya adalah perasaan, aku yakin bisa merebut hatimu, Gaara."

Lelaki itu tak menyahut pun Kankurou hanya mengamati mereka dalam diam. Ino memandang Gaara dengan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan, ia meresa simpati dan curiga secara bersamaan. "Menurutku, " katanya memulai. Keadaan yang canggung membuat Ino semakin merasa tak nyaman. "Suatu pernikahan bukan satu-satunya jalan terbaik—maksudku, kita tidak bisa benar-benar berharap pada sebuah pernikahan politik."

Pakura menyeringai. "Oh?" katanya dengan nada yang dibuat-buat. "Maafkan atas kelancanganku, Temari. Aku sungguh tak bermaksud untuk membuatmu mengingat pengalaman pribadimu."

Ino mendelik tajam mendengar nada bicara wanita itu. Dasar jalang!

Kankurou bergerak dan memberi gestur untuk menengahi. "Oh, ayolah," katanya. "Kalian tak harus seperti ini setiap kali bertemu 'kan?"

Sebelah alis Ino mengernyit. Seperti ini setiap kali bertemu? Oh, ah—begitu, Ino paham sekarang kenapa wanita itu memberi tatapan seperti itu saat ia tiba tadi. "Maaf saja," katanya. "Aku tak sudi jika kau jadi adik iparku, Pakura."

Pakura tertawa. "Ku pikir kau berubah jadi orang lain, kipas! Ternyata itu memang dirimu!"

Kipas? Pikir Ino bingung, ia mengabaikan Kankurou yang mendecak kesal. Lalu saat hendak membalas perkataan Pakura, ia melihat Gaara menegakan tubuhnya berdiri dan berbalik untuk pergi.

"Hei—Gaara, makan malamnya belum selesai!"

Gaara tak berkata apapun dan pergi berlalu meninggalkan Pakura yang memanggilnya untuk kembali. "Gaara, kembaliah!"

Ino melihat wanita itu memekik kesal, "Dia benar-benar mengabaikanku!" Dan sebelum mendengar wanita itu menggerutu atau melampiaskan kekesalannya, Ino menegakan tubuhnya untuk pergi ke kamarnya.

Ino menghela napas. "Makan malam yang kacau."

"Ck!"

Ino mengacuhkan decakan sebal dari Kankurou dan tetap berjalan menuju kamarnya. Ia menggerutu kesal dalam hati mendapati banyak lorong panjang yang harus ia lewati untuk bisa pergi ke kamarnya. Kenapa ada orang yang mau membuat rumah sebesar dan semerepotkan ini?

Tepat di depannya ada dua arah yang berlawanan. Ino memilih berjalan ke arah kanan yang mengarahkannya pada pintu yang memilki ukiran kipas berukuran besar. Ngomong-ngomong soal kipas, Ino mendapati benda itu di kamarnya dengan ukuran yang memiliki berat lebih daripada berat tubuhnya. Ino menduga kalau Temari adalah jenis wanita yang tidak hanya memiliki gaya rambut yang nyentrik tetapi juga memiliki hobi dan ketertarikan yang unik.

Begitu ia memasuki kamaranya—kamar Temari, ia langsung merebahkan dirinya di atas kasur dengan nyaman. Rasa-rasanya ia seperti sedang bermimpi masuk ke dalam negeri dongeng antah berantah, namun anehnya tubuh dan pikirannya benar-benar merasa lelah. Ia bahkan tak lagi mampu membedakan mimpi dan kenyataan.

Perlahan-lahan Ino memejamkan matanya, mencoba untuk tertidur. Namun, ia kembali membuka matanya dan menatap langit langit kamar, lalu memejamkannya lagi dan membukanya kembali. terus seperti itu untuk beberapa menit lamanya. Kemudian dengan gerakan cepat Ino menegakan tubuhnya. "Bah!" serunya. "Aku tak bisa tidur!"

Namun tiba-tiba tatapannya menjadi sendu saat melihat seluruh penjuru kamar. "Kenapa bisa-bisanya aku menerima tawaran gila itu?" katanya teringat ketika didatangi Kakashi dan yang lainnya saat ia di rumah sakit. Jelas itu bukan ungkapan penyesalan, melainkan pertanyaan tak berarti yang ia ketahui sendiri jawabannya.

Tanpa disadari tumbuh setitik keraguan di dalam hatinya. Begitu pula munculnya berbagai pertanyaan mengenai dirinya sendiri. Siapakah dirinya? dan tujuan apa yang membuat dirinya harus menumpangi pesawat yang hampir merenggut nyawanya?

