Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: YAOI, AU, OOC PWP (Penis with penis) No! I mean Porn Without Plot—#Plak XD *author digampar* dan peringatan lainnya yang bersifat 'dewasa' serta nyeleneh.
Pairing: Always NaruSasu
Rated: M for Mature and Sexual Content
Don't Like Don't Read
.
Baby, I'm Crazy For You!
.
By: CrowCakes
~Enjoy~
.
.
.
Pagi hari di kediaman Uchiha terasa sangat menyenangkan bagi pemuda pirang bernama Uzumaki Naruto—yang untuk pertama kalinya bisa menginap bahkan tidur bersama di satu ranjang yang besar dengan Sasuke.
Bayangkan saja! Tidur satu ranjang dengan idola kampus, jangan lupakan juga kalau mereka sudah melakukan hal yang sangat intim—seks!
Ya! Seks! Oh god, mengingat kejadian itu sukses membuat Naruto mengulum cengir lebarnya.
Naruto melirik ke samping, dimana wajah baby face Sasuke masih terlelap tidur disebelahnya. Pemuda pirang itu tidak membangunkan Sasuke, ia hanya memandang wajah manis Sasuke dengan mata biru cerahnya. Meneliti setiap bagian wajah sang Uchiha dengan seksama. Bulu mata yang lentik, bibir pink yang tipis, hidung mungil dan mancung, serta alis hitam yang tajam.
God, Sasuke benar-benar manis seperti permen.
"Berhenti menatapku seperti maniak, Dobe." Sasuke membuka suara tiba-tiba, hampir membuat Naruto terjungkal kaget.
"K—Kau sudah bangun rupanya." Naruto tertawa salah tingkah.
"Hm." Sasuke membuka kelopak matanya dengan perlahan sebelum merenggangkan seluruh persendian lengan dan punggungnya.
"Sejak kapan?" Tanya Naruto penasaran.
"Dari tadi." Jawab Sasuke singkat sembari beranjak dari kasur.
"Tapi aku tidak melihat kalau kau bangun."
Sasuke mendengus kecil. "Aku bangun lebih awal satu jam, tetapi lenganmu memeluk tubuhku, jadi aku biarkan saja dan kembali tidur lagi."
"Kau bisa menggeser lenganku kalau kau mau."
"Ya, aku bisa." Sasuke menarik handuk putih dari dalam lemari. "Tapi aku tidak mau, lagipula aku tidak enak membangunkanmu jam 5 pagi." Ia menatap Naruto sebelum menunjuk ke arah kamar mandi. "Mau mandi bareng atau sendiri-sendiri?" Tawarnya.
Naruto sumringah dan langsung melompat turun dari ranjang. "Ayo mandi bersama, Sayang!"
"Jangan memanggilku 'sayang', Dobe. Terdengar menjijikan."
Naruto tidak menjawab dan hanya menampilkan cengiran lebar saja.
Mereka menghabiskan 10 menit untuk mandi bersama. Naruto tidak berani melakukan apapun pada Sasuke walaupun miliknya sudah tegang sepenuhnya saat melihat tubuh telanjang pemuda raven itu. Dia berkali-kali mencoba memancing libido sang Uchiha dengan menciumi pundak Sasuke, namun pemuda itu menolaknya berkali-kali juga dengan alasan mereka akan terlambat ke kampus.
Naruto hanya cemberut mendengar alasan yang sepele itu. "Kita bukan anak kecil lagi, Teme. Kita tidak masuk kuliah pun tidak akan ada masalah sama sekali, tidak akan dicari dosen juga."
"Kau benar, tapi aku adalah mahasiswa disiplin dan aku tidak ingin terlambat masuk perkuliahan." Ultimatum dari Sasuke membuat Naruto tidak bisa mengeluarkan protesan lagi.
Naruto cemberut jengkel. Memang terkesan egois, but hey! Naruto juga ingin sayang-sayangan di pagi hari bersama sang kekasih. Tapi tunggu, apakah mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih ataukah Naruto hanya dijadikan selingkuhan saja, melihat kalau Sasuke sudah mempunyai Hinata?
Naruto tidak berani mengangkat topik tersebut karena takut menyinggung perasaan Sasuke. Jadi dia hanya diam saja, bahkan setelah mereka berpakaian dan turun untuk sarapan pun Naruto tetap membisu.
Naruto duduk di depan meja makan tanpa melakukan apapun, hanya otaknya saja yang berpikir keras mencari jawaban mengenai hubungan mereka.
-Tring!- Bunyi garpu perak beradu dengan gelas kaca langsung membuat acara melamun Naruto terganggu. Ia gelagapan sendiri sebelum mendongak menatap Sasuke yang berada di depannya memegang garpu dan gelas. Raut heran.
Sang Uchiha mengerutkan kening. "Kenapa kau melamun?" Tanyanya seraya menaruh gelasnya kembali.
"Aku tidak melamun." Jawab Naruto sambil tertawa kecil.
Garpu yang dipegang Sasuke menunjuk ke arah piring Naruto, dimana roti bakar selai cokelatnya sama sekali belum tersentuh. "Kau tidak sarapan? Nanti roti bakarnya keburu dingin."
Naruto mengedikkan bahu. "Aku hanya belum terbiasa sarapan roti. Aku tipe yang makan nasi dan ramen untuk sarapan."
"Kau yakin itu alasan kau melamun, Dobe?" Sasuke memotong roti miliknya, menancapkannya ke garpu dan memakannya dengan gaya elegan. Naruto hanya memperhatikan seluruh gestur Sasuke tanpa banyak bicara.
"Ya, hanya itu saja." Balas Naruto lagi setelah puas menatap Sasuke mengunyah roti dengan perlahan. Naruto bersiap memotong roti miliknya menjadi potongan kecil, namun lidahnya sudah gatal untuk menanyakan bagaimana hubungan mereka ini sebenarnya. Apakah hanya sebatas teman satu malam? Selingkuhan? Ataukah kekasih?
"Uhm, hei—" Naruto meletakkan garpu dan pisaunya di sisi piring sebelum mencondongkan tubuhnya ke arah Sasuke, meminta perhatian. "—Bagaimana menurutmu hubungan kita ini?"
Sasuke berhenti melakukan gerakan. Ia menatap Naruto seakan-akan pemuda itu baru saja menanyakan kapan hari kiamat akan terjadi. "Huh?"
"Yeah, kau tahu maksudku..." Gestur Naruto menampilkan kalau pemuda pirang itu sedang canggung. "...Hubungan kita..." Ia menunjuk dirinya sendiri dan Sasuke bergantian. "...Apakah kita hanya sebatas teman saja ataukah...?" Ia sengaja menggantungkan kalimatnya untuk membuat Sasuke sedikit berpikir.
Sang Uchiha mendesah pelan. Ia meletakkan alat makannya, menyapu mulutnya dengan serbet putih kemudian melirik ke arah para pelayan yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Kalian semua, masuk ke dalam dapur. Sekarang." Perintahnya sembari mengibaskan tangan satu kali.
Para pelayan yang berada di sekitar meja makan langsung membungkuk hormat sebelum bergerak menuju dapur, meninggalkan tuan muda mereka dan pemuda pirang itu dalam keheningan ruang makan yang luas.
Sasuke berdehem kecil, kemudian menatap Naruto dengan onyx-nya yang tajam. "Jadi, katakan sekali lagi apa maksudmu menanyakan hal tersebut?"
Naruto menelan ludah. Ia memainkan garpunya dengan gugup. "A—Aku hanya ingin dianggap olehmu sebagai seseorang yang berharga."
"Kau berharga." Jawab Sasuke cepat.
"Bukan berharga yang seperti itu..." Naruto menggaruk belakang kepalanya agak frustasi. "...Kalau disuruh memilih, lebih berharga aku ataukah Hinata?" Tanyanya langsung menohok ke inti.
Sasuke mengerjap dua kali kemudian bibirnya membentuk huruf 'o' kecil. Ia pun akhirnya paham kenapa cowok pirang idiot ini sejak keluar dari kamar mandi tidak bicara sedikit pun. Ternyata ini masalah yang sedang dipikirkannya.
"Jadi... Bagaimana?" Naruto menatap Sasuke. Menuntut jawaban.
Tiba-tiba saja tenggorokan Sasuke kering mendadak. Ia meraih gelasnya dan menyeruput air putih dengan cepat. "Begini..." Ia menaruh kembali gelasnya di atas meja. "...Jadi intinya, kau cemburu karena aku masih berhubungan dengan Hinata, sedangkan aku juga berhubungan denganmu, begitu?"
Naruto tidak menjawab, hanya mengangkat kedua bahunya seakan-akan berkata, 'ya, begitulah.'
Sasuke mengaitkan kedua tangan di bawah dagu, berpikir. "Naruto, kau sekarang adalah prioritas utamaku, sedangkan Hinata... Kami... Maksudku, aku—sudah tidak punya chemistry lagi padanya." Ujarnya seraya mengibas-ngibas udara.
"Lalu apa yang akan kau lakukan padanya?"
"Untuk sekarang... Aku tidak tahu."
"Apa maksudmu tidak tahu?" Naruto hampir saja menggebrak meja karena emosi dengan kalimat yang diucapkan oleh Sasuke. Bagaimana mungkin dia tidak tahu? Apa dia tidak ingin berpisah dengan Hinata? Apakah Sasuke menginginkan dirinya dan Hinata sekaligus? Tidakkah itu rakus? Serakah?
"Dengar, sebaiknya sekarang kita segera ke kampus." Sasuke melirik jam tangannya, mengalihkan topik. "Aku tidak ingin terlambat."
Naruto mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Baiklah, kita berangkat."
Kalau Sasuke memang tidak mau membicarakan hubungan mereka, oke, Naruto tidak akan memaksa. Cukup tahu saja kalau hubungan mereka masih sebelah pihak.
Pihak yang tertekan dan butuh kepastian alias Naruto, dan pihak yang adem ayem tidak mempedulikan perasaan orang alias Sasuke.
"Kau mau ikut aku naik mobil atau memilih naik sepedamu saja?" Tanya Sasuke menawarkan.
Naruto bangkit dari meja makan setelah meraup roti bakarnya dengan satu kali suapan. "Nghaik sepedha…" Ia menelan makanannya sebelum bicara lagi. "…Soalnya setelah pulang kuliah ada yang harus ku urus dulu." Tambahnya.
Sasuke mengangguk paham. "Baiklah, sampai jumpa di kampus."
"Oke!" Sahut Naruto sambil senyum sumringah.
.
.
45 menit kemudian Sasuke dan Naruto sudah sampai di kampus. Naruto memilih jalan pintas untuk mempersingkat waktu, sedangkan Sasuke tidak bisa tiba lebih awal karena terjebak macet, alhasil mereka sampai di kampus dalam waktu yang bersamaan.
"Yooo, Sasuke!" Naruto terlihat melambaikan tangan ke arah Sasuke yang baru saja turun dari mobilnya. Pemuda pirang itu memarkir sepedanya sebelum berlari ke arah pujaan hatinya itu. "Yuk barengan."
Sasuke menyodorkan sapu tangan biru malamnya ke arah Uzumaki. "Kau keringatan, kau perlu perbanyak memakai deodorant."
"Hei, aku tidak bau kok." Naruto mengendus ketiaknya kemudian menyeka keningnya dengan sapu tangan yang diberikan Sasuke. "Ini namanya cowok manly tahu."
Sasuke hanya memutar bola matanya malas. "Kau itu banyak sekali alasan."
Naruto hanya terkekeh pelan.
Mereka berjalan bersama-sama menyisiri lorong koridor. Awalnya suasana sangat mengkondisikan bagi Naruto untuk memulai rayuan gombalnya, tetapi baru saja ia ingin membuka mulut tiba-tiba sebuah telur mentah terbang dan mendarat tepat di kepala Sasuke. Cairan kuning lengket menutupi hampir separuh rambut hitam pemuda raven itu.
"Dasar pelacur! Sok suci!" Teriakan salah seorang mahasiswi terdengar diikuti oleh lemparan telur lagi yang terus melayang ke arah Sasuke.
"Banci sialan!" Beberapa mahasiswa serta mahasiswi melempari Sasuke dengan telur, botol kosong, serta sandwich sisa.
Sasuke mencoba menghindar sembari menutupi kepalanya, sedangkan Naruto berusaha keras menghalau dan menghalangi benda-benda terbang itu dengan tangan dan kakinya.
