Tinggi menjulang tiga lantai. Mengadaptasi konsep mediterania, bangunan ini memiliki fisik tak jauh beda rumah-rumah lain konglomerat Eropa. Megah berlantaikan marmer dengan tiang-tiang gagah sebagai penyangga.

Singkat cerita, sang lavender membawa Naruto ke sebuah paviliun di dalam hutan. Dibentengi tembok danawa, wisma tersebut bagai hunian kosong jika diatensi dari luar. Berdebu― penuh guguran daun, namun jangan salah. Begitu menginjak bagian dalam maka netra seketika akan dimanja oleh pemandangan furniture berharga prestisius, juga ornamen-ornamen kelas wahid.

Sret ...

Satu rekatan plaster, menutup segores luka menganga. Menunduk memohon maaf, sang lavender dalam hatinya membatin, syukur. Kekhawatirannya tersisih sebab sang Don baik-baik saja.

Cidera ringan didapat, kala lelaki jakung itu tanpa sengaja tergelincir saat hendak menuju mobil. Membentur kasar ubin drainase, sobek kecil epidermisnya, mengelupas sedikit, namun laksana tanpa rasa. Terbukti, wajah sang pemuda mengulas senyum seolah berkata "ini bukan masalah dan aku tak terluka".

"... Kakak?"

Gadis kecil menyorot cemas. Dari kejauhan, dua tangannya nampak gemetar mendekap boneka beruang. Entah gamang, risau, atau justru gelisah. Manik obsidiannya menatap skeptis, bimbang di antara 2 pilihan; melangkah atau berdiam.

"Bambina Sama?"

Sapaan, spontan membuat sang pemilik nama tersentak― mendekat. Ragu di awal, tapi untuk kembali mundur sepertinya ia terlanjur basah melangkah.

"A-apa Kakak baik-baik saja?" Butuh keberanian lebih bagi sang gadis kecil mengucapkannya.

Mendengar lontar tersebut, Naruto selayang berpikir. Gadis itu memanggilnya kakak, namun sekali saja tak pernah merasa ia sempat memiliki adik perempuan. Seingatnya, ia hanyalah dua bersaudara. Ia anak pertama, sang adik sudah SMA, dan bukan wanita.

Jadi dia?

Oh, mungkin adik si tokoh utama?

"A― um! Tak perlu khawatir, Bambina-Chan, " Naruto tersenyum seraya mengusap lembut pipi Sanada.

"K-Kakak?"

"Aku baik-baik saja," tuntasnya mengakhiri dengan lengkungan manis pada bibir― yang sontak disambut kembangan kurva indah oleh si gadis kecil 'Bambina'.

"Syukurlah ..."

.

.

LEMBAR

Chapter 2 [ Final ]

.

.

Gelita mengungkung separuh semesta. Menyingsing benderang, petang bertandang memperlihatkan candra mengintip rikuh di balik ancala.

Sang lavender menarik selimut di hadapan. Dongeng yang ia baca membuat kantuk pada pelupuk Sanada kontan menggapai ujungnya.

"Selamat tidur, Nona."

Sadar perempuan berhelai ungu tersebut hendak pergi, cepat, si gadis kecil menarik puncak kelingking Hinata.

"Ha-hari ini kakakku terlihat berbeda kan? Dia jadi murah senyum, terlebih, kakak sempat mengelus pipiku tadi. Bukankah ini hal langka?"

Sepengetahuan Sanada, sang kakak merupakan sosok pendiam, beriris pandang dingin. Cenderung kaku― minim bicara, juga terkesan sulit didekati.

Ia sangat jarang memasang senyuman. Berkata hanya selagi perlu― mengusap pipi apalagi. Kesannya tidaklah mungkin dilakukan.

Tapi hari ini?

Sanada serasa tertampar perspektifnya sendiri.

Selama ini punggung lebar pria itu acap digunakan sebagai perisai penahan luka. Tangan kekarnya ialah pelindung keluarga. Kedua kakinya adalah penunjuk jalan, dan hatinya merupakan keping cinta di mana tempat paling nyaman untuk bersandar

Menyampaikan kasih secara berbeda, sang kakak mampu bersikap lebih normal ternyata.

"Kakakku, benar-benar lelaki hebat kan, Hinata? ... kuharap, dia mampu bersikap seperti ini seterusnya. Aku sungguh bahagia."

"Nona?"

Baru sekarang Hinata mendapati wajah gadis kecil tersebut begitu berbinar.

"Um! Kakak anda memang Don yang hebat. Dan jika Nona sayang padanya, maka doakan yang terbaik ..." Hinata menjeda. "... sebab doa orang-orang yang menyimpan rasa sayang, biasa lebih tulus. Dan berawal dari ketulusan, Tuhan tak kan ragu mengabulkan." Hinata membelai lembut ubun Sanada.

"Hinata ..."

