Prologue
Boy Meets Evil
.
.
Gerutuan Seokjin masih berlanjut meski pria di dekatnya itu sudah berulang kali meminta maaf sembari memberikan senyuman paling menenangkan.
"Lain kali aku akan hati-hati,"ujarnya halus mencoba meyakinkan Seokjin. Cangkir ia taruh di atas meja kayu, membasahi bibir menunggu balasan dari Seokjin yang sedang meletakkan kotak obat di laci rak TV.
Seokjin melempar tarikan bibir menahan kesal, sudah ratusan kali ia mendengar janji senada itu. Tapi nyatanya yang mengucapkan akan selalu melanggar dan kembali membuatnya khawatir bukan main.
"Tak bisakah kau menjalani kehidupan yang normal, Yoongi-a..."desah Seokjin beranjak ke dapur, mulai menyiapkan makan siang untuk mereka berdua, "dunia tidak akan kiamat jika kau berhenti-"
"Jika kami berhenti,"sela Yoongi bergerak ke meja makan, ada ringisan yang keluar dari mulutnya, sepertinya luka di kaki kirinya masih terasa menyakitkan, "dunia memang tidak akan kiamat, Jin. Tapi dunia akan hancur, dunia akan berakhir. Sama saja dengan kiamat kan."
Tampak Seokjin menjatuhkan kedua bahu dan terdiam sejenak, lalu pemuda cantik itu beralih sebentar dari Samgyetangnya. Menatap sendu ke arah Yoongi yang menumpu kepala dengan sebelah tangan di meja makan.
Ingin ia tetap bersikeras agar Yoongi berhenti dari pekerjaan 'sampingan'nya itu. Tapi pembicaraan mereka yang seperti ini nyaris terjadi setiap hari dan berujung pada Yoongi yang tetap bertaruh nyawa di malam hari.
"Aku lupa berbelanja,"jadi Seokjin membuka topik lain, pembicaraan yang tentunya tidak seberat dan segelap kewajiban turun temurun keluarga Min, "jadi bawang putihnya hanya segini,"ucapnya mengangkat mangkuk kaca berisi salah satu bahan yang akan dimasukkan ke dalam perut ayam rebusnya, "tidak apa-apa kan?"
"Ne,"angguk Yoongi cepat. Tersenyum dan mulai bercerita betapa ia masih menyukai masakan Seokjin meskipun dengan bahan seadanya.
Karena sejak kecil, sejak kedua orang tuanya meninggal, Seokjin terlalu ahli untuk memanjakan selera makan seorang Min Yoongi.
.
.
Hempasan angin kuat memenuhi gang lembab untuk sesaat, hasil dari pendaratan dua sosok bermata iris merah. Setelah empat kaki berhasil memijak dengan nyaman, salah satu pemilik mereka langsung mendengus penuh amarah.
"SAEGYA!"
"AW! APA YANG KAU LAKUKAN!?"
"ITU PERTANYAANKU BODOH!"
"Ish! Lepaskan!"kedua sayap hitam itu dikepak sekali lalu dibelai-belai dengan lembut, "iya, iya,"desah yang punya "tapi jangan sayapku, okay. Kau boleh memukul kepalaku, menendang kakiku, atau apalah. Terakhir kau menjitak keningku kan, begitu saja."
PLAK
"Awwww!"
"Berhenti mencari masalah di sekitar sana! Sudah berapa kali aku bilang! Exorcist wilayah Songpa dikenal keras kepala! Mereka terlalu rajin untuk zaman sekarang-"
"Stop!"lima jemari mungil bergerak mengepal di hadapan wajah pemuda tampan, pertanda tak ingin mendengar penjelasan, "enough. Aku sudah tahu itu, kau tak perlu menceramahiku lagi."
"Karena kau masih saja berulah, Jim!"
