Disclaimer: Naruto and all character belongs to Masashi Kishimoto. This story is mine. I didn't receive any profits in this fanfiction.


Saat kamu menolong seseorang, bukan berarti kamu berhak atas dirinya. Begitu pun saat kamu menyelamatkan hidup seseorang, bukan berarti kamu memiliki hidupnya. Seseorang yang telah kamu tolong dan kamu selamatkan tetap memiliki hak penuh atas diri dan hidupnya sendiri. Kamu tak berhak mencampuri apa-apa. Karenanya, menolonglah dengan tulus dan ikhlas. Tanpa pamrih dan mengharapkan imbalan apa pun. Maka dengan sendirinya, buah kebaikan akan menghampiri dan membuat hari-hari yang kamu jalani menjadi lebih bahagia dan penuh arti.


Uchihamelia Presents

wave of life

.

Chapter 4


Sakura sedikit tenang setelah mendengar penjelasan Kabuto. Saat ini, kakinya memang sulit digerakkan, namun bukan berarti lumpuh. Ada beberapa urat sarafnya yang terjepit. Tulang punggung dan tulang rusuknya yang patah juga masih dalam tahap penyembuhan. Setelah menjalani serangkaian operasi dan terapi, Kabuto yakin Sakura pasti bisa berjalan lagi. Hal tersebut membuat Sakura sedikit bisa bernapas lega.

Setelah menjelaskan panjang lebar, Kabuto pun keluar dari ruangan meninggalkan Sasuke berdua saja bersama Sakura di sana. Suasana canggung pun kembali Sasuke rasakan.

Saat ini, Sakura yang berada di kamarnya bukan lagi orang koma. Sasuke tak dapat memandangi wajah terlelap Sakura dengan damai seperti rutinitasnya tiap malam. Sasuke tidak bisa bebas lagi beraktivitas di kamar tidurnya sendiri. Meski begitu, Sasuke bahagia dengan keajaiban siumannya Sakura setelah koma tiga bulan ini.

Rintihan pelan Sakura membuat fokus Sasuke kembali. "Apa ada yang sakit?" ujarnya spontan.

Kepala Sakura menggeleng pertanda bahwa dia baik-baik saja. Hanya terasa sedikit ngilu di punggung dan baginya hal tersebut bukan sesuatu yang mesti diumbar pada Sasuke. Sakura yakin ngilu di punggunggnya bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Jadi, dia memilih menyembunyikan agar tak membuat Sasuke mencemaskannya secara konstan.

Lalu, satu tangan Sakura yang terbebas dari infus melakukan sedikit peregangan dengan menggerakkannya lurus-lurus, sembari menggerakkan juga jari-jari tangannya yang terasa kaku. Begitu matanya menangkap sesuatu yang ganjal, Sakura segera menatap Sasuke dengan pandangan waswas. "Ba-bajuku ganti?" lirih Sakura, keningnya seketika berkerut. "Kau yang mengganti pakaianku?" tanyanya kemudian dengan mimik penasaran.

Sasuke menganggukkan kepala dengan enteng. "Ya. Aku menggantinya setiap hari," ujarnya memperjelas tanpa ragu.

Viridian Sakura menatap tajam Sasuke penuh rasa kecurigaan. "Berarti ... kau melihatnya?"

Sasuke terperanjat. "Tidak, aku menutup mata," jawab Sasuke cepat tanpa pikir panjang.

"Itu artinya kau meraba-ra—"

"Tidak. Oh sial!" Sasuke mencebikkan bibirnya pelan. "Baik, dan dengarkan. Ya, aku mengganti pakaianmu, dan melihatnya. Tapi aku tak pernah berimajinasi tentang apa pun. Dan, aku tidak pernah menyentuh tubuhmu sembarangan."

Mata Sakura masih menatap curiga pada Sasuke. Tentu saja, karena sebenarnya dia merasa malu.

Sasuke pun berdiri dari duduknya. "Terserah jika kau tak percaya," ucapnya sembari berlalu dari kamar. Tanpa tahu apa sebabnya, Sasuke merasa tubuhnya panas.

Pandangan Sakura kosong. Lalu perlahan, bibirnya merekah. Sakura percaya pada Sasuke. Sakura yakin jika Sasuke tidak bertindak kurang ajar kepada dirinya selama dia koma. Entah mengapa, Sakura sangat yakin dengan spekulasinya tersebut. Keyakinannya itu membuat perasaannya tenang dan menghangat.

-oOo-

Hari ini, masih sama seperti hari-hari kemarin sebelum Sakura terbangun dari koma. Kabuto melakukan pengecekan rutin di pagi hari pada kondisi tubuh Sakura. Tidak lupa, presensi Sasuke pun turut hadir menemani dengan berdiri setia di sisi kanan ranjang rawat Sakura. Namun, netra sekelam obisidian itu dapat menangkap suatu hal yang berbeda. Sesuatu yang terlalu jelas. Terlalu kentara hingga Sasuke tak dapat menampiknya begitu saja. Wajah Sakura murung.

Sasuke yakin ini bukan hanya perasaannya saja. Bukan sesuatu yang dibuat-buat karena terlalu bawa perasaan. Tapi, hal ini fakta. Kemudian tiba-tiba Sasuke merasa gelisah. Tanpa sebab yang Sasuke tak tahu apa.