"Tak perlu dipikirkan. Selama ada Nona yang berdoa dan aku yang melindungi, Naruto Sama pasti akan baik-baik saja. Lebih baik sekarang Nona lekas tidur. Bermimpilah dengan indah, beristirahatlah dengan damai, dan percayakan Naruto-sama pada saya,"

Tersenyum, "Terimasih. Kau memang gadis yang baik, Hina―"

Jeb!

Runcing mata pisau itu mengoyak kerongkongan Sanada.

Pisau bermata dua dengan panjang 19,05 cm tersebut sukses menancap― merobek leher si putri mafia hingga menembus tengkuk belakangnya.

"Agrh―"

Darah segar menyembur melalui mulut. Rembesan merah kental berbau anyir, bersimbur membasahi piyama kuning muda― melukis corak senada berma.

Hinata menunduk, terdengar ia sedikit tertawa.

"Oyasuminasai, Bambina Sama!"

.

"Secangkir espresso hangat tanpa susu, kesukaan anda."

"―a, terimakasih."

Selepas dari kamar Sanada, Hinata duduk di balkon atas menemani Naruto menikmati temaram bulan pucat. Ditemani dua cangkir kopi favorit, di latari siulan burung malam, pun tak ketinggalan― lantun gemerisik dedaunan tertiup angin.

Jika diamati, jarum masih menunjuk pukul tujuh malam. Namun ketika diperhatikan lebih seksama, suasana Naruto pikir kelewat hampa. Suara langkah kaki, sayub orang berbicara, lantunan musik, atau apapun yang menghasilkan bunyi― semua tak ia dengar. Ini terlalu sepi.

Mendapati cemas di wajah Naruto, seketika Hinata lantas menggenggam tangannya, "Berhenti mengkhawatirkan hal tidak perlu, Don. Saya mengerti insiden tadi siang cukup membuat Anda panik hingga berpikir buruk sampai sekarang. Tapi selama ada saya di sisi Anda, tenanglah. Saya akan melindungi Anda,"

Pipi Naruto memerah,

Hinata menempelkan tangannya di permukaan dada Naruto,

"Saya senang, kita dapat lebih dekat,"

Satu kecupan hangat mendarat lembut di bibir Naruto. Mengecap manis, dipagutnya lagi bibir ranum lelaki itu dengan penekanan yang lebih kuat.

Naruto sulit mengambil napas. Kendali akan dirinya bagai lepas. Tubuh yang biasa tunduk oleh perintah otak itu― kini berontak, menolak mempertahankan diri― menerima begitu saja kala Hinata memainkan lidahnya penuh gairah.

Naruto tak lagi peduli, benar atau salah. Ia tak lagi peduli alasan mengapa Hinata melakukan ini semua. Ia tak lagi peduli; yang ia pedulikan hanyalah dapat merasakan lumatan itu lebih dalam, dalam, dalam, dan semakin dalam.

"―mmm,"

Satu demi satu kancing kemeja Naruto bebas dari kaitan.

Perlahan turun menuju bawah, Hinata mengecup leher Naruto, menggigit kecil cuping telinganya― dan kemudian, sang gadis lavender nampak menyeringai samar.

Dikeluarkannya pisau kecil dari balik punggung. Diarahkannya ke leher Naruto ...

"KYAAAAAA!"

Jeritan terdengar dari lantai dasar.

Terkesiap, sang Don mendorong badan Hinata tanpa sadar.

"BAMBINA SAMA! BAMBINA SAMA!"

"A-apa yang terjadi?"

Hinata menarik lengan Naruto. Sementara pisaunya, kembali ia selipkan di balik punggung.

"Tenang Don. Mungkin Bambina Sama bermain, jatuh, lalu―"

Mengabaikan Hinata, Naruto melangkah turun.

"Tu-tunggu―"

SIGH!

.

Tiba di bawah, Naruto menemukan seorang pelayan berlinang air mata bersimpuh lantai. Di hadapannya, Sanada terbaring di atas ranjang dengan mata terbuka dan sebuah pisau kecil masih menancap pada batang lehernya.

Iris Naruto membulat. Badannya bergetar. Dua tangannya impulsif mengepal. Saat ia bertanya apa yang terjadi, si pelayan hanya mampu menggeleng dengan air mata terus membanjiri pipi. Seorang penjaga pun jua tak nampak. Pelayan yang lain― mereka bak ditelan oleh bumi. Kala Naruto kembali bertanya apa yang terjadi, jawaban si pelayan tetap sama. Menggeleng, tidak tahu apa-apa.

"SIAL!"

DORRR!

Sebuah tembakan, Naruto mengecap basah di balik punggung.

Boug!

Raga tertembus peluru itu sontak ambruk mencium lantai dengan luka menganga di bagian dada.

"... pengganggu," ucap lirih seseorang dari arah pintu.

Naruto menoleh terkejut,

Sang penembak menyorot dingin― dengan senapan tergenggam di tangannya.

"HINATA?!"