Ino menghela napas. Terus memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang sama sejak ia masih di rumah sakit membuatnya semakin tak menemui titik temu. "Apa yang sebaiknya aku lakukan—"

KRUYUUKKK~

"Ah, respon yang bagus perut sialan." Gumam Ino seraya mengelus perutnya yang kembali berbunyi nyaring. Tidak heran juga ia merasa lapar karena tadi ia hanya mencicipi makanannya sedikit.

Ino melirik jam yang menunjukkan pukul 21.05 ia menduga kalau semua pelayan pasti sudah kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Perlahan dengan malas ia turun dari atas ranjang dan berjalan munuju pintu. Ia berniat mencari makanan yang mungkin masih tersisa di dapur, atau juga mungkin ia akan membuat makanan sendiri, bahkan jika hanya ada ramen instan sekali pun. Ia benar-benar merasa lapar.

Ino merasa jengkel saat harus melewati kembali Koridor panjang yang sepi. Dinding-dinding yang dipenuhi dengan lukisan tua dan beberapa bingkai foto membuat imajinasinya berpikir yang tidak-tidak. Rumah besar dan mewah yang sia-sia. Pikir Ino. Tak berapa lama, kakinya melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan peralatan memasak.

Ino berjalan menuju lemari pendingin yang ada di pojok ruangan, dan ia langsung mendesah kecewa ketika mendapati isinya yang hanya dipenuhi dengan bumbu masakan yang dimasukan dalam wadah yang berbentuk labu kecil. Aneh sekali pikirnya. Lemari pendingin sebesar ini hanya berisi bumbu masakan semua.

Dengan lesu ia menutup kembali pintu lemari pendingin itu. Selanjutnya ia membuka semua lemari lainya yang ada di sana. Berharap menemukan sebungkus mi ramen, namun nihil. Ia tak menemukan satu pun. Ketika Ino hendak membuka lemari terakhir, saat itulah ia tersentak kaget mendengar sebuah suara mengejutkannya.

"Apa yang sedang kau lakukan, Temari?"

Dengan was-was Ino memutar tubuhnya dan langsung menatap kaget pada sosok Gaara yang berdiri di dekatnya. "Ah, oh—Gaara." Katanya gugup. "Kau mengagetkanku!"

Gaara tak menyahut, tapi sudut matanya melirik lemari yang baru saja Ino buka tadi. Ino hendak bertanya padanya namun sebuah suara lain mendahuluinya.

KRUYUUKK~

"Oh?" Kaget Ino mengerjapakan matanya beberapa kali. Jika telinganya tak salah dengar, barusan itu adalah suara perut yang sama dengannya beberapa saat yang lalu. Namun kali ini sumber suara itu bukan dari perutnya. Gadis itu lalu menatap Gaara yang—sepertinya berusaha mengucapakan sesuatu, namun Ino cepat-cepat berkata, "Aku akan pura-pura tak mendengarnya kok."

Lelaki itu tak berkata apa pun. Yah, tapi Ino juga tak mengharapkan respon apa pun dari Gaara sih. Hanya saja membayangkan bagaiamana ekspresi lain dari lelaki itu rasanya membuat Ino tertarik juga. Mustahil, Ino. Pikirnya geli.

Gadis itu mengikuti arah pandang Gaara yang melihat ke arah lemari terakhir yang belum sempat Ino lihat. "Aku akan sangat senang jika kita menemukan dua cup ramen," Kata Ino seraya membuka lemari itu, dan seketika matanya berbinar senang melihat dua cup mie di sana. "Wow, aku sangat beruntung!" lanjutnya dengan senyum lebar menatap ke arah Gaara.

Gaara hanya melihat gadis itu yang kini mengeluarkan dua cup ramen dan mengacungkan ke arahnya. "Pertama kita harus mengecek tanggal kadaluwarsanya," katanya, "Akan sangat tidak lucu kalau kita sampai keracunan makanan—oh, tanggal kadaluwarsanyanya masih lama. Lihat, Gaara!"

Iris jade Gaara terus mengamati Ino yang sedang mengacungkan dua cup ramen itu ke arahanya. "Kau tak keberatan 'kan?" kata Ino ragu. "Makan mi instan?" tambahnya. Dan Ino tersenyum ketika lelaki itu mengangguk pelan. "Kalau begitu aku akan memasaknya sebentar, ok?"