"Chingu-a~ "yang lebih pendek mengalungi leher sahabatnya, "kau ini semakin hari semakin aneh, ya. Pekerjaan kita memang membuat ulah kan. Bosan tahu, jika sekedar memberi bisikan dosa. Sesekali menguji nyali tidak apa-apa kan ya."
"Heol."
Ia menepis untaian lengan itu, merentangkan sayapnya kembali, lalu bersiap untuk terbang, "lain kali aku tak akan datang menolongmu lagi, Wahai Setan Keluarga Park,"tandasnya menjunjung tinggi ke langit malam, meninggalkan sosok manis yang beberapa menit lalu membuatnya kesusahan.
"Akan, chingu-a. Hihi,"kekeh si manis, "apapun yang terjadi kau tak akan tega membiarkanku musnah kan."
.
.
"Apa ini?"
Seokjin menggenggam benda yang baru saja Yoongi pasangkan pada lehernya, ia teliti baik-baik kalung salib yang terbuat dari perak itu.
Yoongi menyentak dua kali masing-masing ujung sepatu, lalu bangkit dan meraih ransel yang tadi Seokjin pegangi untuknya, "em, jimat pelindung? Well, seperti itulah."
"Benarkah. Untuk sesaat kupikir ini barang couple. Haha."
"Ou, karena kelihatan sama dengan punyaku ya,"Yoongi bergerak mengeluarkan kalung yang biasa tersimpan di balik pakaiannya, "tapi-"
"Tapi ukirannya berbeda,"potong Seokjin, menunjukkan bagaimana ia tahu benar kalung yang tak pernah lepas dari Yoongi itu. Padahal Yoongi jarang memperlihatkannya dan ukiran kedua kalung itu hanya berbeda sekilas saja. Tapi Seokjin langsung menyadari letak perbedaan mereka.
Karena kesan pertama akan benda berharga milik Yoongi itu, terukir jelas dalam ingatan Seokjin.
"Sudah lama aku ingin memberikannya padamu,"ucap Yoongi, "rencananya ini adalah kado ulang tahun untukmu. Tapi dia baru menyelesaikannya kemarin. Si gila game itu selalu saja menunda pekerjaan."
"Oh. Jadi ini bukan buatan Paman Jeon?"
"Well, awalnya beliau yang membuatnya. Tapi-"
"Tapi?"
"Em, beliau sudah- "
Yoongi menunduk dan menggaruk tengkuknya. Sedang Seokjin mulai menampilkan wajah keruh.
Hening sesaat di antara mereka sampai Seokjin mengelus lembut lengan Yoongi, "kapan?"
"Dua bulan yang lalu."
"Dua bulan yang lalu? Kenapa kau tidak memberitahukannya padaku?"
"Karena kalian tidak terlalu dekat-"
"Tapi tetap saja kan."
"Lagipula,"Yoongi menarik sebelah bibir dan tersenyum tipis, "bukannya kau tidak suka jika aku membahas tentang dunia kami."
Seokjin terdiam mendengar itu, sedikit menunduk dan mengusap-usap lengan kirinya. Dari gelagatnya Yoongi tahu bahwa pemuda cantik itu membenarkan alasannya.
"Em, di mana beliau di makamkan?"tanya Seokjin, "meski hanya sekali bertemu langsung, setidaknya kami pernah minum teh bersama."
"Nanjing. Tempat di mana peristiwa itu terjadi."
Seokjin menggangguk-angguk kecil dan mencoba tersenyum, "jika ada waktu kita ke sana, ya."
"Ne. Nah, aku pergi dulu ya."
"Un,"jemari Seokjin menggapai salib yang teruntai di dada Yoongi, mengelus-elus kalung yang rantai dan bentuk salibnya sama persis dengan miliknya itu. Lalu menggenggamnya erat seraya menutup mata dan menempelkan genggamannya itu pada keningnya.
Seokjin berdoa dengan khidmat. Menyalurkan segala harapannya melalui benda suci itu.
