Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: YAOI, AU, OOC, dan peringatan lainnya yang bersifat 'dewasa' serta nyeleneh.

Pairing: Always NaruSasu

Rated: M for Mature and Sexual Content

Don't Like Don't Read

.

Baby, I'm Crazy For You

.

By: CrowCakes

~Enjoy~

.

.

.

Naruto hanyalah pemuda biasa berumur 22 tahun yang berkuliah di Konoha University. Pembawaannya yang ceroboh, terlalu berisik dan suka seenaknya sendiri membuat para gadis enggan berdekatan dengannya.

Jangan pernah tanyakan rekor patah hatinya, sebab ia selalu dicampakan bahkan sebelum pemuda itu sempat mengutarakan isi hatinya pada cewek. Agak menyedihkan memang bagi cowok berambut spiky pirang dan berbadan tegap itu, untung saja sikapnya yang ceria membuatnya mempunyai banyak teman, walaupun harus diakui kalau seluruh temannya adalah makhluk berbatang yang juga sama-sama jomblo.

Tetapi itu hanya sepenggal kisah nista Naruto yang cukup menyedihkan. Dan sekarang ia berusaha sekuat tenaga untuk mempunyai pacar. Kalau cewek menolaknya, cowok pun tidak apa-apa. Ibarat pepatah; tidak ada perawan, makhluk berbatang pun jadi.

Ya! Status jomblonya membuat Naruto menjadi makhluk pemakan segala. Sayangnya lagi, targetnya adalah Uchiha Sasuke. Pemuda tampan dengan sifat kalem sekaligus mahasiswa yang punya predikat cemerlang dalam bidang akademik. Naruto memang manusia pemilih yang tidak sadar diri. Memiliki pacar sempurna memang dambaannya, tetapi ia terlalu berkhayal tinggi dengan mengincar Uchiha Sasuke, sang idola kampus.

For god's sake! Uchiha Sasuke itu manusia yang sangat perfect dengan wajah putih susu tanpa jerawat dan komedo. Badan tinggi ramping bak model profesional, belum lagi otak jenius yang sanggup mengalahkan kepintaran Einstein. Dan penggemarnya pun hampir seluruh penghuni kampus; dari cewek hingga cowok, dari dosen hingga tukang parkir, dari bibi kantin sampai nenek ngesot.

Man!—Hambatannya terlalu banyak, rintangan bertubi-tubi dan harus berkompetisi dengan seluruh penghuni kampus untuk merebut perhatian Sasuke, membuat kesempatannya menjadi NOL persen. Namun bukan Naruto namanya kalau harus menyerah tanpa berusaha terlebih dahulu, jadi dengan mental ala kadarnya ia berusaha mengincar pemuda raven itu.

Dan petualangan pejantan merebut cinta pangeran pun dimulai.

.

.

.

Tap!Tap!Tap!

Sasuke berjalan tenang di sepanjang lorong koridor kampus. Ia terlihat santai sambil menenteng beberapa buku pelajaran di tangan kanan. Sesekali ia hanya berdecak kesal saat melihat gerombolan cewek yang tengah berbisik membicarakannya di ujung koridor.

Jujur saja, ia sama sekali tidak berniat untuk menarik perhatian seluruh penghuni kampus, ia lebih suka menyendiri dibandingkan harus dipuja-puja secara berlebihan seperti itu.

Rasanya tidak nyaman dan sangat menyebalkan!

"Sasuke, selamat pagi~" Suara berat bernada rendah namun ceria itu keluar dari bibir Naruto yang tengah menyengir ke arah pujaan hatinya. Membuat sang Uchiha mendengus tidak suka.

Dibandingkan seluruh fangirls-nya, pemuda inilah yang paling tidak diinginkan oleh Sasuke.

Naruto selalu mengikutinya kemana pun dia pergi; entah ke toilet ataupun ke kantin, bahkan pemuda bodoh itu tidak segan-segan menyatakan cintanya secara blak-blakkan di depan kampus—yang tentu saja langsung di tolak mentah-mentah oleh Sasuke.

Kalaupun Sasuke harus menjadi gay, ia pasti akan lebih memilih pemuda tampan yang pintar dibandingkan seorang Uzumaki Naruto yang bodoh. Kelebihan pemuda itu hanyalah tubuh tegap atletis dan senyum lebarnya.

Sasuke mendengus pelan. "Hn." Jawabnya malas seraya melangkah menjauh, tidak peduli.

Naruto mengikuti sang Uchiha seraya mensejajarkan langkahnya. "Kau tetap cantik seperti biasa, Sasuke." Pujinya senang.

Disebelahnya, Sasuke hanya mendelik dengan ekor matanya yang galak. "Tutup mulutmu, Idiot. Perlu kau ketahui, aku ini cowok." Sinisnya.

Naruto menanggapinya dengan tawa renyah. "Yeah, aku tahu."

"Kalau begitu tinggalkan aku sendiri dan cari cewek lain saja sana." Ketusnya lagi seraya berbelok ke kanan, menuju ruang perkuliahan.

"Aku menyerah mencari cewek. Sekarang kau adalah incaranku, Sasuke." Sahut Naruto jujur.

Sasuke berhenti melangkah kemudian berbalik menghadap Naruto dengan tangan yang saling menyilang di depan dada. "Maaf saja, tetapi aku sama sekali tidak tertarik denganmu." Ucapnya dingin tidak berperasaan.

Naruto tergelak sejenak. "Tidak masalah untukku, akan kubuat kau jatuh cinta padaku, Sayang." Ucapnya seraya memainkan alisnya naik-turun, genit.

Sasuke hanya menanggapinya dengan erangan serta putaran bola mata yang kesal. God! Berbicara dengan Naruto membuat darah tingginya kumat. Pemuda pirang itu benar-benar keras kepala dan BODOH!

'Jatuh cinta dia bilang? Hmph! Jangan bercanda, aku tidak akan pernah jatuh cinta pada pemuda idiot macam dia.' Batin Sasuke dalam hati. Ia memilih memasuki ruangan tanpa mempedulikan Naruto lagi.

.

.

Semangat Naruto tidak berakhir sampai disitu saja, dia bahkan rela menunggu Sasuke di depan ruang kuliah sampai pemuda raven itu keluar. Sebagai seorang jomblo abadi, sifat pantang menyerah adalah keahlian satu-satunya Naruto. Dengan itu, ia bisa mendekati sang idola sekolah tanpa putus asa, sekalipun sering dihina dan dilecehkan (Baca: hampir digampar dan dipukuli oleh Sasuke) berkali-kali.

Naruto terlihat mengunyah permen lolipop sembari menghitung cicak di langit-langit koridor, sekedar untuk mengusir rasa suntuk. Tiga puluh menit sudah berlalu tapi belum ada tanda-tanda perkuliahan Sasuke berakhir. Sepertinya sang dosen terlalu sayang pada para mahasiswanya sampai-sampai tidak rela bila mereka harus dipulangkan.

Naruto berpikir, kapan dia juga disayang dosen seperti itu? Setidaknya bila Naruto kelaparan di kamar kost-nya, ia bisa minta segenggam bakul nasi ke rumah sang dosen.

Setelah menunggu berpuluh-puluh menit layaknya gelandangan, akhirnya perkuliahan Sasuke pun berakhir. Naruto senyum sumringah saat melihat sosok Sasuke yang tengah berdesakan untuk berebut keluar dari ruang perkuliahan. Pemuda pirang itu segera melemparkan lolipop-nya ke tong sampah terdekat dan memulai gombalannya pada sang idola kampus.

"Siang, cantik. Sudah selesai kuliahnya? Mau pulang bareng?" Tanya Naruto kelewat ramah.

Sasuke memutar bola matanya saat mengetahui kalau orang yang menyapanya adalah sosok yang sangat dibencinya. Ia tidak mempedulikan ucapan Naruto dan mempercepat langkahnya.

"Sasuke sayang, kenapa tergesa-gesa begitu? Kau lapar? Mau makan bareng?" Naruto mensejajarkan langkahnya agar tidak tertinggal. Jujur saja, dalam hal melarikan diri dan kabur, Sasuke adalah ahlinya. Bahkan Naruto sempat berpikir kalau Sasuke adalah ninja yang bisa kapan saja mengeluarkan bom asap lalu menghilang dalam sekejap. Wow, Naruto ingin kekuatan seperti itu, setidaknya ia bisa muncul mendadak bersama bom asap di kamar Sasuke, lalu berseru gembira 'Surprise motherfucker!'.

Yeah, that's creepy.

Sasuke berdecak jengkel saat Naruto terus mengekor kemana pun dia pergi. "Berhenti mengikutiku, Idiot!" Serunya kesal.

"Bukan salahku. Kau saja yang tidak mau berhenti berjalan."

"Kalau aku berhenti berjalan, apa kau tidak akan mengikutiku lagi?" Delik Sasuke galak.

"Nope." Jawab Naruto mantap. "Aku akan terus mengikutimu."

"Tch!" Sasuke turun dari anak tangga lebih cepat dua kali lipat. Naruto tetap mengekor.

"Sasuke, malam ini kau ada acara?"

"..."

"Sasuke, bisa pelan-pelan sedikit? Aku mulai kelelahan."

"..."

"Sayang, kau mendengarkanku tidak? Babe?"

"For god's sake, Idiot! Shut up!" Sasuke habis kesabaran. Ia berbalik sembari melempar death glare yang paling mengerikan sedunia. Sayangnya, death glare-nya memantul di wajah bodoh Naruto yang membalasnya dengan senyum sumringah.

"Akhirnya my baby menjawab sapaanku juga." Naruto bersender di pegangan tangga. Memasang gaya paling keren, yaitu memasukkan kedua tangan di saku jaket black-orange-nya. "Tatapanmu itu benar-benar seksi. Apa kau memasang bulu mata palsu? Contact lens? Man, you're so pretty." Gombalnya.