"HEI! APA-APAAN SIH INI?!" Naruto berteriak marah. Menangkap salah satu botol kosong kemudian melemparkan balik ke arah si penyerang. "PERGI KALIAN!"
"Kau yang seharusnya pergi! Kenapa kau melindungi si pelacur itu?!" Teriak salah seorang mahasiswa yang disetujui oleh yang lain.
Sasuke yang sama sekali tidak mengerti situasinya hanya bisa menatap beberapa orang mahasiswa di depan mereka dengan wajah kebingungan. "Apa maksud kalian?" Tanyanya.
"Jangan pura-pura tidak tahu, semua orang sudah melihat papan pengumuman!" Sahut salah seorang mahasiswa.
Naruto melirik Sasuke yang bersembunyi di belakang punggungnya. "Apa kau tahu tentang papan pengumuman itu?"
Sasuke menggeleng cepat. "Aku tidak tahu sama sekali. Kita 'kan baru saja sampai kampus." Jelasnya sembari membersihkan cairan lengket serta serpihan kulit telur dari rambutnya.
Merasa penasaran, Naruto serta merta menarik Sasuke melewati kerumunan menuju papan pengumuman yang berada tepat di depan gedung kampus utama. Saat sampai disana, seluruh mahasiswa dan mahasiswi terlihat mengerumuni tempat tersebut sehingga Naruto dan Sasuke harus berdesakan untuk melihat lebih dekat.
Papan pengumuman itu agak besar dan berwarna hijau tua, banyak tertempel kertas-kertas hasil ujian mahasiswa serta pengumuman penting lainnya. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Naruto, melainkan beberapa foto yang tertempel disana bertuliskan "Skandal Uchiha Sasuke dengan Pengusaha Kaya".
Naruto dan Sasuke sama-sama terkejut.
Semua foto-foto itu diambil di kamar hotel Extravaganza, tempat dimana Sasuke mabuk-mabukkan kemarin, well, sebetulnya mabuk gara-gara taruhan bodoh dengan Suigetsu. Tapi yang mengherankan, di foto itu Sasuke telanjang separuh badan sembari tertidur bergelung selimut, disebelahnya seorang pria yang juga setengah telanjang tidur disamping Sasuke sembari mencium kening pemuda raven itu.
Wajah pria asing itu di-blur, bahkan diberi sensor besar berwarna hitam di bagian mata, benar-benar mirip foto kriminal, Sedangkan foto Sasuke dibiarkan terpampang dengan jelas. Terlihat wajah tidurnya yang pulas dengan pipi yang memerah akibat mabuk.
Dalam seumur hidupnya, baru kali ini Sasuke merasakan seluruh tubuhnya berteriak panik. Tangan, kaki dan badannya gemetar ketakutan. Mata hitamnya nyalang menatap berkeliling, dimana seluruh pasang mata tengah memandangnya hina, bahkan ada yang berbisik menunjuk dan mengatai Sasuke sebagai pelacur serta simpanan om-om mesum.
Seperti vertigo, kepala Sasuke serasa diputar secara paksa layaknya roller coster. Ia bahkan hampir goyah dan tidak bisa menyanggah berat badannya sendiri, namun kemarahannya yang memuncak membuatnya tetap sadar.
Ini pasti kerjaan Suigetsu!
Ya, Suigetsu! Siapa lagi orang brengsek yang berani memfitnah dan melakukan kebohongan ini selain dia?!
Beberapa orang menarik ponsel mereka untuk memotret Sasuke sembari mencibir dan menertawakannya. Kilat cahaya putih membuat mata Sasuke buta sesaat. Terlalu banyak kilat, terlalu banyak orang, Sasuke hampir sesak napas. Tangannya menggapai lengan Naruto dengan panik, mencengkramnya erat.
"Naruto, kita harus perg—" Kalimat Sasuke terhenti ketika menatap pemuda pirang itu.
Naruto hanya diam memandang foto-foto itu dengan tatapan kosong. Seluruh tubuh pemuda pirang itu bergetar, bukan ketakutan melainkan menahan amarah.
Oh tidak.
Sasuke meneguk air liurnya. "Naruto, kau harus percaya padaku!" Ia mengguncang lengan sang Uzumaki dengan keras namun tidak ada respon sama sekali. Belum lagi kilat dan suara ponsel kamera membuatnya risih dan tidak nyaman. "Naruto, kita harus pergi!" Desaknya.
Bukannya menjawab, Naruto hanya menatap Sasuke dalam diam. Raut wajah pemuda pirang itu berubah sepenuhnya. Sapphire yang tadinya cerah berubah menjadi kilat tajam yang mengancam, ekspresi sebelumnya yang lembut berubah keras dan penuh amarah, bahkan bibir yang dulunya selalu tertawa kini datar tanpa suara.
Sasuke kenal ekspresi itu, ekspresi yang sama saat dirinya kecewa dan merasa dikhianati.
"Naruto, kumohon percaya padaku…" Sasuke mencoba menjelaskan situasinya namun suaranya tercekat ditenggorokan. Ia menggeleng pelan sembari terus menatap Naruto. "…Aku tidak melakukan itu semua, aku difitnah." Jelasnya.
Naruto berpaling, enggan menatap Sasuke, "Aku harus pergi… Maaf…" Ia melepaskan genggaman Sasuke di lengannya, kemudian memilih menjauh tanpa banyak bicara.
Sasuke ditinggal di tengah-tengah kerumunan orang yang sibuk memotret dan menghujatnya.
Kalut dan panik, Sasuke mencoba berdesak keluar dari kerumunan tersebut. Ia bahkan tidak peduli saat ada salah seorang yang mengumpat karena terdorong atau tersikut olehnya. Yang ada dipikiran Sasuke hanyalah lari dan menghindar.
Sasuke tidak pernah menyangka kalau bencana ini datang di pagi hari yang cerah, dimana burung sedang berkicau indah dan perasaannya galau seketika.
Pikiran Sasuke kacau, terlebih lagi Naruto—si pemuda bodoh itu—percaya kalau semua foto-foto itu benar, padahal kenyataannya tidak begitu.
Semua musibah ini karena ulah si Suigetsu sialan itu. Memfitnah dan menyebarkan gosip yang merusak imej-nya. Kini Sasuke bakal menjadi pembicaraan di seluruh media sosial sebagai mahasiswa konglomerat yang sering ditiduri oleh om-om senang untuk meraup lebih banyak kekayaan.
FUCK MY LIFE!
Sasuke berjalan cepat menuju parkiran, untung saja supirnya belum pergi meninggalkan kampus dan masih sibuk memeriksa mesin kap mobil, jadi ia bisa kabur dari situasi rumit ini.
Sasuke mendekat dengan langkah cepat. "Antar aku pulang!" Perintahnya tegas sembari masuk ke dalam mobil. Ia meremas tangannya seraya menatap keluar dari jendela mobil dengan waspada. "CEPAT!" Teriaknya lagi, mengibaskan tangan ke arah sang supir yang masih terbengong heran di depan.
Mendengar teriakan amarah dari tuan mudanya, mau tidak mau sang supir langsung bergerak panik masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin dan melaju secepat yang dia bisa.
Di dalam mobil, Sasuke menggigit ujung kukunya dengan gelisah. Ia menatap keluar jendela namun otaknya tetap mengulang kejadian di kampus tadi. Ia masih mengingat tatapan-tatapan orang yang mencemoohnya, menghujatnya dan mencibirnya. Baru kali ini selama hidupnya, dia—Uchiha Sasuke—dipermalukan di depan umum oleh makhluk brengsek macam Suigetsu.
Sasuke mengepalkan tangan dengan kuat. Ia bersumpah akan memberi pelajaran yang setimpal kepada parasit itu.
Drrrttt!—Drrrrrrt!
Ponselnya berbunyi. Sasuke melirik nama yang terpampang di layarnya hingga matanya membulat ketakutan.
Uchiha Itachi.
Fuck! Fuck! Fuck! Sasuke mengumpat dalam hati. Tangannya gemetaran ketika ponselnya terus meraung-raung minta diangkat.
Dengan sedikit keberanian, Sasuke mencoba menerima telepon dari kakaknya itu.
"Hal—"
"Sasuke." Itachi menyela dengan cepat. Suaranya terdengar dingin, berat dan tegas. Mirip seperti ayah mereka, Uchiha Fugaku.
"Ya?" Dihadapan sang kakak, Sasuke benar-benar mirip seperti kucing penurut. Dia tidak berani mengeluarkan kata-kata kotor apalagi sampai melawan.
"Apa kau sedang sibuk?" Itachi melempar kalimat obrolan basa basi.
Sasuke menggeleng, refleks. "Ti—tidak."
"Hm, baguslah…"
Ada jeda sejenak. Keheningan kecil itu membuat jantung Sasuke meletup-letup gugup. Ia berharap kalau sang kakak tidak mendengar gossip tentang dirinya. "Ada apa kakak menelp—"
"Aku dengar berita…" Lagi-lagi Itachi memotong, membuat Sasuke meneguk air liur untuk kesekian kalinya. "…Apa kau ada masalah di kampus?"
"Tidak. Sama sekali tidak ada masalah." Jawab Sasuke tegas, sedikit tertawa untuk menghilangkan kegugupannya, namun gagal. Suara tawanya lebih mirip cicitan tikus.
Itachi tidak langsung bicara, melainkan duduk di kursi kerjanya menghadap sebuah laptop. Di layar terpampang sebuah media sosial yang menampilkan gambar Sasuke tengah mabuk dan tertidur dengan seorang pria di hotel.
"Aku tidak tahu kau bisa seterkenal ini di kampusmu. Media sosial dan internet memang musuh yang mengerikan, bukan?" Itachi berbicara dengan sangat tenang, tapi bagi Sasuke suara sang kakak seperti semburan air es yang dingin.
"Kak, aku bisa jelaskan—"
"KALAU BEGITU JELASKAN SEGERA!" Bentak Itachi sembari menggebrak meja dengan suara -BRAK!- yang nyaring.
Sasuke tersentak kecil. "A—Aku dijebak." Ucapnya panik. "Lusa kemarin aku dibuat mabuk oleh Suigetsu lalu paginya tanpa sadar aku sudah berada di hotel. Sungguh, aku tidak ingat apapun." Jelasnya.
"Hmph." Itachi mendengus pelan, mencoba menenangkan pikirannya. Ia memutar kursi kerjanya menghadap ke jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan malam kota New York. "Sasuke, sebagai anggota dari keluarga Uchiha, aku harap kau segera membereskan masalah ini. Aku tidak ingin kalau nama keluarga kita tercoreng gara-gara ulahmu, mengerti?"
"Aku akan berusaha."
"Berusaha saja tidak cukup, Sasuke." Itachi berdiri lalu berjalan menuju ke meja sekretarisnya. "Persiapkan dokumen untuk rapat besok."
Sang sekretaris mengangguk patuh. "Baik."
"Lalu kapan ayahku akan datang kesini?" Tanya Itachi lagi pada sang sekretaris.
"Tuan Fugaku akan sampai di New York, besok malam." Jawab sekretarisnya sembari membuka agenda.
Sasuke hanya bisa mendengar percakapan sang kakak dengan sekretaris melalui ponsel tanpa bisa menyela. Ia terlalu takut untuk membuka suara dan terlalu panik untuk memikirkan jalan keluar. Sial!
Itachi memijat pelipisnya keras. "Sasuke, aku harap kau segera menyelesaikan masalahmu ini, kalau tidak..." Kalimat menggantung Itachi membuat bulir-bulir keringat Sasuke berjatuhan semakin deras.
"Ka—Kalau tidak? Apa yang terjadi?" Tanya Sasuke ketakutan.
Ada desahan kecil di seberang telepon. "Kalau tidak, aku akan memberitahu masalah ini pada ayah."
BOOMM!—Ibarat di film-film, kepala Sasuke sudah meledak karena dibombardir oleh bom Hiroshima dan Nagasaki sekaligus. Peringatan akan adanya perang ketiga yang dikomando langsung oleh Uchiha Fugaku mulai meraung.
Bahkan ia yakin, kalau ayah mereka sampai tahu hal ini maka akan ada pertumpahan darah yang terjadi di rumah. Yang jelas itu akan menjadi hari kematiannya. Kiamat.
FUCK!
"Kau mengerti kan, Sasuke? Jadi cepat bereskan masalah ini sebelum terlambat."
Tuut!—Tuut!—Tuut!
Sambungan telepon di tutup dengan semena-mena oleh Itachi, membiarkan Sasuke yang masih menempelkan ponsel ke telinga terdiam membeku.