Usai pemeriksaan yang Kabuto lakukan selesai, Sakura menatap lelaki berkacamata itu dan Sasuke bergantian. Masih dengan ekspresi murung yang kentara.

"Ada apa?" Kabuto berujar lirih.

Sakura menelan air liurnya diam-diam. Merasa canggung untuk mengutarakan keinginannya sendiri.

"Katakan, apa yang sakit?" Sasuke ikut khawatir.

Kepala Sakura menggeleng. "B-bolehkah ... aku membuat satu permintaan?"

Kabuto melirik Sasuke. Lantas Sasuke pun mengangguk mengerti. "Apa?" katanya yang mendadak skeptis.

"Aku ... aku ingin pulang," ucap Sakura pelan. "Maksudku, aku ingin menjalani perawatan di rumah sakit. Tapi tunggu, aku sama sekali tidak meragukan kemampuanmu. Kau sangat hebat, Dokter," kata Sakura menatap Kabuto dengan senyuman bangga karena merasa tak enak hati. Namun … pancaran sedih pun terbit di matanya. "Aku hanya ingin menjalani perawatan di rumah sakit agar penyembuhannya dapat lebih optimal."

Urat syaraf Sasuke tiba-tiba kaku. Tubuhnya terasa sulit untuk bergerak. Bahkan, sekadar untuk menelan air liur pun rasanya sangat sulit. Sasuke mematung. Dengan perasaan gelisah yang menggantung. Tapi, Sasuke tahu bahwa diam hanya akan membuat Sakura bingung. Maka dengan berat, Sasuke mencoba untuk berbicara. "Bukankah perjalanan keluar akan terlalu berisiko untuk kondisi tubuhmu yang masih dalam proses penyembuhan?"

"Kita bisa melakukan perjalanan pelan-pelan bukan?" Sakura mengemukakan opini. Berharap permintaannya dapat dituruti.

"Tetap saja, menurutku, itu terlalu berisiko."

"Sasuke benar." Akhirnya Kabuto bersuara seraya menyentuh selang infus yang terhubung dengan tangan Sakura pelan-pelan. "Tulang-tulang dalam tubuhmu, terutama tulang punggung dan tulang kakimu masih terlalu lemah dan rapuh untuk melakukan perjalanan jauh dalam kendaraan. Ini terlalu rentan dan berisiko besar. Selalu dokter yang merawat dan menanganimu selama tiga bulan ini, aku tidak akan mengizinkanmu keluar dari sini sebelum kau dinyatakan benar-benar sembuh total," kata Kabuto menjelaskan dengan tatapan serius.

Air muka kekecewaan dan tidak terima langsung tampak di wajah Sakura.

"Bahkan saat ini pun, kau belum bisa bangun dari tempat tidur, kan?" Kabuto berujar lagi agar membuat Sakura sadar dengan kondisinya sendiri.

Berpikir sejenak, akhirnya Sakura mengangguk pasrah. Sebagai dokter, tentu Kabuto lebih paham tentang kondisi tubuhnya dibanding dirinya yang awam. Seharusnya Sakura bersyukur Sasuke dan Kabuto masih bersedia merawatnya. Dia tidak boleh keras kepala. "Baik, untuk saat ini, aku tidak akan meminta pulang dan dirawat di rumah sakit. Tapi sebagai gantinya, izinkan aku untuk menghubungi orangtuaku. Aku ingin mengabari mereka bahwa aku masih hidup." Kedua bola mata Sakura berkaca-kaca.

"Sebenarnya, aku sama sekali tidak keberatan," kata Sasuke yang segera merespons ucapan Sakura. Binar-binar senang pun mulai muncul di iris emerald itu menggantikan kesedihan yang tadi tampak. "Tapi ... sayangnya, tidak ada satu pun alat komunikasi di rumah ini."

Perkataan lanjutan dari Sasuke itu membuat ekspresi bingung seketika hadir di wajah Sakura. "Yang benar saja?" ucapnya tak percaya. Selanjutnya, kekehan pelan dari bibir Sakura pun terdengar. "Ayolah ... kumohon jangan bercanda!"

"Yang dikatakan Sasuke sama sekali bukan candaan," kata Kabuto ikut mengomentari.

Mimik aneh dan keterkejutan tercetak jelas di muka Sakura. "Di zaman secanggih ini? Di era teknologi begitu kuatnya menguasai umat manusia? Aku ... sama sekali tidak bisa percaya."

Kabuto menganggukkan kepala. "Benar. Ini memang sulit dipercaya. Tapi, beginilah kenyataannya. Tidak ada satu pun alat komunikasi di rumah ini. Kami sama sekali tidak berbohong. Jika kau bertanya apa alasannya, kami tidak bisa memberitahu. Namun yang pasti, kami memang menghindari dunia luar."

Sakura berpikir keras. Ini sangat sulit dicerna logika. Sangat mutahil untuk bisa dipercaya begitu saja. Apa benar yang diutarakan oleh Kabuto dan Sasuke? Apa benar keduanya berkata jujur? Apa benar keduanya tidak berkonspirasi untuk membohonginya agar terus terjerat di sini lebih lama? Bisakah Sakura memercayai Sasuke dan Kabuto yang notabene adalah orang asing bagi hidupnya? Benarkah kedua lelaki itu tidak mempunyai niatan jahat pada dirinya?