Jengah adalah kata yang tepat mendeskripsikan ekspresi Sasuke saat ini. Ia terlalu lelah untuk marah-marah, tetapi pemuda bodoh berambut pirang dihadapannya ini selalu membuatnya darah tinggi. Dimana pun dan kapanpun Naruto selalu mengikutinya, ibarat bisul di pantat; sakit dan bikin emosi.

"Kau bisa mengincar cowok lain." Sasuke akhirnya membuka suara. Telunjuknya mengarah pada Sai yang tidak sengaja lewat disamping mereka. "Sai cukup pintar dan tampan." Tambah Sasuke lagi.

Mendengar namanya disebut, Sai langsung berhenti dan menatap Sasuke serta Naruto bergantian dengan senyum datarnya. "Sedang menggosipkan aku?" Tanyanya.

Bukannya menjawab pertanyaan Sai, Sasuke malah menarik pemuda pucat itu dan mendorongnya ke arah Naruto. Membuat tubuh Sai agak limbung saat ditarik dan didorong secara paksa seperti tadi.

"Lihat? Dia tidak kalah tampannya." Ucap Sasuke lagi.

Naruto menyipitkan mata, meneliti wajah Sai dari atas rambut hingga dagu. "Yeah, dia tampan."

Sai lagi-lagi tersenyum datar. "Terima kasih."

"Tapi dia bukan tipeku." Naruto menjawab cepat sembari mendorong Sai ke samping. "Aku lebih menyukaimu." Mata birunya menatap lekat sang Uchiha. Serius.

Sasuke mengerang jengkel. Ia kembali berbalik dan menuruni tangga tanpa menjawab ucapan konyol Naruto.

Sang Uzumaki kembali mengikuti Sasuke. Meninggalkan Sai yang sama sekali tidak mengerti kenapa dirinya dilibatkan dalam obrolan tidak penting tadi.

"Ayolah Sasuke, apa sih yang tidak kau suka dariku? Aku ini lumayan tampan." Naruto memulai mempromosikan dirinya agar dilirik oleh Sasuke.

"Apa kau punya cermin? Wajahmu itu buruk rupa." Sarkastik sang Uchiha.

"Tapi aku punya senyum maut." Naruto masih gigih.

"Maksudmu senyum idiot?" Bola mata hitam itu berputar jengkel.

"Tubuhku bagus. Tegap dan atletis." Naruto mengangkat baju kaosnya, mencoba memperlihatkan gumpalan enam otot terlatih yang seksi. Sayangnya, Sasuke sama sekali tidak peduli.

"Penisku besar. Apa kau mau lih...?" Belum sempat Naruto menurunkan celana panjangnya. Tingkah konyolnya sudah terlebih dulu dihentikan oleh Sasuke dengan tendangan di tulang kering. Cukup untuk membuat pemuda pirang itu meringkuk sejenak di lantai sembari mengaduh kesakitan.

Sasuke memanfaatkan kesempatan itu untuk segera pergi menuju parkiran, tempat dimana supirnya sudah menunggu di dalam mobil mahal berwarna hitam.

Naruto yang melihat sang pujaan hati akan segera pergi, langsung bangkit dan berjalan cepat menuju mobil pemuda raven itu. "Sasuke...!" Ia memanggil frustasi.

Yang dipanggil segera mengunci pintu mobil lalu menepuk pundak sang supir. "Jalan sekarang!" Perintahnya tegas.

Mobil hitam mengkilat itu segera bergerak perlahan namun pasti keluar dari area parkiran, meninggalkan sosok Naruto yang hanya bisa memandang pasrah tanpa bisa melakukan apapun.

Naruto mendesah pelan karena usahanya mendekati Sasuke hari ini gagal total. Lagi-lagi Sasuke berhasil kabur dengan mulus, padahal Naruto masih ingin menggoda pemuda raven itu sedikit lagi. Bagi pemuda jomblo seperti Naruto, mendapatkan pacar adalah hal yang sangat dilematis, apalagi berusaha menggaet cowok idola macam Sasuke—yang pastinya—membutuhkan niat dan kerja keras yang ekstra.

Hari ini usaha Naruto memang tidak berhasil, tapi itu tidak membuatnya pantang menyerah. Semangatnya malah makin tersulut untuk bisa memiliki Sasuke. Seperti kata pepatah; semakin sulit mendapatkan sesuatu maka akan semakin tertantang untuk memilikinya secara utuh.

Puas menyemangati dirinya sendiri, Naruto kembali berbalik menuju parkiran sepeda untuk mengambil sepeda kesayangannya. Kalau boleh jujur, sepeda itu adalah jenis sepeda hybrid, yaitu perpaduan antara sepeda gunung dan sepeda balap, yang harganya lumayan mahal. Naruto bahkan harus merengek sampai nangis darah agar bisa dibelikan sepeda tersebut oleh kedua orangtuanya. Ia juga menambahkan-nambahkan alasan kalau bersepeda adalah olahraga yang murah dibandingkan nge-gym yang berbayar.

Dan sekarang, Naruto mencurahkan setiap detiknya untuk merawat sepeda kesayangannya itu. Ia bahkan bisa ejakulasi dini hanya dengan melihat lekuk indah bentuk sepedanya tersebut.

"Naruto, kau sudah mau pulang?" Suara Sai sedikit menganggetkan Naruto yang sedang memandang mesra sepedanya.

Sang Uzumaki menoleh. "Iya, memangnya ada apa Sai?"

"Bisa antarkan aku pulang? Supirku tidak bisa menjemputku hari ini." Itu bukanlah kalimat minta tolong melainkan perintah dan Naruto menanggapinya dengan wajah kecut.

"Aku bukan supirmu. Kau bisa memanggil taksi atau ikut dengan mobil mewah." Tunjuk Naruto ke arah para mahasiswa kaya raya setara Sai yang sedang berbincang seru disamping mobil-mobil mahal mereka.

"Aku sedang malas naik mobil, aku ingin dibonceng olehmu." Ucap Sai lagi, keras kepala.

"Baiklah, tapi aku tidak punya sadel belakang. Jadi kau harus berdiri."

"Ya, tidak masalah." Sai segera naik ke sepeda kemudian berpegangan pada pundak Naruto agar tidak jatuh.

Sang Uzumaki mulai mengayuh sepedanya. "Tidak biasanya hari ini kau tidak dijemput supirmu? Apa ada masalah atau sesuatu?"

"Aku hanya malas dijemput. Sesekali ingin merasakan pulang sendiri."

"Kalau begitu kenapa tidak jalan sendiri saja?" Sungut Naruto lagi.

"Aku lebih suka bersamamu." Sai menjawab ambigu.

"Maksudmu numpang bonceng denganku begitu?"

"Tepat sekali." Sai tersenyum datar.

Naruto hanya mengerang kesal.

Sebenarnya dia dan Sai bukanlah sahabat dekat, hanya sebatas teman kuliah saja, tetapi entah kenapa Sai selalu ingin menempel padanya. Naruto sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, hanya saja Sai sudah mempunyai pacar yaitu Yamanaka Ino, cewek cantik yang agak galak. Kalau saja Sai tidak punya pasangan, mungkin Naruto akan mengincarnya dibandingkan harus mendekati si ketus Sasuke.

"Naruto," Sai memanggil. "Apa kau belum tahu gosip mengenai Sasuke?"

"Huh? Gosip apa?" Naruto melirik pemuda pucat itu dengan ekor matanya.

"Sasuke sudah mempunyai pacar sejak tiga bulan yang lalu."

CKIIITTT!

Ban sepeda berdecit saat Naruto mengeremnya dengan tiba-tiba. Pemuda pirang itu menoleh ke arah Sai dengan pandangan kaget sekaligus tidak percaya. Dia tidak kesulitan mempercayai kalau Sasuke ternyata sudah punya pacar. Pemuda raven itu memang digilai banyak cewek, hanya saja kenapa dia tidak pernah tahu bahwa ada gosip Sasuke sudah pacaran?

"Kau serius?" Tanya Naruto.

Sai mengangguk dengan senyum datarnya. "Aku tidak pernah berbohong padamu. Sasuke memang sudah punya pacar. Cewek tulen."

"Siapa nama gadis itu?" Naruto penasaran.

Yang ditanya terlihat berpikir sejenak, mengingat-ingat. "Kalau tidak salah gadis itu kuliah di kampus sebelah, namanya adalah Hyuuga Hinata."

.

.

Di tempat lain, tepatnya di dalam mobil mewah berwarna hitam, Sasuke terlihat bersender di jok belakang sambil memainkan handphone-nya. Ekspresi wajahnya yang suntuk langsung berubah saat melihat ada pesan dari pacar kesayanganya, Hyuuga Hinata.

.

Hai, Sasuke-kun, bagaimana kuliah hari ini? Apakah menyenangkan? (●'∀')3

.

Sasuke mengetik dengan cepat.

Sama membosankannya dengan hari-hari sebelumnya. Sangat melelahkan. ┐(-_-)┌

.

Jangan berpikiran negatif seperti itu. Bersemangatlah, Sasuke-kun! (ノ゚O)

.

Terima kasih. (^_^)

.

Sasuke membalas pesan Hinata dengan cepat. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. Setidaknya, hari melelahkan ini terbayar oleh pesan singkat dari kekasihnya itu. Hinata memang pacar kesayangan, dapat membuat semangatnya pulih kembali.

Sang Uchiha muda itu menutup ponselnya dan memasukkannya ke kantong celana. Ia kembali fokus menatap jalan raya yang saat itu masih padat merayap karena macet.

Tidak terlalu banyak objek yang dilihat di luar sana. Hanya sekumpulan pejalan kaki, toko-toko bergedung tinggi, layar iklan yang terpampang lebar, Naruto dan Sai yang berada di jalur sepeda.

Tunggu dulu. Naruto dan Sai?

Sasuke memicingkan matanya untuk menatap lebih jelas dua sosok yang sangat dikenalnya itu.