Apa yang Itachi bilang tadi? Membereskan masalah ini?
MEMBERESKAN GUNDULMU! BAGAIMANA BISA IA MEMBERESKAN BENCANA INI SENDIRIAN?! MEMANGNYA DIA KETURUNAN SUPERMAN?! PUNYA ALAT CANGIH LAYAKNYA IRON MAN?!
"Shit!" Sasuke meninju jok depan dengan jengkel. Membuat sang sopir tersentak kaget.
"Uhm, maaf tuan muda, saya tidak bermaksud membuat tuan marah, tapi kita sudah sampai di rumah." Ucap sang supir ketakutan.
Seakan-akan tersadar, Sasuke langsung melirik ke luar jendela mobil. Benar, dia sudah sampai di depan rumah. Tapi sejak kapan? Mungkin terlalu lama gelisah dan ketakutan karena ulah Itachi, ia jadi tidak sadar waktu.
Sasuke mengurut keningnya sebentar. "Maafkan aku." Ucapnya pelan sembari keluar mobil. "Dan terima kasih sudah mengantarkanku pulang." Sambungnya sembari memberikan anggukan kepala kecil.
Sasuke menghela napas berat, bahkan berjalan masuk ke dalam rumah pun rasanya sulit sekali. Ia memikirkan hukuman apa yang akan diberikan oleh sang ayah kalau sampai skandalnya terbongkar.
Membayangkannya saja sudah membuat Sasuke bergidik ngeri. Ia ingat betapa mengerikannya kemarahan Fugaku saat Sasuke yang waktu itu berumur 7 tahun memecahkan vas antik kesayangan ayahnya. Ia harus rela dicambuk ratusan kali hingga menangis meraung-raung minta tolong pada Itachi.
Dan sekarang, skandal ini lebih besar dibandingkan hanya memecahkan vas antik saja.
"Sasuke..." Suara lembut Hinata menghentikan langkah Sasuke yang ingin masuk ke dalam rumah.
Pemuda raven itu menoleh dan mendapati sang kekasih sedang keluar dari mobil merah menuju ke arahnya.
"Aku dengar kau terlibat masalah." Hinata langsung menohok dengan pertanyaan langsung tanpa basa-basi. "Aku langsung ke rumahmu setelah tahu hal ini."
"Hn.."
"Beritanya sudah menyebar di internet." Sambung Hinata sembari merapikan rambut ke sisi telinganya. Gesturnya terlihat gelisah.
"Ya, tanpa melihat internet pun aku yakin semua orang sudah mengetahuinya." Balas Sasuke.
Hinata terdiam, menunduk sembari memainkan jempolnya. "Ini sangat rumit, aku tidak tahu harus memulainya dari mana."
Sasuke menatap raut wajah Hinata, masih terlihat gelisah. "Ada apa?"
Gadis itu menggigit bibir bawahnya kuat. "Aku... Uhm... Kau tahu, masalahmu ini agak membuat hubungan kita menjadi rumit."
"Maksudmu?" Firasat Sasuke mulai tidak enak. Ia memijat pertemuan keningnya yang berdenyut keras. "Tolong jelaskan secara ringkas saja, aku benar-benar tidak mengerti."
Hinata menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Matanya menatap sang onyx dengan lembut. "Sasuke, sebaiknya kita putus saja."
Petir kembali menyambar di kepala Sasuke. Dua kali.
Pemuda raven itu berusaha bersikap stoic dan tenang seperti biasa, namun denyut nadinya berdetak cepat penuh kemarahan dan kekecewaan.
"Kenapa?" Hanya satu kata itu yang sanggup diucapkan bibirnya.
Hinata lagi-lagi menunduk, tidak berani menatap sang onyx yang sedang terbakar amarah. "Skandalmu sudah sampai di kampusku, dan banyak yang sedang mencemoohmu..." Ia mencoba meredam getar tangis di nada suaranya. "...Dan aku sebagai orang yang tidak tahu apa-apa ikut menjadi korban pembully-an gara-gara skandalmu ini. Aku dihina gara-gara berpacaran denganmu, aku bahkan disangka sebagai mucikari yang menjualmu kepada om-om hidung belang. Aku tidak sanggup, Sasuke." Ucapnya sembari mengepalkan tangan.
Sasuke tahu kemana arah pembicaraan gadis tersebut, jadi ia langsung menggenggam tangan Hinata kuat-kuat. "Aku mohon, jangan pisah denganku. Jangan tinggalkan aku saat aku sedang lemah begini."
Hinata menatap lekat ke arah Sasuke, kemudian menggeleng pelan. "Maafkan aku, Sasuke. Aku tidak punya pilihan lain." Ia melepaskan genggaman sang Uchiha. "Semoga kau mendapatkan yang lebih baik dari aku." Ucapnya lagi sebelum berbalik ke arah mobil merahnya dan menjauh pergi.
.
.
BRAAKK!
Sasuke menendang kursi belajarnya dengan penuh emosi. Kemudian menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dia lelah dengan masalah yang ada, ditambah lagi Hinata yang memutuskannya secara sepihak.
Mata onyx nya melirik ke arah komputer yang ada di atas meja. Bahkan untuk melihat akun media sosialnya saja ia sudah ketakutan. Semua skandalnya sudah tersebar luas di internet. Bahkan notifikasi di ponselnya pun terus berbunyi karena banyak teman-teman sekampusnya yang menanyakan kebenaran hal tersebut. Dan jujur saja, dia bingung harus menjawab apa.
Drrrttt!—Drrrt!
Ponselnya bergetar, menandakan panggilan masuk.
Sasuke meraihnya dengan gerak malas. Nama Naruto terpampang disana.
Sang Uchiha ragu sejenak, matanya hanya menatap panggilan masuk itu dalam diam. Haruskah ia angkat? Ataukah memutuskan sambungan begitu saja? Tetapi bagaimana kalau Naruto ingin mengabarkan hal yang penting? Misalnya saja Suigetsu mati mendadak dan mereka bisa berpesta sekarang. Oke, itu pikiran konyol.
Sedikit berat hati akhirnya Sasuke mengangkat sambungan telepon tersebut. "Ada apa, Idiot? Aku sedang pusing." Ucapnya sembari memijat keningnya yang berdenyut-denyut sakit.
"Kenapa tidak cepat mengangkat teeponku sih?! Aku khawatir sekali, Teme!" Bentakkan terdengar dari seberang telepon namun Sasuke tidak peduli.
"Hmph! Bagaimana mungkin kau khawatir padaku kalau tadi pagi saja kau langsung meninggalkanku di tengah-tengah kerumunan."
"Errr... Itu sebenarnya... Aku sedang membereskan masalah."
Sasuke menghentikan kegiatan memijat keningnya. "Apa maksudmu sedang membereskan masalah? Apa yang kau lakukan?"
Ada kekehan puas dari seberang telepon. "Ohh kau tidak perlu khawatir, besok kau akan tahu."
"Naruto jangan bermain-main denganku, cepat katakan ada apa?"
Naruto mengerang. "Jangan sekarang, Teme. Aku sudah capek."
"Capek? Memangnya kau melakukan apa sampai capek?"
"Sudahlah, Teme. Pokoknya lihat saja apa yang kuperbuat besok. Bye, sayang."
"Hei, tung—"
Tuuut!—Tuuut!—Tuuut! Sambungan telepon diputus secara sepihak, membuat Sasuke yang masih penasaran hanya bisa berdecak jengkel.
Sasuke mengerang kemudian menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Mata onyx nya menatap kosong langit-langit kamar.
'Besok, huh? Sebenarnya apa yang dilakukan si idiot itu sih? Dia tidak akan membuat masalah baru 'kan? Jujur saja, masalah ini saja sudah cukup membuatku sakit kepala, aku tidak perlu masalah-masalah lainnya lagi.' Batin Sasuke dalam hati.
.
Keesokan harinya, Sasuke berdiri di halaman kampus. Bengong. Terdiam. Juga terbelalak.
Bukan... Bukan karena dia di drop out dari kampus ataupun penampakan UFO lewat, melainkan pemandangan di depannya ini lebih menakjubkan dibandingkan melihat gajah sedang kawin di channel televisi.
Tepat di tengah-tengah kampus, dimana tiang bendera berdiri tegak, ada tiga orang badut yang sedang terikat disana. Suigetsu, Juugo dan Karin.
Suigetsu dan Juugo dengan wajah babak belur bekas dihajar dan hanya memakai boxer tipis, serta Karin yang seluruh tubuhnya digulung karung goni dengan rambut kusut serta memar di pipi.
Dengan sekali lihat pun Sasuke tahu ini semua adalah kerjaannya Naruto, dan lagi sepertinya mereka bertiga sudah diikat disana semalaman. Terlihat Suigetsu yang bergumam 'lapar' dan Karin yang mengeluh ingin pulang, sedangkan Juugo terlihat tidur pulas atau mungkin pingsan, entahlah.
Di samping tiga badut itu terlihat spanduk putih besar bertuliskan "Kami Berkompromi Memfitnah Sasuke Untuk Menjatuhkannya"
Gerombolan mahasiswa yang sedang lewat langsung berhenti dan memotret kejadian langka itu. Dalam waktu singkat, tiga kawanan badut itu sudah dikelilingi oleh para penghuni kampus yang kelaparan akan berita.
Gumaman dan bisikan terdengar, ada yang percaya tetapi juga ada yang meragukannya. Sasuke masih dilirik dengan pandangan sinis, namun tidak memusuhi seperti kemarin. Setidaknya itu sedikit membuat Sasuke agak lega. Hanya sedikit.
"Dimana Naruto?" Sasuke bergumam sendiri, kepalanya menoleh kiri dan kanan untuk meemukan makhluk eksentrik kuning itu. Sedikit terburu-buru, ia bergerak menelusuri area kampus.
Untuk hari ini, tidak ada yang berani melemparinya dengan bahan makanan ataupun benda keras saat ia berlari di lorong koridor. Hanya bisikan pelan dan tatapan mata, oke Sasuke sudah terbiasa akan hal itu jadi ia sudah tidak peduli lagi.
"Naruto!" Sasuke berteriak memanggil, tidak ada sahutan sama sekali.
"Naruto, apa kau disini?!" Sasuke menengok ke salah satu ruang belajar, nihil.
"Naruto!" Ia berlari lagi menuju kantin, berharap pemuda pirang itu ada disana.
Sasuke hanya minta penjelasan apa yang sedang terjadi kemarin. Dan bagaimana tiga sekawan badut itu sampai babak belur.
"Nar—!" Teriakannya terhenti saat speaker di seluruh kampus mulai menyala dengan bunyi statis.
Sasuke berhenti berlari dan mendengarkan.
"Halo penghuni kampus—"
'Itu suara Naruto!' Sasuke menoleh ke arah salah satu speaker di tembok.
"—Pasti kalian bertanya-tanya kenapa ada tiga orang brengsek yang terikat di tiang bendera. Sebenarnya aku malas menjelaskannya, bagaimana kalau kita tanya langsung dari sang mastermind, Sai."
'Sai? Apa maksudnya Sai? Apa hubungannya dengan si senyum palsu itu?' Sasuke bertanya-tanya dalam hati.
"Lepaskan aku, Naruto! Aku tidak ingin terikat di kursi ini! Dan matikan siarannya!" Kali ini Sasuke bisa mendengar nada kemarahan di suara Sai.
Di arah koridor yang berlawanan, terdengar langkah kaki berat yang sedang berlari. Sasuke menoleh dan mendapati dua security serta seorang dosen sedang menuju ke arahnya dengan wajah marah. Tidak, kemarahan itu tidak ditujukan pada Sasuke, melainkan hal lain.
"Aku ingin kalian mendisiplinkan Naruto dan Sai! Tangkap kedua anak nakal itu!" Seorang dosen sedang memberi perintah.
Sasuke panik, ia harus mengulur waktu agar ia sampai lebih dulu di ruang penyiaran lantai tiga. Matanya melirik benda berat yang ada disampingnya, lemari besi bekas yang menumpuk dan dibiarkan begitu saja.
'Bagus. Ini dapat menghambat mereka sejenak.' Batin Sasuke dalam hati.
Dengan susah payah, Sasuke mendorong tumpukan barang bekas tersebut untuk menutup jalan.
Sang dosen yang melihat kejadian itu langsung berteriak marah. "HEI, JANGAN MENGHALANGI JALAN KAMI!"
BRUUAAKKK! Terlambat. Barang-barang rongsokan itu sudah terlanjur jatuh berdebam dan menutupi separuh lantai koridor. Bahkan lantai marmer pun retak ketika benda besi berat tersebut menghantam lantai.