Yoongi memperhatikan dengan penuh kasih dan sedikit rasa bersalah. Terakhir kali Seokjin seperti ini, berdoa melalui kalungnya, ketika ia pergi ke Vatikan empat tahun yang lalu. Di mana berarti Seokjin sangat mencemaskan keselamatannya. Lukanya kali ini memang bukanlah yang paling parah, tapi mendengar kabar kematian Paman Jeon barusan pasti membuat Seokjin didera kekhawatiran yang sangat kentara.
"Sarapan besok,"ujar Seokjin setelah cukup lama tenggelam dalam doanya.
"Ne?"
Ia tersenyum lembut kepada Yoongi, "sarapan besok adalah Bubur Jagung kesukaanmu. Jangan sampai datang terlambat ya. Tidak akan selezat ketika masih hangat."
"Ne,"angguk Yoongi, ikut tersenyum mengusap pucuk kepala Seokjin, "aku tak akan datang terlambat."
"Yoongi-a..."panggil Seokjin sesaat sebelum Yoongi menutup pintu.
"Ne?"
Tampak senyuman Seokjin semakin melengkung, namun entah mengapa ada kesenduan pada sorot matanya "semoga Tuhan memberkatimu."
"Ne. Semoga Tuhan memberkatimu, Jinnie."
.
.
"Butuh payung?"
Pemuda itu sedikit tersentak dan langsung menoleh ke arah samping, "Taehyung-sshi?"terkanya untuk sosok berkulit tan yang sedang memegang payung dan mendekat selangkah kepadanya.
Hanya ada mereka berdua yang kelihatan sedang berteduh di depan cafe bernama Irene De.
"Ne,"angguk Taehyung tersenyum, ada kilatan senang pada kedua matanya, "kau sudah hapal suaraku ya."
"Em, ne. Selamat malam."
"Selamat malam. Kau sendirian?"
"Ee, sedang menunggu Seungchol-hyung."
"Oh, benar juga ya. Mustahil keluargamu membiarkanmu pulang sendiri malam-malam di tengah hujan begini."
"Ne..."
"Kupikir ini bisa dijadikan kesempatan untuk menemanimu pulang."
"Eh?"
"Ani. Haha-"
TRAK
Tongkat itu terjatuh. Sesaat setelah gemuruh guntur mengaung dengan dahsyat.
Taehyung terdiam begitu lehernya dipeluk. Sepasang lengan yang mengalunginya itu terasa sedikit bergetar dan semakin erat mendekapnya ketika gemuruh lain saling menyusul memekakkan telinga.
"Mian..."lirihnya gamang, "aku, aku, aku-"
"Gwaenchana,"usap Taehyung pada punggung pemuda itu, "gwaenchana..."
Mendengar bisikan Taehyung yang begitu menenangkan, ia tak lagi segan merangkul Taehyung untuk melampiaskan ketakutannya.
Setelah suara langit tak lagi terdengar selantang tadi dan hujan mulai berubah menjadi gerimis, pelukan itu dilepas secara perlahan.
Dengan ligat Taehyung mengambil tongkat alumunium itu, mengarahkan pegangan berbungkus bahan kulitnya pada jemari sang pemilik, "gwaenchana?"
"Ne, gamsahamnida. Maaf sudah memeluk anda tiba-tiba."
"Ani. Tidak apa-apa kok."
"Apa, apa aku terlihat seperti anak kecil..."
Taehyung mendengus tersenyum simpul, "setiap orang punya hal yang ia takuti, Jungkook-sshi. Mereka punya alasan masing-masing yang sepatutnya bisa semua orang terima."
Jungkook yang tadi sempat malu terhadap rasa takutnya pada gemuruh langit di usia dua puluh tahun, merasa lega dan tersenyum manis.
"Kuharap semua orang memiliki pemikiran seperti anda, Taehyung-sshi."
Taehyung menggaruk rahangnya, sedikit salah tingkah karena dipuji seperti itu. Baru saja ia akan membuka obrolan ringan dengan pemuda yang sejak seminggu lalu dikenalnya itu, suara panggilan dari jauh diiringi derap langkah setengah berlari muncul ditengah mereka.