Tidak salah lagi, itu memang Naruto yang sedang naik sepeda sembari membonceng Sai dibelakang. Dan mereka berdua terlihat mengobrol gembira. Dilihat dari wajah Sai yang terus tersenyum, sepertinya ia sangat menikmati sekali dibonceng oleh Naruto.

Huh! Dasar ular berbisa.

Sasuke menghina Sai bukan tanpa alasan sama sekali. Pemuda pucat pemilik senyum palsu itu memang jagonya memanipulasi orang lain. Ia memiliki aura tersendiri yang membuat siapa saja takluk dibawah senyumnya, bahkan sampai rela melakukan apa saja untuknya.

Sasuke mempercayai kalau Sai menggunakan jampi-jampi yang membuat semua orang tidak akan menolak permintaannya. Tapi tentu saja, hal itu tidak berlaku pada Sasuke yang kebal terhadap jampi-jampi Sai. Ia tidak pernah menyukai pemuda pemilik senyum palsu itu sejak awal, alasannya mudah sebab Sai selalu mencuri apa yang dimilikinya. Misalnya saja saat Sasuke mencoba mendekati Ino untuk menjadi pacarnya, tetapi Sai malah merebut cewek incarannya itu dengan senyum palsunya. Cih! Menjijikan!

Dan sekarang, Sai malah terlihat bersenang-senang dengan Naruto.

Bukannya Sasuke merasa cemburu karena Naruto lebih dekat dengan pemuda pucat itu, ia bahkan bersyukur kalau Naruto mau pindah ke lain hati (istilah lainnya; berhenti mengikutinya) dan mulai mengincar Sai. Yang tidak disukainya hanyalah tingkah Sai yang selalu menganggapnya rival dalam hal apapun.

Sasuke mendengus kecil saat melihat sepeda Naruto berhenti tidak jauh dari mobilnya. Sepertinya Sai tengah membisikkan sesuatu di telinga Naruto dan pemuda pirang itu menurut untuk berhenti.

Jari tangan Sai menunjuk ke mesin minuman otomatis yang berada di pinggir jalan tidak jauh dari mereka. Pemuda pucat itu terlihat menyeka keringat di lehernya, kehausan. Dan meminta sang Uzumaki untuk membelikannya satu botol soda dingin. Naruto mengangguk sebentar dan langsung berjalan ke arah mesin tadi, meninggalkan Sai dengan sepedanya.

Ekspresi Sasuke semakin masam melihat pemandangan itu. "Dasar idiot, mau saja disuruh oleh tikus pucat brengsek itu." Sungutnya.

Saat Naruto sedang sibuk memilih minuman, di sisi lain Sai menoleh ke arah Sasuke yang tengah berada di dalam mobil.

Sang Uchiha sedikit tersentak kaget saat mata Sai bertubrukan dengannya. Padahal Sasuke yakin kalau kaca mobilnya hitam gelap, tidak ada satu pun orang yang bisa melihat ke dalam, hanya yang berada di dalam mobil lah yang bisa melihat keluar dengan jelas.

Lalu bagaimana Sai bisa menatap dan tersenyum ke arahnya sejelas itu? Apakah pemuda pucat itu sudah tahu kalau mobilnya sedang berada di jalur lintas jalan raya yang macet dan memutuskan untuk berhenti tidak jauh dari sana? Untuk memanas-manasinya?

Belum sempat Sasuke menerka-nerka apa yang sedang terjadi, Naruto terlihat sudah kembali dari mesin minuman otomatis sembari membawa satu botol soda dingin. Ia menyodorkannya ke arah Sai.

Pemuda pucat itu menoleh ke arah Naruto dan tersenyum datar. Ia menyenderkan kepalanya di bahu Naruto sembari meminum soda tadi melalui sedotan. Sedangkan matanya tidak beralih dari mobil Sasuke.

Sang Uchiha menggeram kecil. Wajah Sai semakin terlihat memuakkan saat ia terus memancing amarah Sasuke dengan bergelayut manja pada Naruto. Seakan-akan ekspresi pemuda pucat itu mengatakan kalau ia bisa merebut Naruto semudah menjentikkan jari saja.

Seharusnya Sasuke senang karena Sai mau berbaik hati mengambil si idiot Naruto itu dari hidupnya, tetapi bukannya bersorak gembira Sasuke malah mengepalkan tangannya dengan emosi.

Sasuke tidak suka dianggap remeh ataupun dipermainkan seperti itu. Apalagi ditantang oleh Sai untuk saling memperebutkan Naruto. Memangnya siapa Naruto sampai harus diperebutkan begitu? Memuakkan!

Sasuke mendengus mencemooh sebelum memalingkan wajahnya. Kemudian menepuk pundak sang supir. "Cepat jalan, aku ingin segera pulang." Perintahnya tegas.

Sang supir mengangguk dan mobil melaju secara perlahan namun pasti keluar dari kerumunan kemacetan.

Di sisi lain, Naruto sama sekali tidak menyadari keberadaan mobil Sasuke yang melaju lewat di depannya, ia terlalu sibuk menyeka keringat dikeningnya sembari meringis kepanasan. Sedangkan Sai tetap asyik menyender pada bahu Naruto sambil menyeruput minuman dingin.

"Sampai kapan kau mau menyender padaku seperti ini? Aku kepanasan." Sungut Naruto sembari mendorong kepala Sai dari bahunya.

"Sampai supirku datang menjemputku." Ucap Sai.

"Kau itu merepotkan." Naruto mulai mengeluh. "Tadi kau minta berhenti tiba-tiba karena melihat mobil jemputanmu, tetapi sampai sekarang tidak ada satu pun mobil yang berhenti untuk memungutmu. Belum lagi kau minta dibelikan minuman soda. Dasar menyusahkan." Keluh pemuda pirang itu.

Sai menanggapinya dengan senyum tipis. "Well, sepertinya aku salah lihat mobil." Ia berdiri dan melempar botol soda yang telah kosong tadi ke tong sampah terdekat. "Jadi bisakah kau mengantarkanku pulang, Naruto?" Mintanya lembut, tidak lupa dengan senyum datarnya.

Naruto merengek. "Tapi aku capek, dan lagi rumahmu itu lumayan jauh."

Sebelum pemuda pirang itu memprotes lebih jauh, Sai segera merogoh kantong celananya dan menyodorkan beberapa lembar uang bernilai tinggi. "Kalau segini apakah cukup mengantarkanku pulang?" Tawarnya, masih dengan senyum datar.

Naruto membelalak lebar. Mengerjap tiga kali lalu mengangguk mantap. "Cukup, sangat cukup!" Ia menyambar lembaran uang tadi lalu mulai bersiap menginjak pedal sepeda. "Ayo naik tuan muda Sai, hamba akan mengantarkan anda pulang."

Sai tertawa kecil lalu segera naik ke sepeda Naruto dan memeluk bahu lebar pemuda pirang itu dari belakang. Angin sepoi-sepoi menyisir setiap helai rambut Sai saat Naruto terus menggenjot pedal sepeda penuh semangat.

Sai memeluk lebih erat. Merasakan otot bahu dan lengan Naruto sedikit berkontraksi saat pemuda itu mencengkram setir sepeda dengan kuat.

Maskulin adalah kata yang tepat menggambarkan sosok Naruto. Pemuda pirang itu mempunyai bahu yang kokoh dan rahang tegas, sangat disayangkan kalau Sasuke harus mencampakkan orang seperti Naruto. Mungkin ia dapat merebutnya dari Sasuke dan menjadikan pemuda pirang itu kekasihnya. Untuk masalah Ino, ia bisa membuang cewek tidak berguna itu semudah menginjak kecoa.

Sai tersenyum misterius.

.

.

Mobil hitam Sasuke berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah di perumahan kalangan elit. Bangunan itu bercat putih bersih layaknya mansion megah, perkarangan halaman yang asri membuat rumah Sasuke terlihat lebih sejuk dan mencerminkan kemewahan.

Sasuke sadar kalau dia terlahir istimewa dibandingkan anak kebanyakan. Ia hidup dan bersosialita dikalangan atas sehingga lingkungan tempat dia berada mengubah kepribadiannya.

Sasuke menjadi pemuda yang pongah, manja dan sombong sebab apapun yang diinginkannya selalu dituruti oleh kedua orangtuanya. Sebagai timbal baliknya, ia harus rela membuang waktu bermainnya untuk belajar dengan giat agar mendapatkan julukan "jenius" demi menyenangkan kedua orangtuanya. Bagi Sasuke, istilah tersebut disebut simbiosis mutualisme. Kedua belah pihak sama-sama untung. Tidak buruk.

Seorang pelayan membukakan pintu depan agar Sasuke bisa masuk ke dalam rumah. Ia mengangguk kecil sebagai ucapan terima kasih. Tidak banyak suara ataupun ucapan yang dikeluarkannya saat tiba di rumah, sebab tidak ada siapapun di dalam bangunan megah tersebut selain dirinya dan para pelayan.

Kedua orangtua serta kakaknya sibuk melakukan bisnis ke luar negeri. Tipikal skenario orang kaya dalam drama-drama pertelevisian. Orang figuran tidak terlalu penting dalam isi cerita.

Intinya, Sasuke sudah terbiasa ditinggal sendiri. Dia tidak mengeluh ataupun menjadi pemberontak. Hmph! Maaf saja, tetapi Sasuke adalah orang terhormat, ia tidak sudi menjadi pemuda yang suka menggalau ataupun berusaha bunuh diri untuk mencari perhatian, apalagi sampai membuat drama-drama bohongan di media sosial. Itu sama sekali bukan sifatnya.

"Sasuke-kun, selamat datang." Suara merdu Hinata menggema di ruang tamu rumah mewah itu. Gadis itu duduk di sofa sembari menikmati sajian teh hangat dari pelayan.

"Hn." Sasuke mendudukkan dirinya di samping Hinata. "Kau sudah lama disini?"

"Baru saja. Dari kampus aku langsung kesini, aku pikir kau sudah pulang ternyata belum, jadi aku menunggumu." Hinata merapikan rambutnya ke sisi telinga sebelum kembali bicara. "Ngomong-ngomong bagaimana kuliahmu hari ini? Menyenangkan?"