"UCHIHA SASUKE! DETENTION!" Sang dosen berteriak murka.
"Sorry." Ujar Sasuke dengan wajah penuh penyesalan, kemudian berbalik arah menuju tangga.
"Jadi Sai, bagaimana kau merencanakan semua ini? Dan apa alasannya?" Suara Naruto terdengar lagi dari arah speaker. Tenang namun mengancam. Ia menginterogasi Sai layaknya seorang polisi yang siap menjatuhkan hukuman gantung bagi sang pelaku.
"Naruto, hentikan hal ini! Lepaskan aku dari kursi ini!"
"Hm? Apa kau tidak nyaman duduk di kursi empuk berbusa tebal itu? Atau kau tidak nyaman dengan pertanyaan yang aku keluarkan?" Naruto membalas.
"NARUTO!" Sai berteriak marah. Sangat marah.
Sasuke masih mendengarkan interogasi itu dengan seksama, namun kakinya tidak berhenti berlari menaiki tangga. Ia bahkan beberapa kali meminta maaf karena tidak sengaja menubruk mahasiswa lain. Pikirannya berkecamuk, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa Sai ikut-ikutan dalam hal ini?
"Jadi—" Bunyi statis dari arah speaker terdengar lagi. "—Kau masih tidak mau mengakui perbuatanmu, Sai?"
"Jangan, kumohon! Jangan lakukan itu, Naruto!"
Sasuke sudah sampai di lantai tiga, ia terengah-engah sejenak, menengok kiri dan kanan untuk memastikan dimana letak ruang penyiaran tersebut.
"Baiklah, aku terpaksa melakukan hal terakhir ini. Video yang membuktikan bahwa kau bersalah, Sai." Naruto mengancam.
"Jangan, aku mohon!"
Tepat ketika itu juga, sebuah layar putih ukuran raksasa terbentang lebar di tengah-tengah kampus dari lantai atas. Proyektor besar yang sudah direncanakan berdiri tegak di tengah lapangan, tidak jauh dari tiang bendera yang sedang mengikat Suigetsu, Juugo dan Karin.
Suara dengung proyektor terdengar, cahaya berkedip beberapa kali kemudian menyala terang, memantulkan adegan video ke arah layar putih tadi.
Agak buram dan terlalu terang karena pantulan sinar matahari, namun masih bisa dilihat.
Semua kumpulan mahasiswa yang bergerombol di halaman kampus langsung mengeluarkan ponsel mereka masing-masing. Bersiap merekam video dari layar putih tadi.
Sasuke terdiam. Terengah-engah sebentar. Dalam hati kecilnya, ia juga penasaran dengan kejadian di hotel Extravagansa, dimana ia dipaksa mabuk oleh Suigetsu.
Video bergerak pelan, agak goyang. Detik selanjutnya latar belakang menunjukkan sebuah koridor hotel dengan Sasuke yang tertidur pulas karena mabuk. Juugo memapah Sasuke masuk ke salah satu kamar hotel dan melemparkannya ke ranjang. Tidak ada suara sama sekali hanya gambar yang memperlihatkan Karin yang terkikik geli ketika Juugo menampar-nampar pipi Sasuke untuk memastikan bahwa pemuda itu sudah benar-benar mabuk.
Kamera bergerak ke arah lain, ada Sai di dalam kamar tersebut. Duduk dengan pongah di salah satu kursi. Disampingnya berdiri dua orang pria yang memasuki umur 40 tahun, sepertinya mereka itu adalah suruhan Sai untuk membuat skandal nantinya.
Sai terlihat terkejut ketika kamera menyorot ke arah wajahnya. Ia begerak panik dan menyambar kamera tersebut, lalu melemparkannya sembarang.
Video menunjukkan kamera tengah terbanting berkali-kali kemudian tergeletak diam di lantai, namun masih menyorot Sai yang sedang menampar Suigetsu. Sai terlihat murka sembari menunjuk kamera dan Suigetsu bergantian.
Juugo menengahi pertengkaran dan membungkuk minta maaf pada Sai, sedangkan Suigetsu hanya terkekeh pelan. Mungkin baginya, Sai yang sedang marah terlihat sangat lucu.
Karin berjalan perlahan menuju kamera kemudian video terhenti sampai disitu. Layar kembali menampilkan warna putih dan proyektor dimatikan.
Semua mahasiswa terdiam. Hening. Bahkan lebih hening dibandingkan perkuburan. Detik selanjutnya seruan dan suara tidak percaya langsung keluar dari mulut penghuni kampus. Mereka berbondong-bondong mengetik sesuatu di ponsel masing-masing dengan senyum dan tawa puas. Seakan-akan mereka adalah reporter yang sudah berhasil memburu berita hangat.
Sasuke terdiam walaupun napasnya masih terengah-engah. Ia tidak percaya kalau Sai yang merencanakan ini semua. Memfitnah dan membuatnya terlibat dalam skandal palsu ini. Untuk apa? Karena apa? Sebenci itukah Sai pada dirinya?
Bunyi statis dari arah speaker mengalihkan perhatian Sasuke.
"Bagaimana? Apakah kalian, para penonton, menyukai video tersebut?" Suara Naruto terlihat bersemangat seakan-akan sedang menyiarkan berita bola. Sedangkan di sisi lain, samar-samar, terdengar juga isak tangis Sai.
Sasuke tidak punya banyak waktu, ia harus menghentikan ini semua. Kakinya kembali melesat berlari menuju ruang penyiaran yang berada di ujung kiri koridor. Ruangan paling ujung bekas gudang.
Sial, kenapa ruang penyiaran bisa sejauh ini sih?!
"Jadi, Sai, maukah kau menjelaskan kenapa kau terlibat dalam hal ini?" Naruto kembali menginterogasi.
"Hentikan..." Bisikan lirih terdengar dari Sai.
"Hm? Apa? Aku tidak dengar." Naruto memancing dengan kalimat ejekan.
"Kumohon Naruto, hentikan."
Tidak ada balasan dari Naruto, mungkin ia sedang menahan kemarahannya untuk tidak menonjok Sai saat itu juga.
"Lalu kenapa kau melakukan ini semua?" Nada yang rendah dan dingin keluar dari mulut Naruto. Tanpa melihat pun, Sasuke yakin mata biru cerah itu kini berubah menjadi kilat yang mengerikan.
"Aku..." Ada getar di suara Sai. Keraguan dan ketakutan. "Itu karena aku mencin—"
BRAAAKK!—
Pintu ruang penyiaran terbanting terbuka. Sasuke berhasil menendang pintu malang itu hingga engselnya rusak. Well, ia tidak ada waktu untuk mengetuk pintu, bukan?
Naruto dan Sai berbalik. Terkejut menatap Sasuke yang sedang terengah-engah di ambang pintu. Oh jangan lupakan juga mata onyx yang sedang murka itu.
"Halo, Sasu—"
Bip!—Sasuke menekan tombol 'air off' dan seketika siaran langsung itu terhenti.
Naruto berdehem kecil, kemudian menyapa lagi. "Halo, Sasuke, aku harap kau menyukai pertunjukkan ku."
Sasuke diam, berdiri di depan Naruto dengan kedua tangan yang saling menyilang di depan dada.
"Apa?" Tanya Naruto polos ketika ditatap dengan pandangan seperti itu.
"Kau meminjam properti kampus tanpa ijin, Dobe. Menerobos secara ilegal ke ruang penyiaran, membuat tiga orang babak belur, dan menyandera seorang mahasiswa."
Naruto mengedikkan bahunya. "Well, yeah. But—"
"Dan membuatku harus kena 'detention' dari dosen." Sasuke menekankan kata 'detention' agak keras.
"Sorry." Naruto membungkuk, menyesal.
Sasuke tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. Ia menepuk bahu Naruto lembut, kemudian berjalan ke arah Sai yang tengah tersiksa duduk terikat di kursi.
"Dobe, pinjami aku pisau atau gunting."
"Kau ingin membunuhnya, Teme?! Aku rasa kau berlebih—"
"Aku ingin membebaskannya, Idiot! Jadi cepat berikan aku pisau atau gunting!" Balas Sasuke tidak terima dituduh seperti itu.
Tanpa banyak bicara, Naruto segera mencari gunting di laci terdekat dan memberikannya pada Sasuke.
Sai masih menahan isak tangis selagi Sasuke membebaskannya dari belitan tali tambang itu.
Naruto bersender di dinding terdekat sembari melipat kedua tangannya, matanya menatap Sai nyalang. Sedikit saja ada gerakan yang membahayakan dari Sai maka Naruto bersiap menyergapnya lagi.
Namun Sai kelihatan tidak melakukan perlawanan apapun. Walaupun sudah dibebaskan, ia masih saja tidak beranjak dari kursi itu, hanya diam menunduk.
"Aku..." Suara Sai serak. "Aku melakukan ini semua karena aku iri padamu, Sasuke."
Sasuke hanya diam, begitu pun juga Naruto. Tidak ada reaksi yang kentara dari dua orang itu, jadi Sai kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku mencintai Naruto dari dulu." Sai mengepalkan tangannya. "Dan aku marah saat Naruto lebih menyukaimu, Sasuke. Makanya aku merencanakan ini semua untuk menjatuhkanmu." Sambungnya.
Sasuke lagi-lagi hanya bisa diam, tidak tahu harus bebuat apa. Ia menoleh ke arah Naruto, meminta bantuan. Tetapi pemuda rambut pirang itu juga diam dan tidak ingin bertubrukan mata dengan Sasuke.
"Kalau begitu mencintainya, kenapa tidak kau katakan saja pada Naruto perasaanmu itu?" Sasuke menambahi.
"Aku sudah mengatakannya berkali-kali." Mata Sai beralih pada Naruto, namun pemuda pirang itu tidak membalas tatapannya. "Namun aku ditolak berkali-kali juga dengan alasan yang sama, yaitu dia lebih menyukaimu." Lanjutnya lagi pada Sasuke.
"Akhirnya kemarahanku menjadi dendam." Sai saling mengepalkan tangan. "Dan aku ingin sekali membuatmu hancur hingga Naruto meninggalkanmu. Tetapi rencanaku gagal karena si bodoh Suigetsu itu. Ia dengan seenak jidatnya mengambil video dan menyimpannya. Aku bahkan bilang untuk segera menghancurkan video itu tapi dia mengatakan video itu adalah bukti agar aku mau membayar hutang piutang bisnisnya." Gigi Sai begemelutuk menahan amarah.
"Jadi kau adalah 'malaikat' yang dimaksud Suigetsu, huh?" Sasuke berkomentar.
Ada dengusan sinis dari Sai. "Malaikat? Seandainya aku malaikat, maka Naruto tidak akan jatuh cinta padamu."
Ada hening yang panjang. Sebelum akhirnya Naruto berjalan ke arah Sasuke dan menyambar lengan pemuda onyx itu.
"Kita pulang, masalah kita sudah selesai."
"Tunggu." Sasuke menahan tarikan dari Naruto. Kemudian menatap Sai yang masih menunduk diam tidak bicara. "Aku sudah memaafkanmu. Aku akan menganggap hal ini tidak pernah ada. Aku juga tidak akan melaporkanmu pada polisi. Aku cuma minta, hentikan kebencianmu padaku."
Sai tidak mengangguk tapi juga tidak menggeleng, ia hanya terisak kecil. Mengasihani diri sendiri.
"Ayo, Dobe." Ajak Sasuke, tetapi kali ini Naruto yang tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Keluarlah duluan. Nanti aku menyusul." Naruto berucap tegas. Sasuke menoleh dan mendapati wajah serius Naruto tengah mengamati Sai yang sedang menangis.
"Kalau begitu aku keluar duluan." Ujar pemuda raven itu seraya keluar dari ruang penyiaran, meninggalkan Naruto dan Sai yang hanya berdua di dalam.
"Kau bebas membenciku, karena aku manusia rendahan." Sai mulai angkat bicara saat mereka tinggal berdua saja. "Aku sadar aku tidak pantas menerima maaf darimu tapi kumohon jangan ting—" Kalimatnya terhenti ketika Naruto jongkok dihadapannya sembari menyentuh tangannya.
Mata hitam itu beradu pandang dengan iris biru langit. Mata yang Sai kenal seperti tahun lalu, cerah dan terang. Menghipnotisnya hingga membuatnya jatuh cinta.