"Kookie, maaf Hyung terlambat,"desah Seungchol merasa bersalah, ia mulai mengarahkan Jungkook untuk berjalan beriringan dengannya di bawah payung yang sama setelah memberi sapaan singkat kepada Taehyung.
"Saya duluan, Taehyung-sshi."
"Ne, selamat malam."
"Apa dia temanmu?"tanya Seungchol melirik sekilas ke arah Taehyung yang sudah berjalan menjauhi mereka.
"Em, hanya kenalan biasa. Sama-sama pelanggan Irene De, seminggu yang lalu dia membantuku memunguti buku."
"Sepertinya dia orang yang baik."
Jungkook menarik napas panjang dan menghelanya perlahan.
"Astaga! Apa dia seorang pendosa, Kookie-a?"kaget Seungchol mendapati ekspresi sendu dari adiknya.
"Suaranya terdengar ramah,"ucap Jungkook, senyumnya terlihat menyedihkan, "dan dia pernah menolongku untuk sekedar merapikan barang-barang yang kujatuhkan sendiri,"sambungnya terdengar semakin berat, "dia juga yang selama ini duluan menyapaku. Dan kata-katanya, selalu baik dan membuat nyaman. Tapi..."
"Apa tubuhnya penuh dengan nada dosa?"
"Ne..."Jungkook menggigit bibirnya, tampak ragu pada fakta yang tak bisa ia sangkal, "tak ada warna lain selain merah menyala pada tubuhnya."
.
.
"Apa kau yakin Seokjin hanya manusia biasa?"Yoongi memasukkan peluru perak terakhir pada rifle gun hitam kesayangannya.
"Hha?"
Sosok di dekat Yoongi mengerut samar. Memilih tak lagi melayang dan duduk tepat di sebelah pria yang kini mulai membidik ke berbagai arah dari atap gedung pinggiran Kota Seoul, "maksud anda, Tuan?"
"Akhir-akhir ini, sudah tiga kali aku mendapatinya melihat ke arahmu."
"Tuan, kebetulan saja arah matanya ke arahku kan. Banyak yang seperti itu."
"Kebetulan jika tidak memiliki maksud apa-apa, jika dengan sorot mata berpikir-"
Yoongi beralih dari teleskop rifle gun hanya untuk mendecak sesaat.
"-kau ini malaikat atau bukan sih. Hal sejelas itu saja kau tidak sadar."
"Guardian, Sir,"tegas sosok itu, "sudah berapa kali saya ingatkan. Saya ini guardian. Para penghuni eartlife memang menamai kami dengan istilah yang sama dengan Malaikat. Tapi, sungguh, andapun sudah tahu mengenai hal ini bukan, kami ini- Ugh..."
Kata-katanya terpotong dan berubah menjadi ringisan penuh kesakitan. Tubuhnya gemetar, dengan terbata-bata melanjutkan omongan setelah Tuan-nya menoleh heran kepadanya, "ki- ki-kita... harus pergi- ugh... dari sini, Tuan..."
"Hei, kau kena-"
Yoongi terdiam. Aura yang begitu mencekam mulai menggerogoti keseluruhan indranya. Napasnya terasa ditahan, beban berat sara akan kegelapan tersampir menghujam bahunya.
Gelap. Gelap. Gelap.
Takut. Takut. Takut.
Sekuat tenaga Yoongi menampik nyalinya yang tiba-tiba menciut. Berusaha mengatur napasnya yang kian sesak dan mengontrol diri sebaik mungkin- sama seperti guardian di hadapannya.
Selang beberapa detik, sebuah barrier bening tak bercahaya tiba-tiba melingkupi keduanya. Bersamaan dengan itu, muncul sebuah sosok menyilaukan yang memunggungi mereka.
"Kau tidak perlu menghampiriku, Raphael."