Sang Uchiha mendesah pelan. "Buruk."

"Seburuk apa?"

"Sangat buruk." Jawab Sasuke cepat dan singkat.

Hinata meneliti raut wajah kekasihnya itu. Stoic seperti biasa. "Aku tidak mengerti bagian mana yang buruknya. Kau harus menjelaskannya, Sasuke-kun."

Lagi-lagi pemuda raven itu mendesah. "Naruto, pemuda idiot itu terus mengikutiku kemana pun aku pergi. Menyebalkan."

Hinata ber-oh kecil. Ia menyeruput teh nya sejenak sebelum angkat bicara. "Mungkin pemuda bernama 'Naruto' itu hanya ingin berteman denganmu. Cobalah bicara yang baik padanya, mungkin saja kalian bisa menjadi sahabat karib."

Terdengar dengusan kecil yang mencemooh dari Sasuke. "Siapa yang sudi berteman dengan pemuda idiot macam Naruto. Dia itu sangat berisik dan mengganggu."

Hinata memaklumi sifat anti-sosial Sasuke, dulu ia juga tidak langsung pacaran dengan pemuda itu begitu saja. Butuh tahapan ekstra dan sifat yang sabar agar bisa mendekati makhluk seperti Uchiha Sasuke. Untung saja jerih payahnya terbayar sudah saat Sasuke setuju untuk pacaran dengannya. Itu adalah momen paling berharga bagi Hinata.

"Beri Naruto sedikit kesempatan untuk menjadi temanmu, aku yakin kau akan suka berteman dengannya." Ungkap Hinata lagi.

Sasuke tidak lagi menjawab. Ia merenung sejenak memikirkan ucapan Hinata.

Mungkin benar kata Hinata, ada baiknya ia sedikit membuka hati untuk berteman dengan Naruto. Siapa tahu pemuda idiot itu bisa menjadi sahabat akrabnya.

"Sasuke-kun..." Hinata memanggil pelan. "...Aku sedang bosan hari ini. Apa kau mau jalan-jalan denganku?" Tanyanya.

"Hn..." Sasuke langsung bangkit dan merapikan kerah bajunya. "Kita naik mobil saja biar tidak kepanasan. Aku yang menyupir." Ucapnya.

.

Di tempat lain, Naruto terlihat berhenti tepat di depan gerbang perkomplekan rumah elit. Susunan bangunan rumah yang tinggi bak gedung-gedung pertokoan membuat Naruto hanya bisa menganga lebar. Bagi orang sederhana sepertinya, memiliki rumah seperti itu hanya mimpi semata, kecuali kalau ia dikutuk oleh Tuhan untuk menjadi orang kaya dalam satu malam, mungkin ia tidak lagi tinggal di kamar kost-nya yang kumuh itu. Setidaknya ia harus bersyukur karena masih bisa kuliah di kampus terkenal macam Konoha University karena bantuan beasiswa olahraganya.

"Sai, kau tinggal disini?" Tanya Naruto heran sekaligus kagum.

Pemuda yang diboncengnya itu hanya mengangguk singkat. "Ya, di blok dua. Di dalam sana." Tunjuknya ke depan.

Naruto mencoba melihat rumah yang ditunjuk oleh Sai, namun mustahil dilihat sebab jarak pandangnya dilindungi oleh pagar dan bangunan rumah elit yang lain.

"Kenapa tidak turun dari sepedaku? Kau sudah sampai di rumahmu." Ucap Naruto lagi.

"Sampai di depan komplek, bukannya di depan rumahku." Balas Sai lagi.

"Kau manja sekali sih, cukup turun dan jalan kaki sana. Rumahmu 'kan sudah dekat."

"Kau berjanji akan mengantarkanku sampai depan rumah." Sai mengerucutkan bibirnya, cemberut.

"Aku bilang mengantarkanmu pulang, bukannya sampai depan rumah."

"Sama saja." Sai keras kepala.

Naruto menyerah.

"Baiklah, akan kuantarkan sampai depan rum—" Kalimatnya tiba-tiba terhenti saat iris birunya tertumbuk pada sebuah mobil hitam yang lewat disamping mereka.

Bukan, Naruto bukannya kaget melihat mobil semahal dan sekeren itu lewat disampingnya, tetapi yang membuatnya terkejut adalah orang yang berada di dalam mobil tersebut.

Dari jendela mobil yang terbuka, sosok Sasuke terlihat mengemudikan kendaraan tersebut bersama dengan seorang gadis cantik. Mereka terlihat saling berbincang mesra, sesekali gadis tersebut terkikik saat Sasuke berbicara sesuatu, mungkin lelocon dan sejenisnya, entahlah Naruto tidak bisa mendengar pembicaraan mereka berdua.

"Dia Hyuuga Hinata." Sai menunjuk gadis yang duduk disebelah Sasuke dengan ujung dagunya. "Pacar Sasuke." Tambahnya lagi, memperjelas kalau kesempatan Naruto untuk mendapatkan Sasuke adalah nol besar.

"Ya, kau sudah memberitahuku tadi." Balas pemuda pirang itu dengan nada masam.

"Aku hanya mengingatkan saja." Kata Sai dengan senyum datarnya. "Asal kau tahu, kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dari Sasuke."

"Oh ya, siapa?" Naruto menjawab dengan nada bosan. Matanya lebih tertarik menatap mobil Sasuke yang bergerak menjauh dari mereka.

"Aku." Sai kembali tersenyum datar.

Naruto memutar bola matanya, malas. "Yeah, yeah, don't care."

.

.

.

Keesokan harinya di kampus, keadaan disekitar Sasuke berbeda dari biasanya.

Tidak, dia tidak kehilangan popularitasnya sama sekali. Pemujanya pun masih menumpuk banyak. Yang berbeda hanyalah keberadaan Naruto yang jarang sekali ditemuinya. Seakan-akan pemuda pirang itu mulai lenyap ditelan bumi. Kalau pun mereka tidak sengaja bertemu, Naruto hanya melempar cengir lebarnya sembari mengucapkan "Pagi, cantik." Atau "Hai, cantik." setelah itu kembali lenyap.

Bukannya Sasuke kangen untuk digoda atau digombali lagi oleh pemuda idiot itu, hanya saja tingkah Naruto benar-benar aneh hari ini. Dia tidak banyak bicara, tidak banyak berisik, dan juga tidak banyak cengir. Sasuke hanya penasaran, itu saja.

Namun rasa penasaran Sasuke dikalahkan oleh rasa aneh dan heran saat ia tidak sengaja melihat Naruto tengah berbincang seru dengan Sai.

Pemuda pirang itu terlihat bersender di loker sembari menatap Sai yang tengah menceritakan sesuatu hal. Sasuke tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi dilihat dari keintiman mereka tertawa, Sasuke bisa mengasumsikan kalau Sai sedang mengeluarkan candaan.

Sai tersenyum. Bukan senyum datar tanpa ekspresi seperti biasanya, melainkan benar-benar tersenyum ketika Naruto membalas candaannya.

Sasuke bisa melihat kalau mata Sai hanya terfokus pada wajah dan mimik yang dilakukan Naruto. Seakan-akan pemuda pucat itu sedang merekam setiap momen mereka di dalam memori otaknya. Terdengar menggelikan dan menjijikan, karena itulah Sasuke membenci ekspresi Sai.

Sasuke membenci kebersamaan mereka sekarang, seakan-akan Sai tengah mengolok-oloknya karena ia bisa merebut Naruto semudah menjentikan jari saja.

Seharusnya Sasuke senang karena Naruto berhenti mengusik hidupnya. Seharusnya Sasuke bersorak gembira karena pemuda berisik itu tidak menggodanya lagi. Seharusnya kini ia tidak perlu mendengar sapaan gombal dari pemuda bernama Uzumaki Naruto itu.

Ya... Seharusnya...

.

.

BRAK!

Sasuke menggebrak meja tempat Ino sedang duduk berkumpul bersama teman satu genk-nya. Ia tidak mempedulikan bahwa aksinya tersebut membuat Ino serta mahasiswa lain sedikit terlonjak kaget. Mungkin ia menggebrak meja terlalu kuat? Entahlah, yang dirasakan Sasuke saat ini hanyalah kemarahan saja.

"Sai sedang mengobrol dengan Naruto." Ucap Sasuke, menatap Ino dengan pongah.

"Uh-huh, lalu?" Ino menjawab tak kalah pongahnya juga. Ia menyilangkan kedua kakinya sembari mengibaskan rambut pirang panjangnya. "Memangnya kenapa kalau Sai mengobrol dengan Naruto? Bukan urusanku." Tambahnya sambil mengikir kuku tangan.

"Sai itu pacarmu, apa kau tidak cemburu?"

"Huh? Cemburu?" Ino mendengus tertawa. Ia menatap Sasuke seolah-olah pemuda itu sedang menanyakan apakah ia mau dipoligami oleh Sai. "Jangan konyol, Sasuke. Kenapa aku harus cemburu? Naruto itu cowok, wajar kalau Sai mengobrol dengannya." Jelas Ino lagi, kembali meneliti kuku-kuku tangannya yang sudah rapi dikikir.

"Mereka terlihat intim."

Ino berhenti menatap kuku jari tangannya dan beralih meneliti wajah Sasuke. "Lalu kenapa kalau mereka terlihat intim?" Pertanyaan tersebut menohok tepat ke jantung Sasuke.

'Ya, kenapa kalau mereka terlihat intim? Apa hubungannya denganku? Kenapa aku harus repot-repot berbicara dengan Ino tentang ini?' Batin Sasuke dalam hati.

Ino menunggu jawaban dari Sasuke, namun pemuda Uchiha itu hanya diam membeku. Mulutnya ingin terbuka melontarkan reaksi, namun kembali tertutup secepat kedipan mata. Tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari bibir tipis tersebut.