Namun … rasanya hal ini terlalu tidak masuk akal. Teknologi sudah sangat canggih dan mendominasi. Selain itu, meski belum pernah berkeliling rumah ini, namun Sakura bisa tahu bahwa ini adalah rumah yang mewah dan besar. Hal itu diyakini dari visual yang menjadi tempat kamar rawatnya bersemayam. Masa iya di rumah semewah ini tidak ada satu pun alat komunikasi yang mempunyai fungsi sederhana untuk mengirim dan menerima pesan teks dan telepon saja? Walau Kabuto telah berkata bahwa mereka memang menghindari dunia luar. Tetap saja, rasanya sulit bagi Sakura untuk percaya.

Tetapi, terlalu picik juga jika Sakura beranggapan bahwa Sasuke dan Kabuto adalah orang jahat. Bahkan keduanya sudah menyelamatkan nyawanya. Sudah mau repot-repot mengurus dan merawatnya. Namun, apakah keduanya benar-benar tulus melakukannya? Benarkah keduanya tidak mengharapkan imbalan apa-apa? Sakura bimbang. Dilema pun melambung.

"Apa yang kami katakan sama sekali bukan kebohongan. Kau bebas mau percaya atau tidak." Sasuke berujar dengan menatap langsung pada mata hijau Sakura. Mengisyaratkan bahwa ucapannya merupakan sebuah kejujuran.

Sakura menggigit bibir bawahnya. "Sulit untukku memercayai ini semua. Tapi—" Sakura balik menatap obsidian Sasuke. Kata orang, untuk bisa menemukan jawaban apakah seseorang itu berkata jujur atau bohong, kau bisa melihat jawabannya melalui mata. Dan ketika hijau zamrud Sakura menatap obsidian Sasuke, Sakura menemukan jawabannya. Dia merasa yakin bahwa yang diucapkan Sasuke sama sekali bukan merupakan kebohongan. Maka dianggukkan kepalanya itu pelan-pelan. "—aku percaya kalian tidak berbohong."

Sebuah senyum tipis dan samar terbit di bibir Sasuke dalam sekejap. Tidak ada yang melihatnya. Bahkan, mata Sakura yang sedang memandanginya pun ikut melewatkan adegan yang berlangsung hanya selama nol koma sepersekian detik itu. "Saat kau sudah sembuh total nanti, kau boleh pergi dari sini kapan saja," kata Sasuke lugas—mengesampingkan sesuatu dalam hati yang terasa berat ketika mengujarkannya.

"Akan kupegang ucapan itu sebagai sebuah janji."

Kepala Sasuke mengangguk. Itu artinya, dia harus siap melepas Sakura kapan saja. Harus! Tanpa bantahan dan alasan.

-oOo-

Tanpa terasa, beberapa minggu telah berlalu dengan singkat. Sakura tidak pernah lagi merengek minta pulang untuk dirawat di rumah sakit. Atau minta menghubungi orangtuanya untuk memberikan kabar baik bahwa dirinya masih hidup. Sakura hanya menjalani hari-harinya di sini dengan semangat. Agar dia bisa segera sembuh dan secepatnya kembali ke rumah orangtuanya. Dia sudah tidak sabar menantikan hari itu tiba.

Kabuto membuka pintu dengan mimik berseri-seri. "Hari ini aku akan menyampaikan berita baik untukmu," ucapnya seraya mendekati ranjang rawat Sakura.

Kepala Sakura mengangguk dengan raut antusias yang begitu jelas. Sasuke yang duduk di sampingnya ikut menajamkan pendengaran.

"Mulai hari ini, kau sudah boleh turun dari tempat tidur. Tulang rusuk dan tulang punggungmu sudah sembuh."

Wajah Sakura berseri-seri seketika. Lengkungan kurva lebar di bibir pun tercipta.

"Namun tentunya dengan bantuan kursi roda karena tulang di kakimu masih ada yang retak. Jadi kau masih belum bisa berjalan dengan normal."

"B-benarkah?" suara Sakura tercekat. Dia pikir dia sudah bisa meraih bahagia seutuhnya. Tetapi ternyata kesedihan belum benar-benar hilang sepenuhnya. Karena kenyataannya, dia masih belum bisa berjalan normal.

Namun, Sakura sangat bahagia mendengar berita baik bahwa tulang punggung dan tulang rusuknya sudah sembuh. Dia sudah sangat bosan terdiam suntuk di atas tempat tidur untuk setiap harinya. Ini seperti mimpi yang perlahan-lahan menjadi nyata. Kesehatannya berangsur membaik dalam setiap hari. Sungguh seperti sebuah mukjizat. "Terima kasih banyak. Terima kasih sekali untuk segalanya," kata Sakura pada Kabuto dengan suara haru dan senyuman yang tulus. Sakura tidak tahu harus melakukan apa, selain mengucapkan kata 'terima kasih' pada Kabuto—juga Sasuke tentunya. Karenanya dia tak pernah bosan mengucapkan kata-kata tersebut pada dua lelaki yang telah dianggapnya sebagai pahlawan dalam hidupnya itu.

Kabuto tersenyum tipis. "Baiklah, aku keluar dulu. Terapi berjalan untukmu akan dimulai dalam beberapa hari ke depan," ucapnya memberitahu. "Oh, mulai hari ini, kurasa kau bisa memanggilku Paman Kabuto saja agar terdengar lebih akrab."

Bibir Sakura tersenyum simpul, dengan anggukkan kepala sebagai pelengkap. "Baik, Paman," ungkapnya setuju.