"Aku tidak membencimu, aku hanya tidak suka caramu." Naruto berujar pelan. "Dan jangan berpikiran aku meninggalkanmu, aku tidak pernah meninggalkanmu karena kau temanku."
Teman, kata yang menyakitkan bagi Sai. Tetapi itu lebih baik dibandingkan tidak dianggap sama sekali.
"Bisakah aku menciummu sekali saja?" Sai menatap Naruto lekat. Berharap. "Hanya sekali saja, tidak lebih. Setelah itu aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi."
Naruto berpikir keras. Ia menoleh ke ambang pintu, memastikan tidak ada seorang pun yang datang kemudian berbalik menatap Sai.
"Sekali. Hanya sekali." Ia mengacungkan jari telunjuknya membentuk angka satu.
Sai mengangguk. Kedua tangannya menangkup ke masing-masing pipi Naruto, membawa wajah tegas dengan rohong kokoh itu ke arahnya. Sai memejamkan matanya dan detik selanjutnya sapuan lembut dari bibir Naruto menyentuh bibirnya. Napas hangat sang Uzumaki menghembus ke kulit wajahnya yang pucat. Sai merasakan kegembiraan sekaligus kesedihan yang teramat dalam.
Bibir Sai gemetar membalas ciuman itu. Tangisan pun tidak bisa dibendungnya, isak tangis terdengar namun Naruto meredamnya dengan ciuman yang dalam. Kecupan manis yang menangkan dan hisapan kecil penuh sayang. Hingga akhirnya kebahagiaan 5 detik itu harus terpisah.
Naruto menatap Sai, menghapus air mata pemuda yang sudah dianggapnya sahabat itu. Tidak ada ucapan ataupun kalimat yang terlontar. Mereka lebih suka kesunyian tanpa ada gangguan dari kalimat tidak bermakna. Hanya saling memandang, memerangkap mata masing-masing dalam kesedihan yang dipantulkan.
"Aku harus pergi. Sasuke menungguku." Naruto memisahkan diri, mengalihkan pandangannya dari mata Sai.
Sai mengangguk pasrah, mencoba menahan nyeri di dadanya. "Hati-hati di jalan." Ucapan yang terlalu formal, seperti orang asing yang baru bertemu.
Naruto tidak menjawab. Ia memilih bangkit lalu berjalan menjauh. Baru saja ia melangkah keluar dari ruang penyiaran, Sasuke sudah menunggunya tidak jauh dari sana. Bersender pada dinding sambil menerawang langit-langit.
"Apa kau menghitung cicak di atas sana?" Tanya Naruto, berusaha mencairkan suasana.
Sasuke mendengus pelan. "5 cicak." Jawabnya.
Pemuda raven itu menoleh dan menatap Naruto. "Aku tidak sengaja melihat kau menciumnya, apa kau mulai menyukainya?"
Naruto terkekeh pelan. "Apa kau cemburu?" Tanyanya, melempar candaan. Berharap Sasuke mengeluarkan sifat angkuh dan tsundere-nya lagi. Namun jawaban yang diterima malah membuat Naruto ternganga.
"Ya, aku cemburu." Sasuke bicara tegas, ada senyum kecil diujung bibirnya. "Karena sekarang, kau adalah pacarku."
.
Latar belakang berpindah menjadi ke kediaman Uchiha yang megah. Mobil mewah Sasuke terparkir sembarang di halaman depan beserta sepeda kesayangan Naruto.
Bruk!—Punggung Sasuke membentur pintu kamarnya. Sedangkan Naruto terus menciuminya tanpa henti.
"Hentikan, Idiot. Daritadi kau terus menciumiku, kita bahkan belum masuk kamar." Ujar sang Uchiha sembari susah payah membuka pintu kamar. Beberapa pelayan wanita yang melihat hal itu hanya bisa menutup mulut sembari cekikikan kecil.
"Aku sudah tidak tahan lagi, Teme. Aku benar-benar ingin memakanmu."
Sasuke berdecak jengkel. Tangannya memutar kenop pintu kemudian menarik Naruto masuk ke dalam kamar.
Pintu dikunci dengan cepat. Sasuke berbalik dan bersandar di sisi tembok menunggu sang predator untuk memakannya.
"Matamu berubah lagi, Dobe." Sasuke menyeringai tipis. "Apa kau sedang menakut-nakutiku? Atau bernafsu padaku?"
Naruto terkekeh pelan. Rendah dan dalam. "Keduanya." Jawabnya singkat.
Detik berikutnya, tangan tan Naruto menyambar leher sang Uchiha dan membawa wajah manis Sasuke ke arahnya. Mencumbui bibir pink pucat itu penuh gairah.
Dengusan napas berhembus keras, menghantarkan nafsu dan libido. Kecupan itu berubah menjadi hisapan yag kuat dalam sekejap. Bercumbu dengan lidah yang saling bermain, bergulat bersama saliva.
Sasuke mengerang kecil ketika seluruh organ mulutnya disentuh oleh lidah Naruto. Ia bahkan bisa merasakan napas panas sang dominan di kulit wajahnya. "Naru—hmph!" Bibirnya mencoba berucap, namun segera dibungkan oleh sang Uzumaki.
Naruto seperti serigalah yang hilang kendali, ia menyambar baju Sasuke dan membukanya tergesa-gesa, melemparnya sembarang kemudian kembali mencumbui kulit putih mulus itu.
Kepala Sasuke terdongak ke atas sembari mendesah. Menerima hisapan sang dominan di sekitar leher dan dadanya. Ia yakin tanda kissmark itu akan membekas sampai besok. Tetapi siapa yang peduli soal tanda kemerahan di seluruh tubuhnya? Mereka sudah resmi pacaran dan Naruto berhak menjajah tubuhnya.
Menjajah. Memikirkan kata itu membuat tubuh Sasuke semakin panas. Ia mendesah kecil, memiringkan lehernya untuk memberikan akses bagi sang dominan untuk terus mencumbuinya.
Bagaimana rasanya dijajah oleh tubuh kekar milik Naruto? Direngkuh oleh lengan dan otot kuat pemilik kulit tan itu? Apakah ia sanggup kalau harus ditatap oleh mata biru yang sedang berkilat nafsu memandangnya?
"Sasuke..." Naruto memanggil, menghentikan cumbuannya. Ia menatap sang Uchiha dengan bingung. "Apa yang sedang kau pikirkan? Kau tidak fokus dengan cumbuanku. Apakah tidak enak? Tidak nikmat?" Tanyanya agak merasa bersalah.
Sasuke menggeleng cepat, malu. Takut-takut ketahuan kalau dia sedang mengkhayalkan sesuatu yang mesum. "Tidak, bukan itu kok... Aku suka cumbuanmu."
"Lalu apa? Kenapa kau melamun tadi?"
"Hanya memikirkan sesuatu yang lain, itu saja." Sasuke mendorong tubuh Naruto pelan kemudian memilih duduk di tepi ranjang. Ekor matanya mencoba melirik gundukan di selangkangan Naruto namun segera mengalihkan pandangan agar tidak terlalu kentara.
Tetapi Naruto sudah terlanjur melihat lirikan singkat tersebut dan menyeringai tipis. "Hmm, memikirkan sesuatu yang lain? Maksudmu ini?" Tangannya menunjuk ke arah selangkangannya sendiri. Menggoda Sasuke.
Sang Uchiha hanya mendengus tipis. "Aku tidak tertarik dengan 'barang' kecilmu itu."
Naruto terkekeh lucu, ia mendekat dan memerangkap sang Uchiha diantara tubuhnya dan ranjang. "Kau yakin tidak mau memastikan punyaku dulu? Mungkin saja sekarang sudah besar dan setegak tiang bendera." Candanya.
Naruto membawa tangan Sasuke masuk ke dalam celananya. Melewati kain boxer, menyentuh bulu-bulu pirang halus, dan berhenti tepat di ujung batang kejantanannya yang sudah basah.
"Jadi, bagaimana menurutmu?" Tanya Naruto jahil.
Sasuke berusaha bersikap tenang dan angkuh. Ia mengedikkan bahunya malas. "Yeah, lumayan." Jawabnya santai, padahal degup jantungnya sudah seperti orang lari marathon 1 km.
Naruto tertawa kecil, lucu mendengarkan kebohongan pacarnya itu. Ia mendekat dan mencium kening Sasuke kemudian merambah ke daerah telinga. "Sentuh aku lagi, buat aku mabuk." Bisiknya lembut.
Tanpa banyak bicara, Sasuke langsung mematuhi perintah mutlak dari sang dominan. Ia menggerakkan tangannya maju-mundur, mengocok selangkangan yang berdenyut itu dengan hati-hati.
Naruto mengerang pendek, menutup kuat-kuat kelopak matanya, menikmati sentuhan dari sang Uchiha.
Sasuke menyukai ekspresi yang ditampilkan kekasihnya itu. Seksi adalah kata yang tepat untuk mendeksripsikannya. Wajah tegas, rahang kokoh, dan bulir-bulir keringat di sekitar pelipis, benar-benar perpaduan yang menakjubkan.
"Naruto..." Sasuke memanggil lembut.
Sang Uzumaki membuka kelopak matanya perlahan. Iris biru bertatapan langsung dengan onyx hitam yang sedang memantulkan nafsu birahi. Sasuke membuka mulutnya sedikit kemudian membasahi bibir atas dan bawahnya dengan gerakan lidah sensual. Apakah ia sedang menggoda predator yang kelaparan? Tidakkah ia tahu kalau predator itu berbahaya?
Jantung Naruto berdetak keras, sekeras otaknya berteriak untuk menahan nafsu yang membuncah. Sayangnya, otak kalah oleh insting liar sang predator. Kebutuhan pertama predator adalah makan dan yang kedua adalah kawin. Naruto tidak lapar sekarang ini. Yang dibutuhkannya hanyalah 'mating' alias kawin.
"Tanggung resiko apa yang kau perbuat, oke?" Ujar Naruto dengan nada rendah, agak mengancam.
Sasuke menyeringai tipis. Ia melirik sang dominan yang sedang tergesa-gesa melepas celana. "Apa maksudmu? Aku tidak berbuat apa-apa." Sahut sang Uchiha, pura-pura polos.
Naruto hanya terkekeh pelan. Kedua tangan tan-nya menarik leher belakang Sasuke dan membawanya untuk berciuman lagi. Bibir kembali bertemu untuk kesekian kalinya, tidak pernah bosan mengecup dan bermain lidah.
Sasuke menggigit bibir bawah Naruto, mengungkapkan godaan yang merangsang. Naruto membalas dengan dengusan kecil. Menyukai perbuatan sang Uchiha.
Kedua tangan Sasuke melingkar pasrah di leher sang dominan, membelai lembut tengkuk dan bahu lebar itu. Mencoba merasakan setiap otot kekar Naruto di balik kulit tan yang menawan.
Sasuke mengecup bibir Naruto satu kali lagi sebelum melepaskannya dengan pandangan gelisah. "Naruto, are you sure about this?"
"About what?"
"Our relationship? I don't know how to explain this, but my family is very... You know, difficult."
Naruto memutar bola matanya, jengah. "Listen bastard, i've been waiting for this moment for a long time, and you're not gonna ruin it with your emotional moral crap, okay?!"
Sasuke hanya diam, menatap gelisah ke arah wajah tegas itu.
Naruto menyentuh pipi putih Sasuke dan mengusapnya lembut, "Listen me, everything is gonna be alright, i promise. You just need to believe me."
Ada sedikit senyum di ujung bibir Sasuke, ia mengusapkan pipinya ke telapak tangan kasar milik Naruto. "Yes, i believe in you."
Naruto tersenyum lebar kemudian kembali mencumbui bibir tipis milik Sasuke. Mendorong pelan tubuh sang Uchiha untuk berbaring seutuhnya di atas ranjang. Pemandangan yang sekali lagi membuat Naruto meneguk air liurnya susah payah.
Tangan tan itu menjamah leher sang Uchiha, mengusapnya lembut dan perlahan. Bergerak turun dengan jentikan nakal yang membuat Sasuke sedikit mendesah kecil. Melepaskan baju pemuda raven itu sebelum merayap ke daerah paling sensitif dan menonjol. Puting berwarna pink yang tengah mengeras karena sentuhan kecil dari sang dominan.
"Kau suka?" Naruto bertanya setenang mungkin walaupun jantungnya sudah meletup-letup penuh nafsu.
Sasuke menatap sayu dengan anggukan pelan. Napas pemuda raven itu terengah-engah, menikmati permainan jari Naruto di putingnya. Cubitan kecil, sedikit puntiran dan tarikan halus cukup membuat seluruh darah Sasuke terpompa ke daerah selangkangan. Membuat benda yang tadinya tertidur mulai bangun karena terusik.