Bukan suara berat itu yang menyadarkan Yoongi, tapi perasaan damai dan tenang yang mulai memyelimuti. Kedua matanya yang semula terpicing erat menghadang intimidasi, terbuka dan mendapati guardian-nya yang kini tengah berlutut menekuk kepala kepada-
"An, angel..."lirih Yoongi takjub. Takjub yang kemudian langsung berubah menjadi tanda tanya dan mencoba memahami situasi yang ada.
"N,"ucap sosok yang Yoongi pandangi itu, "kau cukup memanggilku N atau apalah. Aku tak ingin makhluk kegelapan menyebut namaku."
"Well. Wahai Makhluk Paling Suci ada apa gerangan mendatangi hamba, Makhluk Penuh Dosa ini."
Ia katakan dengan nada penuh cela dan terdengar sangat main-main. Tak lupa dengan tubuh yang sok-sok membungkuk hormat.
Lawan bicaranya tak membalas berarti. Sudah hapal benar tabiat makhluk yang satu itu.
"Petinggi Iblis sepertimu tak pernah mau repot mendatangi earthlife. Apa yang kau rencanakan, Mammon-"
"Rapmon,"selanya mendecak tak suka, "Mammon itu kuno sekali. Aku sudah mengganti namaku kok. Dan aku ke sini bukan untuk mencari masalah, okay. Kudengar ada bawahanku yang berulah dengan sangat tidak 'berseni' sekali. So, kau tak perlu membuang-buang waktu untuk memancing perang."
"Iblis tercipta bukan untuk dipercayai."
"Well, apa aku boleh pergi sekarang? Haha. Aku tidak perlu meminta izin segala kan ya."
Kemudian sayap hitam direntang selebar-lebarnya, bersiap untuk melesat pergi namun menunda sebentar dengan seringai tipis, "oh! Tuan N, apa keahlianmu sudah mulai tumpul? Aku masih bisa menghendus bau menjijikkan seorang hunter-dan guardian-nya tentunya- yang coba kau sembunyikan itu."
N tetap bergeming, sedang Yoongi dan satu sosok lainnya kembali merasa gamang meski tidak sebesar beberapa saat lalu.
"Lihat. Aku tak berniat menyentuh mereka sedikitpun kan. Jadi, urus saja tugasmu yang biasa ya, jangan mengusik hal yang nanti akan membuatmu kewalahan."
Berlalu sekejap mata, pemilik intimidasi kelam itu menyisakan hempasan angin yang tidak kentara.
Tepat setelah itu barrier memudar dan benar-benar menghilang disusul gerakan ujung jemari yang mendekat ke arah kening Yoongi.
"Kau tahu aku seorang hunter kan."
Malaikat itu terdiam. Sontak menghentikan apa yang ingin ia lakukan.
"Tuan! Apa yang-"
"Kau bisa melihatku?"kaget sang malaikat.
Membuat sang guardian semakin berlutut dan menunduk hormat, "Sir, dia salah satu hunter yang terkena kutukan."
Malaikat menggangguk samar, "oh, begitu. Pantas tadi ia berusaha mencuri lihat dari balik sayapku."
"Mohon maafkan Tuan-hamba, Sir.."
"Kau tak perlu menghapus ingatanku,"lanjut Yoongi, bangkit dan menengadah dengan ekspresi tenang, "aku memang sering bolos, tidak pernah suka buku-buku tebal dan juga malas sekali menyimak penjelasan pastor. Tapi, bocah cenayang-pun tahu, -Mammon huh, salah satu dari tujuh komandan iblis kan, pantas nyaliku ciut seketika- petinggi demon tak akan turun jika-"
"Siapa namamu?"
"Yoongi. Min Yoongi."
"Dan kau?"
"Jhope, Sir. Tapi, hamba diberi nama Hoseok oleh Tuan-hamba."
Malaikat itu tersenyum simpul, "baiklah, Putra Keluarga Min dan Guardian Pengharapan, kuharap kita tak akan pernah bertemu lagi."