Kabuto pun lalu keluar dari ruang rawat tersebut. Dalam hati, dia merasa senang dengan kondisi Sakura yang berangsur membaik setiap hari.

"Sasuke juga … terima kasih, ya," lirih Sakura ketika Kabuto baru saja menutup pintu. Pipinya tanpa sadar bersemu.

Kepala Sasuke hanya mengangguk singkat. Lalu dua pasang mata berbeda warna itu saling berpandangan. Selama beberapa detik, hanya berpandangan, tanpa mengucapkan apa-apa. Hal ini sudah biasa terjadi, sebenarnya. Bahkan Sasuke dan Sakura sanggup bertatapan sampai bermenit-menit ketika sudah kehabisan topik pembicaraan. Apalagi mengingat keduanya yang menempati ruangan yang sama—kamar tidur Sasuke—merangkap kamar rawat Sakura. Jadi, bertatapan intens seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah.

"Aku akan memberikan hadiah untuk perkembangan kesehatanmu," kata Sasuke seraya berdiri dari tempat duduk, memutus kontak mata dengan Sakura begitu saja.

Untuk sesaat, tiba-tiba, Sakura merasa kecewa saat Sasuke memutus pandangan intens mereka. Namun kekecewaannya langsung sirna ketika Sasuke mengatakan akan memberikannya hadiah. "Hadiah apa?" sahut Sakura antusias.

"Mendorong kursi rodamu dan mengajak berkeliling ke semua penjuru rumah ini."

Sakura mengangguk semangat. Ini adalah hadiah yang membahagiakan. Meski Sakura telah terbangun dari koma berminggu lalu, namun kenyataan tidak bisa bangun dari tempat tidur membuatnya terpuruk. Dan saat Kabuto mengatakan dia sudah boleh bangun dari tempat tidur walau masih menggunakan bantuan kursi roda, Sasuke langsung memberikannya hadiah dengan menawarkan diri menjadi pemandu rumah. Sungguh Sasuke benar-benar orang baik meski kepribadiannya tampak dingin dari luar. Sakura sangat menyadari hal ini. Tentunya, dia bersyukur ditemukan, diselamatkan, dan dirawat oleh orang baik seperti Sasuke. "Terima kasih. Aku senang sekali," kata Sakura.

"Tidakkah kau bosan terus mengucapkan kata terima kasih?"

"Tidak akan pernah."

Bibir Sasuke pun menyeringai. Terserah!

"Jadi … kapan kau akan melakukannya?" Sakura penasaran.

"Aku siap kapan pun."

"Aku juga," jawab Sakura yakin. Dia sudah tidak sabar ingin segera keluar dari kamar ini dan melihat pemandangan yang lain serta mengeksplorasinya.

Tanpa mengatakan apa-apa, Sasuke keluar dari kamar. Selang beberapa menit, dia kembali dengan sebuah kursi roda yang didorongnya mendekat ke ranjang rawat Sakura. "Sekarang?" tanyanya singkat, khas Sasuke sekali.

Kepala Sakura mengangguk dengan senyuman lebar di bibir.

-oOo-

Sakura merasa takjub ketika Sasuke mengajaknya keluar rumah. Akhirnya, dia bisa menghirup udara bebas juga. Alam terbuka yang selama beberapa minggu lalu hanya bisa dilihatnya melalui jendela. Sekarang bisa dia lihat dan dia nikmati langsung dengan pancaindranya sendiri tanpa melalui perantara.

Perkebunan anggur yang sangat luas terhampar di depan mata. Lokasi perkebunannya tepat berada di belakang rumah besar ini. Sasuke sengaja membawa Sakura ke situ. Dia sadar Sakura pasti ingin menghirup udara terbuka. Merasakan sepoi angin yang berembus sejuk. Serta melihat matahari yang menyinari bumi dengan mata menyipit. Semua ini membuat Sakura terharu. Bahkan kedua bola matanya tampak berkaca-kaca tanpa Sasuke ketahui—karena berdiri di belakang kursi roda Sakura.

Di tengah perkebunan anggur itu, Kabuto tersenyum sembari melambaikan tangan saat melihat entitas Sakura dan Sasuke yang berada di sisi perkebunan. Sakura hanya membalasnya dengan senyuman dan anggukkan kepala. Dia masih agak takut untuk menggerakkan badan dengan bebas walau Kabuto telah mengatakan bahwa tulang rusuk dan tulang punggungnya sudah sembuh.

Sakura duduk di atas kursi roda dan Sasuke berdiri di belakangnya. Keduanya merasakan gemeresik angin yang berembus, dan menyesap udara segar yang bertiup. Serta memandang Kabuto yang tengah beralih profesi menjadi petani anggur. "Kau pengusaha perkebunan anggur?" tanya Sakura membuka konversasi—tanpa mengalihkan pandangan.

"Hn."

"Pantas kau bisa membuat rumah sebesar ini." Sasuke diam, tak merespons apa-apa. "Tapi omong-omong, dengan perkebunan anggur seluas ini, Paman Kabuto hanya bekerja sendirian mengurus dan membudidayakannya?"

"Tentu tidak. Aku juga membantunya setiap hari. Kami berdua bekerja sama merawatnya."

Sakura mengangguk mengerti. Namun keingintahuan yang terbesit membuatnya kembali mengajukan pertanyaan. "Dengan perkebunan anggur seluas ini, kau menjual ke mana hasil panennya? Bukankah kau bilang lokasi kita berada di pertengahan hutan?"