Jari ramping Sasuke bergerak menyentuh perut six pack sang kekasih. Mencoba merasakan otot terlatih dibalik kain t-shirt berwarna putih itu.
Naruto menyeringai tipis.
Ohh, seandainya saja sang dominan tahu betapa Sasuke menyukai seringai liar tersebut.
"Kau suka dengan apa yang kau lihat, Teme?" Tanya Naruto seraya membuka t-shirt yang dipakainya, menunjukkan enam otot terlatih di bagian perut.
Sasuke tidak menjawab, hanya tersenyum simpul sembari menarik lengan sang dominan untuk mendekat. Bibir kembali saling memagut, menghantarkan decakan basah hasil dari permainan lidah.
Tangan tan Naruto kembali bergeriliya, memuntir puting Sasuke yang tengah menggoda imannya.
Sasuke mendesah pelan, memalingkan wajah sembari membusungkan dada. Seakan-akan meminta sang dominan untuk terus menjamah tubuhnya. Tentu saja penawaran itu diterima dengan senang hati oleh Naruto. Siapa yang mau melewatkan hidangan istimewa di depan matanya?
Dengan lahap Naruto meraup puting berwarna pink tersebut. Menghisapnya kuat-kuat dan sesekali mengigitnya lembut.
Tubuh Sasuke tersentak kecil menerima serangan tersebut. Ia mengusap rambut pirang itu dengan jambakan lembut. "Ahhnn—Nghhhh!"
Mata biru mendongak kecil, menatap ekspresi sang Uchiha. "Khau shuka—hmmphh." Tanyanya disela-sela hisapannya.
Sasuke mengangguk pasrah. Membusungkan dadanya lebih tinggi. "Suka—aahnnn—"
Naruto menyeringai puas, ia melepaskan hisapannya dengan bunyi -plop!- nyaring. Membiarkan tetes air liur membasahi puting yang sudah memerah itu. Tangannya merayap untuk mengusap pipi sang Uchiha. "Sasuke..." Ia memanggil dengan nada rendah dan berat. Suara yang disukai oleh pemuda raven itu. "...Maukah kau jadi istriku? Untuk saat ini saja juga tidak apa-apa."
Itu adalah pertanyaan terkonyol yang didengar oleh Sasuke kalau saja otak Sasuke saat ini masih waras. Tetapi sekarang otaknya sudah gila dan terkontaminasi oleh Naruto, jadi pertanyaan tersebut dianggap wajar oleh organ pendengarannya.
"Tentu saja aku mau." Sasuke menjawab lembut namun tegas. Ia mengusap tangan Naruto yang tengah membelai pipinya. "Bukankah sekarang aku sudah jadi istrimu, papa?" Godanya dengan senyum tipis dan panggilan 'papa'.
Ahhh—mendengar panggilan itu hampir saja membuat Naruto ejakulasi dini.
Dengan tidak sabar, Naruto segera melepaskan celananya dan bergerak ke arah kepala Sasuke. Ia memerangkap kepala Sasuke di antara kedua pahanya sembari memegang kejantanannya yang sudah membengkak besar. Precum basah menetes di ujungnya.
"Mama, buka mulutnya." Pinta sang dominan sembari mengusapkan ujung kejantanannya yang sudah basah ke bibir Sasuke, seakan-akan sedang memoleskan sebuah lipgloss.
Sasuke menurut, ia membuka celah bibirnya sedikit. Menjulurkan lidahnya untuk menjilat lubang urinal Naruto sebelum melahap batang kejantanan itu dengan perlahan. Rasa yang pertama kali diterima oleh indera pengecapnya nya adalah asin dan getir. Tidak enak namun memabukkan. Membuat ketagihan. Ia jadi ingin mencoba rasa dua bola testikel yang tengah menggantung dibawah sana.
"Ohhh—fuck!" Naruto mengumpat nikmat ketika merasakan jilatan lembut di kantung testikelnya. Ia bisa melihat Sasuke tengah menikmati selangkangannya, menghisap dan memberi belaian halus di bawah sana.
Rangsangan itu benar-benar membuat Naruto mabuk kepayang. Dadanya turun-naik karena degup jantungnya yang cepat. Suara napasnya juga tidak beraturan. Bahkan pahanya bergetar kecil ketika Sasuke berhasil mempermainkan penisnya dengan lihai.
Lidah basah milik Sasuke bergerak lincah. Berputar di area testikel dan meliuk nakal di batang penis dari pangkal hingga ke ujung. Membiarkan tetes air liurnya membasahi selangkangan sang dominan. Aroma maskulin yang menguar dari penis Naruto membuat otak Sasuke semakin dipenuhi oleh nafsu.
Naruto melenguh berat, merasakan sensasi geli dan nikmat secara bersamaan. Tangannya membelai kepala Sasuke, menyisir lembut rambut hitam tersebut, kemudian menyingkap poni Sasuke hanya untuk melihat ekspresi wajah yang tengah mengulum penisnya.
Sasuke melirik ke atas dengan sebelah pipi yang menggembul akibat mengulum kejantanan sang Uzumaki. Benar-benar mirip seperti seekor hamster yang sedang menyimpan makanan di pipinya.
"Mama..." Naruto memanggil lembut 'sang istri'. Menarik dagu Sasuke untuk mendongak, memaksa mulut kecil itu melepaskan penisnya dengan suara -Plop!- kecil.
"Ya?" Sasuke membalas dengan nada selembut mungkin.
"Buka mulutmu agak lebar, aku mungkin agak kasar." Perintah sang dominan seraya menyentuhkan penisnya di sekitar bibir Sasuke.
Sasuke tidak menjawab, sebab arti diam pemuda raven itu adalah tanda bahwa ia tidak menolak apapun yang akan dilakukan Naruto.
Jari tan milik Naruto membuka celah mulut Sasuke, kemudian memasukkan perlahan batang kejantanannya yang licin ke dalam rongga hangat tersebut.
Awalnya Sasuke menikmati benda besar yang tengah berdenyut itu di dalam mulutnya. Merasakan ujung penis sang Uzumaki menggesek lidah dan langit-langit mulutnya. Menyapa gigi dan tonsilnya dengan sodokan halus. Namun ritme lembut itu berubah menjadi kasar saat Naruto tidak dapat mengontrol nafsunya lagi.
Tangan tan Naruto mencengkram kedua pipi Sasuke, menahan kepala itu untuk tetap berada di kasur, sedangkan pinggulnya digerakkan turun-naik dengan cepat. Menggenjot rongga mulut sang Uchiha.
"Ahhh—fuck!" Naruto mengumpat nikmat. Menggeram dengan napas berat. "Ohhh, nikmatnya." Ia mulai meracau. Hentakkan pinggulnya semakin kuat menghajar kerongkongan Sasuke.
"Hmmphh!—Ghook!—Nghhhp!" Sasuke tersedak menerima serangan brutal tersebut. Onyx nya terbelalak ngeri dengan tetes air di sudut matanya. Sedangkan kedua tangannya bergetar mencengkram paha Naruto, meminta berhenti.
Naruto melenguh kuat, tidak ada tanda-tanda dari sang dominan untuk berhenti menikmati mulut becek yang kini penuh dengan tumpahan air ludah dan precum. Ia menggenjot pinggulnya lebih kuat. Menariknya ke atas lalu menenggelamkannya ke dalam kerongkongan Sasuke berulang kali.
"Ghhhk!—Ohhgkk!" Perut Sasuke mual saat ujung kejantanan Naruto terus menerus menghantam tonsilnya. Ia mencoba melepaskan diri namun Naruto dengan kuat menahan kepalanya untuk tetap berada di bawah. Membiarkan mulutnya menjadi pelampiasan penis Naruto.
"Mama—hhhh—ohh." Naruto memanggil dengan mata terpejam kuat. Nafsunya terus membuncah memikirkan bahwa kini pinggulnya tengah memperkosa mulut Sasuke dengan bar-bar layaknya boneka sex tanpa nyawa. Kedua tangannya mencengkram rambut hitam sang Uchiha, memaksa kepala itu untuk terus mengulum kejantanannya yang berdenyut keras.
Mata onyx hitam itu terbalik ke atas. Sedangkan mulut basahnya dipaksa terus terbuka untuk menerima sodokan dari batang kejantanan milik Naruto. "Hmmphh!—oghhkk! Nghmphh!" Liurnya dan precum milik Naruto bercampur menjadi satu di rongga mulut, mengocok seluruh isi di dalam rongga tersebut sampai tumpah melewati sudut bibirnya.
Sasuke dapat merasakan rongga mulutnya mati rasa digesek oleh penis besar milik Naruto. "Nar—Oghkkk! Ghmphh!" Ia tidak diperbolehkan sama sekali berbicara oleh sang dominan, ia bahkan tidak diijinkan menolak perlakuan dari pemuda pirang yang tengah menggenjot mulutnya seperti binatang itu.
Sasuke hanya bisa pasrah dengan tangan yang mencakar kuat-kuat paha Naruto. Membuat pemua pirang itu mendesis kecil kesakitan ketika kuku-kuku tersebut menancap di daging pahanya. Namun hal itu sama sekali tidak mengurangi genjotan dan hentakkan di mulut Sasuke, Naruto bahkan semakin bergairah ketika melihat bola mata Sasuke yang terbalik hampir sekarat menahan mual dan sakit di kerongkongannya.
"Ahhhk! Aku mau keluar! Aahh!" Paha Naruto bergetar hebat. Ia menyentak terakhir kali dengan kuat sebelum membiarkan penisnya berdenyut-denyut tidak terkendali di dalam kerongkongan Sasuke. "Mama, telan spermaku—Ahhkk!" Tepat setelah ucapannya itu, cairan kental putih miliknya memompa keluar melalui ujung lubang urinal dan menyemprot tepat ke dalam saluran kerongkongan Sasuke. Memaksa sang Uchiha menelan habis sperma miliknya tanpa tercecer satu pun.
"Hmphhh!—Ghhmppph!" Tubuh Sasuke bergetar ketika menerima cairan asing itu di lambungnya. Ia bahkan sempat memukul-mukul paha Naruto saat sang dominan semena-mena memberinya minuman cairan kental putih dengan rasa getir tadi. Namun tidak ada gunanya lagi saat semprotan sperma itu terlanjur tertelan olehnya. Bercampur dengan sedikit air seni.
Naruto mengatur napasnya sejenak sebelum melepaskan penisnya dari mulut Sasuke yang becek. Ia bisa melihat warna putih kental berbaur dengan air liur mengalir melewati sudut bibir. Seksi dan sangat menggoda. Apalagi melihat mata onyx yang berusaha menampilkan death glare ke arahnya namun malah berakhir dengan mata sayu dan napas tersengal.
"I—idhiot—hhhh." Sasuke berusaha berbicara dengan mulut penuh sperma dan ludah. Membuatnya semakin menggairahkan untuk dijamah lagi.
Sasuke mencoba bangkit dari ranjang untuk memuntahkan isi mulutnya ke tempat sampah terdekat, namun tindakannya segera dihentikan oleh Naruto dengan menutup mulut Sasuke.
"Telan." Perintah Naruto.
Satu kata itu langsung membuat Sasuke melempar death glare nya yang paling galak ke arah si idiot pirang disampingnya ini. Bagaimana bisa ia menelan sperma dan ludah sebanyak ini?! Bisa-bisa ia langsung muntah! Apa otak pemuda Uzumaki itu sudah gila?!
"Telan." Naruto mengulangi perintahnya lagi dengan nada berat. Itu bukan permintaan tetapi ucapan mutlak yang sama sekali tidak boleh ditolak.
Dengan berat hati dan mata terpejam kuat-kuat, Sasuke mencoba menelan seluruh cairan itu ke dalam lambungnya. Rasa getir, asin, dan aneh membuat lambungnya menggelegak mual namun ia bisa mengendalikannya dengan sangat baik.
Sasuke memberi death glare lagi ke arah Naruto kemudian menepis tangan pemuda pirang itu dari mulutnya. "Sudah kutelan semua." Ucapnya.
Naruto menyeringai tipis. Ia membuka mulut Sasuke dan menarik lidah merah dan pendek itu dengan jarinya, memeriksa bahwa seluruh cairan miliknya sudah tertelan semua.
Clear. Bersih total.