Di depannya, pelayan tadi telah meringkuk― bermandikan darah.

"Kenapa kau melakukan ini?!"

Sang penembak mendekat― tersenyum, "...ini hanya tugas, Don."

"Tugas?"

Ia mengangguk,

"Ja-jangan bilang sejak awal kau berpihak pada Itachi?!"

"Berpihak?" gadis itu justru tertawa lepas, "untuk apa? Lagi pula apa kau tak pernah dengar, jika kepala seorang Don mafia dihargai milyaran?"

"A-apa?"

"Baiklah, mari kita kenalan lebih dulu. Namaku Hinata Hyuuga, seorang bounty hunter, pemburu hadiah yang sebenarnya telah mengincar Don Uchiha sejak lama."

"BOHONG! KAU BERCANDA!"

BUM!

Peluru melesat cepat― menghujam kaki kanan Naruto.

"Aku tidak pernah bercanda dalam melakukan apapun. Oke, sekarang kuberi waktu. Apa kau punya kata-kata terakhir?"

"KEPARAT KAU!" Naruto meludah.

"Baiklah, sepertinya kau tak berniat mengucap apapun. Kalau begitu biar aku sedikit bicara,"

"Kau sebenarnya bukan Don Uchiha yang asli kan?"

Degg!

Bagaimana bisa ia tahu?

"M-maksudmu?"

"Tch, jangan pura-pura bodoh! Don yang asli 100% tidak mirip denganmu. Dia sangat dingin. Bahkan dari famili, sedikit yang bisa dekat dengannya. Don Uchiha yang baru itu tidak mudah mempercayai orang. Dalam pertarungan jarak dekat maupun jauh, tangan kosong ataupun menggunakan senjata, ia jagonya. Dan wanita? Haha, bahkan aku sempat mengira dia penyuka sesama jenis karena tak pernah kulihat dekat dengan perempuan manapun. Ah, satu lagi yang lebih penting. Nama Don Uchiha yang asli bukanlah Naruto, melainkan Yahiko."

Manik biru safir itu kembali membulat,

"Huh, kau pasti bingung mengapa aku tahu semua. Otak kecilmu itu pasti penuh tanya, kenapa aku bisa paham fakta tersebut." Hinata menarik rambut Naruto― membuat wajah pemuda itu mengadah― menatap ke arahnya, "katakan, dari mana kau berasal? Kau terjebak dalam dimensi ini, karena tanpa sengaja mengambil tankubon tanpa judul itu kan?"

Suara Naruto tercekat,

Tebakan lavender sedikit pun tiada meleset.

"Oke-oke, sepertinya kau memang tak tahu apapun. Akan kujelaskan," Hinata berdiri tegak, berkacak pinggang. "Singkatnya, kita berasal dari dunia yang sama. Lembar pada manga itu sebenarnya adalah portal. Manusia terpilih akan masuk dan mengikuti sebuah permainan yang disebut 'TITLE'. Kau ingat, mengapa tankubon itu tak diberi judul? Ini karena kita sendiri yang akan menamainya."

"Pe-permainan, apa maksudmu?"

"Ketika masuk dalam dimensi ini ingatan orang sekitar 'orang yang digantikan oleh kita' akan dihapus. Mudahnya, mereka akan mengenali kita sebagai orang terdekatnya. Seperti para Uchiha yang menganggapmu sebagai Don mereka, meski jelas, wujudmu beda dengan Yahiko."

"Permainan ini bertujuan untuk mencari 'TITLE' atau judul yang pas. Kau pasti juga tidak mengerti bagaimana game ini berjalan. Setiap player yang ingin keluar, harus menyelesaikan 'misi' lebih dulu. Dan kautahu apa misinya? Bertahan hidup. Ketika portal terbuka, hanya satu orang yang boleh keluar. Serta apa kau tahu, bila dimensi ini terdapat lebih dari dua player? bahkan aku telah menemukan tiga manusia lain, dan baru membunuh satu di antara mereka. Jika portal hanya dapat membawa satu orang, bukankah secara tidak langsung kita diwajibkan 'saling membunuh'?"

Naruto meneguk ludah,

"Yep. Itu pula yang mendasari mengapa aku masih tertarik meski kau bukan Don Uchiha yang asli. Yosh, selamat tinggal. Permainan ini aku yang menangkan. Aku yang akan keluar dari dimensi terkutuk ini!" Hinata menarik pelatuk, bersiap melepas―

Dorrr!

Darah segar menggenangi lantai.

Boug!

Helaian indigo panjang tersungkur dibasahi darah,

"B-bagaimana bisa...?"

Seorang lelaki bersurai ikal berdiri terengah, beberapa meter dari tubuh Hinata jatuh.

"Don, kau baik-baik daja?!"

"Fa-Faust? Ka-kau selamat?"

"Iya, maaf terlambat, saya kembali Don." ujar pria itu tersenyum.

.

.

.

End