"Asal kau tahu saja, aku dan Sai sudah putus." Ino kembali berbicara, melanjutkan ucapannya. "Aku tidak tahu alasannya, tetapi Sai ingin mengakhiri hubungan kami."

Sasuke mulai tertarik. "Kapan kalian putus?"

"Tidak lama. Pagi ini. Lewat pesan singkat handphone." Ino berkutat kembali dengan alat manicure-nya, sesekali meniup ujung kukunya untuk membersihkan serpihan. Ia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang baru saja putus. Sifat dan tingkahnya kelihatan cuek.

"Kau tidak bertanya alasannya putus denganmu?"

Ino mengedikkan bahu. "Tidak. Aku sama sekali tidak peduli. Lagipula aku ingin pacaran dengannya hanya untuk bersenang-senang saja."

"Hn." Sasuke mengelus dagunya sejenak, berpikir.

"Kau tahu, Sasuke..." Ino meletakkan alat kikir kukunya di atas meja, kemudian beralih menopang dagu untuk menatap sang Uchiha dengan pandangan menggoda. "...Aku sekarang 'single', aku sama sekali tidak keberatan kalau kau mau pacaran denganku."

Sasuke membalas ucapan Ino dengan lirikan penuh cemooh.

"Maaf saja, tapi aku tidak tertarik dengan barang bekas."

.

.

Galau bukanlah kata yang benar dalam mendeskripsikan keadaan Sasuke saat ini, lebih tepatnya resah.

Ya! Resah!

Dia resah dan khawatir kalau Naruto diperbudak oleh Sai. Pemuda pirang idiot itu terlalu polos dan mudah termakan omongan orang lain, apalagi melihat bagaimana pintarnya Sai dalam memanipulasi orang. Sasuke yakin Naruto terjebak dalam omongan manis bertabur gula-gula dari pemuda pucat brengsek itu.

Bukannya Sasuke ingin mencampuri kehidupan pribadi Naruto, tetapi alangkah baiknya kalau pemuda pirang itu sadar bahwa Sai bukanlah orang yang tepat dijadikan teman apalagi sahabat karib. Sai adalah ular berbisa yang bisa kapan saja menggigit orang tanpa kenal ampun.

Dan Sasuke—sebagai orang yang baik hati dan rajin menabung—tidak akan membiarkan Sai berbuat hal-hal yang aneh pada Naruto. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, kenapa dirinya mau saja membantu Naruto? Toh, sebenarnya itu bukan urusannya 'kan? Ah, mungkin inilah jalan sebagai peran protagonis, rela melakukan apapun demi orang figuran macam si idiot pirang itu.

Setelah meyakinkan dirinya untuk menghentikan Sai dari memanipulasi Naruto, Sasuke segera bergegas mencari pemuda Uzumaki itu. Biasanya pada jam siang seperti ini, Naruto akan berhenti di kantin untuk membeli makanan ataupun cemilan. Kenapa Sasuke bisa tahu hal itu? Mudah saja, sebab Naruto selalu menguntitnya kemana dan kapan pun dia pergi kecuali pada siang hari. Karena saat jam makan siang lah Sasuke bisa terbebas sebentar dari pemuda berisik itu.

Sasuke mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin. Memindai seluruh pengunjung kantin untuk menemukan satu makhluk berambut kuning cerah yang sangat mencolok. Bukan hal sulit untuk membedakan Naruto diantara mahasiswa lain sebab hanya dialah yang memiliki rambut berwarna esktrim seperti itu, dan sekarang pemilik rambut spiky pirang itu tengah menyantap ramen panas di pojok kantin.

Sasuke bergegas menuju kesana, melangkah lebar dan tegap.

"Kita perlu bicara." Sang Uchiha membuka suara sembari mengambil tempat dihadapan Naruto. Duduk dengan cepat bahkan sebelum Naruto sempat mengunyah habis mie ramennya.

Sang Uzumaki mengerjap tiga kali. Tidak percaya kalau sang pujaan hati duduk didepannya dengan tampang sengak. Ia menyeruput ramennya, mengunyahnya pelan kemudian menelannya dengan sangat lamban. Mirip seperti seekor sapi yang sedang memamah biak, mungkin ini efek dari keterkejutan saraf otaknya.

"Huh?" Akhirnya Naruto bisa berbicara lagi setelah otaknya kembali bekerja normal.

Sasuke menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi sembari menatap Naruto dengan tampang masam. Sebenarnya dia enggan sekali melakukan hal ini (Baca: berbicara dengan Naruto face-to-face) apalagi sampai Naruto menyalah artikan niat baiknya ini dengan menganggap kalau Sasuke mulai menyukainya. Ewww, no!

Tetapi ia melakukan ini semua demi kebaikan pemuda pirang itu juga. Sasuke hanya tidak ingin kalau pemuda macam Naruto; yang polos dan dungu—terjebak oleh bujuk rayu Sai yang berbisa.

"Kita perlu bicara mengenai Sai." Ulang Sasuke lagi.

Naruto mengesampingkan mangkuk ramennya dan mulai mendengarkan. "Oke, ingin bicara apa?" Tanyanya.

Dahi Sasuke mengerut heran dengan sikap 'normal' Naruto yang seperti ini. Ia membayangkan reaksi berlebihan dari pemuda pirang itu seperti, entahlah, mungkin berteriak histeris karena akhirnya Sasuke bicara dengannya atau langsung melancarkan gombalan paling konyol dan basi. Tetapi Naruto hanya menunggu tanpa aksi berlebih. Apakah pemuda itu sudah tidak menyukai Sasuke lagi?

Sang Uchiha berdehem sejenak. "Sebaiknya kau menjauhi Sai, dia licik dan pintar memanipulasi orang. Bukan ide yang bagus kalau kau terus berteman dengannya."

"Uh—huh..." Naruto memangku dagu, terlihat bosan. "...Menurutku Sai sangat baik."

"Apa kau tidak tahu artinya wajah palsu? Tingkah lakunya palsu untuk menyembunyikan kalau dia itu licik."

"Tapi dia teman ngobrol yang asyik."

"Sudah kubilang, dia pintar memanipulasi orang dengan perkataannya."

Wajah Naruto tidak menunjukkan kalau dia sependapat dengan ucapan Sasuke. Pemuda pirang itu sama sekali tidak tertarik dengan apa yang diucapkan selanjutnya oleh Sasuke. Yang dia dengar hanyalah keluhan dari sang Uchiha mengenai betapa jahat dan liciknya Sai.

"Sasuke, are you done talking?" Naruto menyela cepat ketika pemuda raven itu mulai berbicara terlalu emosi mengenai sisi jelek Sai.

Yang ditanya langsung mengatupkan bibirnya dengan cepat sembari melotot tajam. Sudah menjadi ciri khas Sasuke kalau saat ia berbicara, tidak ada yang boleh menyela atau menggangunya. Itu sama saja mencari masalah dengannya.

"Apa maksudmu menyela ucapanku? Seharusnya kau sadar diri dan senang karena aku—Uchiha Sasuke—mau berbaik hati memperingatkanmu mengenai Sai." Balas pemuda raven itu tegas dan agak lantang.

"Listen, i really do appreciate your concern, but for now, i have to go. I have business to take care of." Ucap Naruto seraya menyambar tas ranselnya yang berada di samping kursi.

"What kind of business? Oh, let me guess, Sai?"

"It doesn't matter if 'my business' about Sai or not."

"Yes, it does." Sasuke bersikeras. "Sudah kukatakan kalau dia itu—"

"Naruto, apa yang kau lakukan disini?" Suara Sai yang tiba-tiba terdengar langsung menghentikan ucapan Sasuke sejenak.

Pemuda raven itu menoleh dan mendapati sosok Sai tengah tersenyum datar, berdiri tidak jauh dari meja mereka.

"Apa kau sedang sibuk sekarang? Apa aku mengganggu?" Pertanyaan Sai tersebut tertuju pada Naruto, ia bahkan tidak melirik ke arah Sasuke sama sekali. Seakan-akan pemuda Uchiha itu hanya pajangan di kantin yang tidak perlu dilirik.

Naruto menggeleng dan menyampirkan tas ranselnya di pundak. "Tidak, kau sama sekali tidak menggangu." Iris biru itu menatap Sasuke sebentar sebelum meneruskan ucapannya. "Lagipula pembicaraan kami sudah berakhir sekarang."

Sai tersenyum. "Baguslah kalau begitu. Mau pergi sekarang?"

Naruto mengangguk. Ia menyambar tangan Sai dan menggandengnya menjauh. Pemuda pirang itu bahkan tidak ingin repot-repot mengucapkan salam perpisahan atau sekedar senyum basa-basi semata pada Uchiha Sasuke. Mungkin ia sudah jengah mendengar keluhan Sasuke mengenai kejelekkan Sai.

For god's sake! Naruto membenci orang-orang yang suka mengumbar kejelekkan orang lain seakan-akan ia yang paling benar ataupun istimewa. Tidak ada satu pun manusia yang pantas untuk dihina apalagi sampai di-bully. Dan Sasuke—pemuda yang seharusnya disukai dan dipujanya itu malah mengeluarkan sisi liciknya dengan menjelek-jelekkan Sai. Naruto benar-benar tidak mengerti isi kepala tuan muda Uchiha yang sombong itu.

Tangan Naruto tidak sengaja meremas jari-jemari Sai yang tengah digandengnya. Mungkin tanpa sadar ia kembali mengingat betapa menjengkelkannya Sasuke saat menjelek-jelekkan Sai tadi. Seharusnya sejak awal ia tidak pernah menyukai pemuda raven itu.

"Naruto, kau menyakiti tanganku." Sai akhirnya mengeluh saat tangannya mulai mati rasa.

"Ah, maaf." Genggaman tangan langsung dilepas begitu saja oleh Naruto. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah yang sangat kentara. "Apa aku menyakitimu, Sai?"