"Hasil panen anggurnya kami ekspor keluar negeri. Ke Sunagakure. Kami bekerja sama dengan brand perusahaan minuman besar di negara tersebut. Dan kami adalah supplier tetapnya sejak limabelas tahun lalu."

"Hebat!" Sakura berdecak kagum. "Tapi … mengapa tidak ekspor lokal di dalam negeri saja? Di Konohagakure juga banyak brand perusahaan minuman besar. Kenapa harus jauh-jauh sampai ke Sunagakure segala?"

Sasuke terdiam beberapa saat. Dia tidak boleh menjawab dengan emosi, karena Sakura pasti akan mencurigainya. Sakura tidak boleh sampai tahu jika sebenarnya, Sasuke sangat membenci Konohagakure—terutama pemerintahannya. Sakura tidak boleh sampai tahu, karena gadis itu pasti akan ketakutan. Atau bisa-bisa Sakura akan menjauhi dan kembali meminta pulang. "Kami sedikit kesulitan mendapat konsumen di sini. Jadi kami memilih mengekspornya ke sana," ucap Sasuke mencoba menjelaskan dengan tenang dan singkat.

"Begitu, ya. Sayang sekali," respons Sakura. Namun apa pun itu, Sakura mendoakan semoga perkebunan anggur milik Sasuke ini selalu sukses.

"Kau ingin melihat yang lain? Atau … mau tetap di sini?" tanya Sasuke setelah keduanya berada dan terdiam memandangi perkebunan anggur itu cukup lama.

"Hmm. Ayo, ajak aku berkeliling lagi," sahut Sakura ceria. Dia sudah cukup puas menikmati alam terbuka. Sekarang saatnya melihat dan mengeksplorasi yang lainnya.

Sasuke memutar kursi roda Sakura lalu mendorongnya masuk ke dalam rumah. Kemudian mengajaknya memasuki sebuah ruang yang merupakan perpustakaan pribadi Sasuke. Perpustakaan ini sangat luas. Buku-buku berjejer penuh di rak. Bahkan rak-raknya pun dilabeli sesuai dengan kategorinya masing-masing. Mirip perpustakaan umum daerah. Bak toko-toko buku lokal. Dan … perpustakaan selengkap ini adalah perpustakaan milik pribadi. Lagi-lagi, Sakura dibuat kagum akan rumah besar ini.

Sasuke berhenti mendorong kursi roda Sakura dan menepikannya ke meja tempat membaca buku yang berada di tengah-tengah ruang perpustakaan. Setelahnya, dia berjalan ke salah satu rak yang diberi label 'politik'. Kemudian mengambil salah satu buku di sana. Lantas mendudukkan dirinya di meja yang sama dengan Sakura. "Kau juga boleh membaca buku-buku yang ada di sini kalau mau," tawar Sasuke sebelum kemudian dia fokus dengan buku di tangannya.

Sakura mengangguk tapi tak melakukan tindakan apa-apa. Dia hanya memutar kepalanya ke sekeliling penjuru perpustakaan. Lalu kembali memandangi Sasuke, berkonvergensi di situ untuk waktu yang lama. Kemudian, rasa penasaran yang timbul membuat Sakura kembali melontarkan pertanyaan. "Kau hanya tinggal berdua dengan Paman Kabuto di rumah seluas ini?" tanyanya memecah keheningan.

Masih dengan mata yang terfokus pada buku, Sasuke hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Sebelumnya, maaf jika aku lancang. Tapi … anggota keluargamu yang lain tinggal di mana?"

Pertanyaan itu membuat Sasuke impulsif menutup buku yang tengah dia baca. Kepalanya lalu terangkat, dan oniksnya menatap viridian Sakura dengan ekspresi yang tidak dapat Sakura terka. Kemudian, Sasuke mengalihkan lagi pandangan pada buku di tangannya. "Sudah lama mereka tidak ada di dunia." suaranya tetap terdengar normal. Stabil.

Dengan jawaban Sasuke itu … untuk pertama kalinya, Sakura merasa dia begitu bodoh. Seharusnya dia bisa menyimpulkan sendiri hal seperti ini tanpa perlu bertanya pada Sasuke. "Maaf," lirihnya merasa bersalah. Sakura takut pertanyaannya akan membangkitkan kembali fragmen yang mungkin bisa saja sebenarnya ingin Sasuke lupakan untuk selamanya seumur hidup.

"Tidak apa-apa." Sasuke sama sekali tak masalah.

Sakura menunduk. Hening kembali menguasai. Sunyi mengambil alih suasana. Keduanya terdiam dalam imajinasi masing-masing. Kecanggungan pun lagi menyelimuti.

Sakura memainkan kuku-kuku jarinya, lalu menggigit bibir bawah. Berkali-kali. Diulangi lagi tanpa henti. Perasaannya resah. Dia benar-benar merasa tak enak. "Sasuke … kau bilang, rumah besarmu ini berada di tengah hutan dan jauh dari sana-sini. Tapi … rumahmu ini sangat lengkap. Bahkan dapat merangkap rumah sakit pribadi. Perpustakaannya juga besar. Ditambah ada perkebunan anggur pula. Kau tahu? Menurutku, rumahmu ini mirip seperti sebuah negara kecil," celoteh Sakura panjang lebar seraya terkekeh. Dia sedang berusaha menghibur Sasuke karena pertanyaan bodoh yang baru saja dilontarkannya tadi. Mencoba untuk menggugurkan kembali nuansa tidak nyaman yang telah dengan tidak disengaja diciptakannya itu.