Entah karena libidonya yang tinggi atau otaknya memang mesum, penis Naruto mulai menegang lagi secara perlahan saat melihat betapa seksinya Sasuke sekarang. Lidah basah terjulur karena ditariknya, mata onyx yang melempar tatapan tajam namun menawan, juga tubuh putih mulus yang berkeringat. Ahhh, pemandangan yang menakjubkan.
Tanpa aba-aba lagi, Naruto langsung menerjang maju, membuat Sasuke terlempar kembali ke atas ranjang. Tangan tan itu mencengkram paha sang Uchiha kemudian membukanya dengan lebar, memberi akses bagi Naruto untuk menatap hal yang paling menggiurkan bagi imannya. Penis Sasuke yang berdiri tegak dengan kepala berwarna pink pucat, basah oleh cairan precum.
"Na—Naru, apa yang kau..." Kalimatnya terhenti saat melihat mata biru itu kembali berubah liar. Sasuke paham arti tatapan itu. Mata kelaparan yang sedang memandang tubuhnya layaknya hidangan makan malam mewah.
Detik selanjutnya, Sasuke menjulurkan tangan untuk meraih rahang kokoh sang dominan, mengusap bulir-bulir keringat yang ada di wajah tampan dan tegas itu. "Papa..." Ia memanggil lembut, memancing libido sang predator dengan jilatan bibir nakal. Untuk kali ini Sasuke rela melepaskan gelar 'stoic' Uchiha miliknya dan berubah menjadi binal. Hanya kali ini saja, dan hanya untuk Naruto seorang.
Naruto mendengus keras layaknya banteng, senang dan sedang bergairah. Ia meraup tangan Sasuke dan menggigitnya lembut. Sasuke hanya tersenyum tipis melihat kelakuan pemuda pirang itu. Bagaikan binatang peliharaan yang meminta ijin pada majikannya untuk bermain.
Sasuke berpikir nakal, ia ingin menggoda Naruto lebih jauh lagi. "Lepaskan tanganku dan lihat aku." Pinta sang Uchiha.
Naruto menurut, ia melepaskan gigitannya di tangan Sasuke kemudian menatap pemuda raven itu dengan intens.
Sasuke mendesah kecil ketika tangan miliknya bermain di puting dan penisnya. Ia merayu Naruto dengan menyentuh tubuhnya sendiri. Matanya melirik sang dominan puas ketika pemuda pirang itu tak berkedip menatapnya.
Kepala Sasuke menengadah, mengeluarkan desahan yang bagi telinga Naruto adalah nyanyian surga dunia. Tangan rampingnya mengocok kejantanannya sendiri, menambah irama becek di dalam desahannya.
Naruto meneguk liur. Alat kelaminnya berdenyut membengkak dan membesar. Berdiri dengan gagahnya saat melihat liukkan tubuh Sasuke yang sedang onani di depannya.
Sasuke menjilat dua jarinya kemudian bermain di cincing lubang anusnya. Menusuk satu secara perlahan dan disusul oleh jari satunya lagi. Dua jari itu bermain di dalam sana, menari, bergerak menggunting, maju-mundur, dan berputar untuk membuka jalan bagi penis Naruto nantinya.
"Ahhhhk!—" Sasuke tiba-tiba mendesah kuat saat dua jarinya tidak sengaja menyentuh bagian prostat miliknya. Ia melepaskannya saat sudah terasa becek dan siap. Kakinya terangkat ke atas, pahanya melebar dan kedua tangannya membuka lubang analnya, memperlihatkan lingkaran cincin anusnya yang basah dan berdenyut tidak terkendali.
"Papa, sentuh mama..." Pinta Sasuke lembut.
Kesalahan fatal!
Itu adalah kalimat yang sangat berbahaya diucapkan ke Naruto disaat pemuda kelebihan hormon itu sedang bergairah dan bernafsu. Sasuke tidak sadar bahwa saat libido Naruto memuncak ia akan bertindak layaknya orang bar-bar. Jadi jangan salahkan Naruto kalau saat ini ia menerjang maju, mencengkram pinggul Sasuke, dan menenggelamkan penisnya yang besar itu ke dalam lubang anus Sasuke dengan satu kali hentakan yang keras.
"Akkhh!" Sasuke berteriak. Kepalanya terdongak dengan badan yang mengejang kuat saat merasakan penis Naruto masuk ke dalam tubuhnya secara tiba-tiba. Merobek lubang anusnya dengan satu kali sodokan brutal.
Sasuke mencengkram bantal di sisi kiri dan kanan kepalanya. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat saat Naruto sibuk menggenjot lubangnya yang berdarah dengan kejam.
"Hhhhh—mama—ahhkkk—istriku." Naruto meracau. Napasnya memburu layaknya binatang liar, bulir-bulir keringat membasahi otot bahu dan lengannya saat dirinya mengeluarkan seluruh tenaga untuk menahan tubuh ramping Sasuke agar tidak melarikan diri dari jamahannya. Saat ini dia seperti banteng besar berotot yang sedang dalam masa kawin. Begitu brutal dan kasar.
Naruto mendengus keras. Tangan kanannya mengocok batang penis Sasuke sedangkan yang kiri memuntir puting pemuda raven itu.
Sasuke mendesah kuat. Kenikmatan dua arah di bagian dada dan selangkangannya membuatnya hampir gila. Otaknya tidak bisa berpikir apa-apa selain kenikmatan yang menjamahnya, seperti aliran listrik statis yang menyentrum setiap sel di dalam tubuhnya.
"Papa—aakhh!—Nghhhkk!" Sasuke ikut bermain dalam roleplay kecil mereka. Kedua lengannya melingkar di leher kokoh sang Uzumaki, memeluk erat pemuda pirang yang tengah menyetubuhinya dengan brutal itu. Ia bahkan bisa mendengar suara becek yang keluar dari lubang anusnya. Gesekan kuat antara dinding rektum dengan daging ereksi Naruto yang terus berdenyut di dalam tubuhnya.
Sodokan demi sodokan dilakukan oleh sang dominan. Ritme tetap namun juga kuat membuat Naruto mengambil alih seluruh kegiatan sex mereka. Ia bahkan memutar penisnya di dalam sana hanya untuk mendengar Sasuke mendesah lebih keras lagi.
Naruto menggoyang selangkangannya maju-mundur, sedikit hentakkan di prostat cukup untuk membuat tubuh Sasuke bergetar hebat. Sasuke bahkan harus memeluk Naruto cukup erat ketika tubuhnya terhentak kuat akibat sodokan pemuda pirang itu.
Desahan dan lenguhan memenuhi kamar luas itu, bahkan bunyi derit ranjang pun kalah oleh suara becek yang berasal dari liang anal Sasuke.
"Ahhh—hhhh—fuck!" Naruto mengumpat nikmat. Otaknya dipenuhi oleh gairah dan nafsu, ia terangsang memikirkan bahwa sekarang batang kejantanannya dijepit oleh dinding rektum Sasuke. Keluar-masuk untuk menyetubuhi gua surgawi yang basah itu.
Penisnya berdenyut keras, namun ia menolak untuk mengakhiri kenikmatan singkat ini. Naruto mencoba memikirkan hal lain agar ia bisa bermain lebih lama. Bagaimana kalau menghitung domba? Atau menghapal rumus matematika?
"Papa—aahhhk!—setubuhi mama—hhh—sodok lebih kuat lagi." Sasuke berucap dengan wajah lelah dan keringat yang bercucuran. Mata onyx itu terlihat sayu namun masih menyisakan nafsu, sedangkan mulutnya yang terbuka memperlihatkan lidah basah yang menggiurkan. Benar-benar sosok yang sangat seksi dan merangsang.
Otak Naruto seakan-akan meledak. Ia bahkan tidak berpikir lagi mengenai menghitung domba apalagi menghapal rumus matematika. Yang ada dikepalanya sekarang adalah menyetubuhi Sasuke. Menyodomi gua hangat dan basah itu.
"Fuck it!—Ghhk!—rasakan penisku!—Akhh!" Naruto menggenjot lubang anus Sasuke lebih kuat. Menghentaknya sekali kemudian bergerak memutar di dalam sana.
"Akhhh!" Serangan itu membuat pelukan Sasuke di leher Naruto terlepas. Tubuhnya terhempas ke atas kasur dengan punggung yang melengkung indah. Tangannya mencengkram seprei kuat-kuat sedangkan mulutnya terbuka dengan tetes air liur yang mengalir di sudut bibir.
"Hhhh—Ghkk!" Naruto meneguk air liurnya, kerongkongannya terasa kering namun tenaganya sama sekali tidak melemah sedikitpun. Ia mengangkat pinggulnya sedikit kemudian kembali menggenjot lubang anus Sasuke. Hentakkan dan sodokkan dilakukan bertubi-tubi tanpa henti, ia bisa merasakan liang hangat itu agak melonggar dan licin.
PLAAK!
"Akkh!" Sasuke berteriak ketika merasakan Naruto memukul sisi pantatnya dengan cukup keras.
"Jepit penisku—hhh—ketatkan lagi lubangmu." Perintah sang dominan dengan desahan rendah.
"Hhh—hhh—hhh." Sasuke tidak bisa menjawab, hanya suara desahan kecil yang keluar dari mulutnya. Mata onyx-nya berkedip sayu menatap langit-langit. Entah kenapa seluruh kamarnya memburam dan bergoyang, ia mencoba membuka mulutnya untuk mencari oksigen. Apakah ia akan pingsan?
PLAAAKK!—Naruto menampar pantat Sasuke lebih kuat lagi. Tubuh sang Uchiha langsung tersentak dengan rintihan kecil. Tanda kemerahan bekas tangan terlihat jelas di bongkahan pantatnya.
"Jangan pingsan—hhhh." Ucap Naruto serak dan berat. "Aku masih belum—hhh—selesai." Sambungnya seraya membalik tubuh Sasuke untuk tengkurap.
Naruto menarik pinggul Sasuke ke atas, memaksa pemuda raven itu untuk menungging ke arahnya. Memberikan akses bagi sang dominan untuk melihat lubang basah dan gelap yang kini mulai terbuka longgar.
"Berhenti—hhh—aku capek." Sasuke memohon. Ia mencoba membalikkan tubuhnya namun bahunya langsung ditahan oleh Naruto.
"Belum—hhh—sedikit lagi." Ucap Naruto seraya mendekatkan ujung penisnya ke liang hangat itu. Dengan satu kali sodokan ringan, batang kejantanannya yang besar masuk dengan mulus ke dalam anus sang Uchiha.
Basah, hangat, dan licin. Kenikmatan yang membuat penis Naruto berdenyut-denyut meminta lebih.
Naruto mencengkram dua bongkahan pantat kenyal milik Sasuke kemudian menamparnya dengan suara -Plak!- kecil. Tanda agar Sasuke mengetatkan lagi lubang analnya.
"Ahhhnn—nghhhh!" Sasuke mendesah. Ia bisa merasakan tubuhnya terhentak maju-mundur saat Naruto menyodominya. Tangannya meremas seprei kuat-kuat ketika batang kejantanan Naruto mengobrak-abrik lubangnya. Menyodok-nyodok prostatnya tanpa henti.
"Mama—Ghhk!—ahhh!" Naruto meracau. Memejamkan matanya kuat-kuat sembari membayangkan bahwa ia akan menghamili Sasuke. Menanamkan benihnya di dalam lubang hangat itu.
Sasuke terangsang dengan panggilan itu. Ia menjulurkan tangannya sendiri untuk mengocok penisnya. "Ahhhk! Papa—hhnnggg!" mata onyx-nya berkedip sekali, masih agak buram. Ia tidak mau pingsan sekarang tetapi tenaganya sudah hampir habis.
Naruto bangkit setengah berdiri seraya membuka paha Sasuke lebih lebar lagi. Ia kembali menghentakkan selangkangannya ke pantat Sasuke. Memaksa seluruh batang kejantanannya tenggelam ke dalam lubang basah yang sudah licin itu. Menyodok dinding rektum yang terus menerus meremas daging ereksinya.
"Hhh—Nghh!—ohhh fuck!" Naruto mendesah dengan napas berat. Seluruh tubuhnya berkeringat, memperlihatkan kulit tan eksotis yang mengkilat. Otot perutnya mengejang saat testikelnya mulai memompa sperma.
Sasuke mencakar seprei, lidahnya yang basah penuh air liur terjulur keluar. Bola matanya hampir terbalik ketika merasakan penis besar Naruto menghajar prostatnya bertubi-tubi. Dinding rektumnya berdenyut meremas, membuat sang dominan merasakan kenikmatan tiada tara.
