THE WAY

Harry Potter dan seluruh seluk beluknya adalah milik JK Rowling. Namun fanfiction ini adalah buatan saya. No copy paste, no plagiarism.

Warning : modif canon, femHarry, typho bertebaran, dikhawatirkan penulisan ada yang tidak sesuai dengan kaidah ejaan yang disempurnakan, ada kemungkinan beberapa tokoh mengalami OOC incidental maupun permanen, diusahakan tidak memunculkan OC, dimungkinkan ada beberapa hal yang kurang pas dikarenakan pengetahuan saya mengenai Harry Potter yang masih sangat minim, cerita kurang menarik dan membosankan, dan lain-lain.


Draco tidak serta merta menuruti perintah dari Dark Lord. Alih-alih menuju ke kamarnya, pemuda itu malah menuju ke perpustakaan keluarganya. Hatinya sedang bergolak tidak nyaman saat ini. Sedikit khawatir dengan gerombolan Potter yang sudah menolong nyawanya. Pertanyaan demi pertanyaan seakan membombardir pikirannya.

'Apakah Potter sudah membaca surat ancamanku? Apakah Dobby berhasil meyakinkan mereka tentang keseriusan ancaman itu? Apakah …' Draco menggelengkan kepalanya. Memejamkan mata sesaat dan berdoa dalam hati agar semua pikiran buruknya tidak menjadi nyata. Ia sampai saat ini masih tidak menyukai gadis keturunan terakhir Potter dan geng konyolnya itu, tapi bagaimanapun ia peduli dengan keselamatannya, mengingat bahwa tidak akan ada orang lain yang bisa ia harapkan untuk mengalahkan Dark Lord selain gadis itu. Tapi ia juga tidak bisa pulang dengan tangan kosong. Karena ia tahu bahwa Dark Lord tidak suka dengan hal tersebut.

Keberuntungan besar saat ia yakin Dark Lord sama sekali tidak melakukan Legilimens, mungkin pria tua itu sudah terlalu percaya pada loyalitas keluarganya hingga merasa tidak perlu untuk melakukan itu kepadanya, apalagi dengan oleh-oleh tentang tempat Harry Potter dan pengikutnya berada. Sungguh suatu hadiah besar bagi seorang Dark Lord.

Draco tersenyum pahit, tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka semua terlambat mengevakuasi diri. Sekali lagi pemuda itu menggeleng, dan sekali lagi meyakinkan dirinya sendiri tentang keberuntungan besar yang selalu menyertai si gadis berkaca mata.

'Bukankah waktu masih bayi saja ia bisa membalikkan serangan Dark Lord? Sekarang pasti juga bisa. Potter pasti selamat,' batinnya, lalu melanjutkan langkah menuju rak buku dengan deretan buku paling tua yang sangat jarang disentuh oleh kedua orang tuanya maupun dirinya sendiri.

Draco mencoba melupakan semua kekhawatirannya dan memfokuskan diri untuk tujuan awalnya berada di perpustakaan keluarga Malfoy.

Mata beriris kelabu itu menyusuri deretan buku tua di sana. Berharap kebenaran dari saran yang Severus berikan kepadanya.

Kini, berkat pencerahan dari Severus, ambisi Draco untuk menjadi lebih kuat menjadi semakin besar. Ini bukan hanya mengenai Occlumency dan cara untuk mengunci serta membuat ilusi pada orang yang akan melegilimens pikirannya, namun ia ingin kekuatan dari segala sektor untuk mendukung dirinya suatu saat nanti, berjaga pada kemungkinan terburuk akan berkonfrontasi langsung dengan Dark Lord, cepat atau lambat.

Malfoy dan Black bukanlah keluarga biasa. Dua-duanya adalah darah murni yang selalu menjaga tradisi dan mempunyai berbagai misteri yang tersimpan dengan rapat untuk menjadi ciri khas masing-masing. Draco merasa ingin lebih mengeksplorasi. Pengetahuan yang ia miliki sekarang yang ia rasa tak memadai membuatnya semakin haus akan ilmu baru.

Draco tak ingin menjadi pecundang lagi. Secara fisik ia memang masih akan bergabung sebagai pelahap maut untuk waktu yang ia sendiri tidak mampu memprediksi, tapi secara paham pemikiran, ia mulai berjalan menyeberang. Sebab mendeklarasikan perubahan pahamnya langsung kepada Dark Lord sama saja dengan menyerahkan nyawanya begitu saja tanpa perlawanan, dan dia tidak bodoh untuk melakukan hal sia-sia seperti itu.

