Aku ingin mati. Tidak ada lagi tujuanku untuk dapat hidup di dunia ini. Aku tak sanggup melakukan apa - apa untuk memperbaiki kehidupanku. Ayah berkata bahwa aku tidak berguna dan menyesal sudah membesarkanku. Sedangkan Ibu menyesal sudah melahirkan anak bodoh sepertiku ke dalam dunia ini.

Gelap.

Itulah dunia yang kurasakan saat ini. Setiap hari diliputi oleh kegelapan. Aku tak lagi mempunyai semangat untuk menjalani hari - hariku layaknya anak - anak lain di sekitarku.

Ayah, Ibu mengapa kalian meninggalkanku sendiri?

Jika kalian saja yang notabene adalah kedua orang tua kandungku saja tak menerimaku, bagaimana aku dapat diterima oleh masyarakat luas yang bahkan tak mempunyai hubungan darah apapun denganku?

Aku harus bagaimana? Untuk apa aku terlahir dan hidup di dunia yang penuh dengan kekosongan ini? Kenapa aku masih bernafas? Seseorang, kumohon beritahu aku jawaban atas semua pertanyaanku.

Mati!

Kata yang selalu terngiang dalam pikiranku. Kematian, benar juga. Jika aku mati, maka semuanya akan berakhir. Jika aku mati, maka tak akan ada lagi yang perlu kutakutkan. Jika aku mati, maka aku tak akan lagi hidup dalam kesendirian dan kehampaan dunia ini.

...

"Hari yang indah untuk mati." Gumamku seraya mengaitkan tali pada sebuah pohon di balik bukit belakang tempatku menimba ilmu.

Saat ini adalah waktu yang sangat tepat untuk menikmati kematianku. Pada malam yang sangat gelap, di mana bulan tak bercahaya dan tidak ada seorang pun di tempat yang sangat sepi seperti ini.

Sehingga tak akan ada yang menemukan mayatku. Dan keesokan harinya orang - orang akan berkata, "Betapa malangnya bocah itu."

Percayalah bahwa aku baik - baik saja. Aku akan pergi dengan tenang, ke tempat di mana tak akan ada lagi rasa sakit dan penderitaan. Yang ada hanyalah kedamaian dan kebahagiaan abadi.

"Sayonara." Lirihku. Kedua tanganku mengambil tali dan mengarahkan leherku pada lubang yang sudah kusimpulkan.

Aku akan segera menyusul kalian, Ayah, Ibu.

...

"Ka.. Kau mau apa?" Suara gemertak gigi dari seorang gadis mengejutkanku dari belakang.

Harusnya tidak ada orang apalagi seorang gadis di malam yang gelap dan sepi seperti ini. Apa mungkin? Hantu? Ah, tidak. Aku tidak percaya dengan adanya hantu atau makhluk gaib sejenisnya.

Perlahan aku menolehkan kepalaku hendak melihat sosok yang menghentikan kegiatanku untuk pergi ke alam yang lebih baik.

"Ha..." Aku tak mampu mengeluarkan suaraku. Mataku terhipnotis pada sosok gadis yang berada di hadapanku saat ini.

Bukan!

Aku terdiam bukan mengangumi kecantikannya namun, karena ini kali pertamanya aku melihat bahwa sosok makhluk itu asli. Makhluk yang selama ini kuanggap sebagai mitos dan takhayul semata.

Surai indigo panjang yang menutupi sebagian wajahnya, kedua kaki yang tak menyentuh tanah serta iris mata yang berwarna putih layaknya seorang -

"Hantu!" Teriakku dengan kencang.

"Di mana?! Di mana hantu?! Kyaa!" Teriak gadis itu tak kalah histerisnya. Oh, apakah hantu itu tidak waras? Atau dia tak menyadari betapa mengerikannya wujudnya saat ini?

"Si.. Siapa kau?!" Jangan - jangan gadis ini hanya seorang manusia biasa sama sepertiku. Mungkin saja ada kamera tersembunyi yang sedang mengawasi gerak - gerikku dan ingin mengerjaiku. Siapa yang tau?

"Watashi wa Hime desu. Douzu yoroshiku, onegaishimasu." Ujarnya seraya berojigi 45° ke arahku.

Demi Kami sama! Gadis ini terlalu bodoh untuk menjadi seorang hantu.

"Siapa yang menanyakan namamu?! Aku bertanya kau ini apa?! Kenapa kau melayang? Kenapa kau - "

"Ah! Apa aku sudah mati?! Ini pasti mimpi kan?! Atau aku sudah berada di dunia lain?!" Ujarku sambil menarik - narik surai pirangku kasar.

Aku pasti bermimpi. Belakangan ini aku sering bermimpi buruk, atau mungkin aku sudah mati namun aku tak menyadarinya? Apa yang sebenarnya terjadi?