"Phapah—hhh—" Sasuke mencoba memanggil, namun rangsangan itu membuatnya tidak bisa bicara lagi selain merasakan aliran listrik statis menjalar di alat kelaminnya. Menyelimutinya dengan nafsu.
Sasuke mencengkram erat batang penisnya agar tidak keluar, namun Naruto yang melihat hal itu langsung menepis tangan Sasuke dan mengambil alih untuk mengocok penis sang Uchiha.
Tubuh Sasuke mengejang seketika, ia mulai panik. "Sthop—hhh—jhangan di kocok—Ahhkk!" Paha putihnya bergetar kuat ketika Naruto memerah penisnya layaknya sedang memerah sapi. "Aku mhau kheluar—Ahhhnn!"
"Keluarkan saja—hhh—" Perintah Naruto seraya terus menggenjot lubang anus dan mengocok penis Sasuke.
Seluruh tubuh Sasuke bergetar hebat, perutnya mengejang, dan detik selanjutnya, "AAaHhKkK!" Seluruh cairan sperma yang tersimpan di testikelnya menyemprot keluar, menodai seprei dan bantal miliknya.
Di sisi lain, otot perut Naruto ikut mengejang karena pijatan dinding rektum Sasuke di penisnya. Ia menghentak lebih kuat, memompa cairan sperma dari testikel menuju saluran urinal.
"Ahhk!—Sasuke!—Fuck!" Naruto mengumpat dengan dengusan keras. Ia menyodok satu kali sebelum menenggelamkan seluruh batang kejantanannya yang berdenyut ke dalam lubang anus Sasuke. Menyemburkan benihnya yang banyak ke dinding rektum sang Uchiha. Membuat lubang anal Sasuke terasa penuh sesak oleh cairan putih kental yang hangat.
"Hhh—hhh." Naruto terengah-engah kelelahan. Ia mendiamkan sejenak batang penisnya sebentar sebelum mencabutnya dengan suara -Plop!- kecil. Ia bisa melihat alat kelaminnya basah dan licin oleh spermanya sendiri saat keluar dari anus Sasuke yang menganga lebar. Memperlihatkan gua basah yang penuh cairan putih kental yang mengalir keluar secara perlahan.
Naruto membalik tubuh Sasuke untuk berbaring telentang. Mata biru sapphire nya bisa melihat rasa lelah di raut wajah sang Uchiha. Bagaimana tidak? Naruto menyetubuhi Sasuke layaknya binatang buas yang sedang kelaparan. Begitu brutal, bar-bar dan tanpa ampun.
"Maaf, aku terbawa suasana." Kata Naruto seraya mengusap bulir-bulir keringat di kening Sasuke.
Sang Uchiha menggeleng kecil. "Aku tidak apa-apa, hanya hampir pingsan saja." Balasnya dengan senyum tipis. Well, sampai sekarang pun pandangannya masih bergoyang dan agak buram.
Drrrrt!—Drrrt!
Ponsel milik Sasuke bergetar tiba-tiba, tanda panggilan masuk. Kedua mata langsung tertuju pada benda kecil itu. Di layar handphone terpampang nama 'Hinata'. Sasuke langsung melirik Naruto,
"Angkatlah." Ucap sang Uzumaki. "Mungkin ada berita penting." Lanjutnya lagi.
Sedikit terpaksa, Sasuke langsung mengusap layar untuk menerima panggilan itu.
"Ya?" Ia menjawab malas.
"Uhm, Sasuke-kun apa kau sedang sibuk sekarang?" Suara Hinata terdengar samar-samar di ujung telepon, namun kelihatan jelas sekali ada yang ingin dibicarakannya.
"Hm. Aku sibuk." Sasuke menjawab seadanya. Singkat dan padat.
"Begitu ya, sebenarnya aku hanya ingin membicarakan sesuatu padamu..." Ada nada ragu-ragu dari ucapan Hinata. "...Aku sudah melihat video yang ditayangkan pagi ini. Tentang komplotan Suigetsu yang sengaja memfitnahmu. Video itu sangat viral hingga jadi trending di media sosial." Ujarnya panjang lebar.
"Hm. Lalu?" Sasuke menyahut malas. Ia menarik tangan Naruto dan memaksa pemuda pirang itu untuk mengecup bibirnya.
"Aku... Aku hanya ingin minta maaf soal keputusanku semalam. Tidak seharusnya aku memutuskan hubungan kita secara sepihak." Jelas Hinata lagi.
"Hm." Sasuke tidak peduli, ia lebih menikmati cumbuan Naruto di bibirnya.
"Jadi Sasuke-kun... Uhmm... bisakah kita kembali bersama lagi?" Pinta Hinata, harap-harap cemas.
Tidak ada jawaban selain decakan lidah dan dengusan napas. Membuat Hinata mengernyitkan keningnya bingung. "Uhm, Hallo? Sasuke-kun? Kau sedang apa?"
Sasuke melepaskan cumbuannya pada Naruto dengan decakan jengkel. Sebelum ia menjawab pertanyaan Hinata, Naruto sudah lebih dahulu merebut ponsel dari tangannya.
"Hallo, Hinata-chan?" Naruto menyapa.
"E—Eh? Naruto-kun? Apa yang—"
"Begini, soal Sasuke... Ia sekarang sibuk denganku jadi tidak bisa diganggu." Naruto melirik sang Uchiha. Dibalas dengan seringai tipis oleh pemuda raven itu. "Dan soal hubungan kalian... Maaf saja, tapi sebaiknya kau berhenti berharap sebab Sasuke sudah jadi pacarku sekarang. Terima kasih dan selamat tinggal."
"A—Apa maksudmu? Tunggu dul—"
Tuuut!—Tuuut!
Sambungan dimatikan oleh Naruto dengan semena-mena. Ia melirik Sasuke kemudian terkekeh pelan. "Maaf, tapi aku ini tipe cowok pencemburu. Aku tidak suka melihatmu berhubungan lagi dengan gadis itu."
Sasuke mengedikkan bahunya, malas. "Terserahlah, aku sudah tidak peduli lagi dengannya." Sahutnya. Ia kembali mengalungkan kedua lengannya di leher sang Uzumaki, menatap pemuda pirang itu dengan onyx hitamnya yang lembut. "Bagiku, kaulah yang terpenting sekarang."
Naruto mendengus tertawa, menarik pinggang sang Uchiha dan kembali mencumbu bibir tipis berwarna pink pucat itu. Belum sempat mereka menuju ronde kedua, ponsel Sasuke kembali bergetar.
Drrrt!—Drrrt!
Kali ini nama 'Uchiha Itachi' yang terpampang disana. Sasuke segera melepaskan cumbuan mereka dengan panik, kemudian menyambar handphone-nya dengan cepat.
"Halo kak, apa kabar?" Sasuke menyapa terlalu formal, membuat Naruto memiringkan kepalanya bingung. Sebegitu menakutkankah Itachi itu sampai-sampai Sasuke menjadi penurut seperti ini?
"Hm, kau benar-benar hebat dalam menyelesaikan masalahmu ya? Sampai-sampai videonya menjadi viral seperti ini." Ucap Itachi sambil memandang layar komputernya yang menampilkan video Suigetsu, Juugo dan Karin yang tengah terikat di tiang bendera. "Apa kau yang melakukan ini semua, Sasuke?" Tanya sang kakak penasaran.
Sasuke meneguk air liurnya kemudian melirik Naruto ragu. "Uhh, tidak. Aku dibantu seorang teman."
"Teman?" Itachi menaikan satu alisnya, terdengar tertarik. Ia menatap dokumen yang berada di sebelah komputernya. Biodata diri Uzumaki Naruto. "Sasuke, kau tahu kan kalau kakakmu ini hebat dalam mencari informasi? Apa kau lupa kalau aku juga punya banyak mata-mata?"
"A—Apa maksudmu, kak?"
Itachi memutar kursi kerjanya menghadap jendela kaca, menatap padatnya jalur lalu lintas di kota New york. "Maksudku adalah kau tidak bisa menyembunyikan apapun dariku, termasuk menyembunyikan seorang Uzumaki Naruto."
Sasuke meneguk air liurnya. Tangannya gemetaran. Panik mulai melanda, membuat kerongkongannya tiba-tiba kering mendadak.
Melihat hal itu, Naruto lagi-lagi langsung menyambar ponsel Sasuke dan mendekatkannya ke telinga. Tidak mempedulikan Sasuke yang mulai berteriak panik untuk minta dikembalikan ponselnya.
"Hallo?"
"Ah, Naruto..." Sapa Itachi tenang. "Aku Uchiha Itachi, kakak dari Sasuke." Sambungnya. Tidak terkejut sama sekali melihat fakta kalau Naruto sedang bersama dengan adiknya sekarang. "Biar kutebak, kalian pacaran sekarang?" Tanyanya.
"Ya, kami pacaran." Jawab Naruto jujur sembari menghalau tangan Sasuke yang memaksa untuk merebut ponselnya kembali.
"Kembalikan, Dobe!"
"Diamlah, Teme! Aku sedang bicara dengan kakakmu!" Sungut Naruto kesal.
Itachi hanya diam mendengarkan pertengkaran yang dilakukan dua pemuda tanggung itu. Sang Uchiha sulung mendengus kecil. "Naruto, dengarkan aku..."
Pertengkaran terhenti, baik Naruto dan Sasuke langsung diam mendengarkan. Menatap ponsel kecil itu dengan seksama.
Itachi mendesah pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "...Aku sama sekali tidak menentang hubungan kalian. Disini, di New york, hal itu lumrah terjadi."
Sasuke mengedipkan matanya berkali-kali, tidak percaya bahwa kakanya merestui hubungan mereka.
"Tapi kau harus ingat satu hal, Naruto..." Nada suara Itachi berubah menjadi berat dan mengancam, membuat bulu kuduk Naruto tiba-tiba berdiri. "...Kalau kau berani menyakiti adikku sedikit saja, aku bersumpah, aku akan mengejarmu sampai neraka dan menyiksamu sampai kau memohon untuk mati dua kali, mengerti?" Ancamnya dingin.
Naruto meneguk air liurnya berkali-kali. Ketakutan. "Si—Siap, kakak ipar! Aku berjanji tidak akan menyakiti Sasuke seujung kuku pun!" Jawabnya seraya melakukan gerakan hormat.
"Hm, bagus. Dan katakan juga pada Sasuke, kalau dia tidak perlu memikirkan soal ayah. Aku akan membuat ayah merestui hubungan kalian walaupun harus memakai cara kekerasan." Ungkap Itachi lagi seraya bersender di kursinya yang empuk.
Setelah mendengar hal itu, Sasuke segera menyambar ponsel yang dipegang oleh Naruto. "Kakak, terima kasih banyak." Ucapnya senang.
"Hm, sama-sama."
Tuut!—Tuut!
Sambungan telepon diputus oleh Itachi sepihak, bahkan tanpa sempat Sasuke mengucapkan salam perpisahan. Pemuda raven itu melirik Naruto yang tengah tersenyum lebar ke arahnya.
"Yess! Kita akan menikah! Aku akan menikah denganmu!" Naruto menerjang Sasuke, memeluk sang kekasih dengan erat.
"Hei, kakakku tidak bilang kalau kita boleh menikah. Dia hanya bilang merestui hubungan pacaran kita." Jawab Sasuke seraya memukul lembut kepala Naruto.
Naruto membalasnya dengan cengiran lebar. "Kalau diperbolehkan, maukah kau menikah denganku Sasuke?"
Sang Uchiha membalasnya dengan dengusan kecil. "Hmph! Aku malas menjawab pertanyaan bodoh dari orang bodoh sepertimu."
"Oh ayolah Sasuke, jangan begitu. Jawab saja pertanyaanku."
"Tck!" Sasuke memalingkan wajahnya yang memerah sempurna. "Tentu saja aku mau, Idiot."
Naruto terkekeh. Ia mengecup kening Sasuke dengan lembut. "I love you."
"Idiot..." Sasuke tersenyum tipis. "...I love you too."
.
FIN
.
Yes! Akhirnya ya Tuhan, selesai juga *sembah sujud*
Endingnya gaje tapi biarlah... biarkan aku bernyanyi "Let it goo~ Let it goo~"
Terima kasih banyak yang sudah meluangkan waktu buat baca fic saya ini. Reviewer, silent readers, kalian yang terbaik *acungin empat jempol*
I love you, guys! XD
Oke, sampai jumpa di fic selanjutnya, guys *Crow terbang sanbil makan Cakes*