Tanpa menunggu persetujuan dari Gaara, Ino langsung berjalan menuju microwave, kemudian mengisi kedua cup tersebut dengan air, lalu dengan cekatan memasukannya ke dalam microwave yang sudah ia atur dengan suhu tinggi. Setelah itu ia menunggunya selama lima menit. Gadis itu tersenyum sekilas saat Gaara yang berjalan ke arah pantry, kemudian mendudukan dirinya di sebuah kursi yang mengahadap ke arah dapur, di mana ia bisa dengan leluasa menatap Ino dari jaraknya.

Selang beberapa menit kemudian, gadis itu berjalan mendekat ke arahnya dengan dua cup ramen instan yang mengepul. Ia menghirup aroma wangi ramen tersebut. "Maaf membuatmu menunggu lama," kata Ino seraya meletakan cup ramen tersebut di depan Gaara. "Silakan."

Tanpa berlama-lama, si gadis langsung sibuk meniup mi dan memakanya dengan lahap, tapi gerakannya terhenti ketika melihat Gaara yang masih tak bergeming. Sebelah alis Ino mengernyit. "Kenapa?" katanya heran, "Kau tak mau memakannya?"

Gaara menggelang. "Aku tak bisa memakannya," katanya ragu. "Masih terlihat panas."

Ino terkikik pelan. "Justru kau harus memakannya selagi panas, Gaara." Dan Ino tak bisa menahan senyum saat melihat lelaki itu menatap ragu ke arah cup ramen di depannya. Ino meletakan cup ramen miliknya dan meraih cup ramen Gaara. "Mendekatlah," katanya, "Biar kusuapi."

Perlahan Gaara mencondongkan tubuhnya ke arah Ino ketika Gadis itu hendak memberinya suapan pertama. Sejenak lelaki itu merasa ragu, namun demikian, ia tetap membuka mulutnya menyambut suapan pertama. "Bagaimana?" tanya Ino antusias.

Gaara tak langsung menjawab, dan ino masih setia menunggu lelaki itu menguyah dengan pelan. Setelah menelannya, Gaara mengangguk sekilas membuat Ino tersenyum puas. Dengan cekatan Ino memberi Gaara suapan ke dua, setelah sebelumnya meniup mi tersebut. Ino sengaja menggulung mi tersebut pada sumpit agar Gaara lebih mudah memakannya. Sambil menunggu lelaki itu menelan makanannya, Ino kembali meraih cup ramen miliknya. "Ngomong-ngomong, Gaara," kata Ino seraya melahap suapan keduannya. "Kenapa tadi kau tak menyentuh makan malammu?"

"Aku tidak suka tomat." Katanya singkat membuat Ino mengerutkan keningnya.

Tomat? Pikir Ino heran. Ia kemudian mengingat-ngingat menu makan malam mereka tadi, lalu tak lama ia mengangguk paham. Saat hendak bertanya lagi, Gaara kembali melanjutkan. "Apa kau sering memakan ini saat di Konoha?"

"Ah—ya," kata Ino seraya mengaduk mi ramennya. "Tidak terlalu sering sih, karena tidak baik juga memakan makanan instan seperti ini." Ino hendak meraih cup ramen milik Gaara, namun terhenti ketika lelaki itu mencegahnya. "Aku bisa melakukannya sendiri."katanya, membuat Ino sedikit salah tingkah.

Selanjutnya Ino tak mengatakan apa pun, begitu pula dengan Gaara. Keduanya sibuk menghabiskan mi ramen mereka, membuat kecanggungan tercipta—tepatnya hanya untuk Ino. Gadis itu tak betah jika sunyi menguasai. Maka untuk mencairkan suasana ia bekata, "Kenapa di dapur sama sekali tak ada bahan makanan?"

Gerakan tangan Gaara terhenti, lalu menggeleng pelan. "Entahlah," katanya, "Aku tidak pernah ke dapur sebelumnya."

"Ah.." respon Ino pendek. Iya juga, orang sepenting Gaara tidak mungkin mengurusi masalah dapur. Tambahnya dalam hati. "Mungkin kebetulan para pelayan kehabisan bahan makanan." Kata Ino mencoba menemukan alasan logis.

Gaara tak menyahut. Ino bisa melihat lelaki itu menghabiskan mi ramen miliknya. Ino sendiri masih belum menghabiskan makananya dan tetap mengamati Gaara yang kini menegakan tubuhnya berdiri. "Kalau begitu aku pergi duluan, Temari." Katanya pamit.

Sebelum lelaki itu menjauh, Ino menarik lengan Gaara. "Tunggu," katanya, kemudian jemari lentik Ino mengusap pelan sudut bibir Gaara. "Ada sisa makanan di sudut bibirmu, dan—" lelaki itu hanya terdiam melihat Ino tersenyum ke arahnya. "Selamat tidur, Gaara."