"Sedikit, tapi tak apa." Sai mengusap tangannya dengan perlahan, mencoba melancarkan peredaran darahnya lagi. "Ngomong-ngomong, apa yang kau bicarakan dengan Sasuke tadi?"

Raut sang Uzumaki berubah. "Tidak penting, hanya obrolan biasa."

"Oh ya? Tapi kenapa kau terlihat sangat marah?"

"Aku tidak marah, aku hanya—" Kalimat Naruto tiba-tiba terputus saat menatap wajah Sai. Bagaimana mungkin ia tega mengatakan kalau tadi Sasuke membicarakan kejelekan Sai? Ia tidak suka mengadu domba Sai untuk membenci Sasuke

"Lupakan saja, hal itu tidak penting lagi." Ucapnya, akhirnya.

Sai menanggapinya dengan senyum tenang. "Baiklah, kita anggap hal itu tidak pernah terjadi." Ia kembali menggandeng tangan Naruto dengan mesra. "Bagaimana kalau sekarang kita main di game centre? Aku dengar ada arcade baru disana, mau coba?"

Naruto memperlihatkan cengir lebarnya, menunjukkan kalau dia sangat tertarik dengan ajakan Sai. "Oke, bagaimana kalau kita pasang taruhan? Siapa yang kalah harus mentraktir makan siang yang menang, setuju?" Tantangnya.

Sai terkekeh kecil. "Aku tidak pernah kalah, Naruto." Ia meninju bahu pemuda pirang itu dengan lembut.

Naruto membalasnya dengan tawa keras.

.

.

BRAAK!

Sasuke melempar tas ranselnya dengan kesal ke lantai saat ia tiba di rumah. Tidak mempedulikan tatapan heran dan kaget dari para pelayan, Sasuke sendiri langsung melemparkan tubuhnya ke sofa terdekat. Ekspresinya menunjukkan bahwa pemuda raven itu sedang menahan amarah. Tidak ada yang berani mendekat ataupun mengajak bicara Sasuke, tak terkecuali kepala pelayan yang sejak tadi hanya mengintip tuan mudanya itu dari balik pintu dapur.

"Bawakan aku minuman! Aku haus!" Sasuke berseru lantang.

Kepala pelayan yang mendengar hal itu langsung menepuk tangannya dengan keras, memberi perintah tanpa suara kepada pelayan lain untuk segera membuatkan tuan muda mereka minuman dingin. Melihat betapa galaknya Sasuke, ia yakin kalau sedang ada masalah yang melanda pemuda raven itu. Dan ia sebagai kepala pelayan yang baik dan terhormat tidak ingin menambah kemarahan tuan mudanya itu. Jadi dengan kecepatan kilat, ia langsung mengantarkan jus jeruk dingin untuk meredakan dahaga—atau mungkin juga emosi—yang dialami oleh Sasuke.

Kepala pelayan tadi menyodorkan minuman dingin tersebut ke arah Sasuke dengan gerakan elegan dan penuh wibawa, namun sambutan yang diterimanya sangat berbeda dari yang diharapkan.

Tanpa mengucapkan apapun, Sasuke langsung menyambar minuman dingin tadi dan menegaknya seperti orang yang tidak pernah melihat air dalam seminggu. Begitu penuh nafsu dan emosi, mungkin kalau gelas kaca itu bisa ditelan, Sasuke sudah menelannya langsung bersama jus jeruknya.

Sang Uchiha menaruh gelas kosong tadi dengan hentakan keras ke atas nampan yang berada di tangan sang kepala pelayan. Kemudian menyuruhnya menjauh dengan kibasan tangan yang tidak sabaran.

Kepala pelayan tadi membungkuk hormat. "Maaf tuan muda, sebelum saya pergi, saya ingin memberitahukan kalau tadi nona Hinata datang kesini."

Sasuke melirik sekilas kemudian mengangguk. "Terima kasih. Kau boleh pergi." Nada suaranya kembali normal, tidak ada lagi getar emosi maupun amarah. Mungkin itu efek dari minuman jus jeruk tadi atau mungkin juga karena nama 'Hinata' disebut-sebut. Entahlah, yang pasti keadaan Sasuke tidak 'panas' seperti sebelumnya. Ia sudah bisa mengontrol sikap dan emosinya sekarang.

Pemuda raven itu segera meraih tas ransel yang dilemparkannya ke lantai untuk merogoh ponselnya. Ia menatap layar handphone dan melihat ratusan panggilan tidak terjawab serta puluhan SMS dari Hinata. Semua pesan singkat itu berisi tentang kekhawatiran Hinata, seperti 'kau sedang apa?' atau 'sedang berada dimana?' dan sejenisnya.

Sasuke mendesah lelah kemudian melemparkan ponselnya sembarang ke atas meja. Ia sedang tidak bergairah untuk menelepon ataupun membalas pesan dari kekasihnya itu. Mungkin nanti, kalau emosinya sudah mulai stabil.

.

.

.

Tiga hari sudah berlalu dan keadaan disekitar Sasuke terlalu tenang dan tentram. Tidak ada sosok kuning yang biasanya selalu menyapanya setiap hari. Tidak kemarin dan tidak juga hari ini. Padahal kalau dipikir-pikir, setiap ada kesempatan Naruto selalu menyapanya, entah di kantin, taman ataupun koridor. Tetapi sekarang sosok itu benar-benar lenyap. Bahkan sampai detik sekarang pun Sasuke sama sekali tidak menemukan Naruto. Apa pemuda idiot itu keluar dari kampus gara-gara kejadian di kantin kemarin? No way, dia tidak mungkin depresi hanya karena kejadian sepele seperti itu.

Sasuke bersandar sejenak di sisi koridor, matanya berkeliling menatap satu persatu wajah mahasiswa yang berlalu lalang di depannya. Wajah standar pemeran figuran yang cuma satu kali nongol setelah itu menghilang.

Yup! Tidak ada Naruto diantara mereka.

"Sasuke, kau sedang apa?" Suara Ino membuyarkan lamunan Sasuke sejenak. Ia menoleh dan mendapati gadis itu tengah berdiri tidak jauh darinya sembari menenteng beberapa buku.

"Tidak sedang apa-apa." Jawab Sasuke, seadanya. "Ngomong-ngomong, dimana Sai?"

Sasuke bertanya seperti itu bukan tanpa alasan. Ia sama sekali tidak peduli dengan makhluk pucat itu, hanya saja bila Sai tidak ada maka sudah dipastikan dia sedang berada bersama Naruto. Dan bila dia sedang berada bersama Naruto maka Sasuke akan mudah mencari pemuda pirang itu tanpa harus meneliti mahasiswa yang lewat satu persatu.

Ino mengangkat bahunya. "Tidak tahu, bukan urusanku." Katanya seraya memainkan rambut pirangnya yang berkilau. "Mungkin dia sedang bersantai di rumah, entahlah. Sai tidak hadir di kelas hari ini."

"Dia tidak masuk kuliah? Kupikir dia sedang bersama Naruto."

Ino menghentikan memainkan rambutnya dan menatap Sasuke dengan pandangan serius. "Kau sebenarnya terobsesi dengan Sai atau dengan Naruto? Kenapa sangat peduli dengan mereka?"

Sasuke mendengus mencemooh. "Hmph! Kau pikir siapa aku sampai harus terobsesi dengan mereka?"

Ino memutar bola matanya. "Whatever." Balasnya singkat. "Asal kau tahu saja, Naruto tidak masuk kuliah hari ini sebab dia sakit dari kemarin. Katanya sih gara-gara bermain di game centre bersama Sai sampai malam, makanya dia kena flu dan sejenisnya." Sambung Ino panjang lebar.

"Apa kau tahu dimana rumahnya?" Sasuke penasaran. Dan rasa penasaran itu malah membuat Ino ikut-ikutan penasaran.

"Kenapa kau ingin tahu rumahnya? Mau menjenguknya?"

Ditembak dengan pertanyaan begitu mau tidak mau membuat Sasuke agak salah tingkah juga. Pemuda raven itu mencoba mengembalikan ekspresinya ke semula namun agak sulit ketika Ino menatapnya dengan pandangan meneliti seperti seorang detektif.

Sasuke berdehem sejenak. "Dosen menyuruhku untuk mengembalikan buku Naruto yang tertinggal, itu saja." Bohongnya.

Mata Ino semakin memicing tajam. "Kau itu Uchiha Sasuke, sejak kapan kau suka disuruh-suruh dosen? Kau bisa menyuruh orang lain untuk mengembalikan buku Naruto 'kan?"

Oh man, this bitch is annoying as fuck!

"Itu bukan urusanmu, Yamanaka Ino. Cukup berikan aku alamat Naruto. Sekarang." Desak Sasuke dengan nada jengkel.

Ino memasang wajah masam kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu diatasnya. "Aku tidak tahu pasti apakah ia masih kost di tempat ini atau tidak, kau bisa mengetahuinya kalau kesana. Dan ini nomor telepon Naruto kalau kau butuh." Ucapnya lagi seraya menyodorkan carikan kertas tersebut ke tangan Sasuke.

Sang Uchiha mengambil kertas tersebut. "Lihat? Tidak sulit 'kan memberitahuku alamat Naruto?"

"Yeah, yeah, whatever." Ino berbalik arah meninggalkan Sasuke seraya melambai tidak peduli. Ia sudah jengah dengan tingkah sok kuasa pemuda raven itu. "Jangan pernah menanyakan apapun lagi kepadaku tentang Sai maupun Naruto. Aku tidak peduli dengan mereka." Lanjutnya sambil menjauh pergi.

Sasuke tidak menjawab dan hanya memandang alamat yang diberikan oleh Ino. "Tenang saja, aku tidak perlu bertanya denganmu lagi. Aku akan mencari tahu sendiri hubungan mereka." Gumamnya pelan.

.

.

.

Butuh waktu satu jam lebih untuk mencari tempat tinggal Naruto. Sasuke bahkan harus bertanya beberapa kali agar tidak tersesat. Ia tidak pernah berpikir kalau tempat tinggal Naruto berada di area sempit dan harus melewati gang-gang kecil untuk bisa sampai disana. Setelah sampai pun Sasuke masih juga terkejut melihat betapa murah dan sederhananya apartemen tempat Naruto tinggal.