Dan Sasuke menghargainya. Dia tahu Sakura merasa tak enak hati kepadanya karena telah menanyakan tentang keluarganya. Padahal sebenarnya Sasuke baik-baik saja dan tak merasa masalah. "Hn. Aku memang berniat menjadikannya sebuah negara," jawab Sasuke garing.

Lantas, Sasuke berdiri dari duduknya dan menaruh kembali buku yang puluhan detik lalu masih dibacanya itu ke rak tempat semula buku ini berada. "Mau kembali ke kamar?" ujarnya pelan sembari membalik badan untuk melihat tanggapan Sakura.

Melihat kepala berambut merah muda itu mengangguk yakin, Sasuke pun menghampiri. Kemudian mendorong kursi roda Sakura untuk kembali menuju kamar.

Tapi, baru beberapa langkah tercipta, Sakura memutar kepalanya menghadap Sasuke. "Eh, tapi tidak! Rumahmu tidak lengkap karena tidak ada telepon dan alat komunikasi lainnya. Negara macam apa ini?" sindir Sakura dengan nada bercanda.

Sasuke melengkungkan kurva tipis. "Agar … negara yang kudirikan ini tidak disadap oleh para penjahat dan teroris. Tidakkah seharusnya kau juga berpikir begitu?"

Tawa Sakura meledak. "Aneh! Mana ada begitu…." Dia tahu Sasuke tidak bisa melucu. Karenanya, Sakura sangat menghargai usaha Sasuke yang sedang balik menghiburnya ini.

-oOo-

Udara pagi seharusnya terasa segar, asri, dan membangkitkan semangat. Tetapi bagi Sakura, udara pagi ini terasa canggung dan tidak menyegarkan. Sakura tidak suka kenapa dadanya terus saja berdebar. Dia juga merasa gugup, dan atmosfer lainnya yang membuat kikuk. Sakura tidak tahu apakah Sasuke merasakan nuansa penuh kecanggungan yang sama seperti yang sedang dirasakannya. Tetapi Sakura dapat merasakan hal-hal ini dengan kentara tanpa dia sendiri mengerti apa penyebabnya. "Kenapa tidak Paman Kabuto saja yang mendampingiku terapi berjalan?" tanya Sakura spontan dengan bibir yang dibuat mengerucut beberapa senti ke depan—pura-pura mengeluh.

Kedua tangan Sasuke yang sedang memegang lengan Sakura—agar membantunya dapat berdiri tegak pun seketika terlepas. Ayolah! Sasuke adalah orang kaku. Dia tidak pernah bergaul dengan teman-teman. Mungkin pernah, tetapi itu terjadi ketika dia masih sangat kecil. Jadi, Sasuke tidak peka mana ujaran yang memang diucapkan serius. Dan mana yang hanya diucapkan bercanda dan pura-pura. Hidupnya sudah lama sepi. Menyendiri menjadi kebiasaan sehari-hari.

Ada perasaan tersinggung yang tiba-tiba terbesit. Perasaan kesal yang seolah membanding-bandingkan dan membuatnya merasa tak layak. Kenapa harus bertanya begitu? Sasuke merutuk. Dia bahkan tak tahu harus menjawab apa. Sasuke sendiri pun tidak mengerti mengapa tadi malam dia menawarkan diri agar menjadi orang yang menemani Sakura terapi berjalan menggunakan walker di ruang kesehatan. Seharusnya, dia menyerahkan saja tugas ini pada Kabuto. Tetapi, ini terjadi oleh intuisi. Sesuatu yang terjadi di luar kendali.

Bola mata Sasuke berputar. Otaknya mencoba mencari kosakata yang pas untuk diucapkan. Namun, dia yang bukan tipikal orang yang pandai bermain kata dan berkamuflase, merasa kesulitan untuk menemukan kata-kata yang pantas. Jadi Sasuke mencoba menjawab saja seadanya setelah sebelumnya melirik Sakura sebentar melalui ekor mata. "Maksudnya, kau lebih senang didampingi Paman Kabuto?"

"B-bukan begitu maksudku." Kepala Sakura menggeleng. Dia memejamkan kedua matanya sekilas. Sepertinya Sasuke memang menanggapinya serius. Tidakkah Sasuke paham bahwa Sakura mengatakan begitu karena sebenarnya dia merasa canggung? "Aku—"

"Apa?" tanya Sasuke polos—menginterupsi sembari menolehkan kepala.

"Ah sudahlah! Kita lanjutkan saja terapinya," kata Sakura mengelak. Dia pun berusaha dengan sedikit tergesa untuk menggerakkan lagi walker yang menjadi tumpuannya berdiri tersebut. Namun, sayang, karena kegugupan yang dirasakannya, kaki Sakura yang masih lemah itu terpeleset.

Beruntung, Sasuke dengan sigap berhasil menyangga dan menahannya. "Jangan ceroboh! Tulang rusuk dan tulang punggungmu baru saja sembuh, bodoh!" Intonasinya diucapkan lebih keras dari biasa. Perkataan impuls yang keluar dari mulut Sasuke tanpa pengendalian.