Gaara mengangguk. "Selamat tidur, Temari." Katanya kemudian berlalu pergi meninggalkan Ino yang memandang kosong kepergian Gaara.

"Temari..." gumamnya. Ah, yaa... bagaimana bisa ia lupa? Pikirnya. "Aku ini Sabaku Temari."

Ino menghela napas, kemudian menegakan tubuhnya berdiri. Sebelum ia pergi meninggalkan dapur, terlebih dahulu ia membuang bekas cup ramen mereka.

.

Hari berikutnya berlalu tanpa kesan bagi semua orang, tapi bagi Ino tampaknya ada tanda-tanda ketegangan batin. Sabaku Gaara melewatkan paginya bersama Ebizo dan Baki dengan mengelilingi proyeksi dan mendiskusikan rencana mereka untuk mengurangi anggaran militer, menjaga negara Suna agar tetap kuat. Siang harinya Kankurou mengajaknya jalan-jalan mengelilingi komplek perumahan elite Suna yang berada tak jauh dari gedung Kazekage, dan sesudah itu Ino memerhatikan seorang wanita yang sedang mencoba membujuk Gaara untuk menunjukan sesuatu di taman.

Bagi Ino, tampaknya hal itu merupakan usaha wanita itu untuk merebut hati sang Kazekage. Tapi kalau kunjungan Pakura yang tiba-tiba itu hanya menyangkut masalah bisnis, mengapa ia memerlukan Gaara untuk jatuh hati padanya? padahal jelas-jelas Gaara sama sekali tak memiliki minat pada wanita itu.

Namun, secara keseluruhan Ino yakin dirinya mulai mengada-ada. Satu-satunya peristiwa menjengkelkan hari itu terjadi sekitar jam tiga sore. Ino telah menyelesaikan perannya sebagai Sabaku Temari dengan baik, dan memutuskan pergi ke rumah kaca untuk berjalan-jalan sejenak, sebelum saat minum teh tiba. Ketika sedang mengitari tanaman kaktus, ia berpapasan dengan Matsuri yang sedang berjalan tergesa sambil menggumam sendiri. Gadis itu hampir menubruknya. Ia berkata, "Maafkan saya," tapi Ino terkejut melihat tatapan aneh yang muncul dari matanya.

"Apa kau baik-baik saja?"

"Oh, tidak. Saya tidak baik-baik saja," katanya. "Saya baru mendapat berita yang mengejutkan—benar-benar mengejutkan!"

"Berita mengejutkan apa?"

Gadis itu meilirik ke balik tubuh Ino, kemudian melirik cemas ke kanan dan ke kiri. Tingkahnya membuat Ino gugup.

"Apakah saya harus mengatakannya kepada Anda?" Ia memandang Ino ragu-ragu, mengkhawatirkan kondisi Ino sebagai Temari yang diketahuinya sedang kehilangan ingatan.

Ino cepat membuat keputusan. Ia memberi tatapan yakin pada gadis itu, mencoba meyakinkan bahwa ia perlu tahu. "Tentu. Katakanlah."

Matsuri terdiam sebentar, menarik napasnya dalam-dalam, membungkukkan kepalanya, dan suaranya hampir bebisik ketika berkata, "Para dewan ditemukan tewas diracun."

Ino nampak terkejut. Para dewan? Tanya Ino dalam hati. Seingatnya, Ino belum sempat bertemu dengan mereka langsung, selain Sandaime, Yondaime, Ebizo dan Baki. Belum sempat Ino memberi respon, Matsuri sudah kembali melanjutkan. "Sebaiknya Anda jangan terlalu sering pergi sendirian," Katanya khawatir. "Cepatlah kembali ke rumah."

Dengan itu ia pergi tergesa menuju kantor Kazegake untuk melaporkan hal tersebut. Sedangkan Ino dengan wajah murung kembali ke rumah.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan negera ini?" gumamnya memandang hamparan pasir dari balik jendela yang terbuka. Rasanya ia ingin menulis laporan mengenai berita tersebut untuk disampaikan pada Kakashi dan yang lainnya.

To be continued.

Big thanks to: xoxo, aiwataru1, minori hikaru. :* (makasih dah baca fanficku yah. /ketjup)

P. s Untuk para pembaca WB (Warm Breeze) yang sabar yah~ aku masih nyari ide buat lanjut ch. 4 padahal ch. 6 nya udah lol. Terus juga lagi ngalir ide untuk fanfic yang ini wkwk. Aku usahain update WB minggu depan hhe.