Apartemen berlantai dua itu kelihatan tidak pernah direnovasi selama lima tahun lebih. Cat dindingnya mulai pudar termakan usia, pagar besinya berkarat, dan hanya beberapa kamar saja yang beroperasi selebihnya rusak dan tidak bisa dipergunakan.

Sasuke melirik kertas yang diberikan oleh Ino. Kamar Naruto berada di lantai satu nomor 2. Tidak sulit menemukannya sebab hanya kamar itu yang kelihatan terawat rapi dengan sepeda mahal yang terparkir di depannya.

Sasuke menghirup oksigen dalam-dalam sebelum mengetuk pintunya. Dua menit kemudian pintu akhirnya terbuka dengan sosok Naruto yang memakai masker penutup mulut. Wajahnya terlihat pucat dan gerak badannya menandakan kalau tubuhnya sedang tidak fit untuk berjalan. Namun matanya kelihatan kaget saat menyadari bahwa tamu yang datang ke tempatnya adalah seorang Uchiha Sasuke.

Naruto ingin saja menyapa dan bertanya pada pemuda raven itu kenapa orang kaya nan sombong macam dia mau menjenguknya, tetapi flu yang menyerang malah membuat Naruto tidak bisa berkata apa-apa selain bersin berkali-kali. Man, gaya cool-nya langsung hilang kalau ia sedang sakit seperti ini.

Sasuke mundur satu langkah saat pemuda pirang itu terus bersin tanpa henti. Wajahnya mengernyit jijik ketika Naruto mengusap hidungnya yang agak berlendir.

"Kau menjijikan." Ucap Sasuke tidak berperasaan.

Naruto langsung memasang wajah masam. "Yeah, thanks." Sahutnya sarkastik. "Mau apa kau kemari?"

Sasuke melipat kedua tangannya dengan angkuh. Dia agak sedikit tersinggung mendengar pertanyaan dari pemuda pirang itu. Seakan-akan dirinyalah sedang memohon-mohon untuk di perhatikan oleh Naruto. Ewww, no!

"Dosen menyuruhku untuk menanyakan kabarmu." Bohong Sasuke. Lagi.

Naruto memicingkan mata tidak percaya. "Kita beda jurusan."

"Ya, tapi kita masih satu universitas."

"Dosen kita berbeda juga, Sasuke."

Sang Uchiha mulai jengah. "Semua dosen sama saja, Dobe." Balasnya kesal. "Jadi bisakah aku masuk atau kau menyuruhku untuk duduk di depan pintu?"

Naruto mengedikkan bahunya. "Okay, masuklah. Tempatku sempit jadi jangan mengeluh."

"Hn."

Sasuke melangkah masuk. Aroma yang tercium pertama kali adalah bau obat-obatan yang sangat kuat seperti di rumah sakit. Dan juga bau minyak angin dan minyak kayu putih yang berbaur jadi satu, hampir membuat kepala Sasuke agak pening mendadak.

"Apa yang kau kerjakan sejak tadi pagi?" Tanya Sasuke sembari menatap berkeliling. Hanya ada satu ruangan sempit, dapur mini, dan satu kamar mandi. Tipikal apartemen sewa sederhana.

"Hanya tiduran. Sendiku ngilu." Jawab Naruto sembari berbaring di atas futon hangatnya.

"Kau belum makan?"

Naruto menggeleng. "Jangankan untuk makan, untuk memasak pun aku tidak punya tenaga."

Entah setan apa yang merasuki Sasuke, tiba-tiba saja pemuda raven itu beranjak menuju dapur Naruto sembari mencari bahan-bahan makanan yang ada.

Sang Uzumaki hanya melongo bingung. "Sasuke, kau sedang apa?"

"Apa kau buta, Dobe? Aku sedang mencoba memasak makanan untukmu." Jawab Sasuke sinis.

Naruto kembali melongo, kali ini ia mengerjap tidak percaya. "Kau—mau membuatkan makanan untukku?"

"Jangan salah sangka, Idiot. Aku melakukan ini semua bukan karena aku peduli, tetapi karena aku tidak mau melihatmu jadi mayat."

"Hei, aku tidak akan mati, Teme!" Protes Naruto. "Aku cuma sakit flu!"

"Diamlah, Dobe. Aku sedang membuatkanmu bubur." Sergah Sasuke lagi seraya memasukkan beberapa sayuran seadanya ke dalam panci. Bahan makanan di kulkas mini Naruto tidak terlalu banyak, hanya ada beberapa sayur dan mie ramen instan. Benar-benar gaya hidup yang tidak sehat. "Apa kau jarang belanja? Makanan cadangan yang ada di kulkas hanya ramen instan saja."

Naruto mengangguk pelan. "Uh—huh." Jawabnya lemah. "Aku lebih suka yang mudah dimasak." Lanjutnya. Iris biru itu mulai menutup perlahan, mungkin ia terlalu lelah dan butuh istirahat yang banyak.

Mendengar suara kompor yang menyala, panci yang mendidih, serta sosok Sasuke yang tengah memasak, mengingatkan Naruto akan ibunya di rumah. Di saat sedang sakit seperti inilah ia akan rindu dengan rumahnya. Ya, tipikal anak kost.

"Kau tahu, terlalu banyak makan mie instan tidak baik untuk pencernaan. Kau itu sudah kuliah, seharusnya kau pintar memilih makanan." Sasuke terus berceloteh panjang lebar sembari mengaduk buburnya. "Aku tidak pernah sekalipun makan makanan instan. Para pelayan selalu memperhatikan porsi gizi makanan untukku. Karena itulah aku tidak sebodoh kau, Dobe." Sambungnya tanpa berhenti berceloteh.

Tidak ada jawaban sama sekali dari Naruto. Bahkan suaranya yang berisik pun tidak terdengar.

Merasa aneh, Sasuke membalikkan badan untuk melihat keadaan pemuda pirang itu. Ia khawatir kalau Naruto tiba-tiba mati lemas karena tidak makan. Tapi yang ditemukannya malah Naruto yang tengah tertidur pulas bergelung dengan selimut.

Sasuke hanya berdecak kecil dan kembali mengaduk buburnya. Setidaknya pemuda pirang itu belum mati jadi ia tidak perlu khawatir berlebihan.

.

Tiga puluh menit kemudian bubur yang dimasak oleh Sasuke sudah selesai. Aromanya tercium sangat enak, teskturnya pas, dan penampilannya pun menarik. Tidak terlihat gosong ataupun hancur. Sasuke tersenyum puas.

Ia mengambil semangkuk bubur panas tadi kemudian beranjak menuju sisi Naruto.

"Hei dobe, bangun. Buburnya sudah siap, kau harus memakannya selagi panas." Sasuke mengguncang pelan bahu pemuda pirang itu, memaksanya untuk membuka mata.

"Uhhh—aku pusing, Teme. Biarkan aku tidur." Erang Naruto, mencoba menyelimuti dirinya lagi.

"Kau boleh tidur kalau sudah makan. Bangunlah sebentar, jangan manja." Paksa Sasuke seraya menarik lengan pemuda pirang itu untuk duduk. "Aku akan menyuapimu, jadi kau hanya perlu membuka mulut, oke?"

Naruto tidak membantah dan hanya mengangguk patuh. Kepalanya terasa pening dan sendi-sendi tubuhnya nyeri. Sakit benar-benar tidak enak sama sekali. Seharusnya ia tidak pernah setuju untuk pergi bermain bersama Sai ke game centre sampai malam.

"Buka mulutmu." Pinta Sasuke seraya meniup terlebih dahulu bubur panas yang ada di dalam sendok sebelum memasukannya ke mulut Naruto.

Naruto lagi-lagi menurut dan membiarkan Sasuke menyuapinya sedikit demi sedikit dari mangkuk bubur tersebut. Rasa gurih dan lezat bubur tersebut melumer di dalam mulutnya. Benar-benar enak. Mirip masakan ibunya. Ah—Naruto jadi kangen rumah.

"Bagaimana? Apakah terlalu asin? Terlalu hambar?" Tanya Sasuke sembari meneliti Naruto yang masih mengunyah buburnya.

"Rasanya enak. Benar-benar lezat. Tidak ada kekurangan apapun." Jawab Naruto. "Aku tidak menyangka kau pintar memasak, Sasuke."

Sasuke mendengus bangga. "Jangan remehkan Uchiha Sasuke, aku bisa melakukan apapun semudah menjentikkan jari." Sahutnya sombong.

Walaupun sedang sakit tetapi Naruto tetap terkekeh kecil mendengar ucapan Sasuke. Pemuda raven itu tahu caranya membuat mood-nya kembali bangkit, walaupun candaannya terdengar agak—yeah kinda boring—tetapi hal itu cukup membuat Naruto senang.

"Thanks, kalau tidak ada kau, mungkin aku sekarang masih kelaparan." Ujar Naruto sambil menyantap buburnya terus menerus.

"Hn, tidak masalah." Sasuke menyendok bubur lagi dan menyuapinya ke arah Naruto.

Pemuda pirang itu makan dengan lahap, wajahnya yang tadinya pucat mulai kembali segar. Mungkin dalam beberapa jam Naruto bisa sembuh total tanpa harus mengkonsumsi obat-obatan dari dokter secara berlebihan.

Di sisi lain, Sasuke terlihat puas saat Naruto menyantap masakannya tanpa banyak komentar atau keluhan. Ia bahkan sempat lupa niat awalnya datang kesini adalah untuk menginterogasi Naruto mengenai hubungannya dengan Sai. Tetapi sekarang sepertinya hal itu bisa dikesampingkan dulu, sebab kini Sasuke tengah sibuk menikmati ekspresi Naruto yang sedang memakan lahap buburnya tanpa henti. Ia bahkan tidak sadar kalau bibirnya melengkung tipis membentuk senyuman.