"..." Suasana menjadi hening untuk sejenak namun terasa begitu mencekam bagiku. Gadis itu sama sekali tak menggubris dan menjawab pertanyaanku. Kenapa Ia hanya menatapku dengan pandangan mengerikan seperti itu?

"Kau - "

"Apa yang kau lakukan di atas bukit pada tengah malam seperti ini?" Tanyanya padaku.

"Untuk apa aku menjawab pertanyaanmu? Kau belum menjawab pertanyaanku." Ucapku sinis pada gadis aneh itu.

"Seperti yang kau lihat, aku tidaklah sama sepertimu. Aku bukan seorang manusia. Untuk apa kau menanyakan hal yang sudah kau ketahui jawabannya?" Ucapan gadis itu membuat seluruh tubuhku merinding. Jadi dugaanku benar? Gadis ini adalah - ?

Hantu!

Aku berlari dengan cepat menuruni bukit dan meninggalkan tali yang tergantung di atas pohon sendirian, aku harus kabur. Pikiranku tak dapat berjalan dengan normal. Bagaimana mungkin ada hantu di saat - saat kematianku? Aku berubah pikiran. Aku tidak mau mati! Aku takut hantu!

Masih dapat kurasakan tatapan mata dari gadis yang seakan mengikutiku dari belakang, membuatku merinding dan gemetar ketakutan.

...

"Hufh haah hufh haah." Kubanting dan kukunci pintu rumahku dengan keras serta mengatur nafasku yang mulai habis akibat perbuatan hantu itu.

"Kuso!" Umpatku sambil menendang meja yang ada di hadapanku sampai segala barang yang ada di atasnya jatuh berserakan ke lantai.

"Kenapa kau masih hidup? Kenapa kau belum juga mati? Matilah, dasar manusia tak berguna! Kau hanya menyia - nyiakan waktumu! Lebih baik kau mati! Mati! Mati! Mati! Mati!"

"Aakhh, berhenti! Hentikan!" Kutarik serta kupukul kepalaku dengan kasar, suara - suara dalam otakku tak dapat berhenti berbicara. Mereka menyuruhku untuk segera mati. Andai mereka tau bahwa aku pasti sudah mati jika saja hantu itu tak muncul dan menghalangi kematianku.

Manik shapire-ku terarah pada sebuah gunting tajam yang terdapat pada laci kamarku, "Tenang, Naru akan segera mati dan menyusul kalian. Kalian tak akan kesepian lagi." Tangan kananku mengarahkan gunting tajam itu ke leherku. Cara mati yang mudah bukan?

Selamat tinggal duniaku yang fana.

"Wah ternyata kau memang berniat untuk mati ya?"

"Mau apa kau ke sini lagi?! Kau mengikutiku ya?" Sial, bagaimana mungkin aku tidak menyadari bahwa hantu ini memgikutiku? Aku sempat melupakan fakta bahwa Ia adalah seorang hantu. Wajar saja jika aku tak menyadari keberadaannya.

"Rumahmu bagus juga, sayang sekali penuh debu dan serangga. Sudah berapa tahun kau tidak merapikannya? Kenapa kau berwajah seperti itu?"

"Hei hantu sial! Kenapa kau selalu menggangguku, hah?! Siapa yang mengutusmu? Kami sama?! Lucifer?! Jawab aku!" Teriakku tepat di hadapan wajahnya seraya menarik rambutnya untuk menatapku.

Persetan dengan hantu, malaikat atau apapun itu! Aku sudah muak!

"Hiks, hiks, hiks." Eh? Me.. Menangis? Aku baru tau hantu bisa menangis?

"He.. Hei, jangan menangis! Hantu, apa kau baik - baik sa - " Gadis itu menoleh padaku dengan air mata darah mengaliri seluruh wajahnya.

"Gyaa!" Sial! Mengerikan sekali!

"Eh? Ma.. Maaf, apa aku menakutimu? Hahahaha." Tawanya pecah menggema ke seluruh ruangan. Aku menyesal sudah menghawatirkan gadis itu.

"Apa maumu di sini, hantu?"

"Jahat sekali, tak bisakah kau memanggilku dengan sebutan Hime?" Ujarnya seraya melayangkan tubuhnya dan menyenderkan tangan mungilnya ke atas kepalaku.

Hantu macam apa yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Hime)*?

"Aku butuh tidur." Gumamku lirih sambil membaringkan tubuhku ke atas kasur yang reot dan mencoba memejamkan kedua mataku. Aku terlalu lelah dan kesepian, sampai - sampai aku membayangkan sesuatu yang tidak nyata.

"Hei, apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan wajah yang dimiringkan dengan polosnya padaku. Huh, dasar hantu sok polos, menyebalkan!

"Tidur! Lebih baik kau menghilang sana!" Aku lelah, aku ingin memejamkan kedua mataku dan berharap tidak akan bangun lagi untuk selamanya.

[•••]

つづく

07.10.16 ©Yuki Hime