Terdengar layaknya seorang yang tengah emosi di telinga Sakura. Seperti membentak khas orang marah.

Begitu tersadar, sekelebat perasaan bersalah pun mulai hinggap. Sungguh bukan maksud Sasuke untuk emosi dan marah-marah. Dia hanya terlalu mengkhawatirkan Sakura. Terlalu takut hal-hal buruk kembali menimpa si gadis merah muda. Namun apa daya, dia yang tidak bisa mengekspresikan diri dengan benar membuat Sakura menjadi salah paham dan bergetar.

Jujur, Sakura sangat terkejut. Ini pertama kalinya Sasuke berbicara dengan nada tinggi bahkan seolah membentaknya. Tatapan oniks mata Sasuke juga berkilat dan tampak benar-benar marah. Sakura tidak tahu kenapa Sasuke bisa semarah itu. Dia tidak menyadari jika Sasuke bertindak demikian kerena terlalu mengkhawatirkannya berlebihan. Sakura tidak sadar kecemasan yang Sasuke rasakan. Karenanya, Sakura merasa sedikit ketakutan. Kepalanya mendunduk, tangannya mencengkeram walker itu semakin erat.

Melihat tubuh Sakura yang bergetar makin hebat, Sasuke pun sadar dia memang sudah bertindak keterlaluan. Tidak seharusnya dia membentak Sakura. Tidak seharusnya dia lepas kendali diri. Tidak seharusnya dia membuat Sakura menjadi ketakutan. "Maaf," lirih Sasuke pelan.

Sakura mengangguk. Tangannya mencengkeram walker yang berfungsi sebagai penyangga tubuhnya itu kuat-kuat. "Tidak apa-apa," jawabnya dengan nada suara normal. "Terima kasih telah mengkhawatirkanku," lanjutnya diakhiri dengan senyuman tulus hingga kedua matanya menyipit sempurna.

Melihat senyuman itu. Mendengar jawaban Sakura. Sasuke merasa lega. Itu artinya, Sakura telah memaafkannya. Sasuke pun berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati lagi. Mulai dari sekarang, dia akan mengontrol emosinya dengan baik. Dia tidak ingin melihat Sakura ketakutan, dan ditambah dia yang menjadi sarang penyebabnya. Tidak ingin! Sungguh Sasuke tidak ingin hal tersebut terjadi kembali di kemudian hari. "Kurasa, latihan berjalan untuk hari ini cukup sampai di sini saja," ujar Sasuke memberi opini.

Kepala Sakura pun mengangguk pertanda setuju. Dia juga berjanji tidak akan bersikap ceroboh lagi. Dia juga harus lebih berhati-hati agar sesuatu yang fatal tidak sampai terjadi. Rasanya benar-benar tidak enak membuat Sasuke menjadi semarah itu dikarenakan kecerobohan yang diperbuatnya sendiri. "Aku juga minta maaf atas kecerobohanku tadi," kata Sakura seraya menolehkan kepala.

Sasuke menggeleng. "Tidak perlu. Aku yang salah." Sasuke merasa Sakura tak perlu meminta maaf kepadanya. Kemudian, dia mengambil kursi roda dan mendekati Sakura. "Ayo, aku antar kembali ke kamar."

Bibir Sakura pun merekah lebar. Dia menyadari jika Sasuke benar-benar orang yang baik. Sasuke sangat peduli kepadanya. Bahkan, sampai menjadi marah karena kecerobohan yang diperbuatnya. Sakura merasa bersalah kenapa tadi dia harus merasa ketakutan? Tidak sewajarnya dia takut pada orang sebaik Sasuke. Maaf! Sakura kembali mengujarkan kata tersebut di hatinya. Dia menyesal sempat berburuk sangka.

-oOo-

Dalam suatu malam ketika Sakura telah terlelap dalam tidur. Sasuke keluar dari kamar bersamanya itu pelan-pelan. Dia tidak mau membuat Sakura sampai terusik dan terbangun. Gadis yang telah diselamatkannya itu butuh waktu istirahat yang banyak agar kondisi fisiknya cepat sembuh total. Sasuke mengendap-endap keluar lantas berjalan menuju ruang kesehatan.

Tadi sore, Kabuto membisikannya sesuatu. Lelaki multifungsi bagi hidupnya itu berkata jika malam ini—saat Sakura sudah tertidur, Sasuke harus menemuinya di ruang kesehatan. Ada yang hendak dibicarakan. Sasuke sendiri tidak tahu Kabuto ingin membicarakan tentang apa. Tapi dari sikap dan ekspresi wajahnya, Sasuke dapat menangkap impresi bahwa Kabuto ingin membicarakan sesuatu yang penting dan serius.

Benar saja. Saat Sasuke membuka pintu, Kabuto telah menunggunya dengan duduk setia di situ. Lelaki berkacamata tersebut pasti sudah menunggunya dari puluhan menit yang lalu.

"Ada apa?" tanya Sasuke kemudian sembari mendudukkan diri di kursi yang ada di depan meja Kabuto.

Kabuto mendengus pelan. Memang ciri khas Sasuke sekali. Segalanya dilakukan tanpa basa-basi terlebih dahulu. Meski begitu, Kabuto sangat menyayangi Sasuke dengan sepenuh hati. Sudah menganggapnya seperti adik dan anak sendiri.