Sungguh, Sasuke tidak sadar.

Naruto melahap bubur yang disuapi oleh Sasuke dengan lahap, sampai-sampai ia tidak sadar kalau ada noda bubur yang tercecer di sela bibirnya.

Sasuke yang menyadari kalau ada sisa bubur di mulut Naruto langsung bergerak untuk menyapu noda tersebut dengan jempolnya. Sapuan yang pelan dan lembut, terlalu lembut hingga membuat iris biru Naruto membulat kaget. Heran dengan perlakuan Sasuke yang tidak biasanya itu.

Untuk sepersekian detik, mata mereka saling bertemu pandang. Dua warna yang berbeda saling memerangkap dalam satu tatapan panjang tanpa suara. Masing-masing meneliti apa yang tengah dipikirkan atau dilihat dari pandangan intens mereka. Tidak ada yang berani bergerak ataupun bersuara, Naruto maupun Sasuke tidak ingin menghancurkan momen sunyi ini dengan kalimat aneh ataupun konyol. Belum, mereka masih ingin menikmati bayangan masing-masing di pantulan iris yang saling bertatapan itu.

Hingga akhirnya Naruto yang pertama kali membuat gerakan. Mengeliminasi sedikit demi sedikit jarak mereka. Tangannya terjulur perlahan menyentuh leher belakang Sasuke, menariknya dengan sangat amat pelan dan hati-hati agar mendekat.

Tidak ada penolakan dari sang Uchiha. Pemuda raven itu seakan-akan tersihir oleh iris biru yang terus menyorot bola matanya dengan intens. Seakan-akan bisa menelanjanginya hanya dengan ditatap seperti itu.

"Sasuke."

Namanya dipanggil dengan suara jernih. Terlalu jernih hingga telinga Sasuke memutar ulang suara Naruto yang tegas dan rendah di dalam otaknya. Terus menerus. Membuatnya hampir gila.

Sasuke mencoba berkedip, namun kelopak matanya terlalu berat untuk menutup. Ia tidak ingin melewatkan cengkraman sapphire yang tengah mengurungnya dalam tatapan pesona biru yang cemerlang. Memantulkan rasa aman dan nyaman, namun juga terlihat tegas dan tajam.

Ia hanya bisa melihat kalau kepala Naruto bergerak miring mencari posisi. Sebelum Sasuke sadar apa yang tengah dilakukan Naruto, pemuda pirang itu sudah menyentuhkan bibirnya ke bibir Sasuke. Mengeliminasi jarak kepala mereka menjadi NOL inchi. Polesan yang lembut, sapuan yang pelan, dan pagutan yang hati-hati membuat Sasuke mau tidak mau memejamkan matanya secara perlahan, menikmati.

Sensasi menggelitik dari napas Naruto membuat wajah sang Uchiha memanas. Ia bisa merasakan lidah lunak pemuda Uzumaki itu sedang merayap melewati celah bibirnya, mencoba menelusup masuk untuk menginvasi.

Sungguh, Sasuke tidak sadar.

"Aku menyukaimu."

Sasuke tidak sadar kalau kalimat yang baru saja diucapkan Naruto itu akan membuat tidurnya malam ini tidak tenang. Ia juga tidak sadar bahwa sekarang hari masih siang dan bulu kuduknya sudah merinding hanya karena pernyataan cinta dari seorang pemuda yang sering diejeknya idiot itu.

"Nar—Hmph—" Kata balasannya terhenti ketika Naruto berhasil memasuki rongga mulutnya. Bergerak menjelajah menyentuh organ yang ada di dalam sana.

Jantung Sasuke menghentak-hentak liar. Kepalanya dipaksa mendongak oleh kedua tangan Naruto. Memberikan akses bagi sang Uzumaki untuk mencumbui bibirnya lebih dalam dan leluasa.

Tangan ramping Sasuke mencoba mencari pegangan ketika lumatan Naruto mulai liar. Jari jemarinya mencengkram lengan sang Uzumaki, tidak terlalu kuat tetapi cukup untuk membuat tubuhnya tidak limbung.

Naruto mengecap seluruh rasa di dalam mulut Sasuke. Manis dan memabukkan. Lidah lunaknya menggesek dan menjilat lidah sang Uchiha, menggoda benda lunak warna merah muda itu untuk menggeliat mengeluarkan saliva.

Kecupan nyaring terdengar beriringan dengan desahan yang keluar dari bibir Sasuke. Lenguhan saling berbaur tanpa mempedulikan area disekitar mereka.

Naruto terus mencoba mendominasi permainan ciuman mereka dengan pertarungan lidah. Tangannya yang kuat dan kokoh mencengkram lembut wajah Sasuke, memaksa pemuda raven itu untuk terus mencumbui bibirnya.

Sang Uzumaki terus menghisap dan menjilat bibir Sasuke selagi tubuhnya mencoba mendorong Sasuke untuk berbaring di lantai.

Punggung sang Uchiha menyentuh lantai sepenuhnya. Di atasnya, Naruto menghimpitnya dengan pelukan dan ciuman yang panas. Sasuke tidak bisa melarikan diri, dan dia memang tidak berencana untuk melakukannya. Ia terhipnotis oleh buaian dan pagutan dari pemuda pirang itu. Mendominasinya dengan kuat namun juga lembut di saat bersamaan.

Sasuke mengerang kecil, tubuhnya menggeliat perlahan saat merasakan seluruh darahnya terpompa kencang menuju area selatan tubuhnya. Tangannya melingkar di bahu sang dominan, merasakan setiap otot terlatih yang tengah merengkuhnya dengan kuat tersebut. Sedangkan kakinya tidak sengaja menyenggol mangkuk bubur yang setengah habis, membuat isinya tumpah ke lantai. Sasuke tidak peduli dan masih meneruskan lenguhan erotisnya.

Hingga...

Tok! Tok! Tok!

Ketukan halus di pintu membuat Naruto dan Sasuke yang tengah berpagutan langsung memisahkan diri dengan cepat. Mereka sama-sama terengah-engah mengambil napas setelah beberapa menit berciuman tanpa mempedulikan kebutuhan oksigen.

Kewarasan Sasuke sepertinya kembali normal, ia sedikit terhenyak kaget setelah mengetahui posisinya sekarang. Berada di bawah tindihan Naruto dengan baju kumal dan lusuh, kancing atas terbuka, rambut agak berantakan, dan bibirnya memerah dan basah karena air liur.

Naruto terlihat canggung. Ia mengusap sudut bibirnya dengan cepat sembari memisahkan dirinya. Berhenti menindihi Sasuke.

Raut wajah sang Uchiha memperlihatkan ekspresi panik yang kentara sekali. Ia merapikan bajunya dengan cepat sebelum bangkit dan bergerak menuju pintu depan tanpa mengucapkan apapun pada Naruto.

Sejujurnya, memang tidak ada yang perlu diucapkan lagi setelah apa yang mereka perbuat. Sasuke benar-benar melakukan kesalahan fatal dengan membiarkan otaknya dikontaminasi oleh pikiran sesat.

Bagaimana mungkin ia bisa berciuman dengan Naruto dengan penuh gairah seperti itu? Memikirkannya kembali membuat Sasuke ingin muntah karena jijik.

Pemuda raven itu membuka pintu depan dengan tergesa-gesa. Ia ingin segera keluar dari tempat Naruto, pulang ke rumah, mandi, lalu tidur. Berharap kejadian ini bisa tersapu bersih dari otaknya.

Namun ketika ia ingin melangkah keluar, pandangannya bertubrukan dengan sosok Sai yang tengah menunggu di depan pintu. Pemuda pucat itu terlihat membawa sekantong plastik makanan dan beberapa obat flu.

Mereka berdua sama-sama terlihat kaget ketika tidak sengaja saling bertemu rival di tempat seperti ini.

Yang lebih kaget tentu saja adalah Sai. Pemuda pucat itu bahkan tidak menampilkan senyum palsunya sama sekali saat melihat sosok Sasuke yang terlihat lusuh. Baju dan rambut berantakan, bibir basah dan kemerahan, serta yang paling aneh adalah aroma Naruto tercium dari tubuh Sasuke.

Ya, Sai memiliki penciuman yang tajam. Walaupun Naruto sedang sakit dan tubuhnya berbau obat, tetapi ia tahu betul aroma asli Naruto. Pemuda pirang itu memiliki bau yang unik; campuran aroma jeruk dan maskulin. Segar namun juga menampilkan sisi dominan.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Kalimat itu keluar bersamaan dari mulut Sai dan Sasuke. Keduanya terlihat tidak akur dan saling melempar death glare tajam. Seandainya tempat ini adalah arena tinju, mungkin keduanya sudah saling cakar-cakaran.

Sasuke mendelik pongah dan sombong, ia bahkan mendengus mencemooh saat menabrak pundak Sai ketika keluar dari kamar kost Naruto.

Baru saja Sasuke berjalan dua langkah, Sai langsung membuka suara.

"Jangan dekati Naruto lagi." Nadanya terdengar berat dan mengancam. Senyum yang biasanya tertempel di bibir berubah menjadi geraman yang siap mencabik tubuh Sasuke kapan saja. "Aku dan Naruto sudah pacaran. Jadi kalau kau berani mendekatinya satu inchi saja, akan kupastikan kau menyesal sudah hidup di dunia ini." Sambungnya lagi.

Sasuke hanya melirik sekilas, namun ia bisa melihat kalau wajah Sai menandakan pemuda itu sangat serius dengan ucapannya. Kau tahu istilah yandere? Ya, seperti itulah aura yang dikeluarkan Sai sekarang. Suram, gelap, dan mengancam.

Dan Sasuke tahu, ia tidak bisa meremehkan ancaman Sai.

.

TBC

.

.

Yuhuuu~~ CrowCakes kembali dengan fic baru. Aku harap kalian suka, guys!

Maaf Kalo Crow lama hiatusnya... Lagi sibuk kerja... hahaha

RnR please!