Sekali Yoongi mengedip, sosok itu sudah menghilang dari hadapannya.
"Aigooooo,"desah Hoseok merasa lemas. Bahkan ujung sayapnya menyentuh lantai dan terkulai lemah, "apa yang barusan itu..."
Tak seperti Hoseok yang masih merasakan sisa-sisa kejadian langka tadi, Yoongi segera meraih handphone dan berlari sekencang mungkin seraya mencoba menghubungi seseorang.
"Ada apa, Tuan?"
"Aku punya firasat buruk."
"Eh?"
"Saeggya! Angkat telponku, Seokjin!"
.
Kim Seokjin
Deru napasnya menjadi-jadi. Dan bisikan berat itu juga terdengar semakin jelas.
Kim Seokjin
Sepuluh jemarinya meremas kuat kain putih pembungkus kasur. Bisikan itu seolah menggerayangi sekujur tubuhnya.
Kim Seokjin
Keringat mengucur deras, kepala yang tak lagi bisa tenang, membuat cairan itu mulai membasahi bantal. Bisikan itu perlahan berubah.
Seokjin
Menjadi geraman yang penuh dosa.
"HHHHHH!"
Seokjin membuka mata lebar-lebar. Seketika bangkit dari tidurnya.
"Haaah... haaah... haaah..."
Menyentuh leher yang dirasa masih tercekat, napasnya coba diatur sembari menenangkan pikiran dan perasaannya, dari mimpi buruk yang sama yang selalu mengganggu tidurnya-
Seokjin melirk sebentar desk calender di meja nakas.
-seminggu terakhir ini.
Dari melihat deretan tanggal, pandangan Seokjin menangkap layar handphonenya yang menyala terang.
"Yoongi-a?"
"Kau di mana hha? Ya! Kenapa kau tidak segera mengangkat telponku! Apa kau baik-baik saja hha!? Kau sedang bersama siapa heoh! "
Alis Seokjin terpaut begitu mendengar kata-kata Yoongi yang memburu.
"Halo! Seokjin!? Ya! Kim Seokjin! Kau tidak-"
"Yoon..."sela Seokjin tenang, "tarik napas dalam-dalam dulu, hembuskan, dan- KAU TIDAK BISA MELIHAT JAM HHA!? JAM SEGINI TENTU SAJA AKU SUDAH DI ATAS TEMPAT TIDURKU! DI MANA LAGI KALAU BUKAN DI RUMAHKU SENDIRI! KAU PIKIR AKU HOBI KELAYAPAN APA! BISA TIDAK LEBIH SOPAN LAGI-"
"Syukurlah..."
Seokjin terdiam, bukan sebuah protes yang dilayangkan Yoongi diseberang sana, padahal ia cukup membentak barusan, melainkan desah napas sarat kelegaan.
"Syukurlah..."
"Yoon? Gwaenchana?"karena itu Seokjin langsung mengerti akan sikap Yoongi dan bertanya hati-hati.
"Aku sedang ke sana sekarang. Kau tidak melepas kalungmu kan?"
Seokjin menunduk, melihat ke arahnya dadanya. Tak ada apa-apa di sana kecuali piyama berwarna merah muda, "ee, aku belum terbiasa memakai kalung, tadi aku lepas ketika mandi- hei! Aku ambil sekarang okay,"jawabnya bergerak menuju kamar mandi. Ketika hendak meraih benda perak di wastafel itu, tubuhnya mematung terpaku tak bisa bergerak. Membuat benda yang ingin ia ambil terjatuh begitu saja.
"Jinnie?"
Seringai lebar memenuhi penglihatan Seokjin. Melalui cermin, dapat ia tangkap sebuah sosok tiba-tiba muncul di belakangnya.
Sosok yang membuatnya sulit untuk sekedar bernapas.
"Hei, cantik."
.
.
.
.
TBC or DELETE?
.
.
.
.