Tangan Kabuto pun lantas meraih hasil rontgen yang sudah tergeletak di atas meja, memandanginya sebentar, kemudian memberikannya pada Sasuke. "Ini hasil rontgen terbaru dari kaki kiri dan kanan Sakura," ucapnya datar.

Sasuke menerima dan meneliti potret seperti klise itu. Keningnya berkerut. Dia tidak mengerti sama sekali. Tidak mengerti apa pun. "Aku bukan dokter atau orang yang mengerti dunia medis. Jadi langsung saja jelaskan, Paman," pintanya tidak sabaran.

Kabuto tertawa pelan melihat perilaku Sasuke yang masih saja tidak berubah. Kemudian pointer di tangannya mulai menunjuk bagian-bagian yang tercetak dalam hasil rontgen itu. "Cedera di kaki kirinya sudah hilang, bentuk sarafnya sudah kembali normal. Hanya tinggal menjalani terapi berjalan tiga kali lagi, maka kaki kirinya sudah dipastikan dapat sembuh total."

Mendengar eksposisi Kabuto, Sasuke menganggukkan kepala. Bibirnya tersenyum tipis diam-diam, merasa senang.

"Sementara cedera di kaki kanannya masih belum pulih. Ada beberapa urat saraf yang masih kaku dan terjepit. Mungkin baru akan sembuh setelah menjalani belasan kali terapi berjalan lagi."

Sasuke terdiam. Entah kenapa dia merasa sedih dan tak tahu harus memberikan tanggapan bagaimana. Kepalanya tertunduk memandangi hasil rontgen itu dengan perasaan tak menentu.

"Sasuke …," panggil Kabuto. Perlahan Sasuke mengangkat kepala, lalu menatap Kabuto yang ternyata tengah memandanginya dengan tatapan yang Sasuke tidak mengerti apa maksudnya. "Prediksiku, kurang lebih tinggal dua bulan lagi dan Sakura akan sembuh total," ujarnya.

Kepala Sasuke mengangguk. Ini berita baik, menurutnya. Jadi Sasuke tidak mengerti mengapa wajah Kabuto mesti berubah dengan menampilkan tatapan sedih yang menurutnya tidak pas dengan situasi.

"Itu berarti … Sakura akan pergi dari sini selamanya dan kembali pada kehidupannya. Kau akan kehilangannya! Apakah kau siap untuk merasakan kehilangan lagi?"

Lidah Sasuke kelu. Apa … apaan? Apa maksudnya? Apakah Kabuto tengah mencoba untuk memancing emosinya? Sasuke bertanya-tanya sendiri. Perasaannya mulai berkecamuk. "Jangan keluar dari topik pembicaraan," sergahnya yang berusaha meredam suara. Menahan agar emosinya tidak meledak.

"Justru kau yang jangan munafik! Apa kau akan membiarkannya pergi?"

Sungguh! Sasuke tidak mengerti mengapa Kabuto mesti bertanya begitu. "Dia bukan milikku. Dia mempunyai keluarga, dan kehidupannya sendiri di luar sana. Aku tak berhak atas kehidupan Sakura. Selain itu, aku juga tak mungkin bisa menahannya untuk tinggal dan diam di sini lebih lama lagi."

"Kau menyukainya! Iya, kan?"

Sasuke terdiam. Berkontemplasi. Pandangannya kosong. Dia tidak pernah sadar akan hal ini sebelumnya. Apakah benar dia menyukai Sakura? Sasuke sendiri tak yakin. Namun, satu hal pasti yang tak akan Sasuke bantah. Kini dia merasa berat untuk melepas Sakura. Sasuke tidak tahu kenapa sekarang dia menjadi egois. Menjadi pamrih dengan mengharapkan agar Sakura terus tinggal di rumah ini bersamanya.

Awalnya, Sasuke hanya berniat menolong dan menyelamatkan Sakura—selaku korban kecelakaan. Tetapi kenapa lama-lama niatnya jadi bercabang ke sana-sini? Apakah benar penyebab dari semuanya itu karena dia menyukai Sakura? Benarkah yang dituduhkan Kabuto kepadanya? Sasuke mencoba bertanya pada hati. Namun dia masih belum menemukan jawaban yang pasti. Mulut Sasuke membisu. Tidak tahu bagaimana cara yang tepat menginterpretasi dan harus bereaksi.

Melihat Sasuke yang tetap mematung, Kabuto membenarkan letak kacamatanya lantas mendekatkan kepalanya pada telinga Sasuke. "Aku bisa membantumu jika kau mau."

Sasuke menegang lantas dengan waswas melirik Kabuto melalui ekor mata. Firasatnya tiba-tiba merasa tak enak. Nalurinya terus bertendensi memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Aku dapat menyuntikkan cairan lumpuh pada kakinya, dan dipastikan Sakura tak akan dapat berjalan lagi seumur hidupnya. Dengan begitu, dia tidak akan pergi ke manapun. Sakura akan terus di sini bersamamu selamanya. Dia akan menjadi milikmu. Bukankah kau juga menginginkan hal ini, Sasuke?"

.

.

to be continued

.

.

a/n: maaf untuk keterlambatan update. tapi semoga readers sekalian puas ya, dengan chapter ini, karena isinya hampir full interaksi sasusaku. ehhe.

terima kasih sudah baca, dan makasih juga untuk yang telah memberikan review.

concrete, criticism, and advice are very welcome (^_^)

mind to review? :"))

with love,

Uchihamelia