Sebuah buku bersampul biru tua dengan halaman yang cukup berisi berhasil menarik atensi Draco. Mantera accio dirapalkannya dan dalam waktu sepersekian detik membawa buku itu di genggaman tangan berkulit pucatnya.

Pemuda itu mengambil tempat duduk tak jauh dari rak tempat buku itu tadinya berada. Penasarannya membuat adrenalin memenuhi dirinya.

'Occlumency Ilusi', bacanya dalam batin. Tangannya bergerak membuka sampul rapuh berbahan kulit dengan kilat keingintahuan yang lebih besar.

'Buku ini hanya bisa dibaca oleh keturunan Malfoy,' tulisan besar pada buku yang jika Draco boleh membuat analisis, kemungkinan ditulis oleh seorang dari beberapa generasi sebelum kakeknya lahir.

'Hei, ada buku begitu berkualitas seperti ini, kenapa tidak sejak dulu aku membaca dan mempelajarinya,' kembali sekelumit pemikiran Draco bersuara di otaknya.

"Draco, apakah kau di sana?" sebuah suara halus yang sangat familiar memanggil dengan begitu lembut. Draco tahu siapa itu. Mother, ibunya yang sangat ia sayangi dan hormati, Narcissa Malfoy, yang kini telah berdiri di depan pintu masuk perpustakaan, diikuti oleh sesosok peri rumah yang membawa senampan penuh makanan dan minuman dengan aroma menggiurkan.

Sebagai remaja normal yang mudah lapar dan berada dalam masa pertumbuhan, tentu saja Draco sangat tak mungkin mengacuhkan aroma selezat itu. Ia kini sementara menutup buku yang tengah ia baca dan mengalihkan atensinya kepada Mothernya dan peri rumah itu.

"Aku di sini, Mother," ucap Draco kalem. Tidak terlalu nyaring, tapi juga tidak terlalu pelan, khas bangsawan hasil didikan dari kedua orang tuanya.

Senyum mengembang di bibir Narcissa. Wajahnya yang biasanya tegang saat berada di tengah-tengah para pelahap maut akhirnya melembut. Draco sangat menyukai raut itu, sebuah raut yang selalu membuatnya merasa tenang, yang sudah semakin jarang ia temukan di wajah Mothernya akhir-akhir ini.

Narcissa duduk dengan anggun di samping puteranya. Tangannya dengan lembut mencoba memeriksa luka berperban di perut sang buah hati.

"Mother tidak perlu cemas. Severus tadi sudah mengobati lukaku," ucap Draco sebelum tangan lentik Narcissa lebih dalam menyusuri balutan itu.

"Kau bertemu Severus, Dear?" tanya Narcissa, mengalihkan pandangan matanya menuju iris keabuan di hadapannya.

Draco mengangguk, kemudian mengambil mangkuk berisi sup hangat, sementara peri rumah yang membawanya sudah minta diri dan menghilang entah ke mana.

"Apa lukamu masih sakit?"kembali Narcissa menginterogasi putera semata wayangnya yang tengah kembali menyendok supnya dengan begitu tenang dan nyaris tanpa suara.

"Kurasa tak lama lagi akan sembuh. Mother tahu kan, seberapa cerdas Severus dalam urusan ramuan?" dan Narcissa hanya bisa mengangguk, mengiyakan.

"Tentang Potter, apakah tidak akan menjadi masalah jika …" Narcissa tidak meneruskan ucapannya. Draco berhenti menyendok sup dan mengalihkan atensinya secara penuh pada wajah ibunya. Membuat Narcissa buru-buru mengalihkan pembicaraan saat matanya tak sengaja melihat buku yang tergeletak di meja, tak jauh dari Draco.

"Kau sedang mempelajari apa, Dear?" tanyanya lembut sambil memungut buku itu dari posisinya semula.

"Mother, jangan mengalihkan topiK pembicaraan,"

Narcissa menghela nafas panjang, wanita itu menaruh kembali buku yang sempat ia pungut, kembali ke atas meja.

"Sebaiknya Mother membiarkanmu belajar dengan baik. Jangan lupa beristirahat agar lukamu lekas sembuh," Narcissa melenggang begitu saja, meninggalkan Draco yang masih gagal memahami maksud ucapan wanita yang paling ia sayangi itu.


Bersambung


Terima kasih untuk anda yang sudah memberikan review, memfavoritkan, dan memfollow fanfic kurang berkualitas ini. Semoga tidak kecewa dengan contentnya yang masih banyak kekurangan di sana sini. Maaf karena updatenya lama.


Mohon review lagi.

Thank you.

See you.