Yass.. Finally update! Mungkin untuk beberapa chap ke depan akan makan waktu lama banget. Selain karena ada proyek nulis di tempat lain, author ada urusan buat lanjut kuliah lagi. Terima kasih buat yang masih setia baca fic ini, yaa~.. lovelove pokoknya..!

Anyway, chap kali ini bisa dibilang pendek. Dan kalau ada yang bertanya-tanya kenapa author masukkin unsur 'horror' ke dalam fic ini, well.. karena selain sebagai cerita sampingan, di game MM sendiri aktivitas Mint Eye kurang banyak diceritakan. CMIIW ya. Jadinya author buat di sini Mint Eye sebagai organisasi yang bener-bener ekstrim dan kudu diwaspadain. Misalnya dengan beberapa cerita di fic sebelumnya.

Sooo... enjoy~..

...

-c.a.p...s.h.e.e.t-

...


Pemudi itu berjalan sendirian menyusuri jalanan sepi di pertengahan Bulan April. Teduh pepohonan di kiri dan kanan trotoar melindunginya dari sengat matahari sore. Tidak ada yang menjadi saksi, tapi ia selalu menyusuri jalan tersebut di waktu yang sama selama hampir seminggu ini. Dengan sekantung kresek putih di tangan kanan dan langkah yang santai, meter demi meter ditempuhnya tanpa mengeluh.

'Ini kewajibanku. Tanggung jawabku.' Ia yakinkan itu terus menerus. Ia tahu apa yang dilakukannya baik, walau tidak maksimal.

Langkahnya masih dalam tempo sama ketika kedua matanya menyaksikan kumpulan bocah sekaligus remaja awal di kejauhan. Semilir, ia pun mendengar suara tinggi anak-anak kucing yang saling menyahut satu sama lain. Awalnya ia tertegun, lalu terenyuh saat menyadari bahwa kumpulan manusia itu tengah bermain dengan para anak kucing. Berniat mengadopsinya mungkin?

'Syukurlah. Akhirnya ada yang peduli.'

Empat. Tiga kuning dan satu abu-abu. Ia ingat betul bagaimana wajah-wajah mungil itu meminta belas kasihannya beberapa hari silam di pinggir jalan yang sepi. Memang sepi, namun kerap dilewati mobil-mobil besar dan tidak akan ada yang peduli untuk turun, lalu memindahkan anak-anak kucing itu jikalau mereka bermain ke tengah jalan. Karung lusuh di dekat mereka berempat membuatnya berpikir bahwa ada seseorang yang sengaja meninggalkan makhluk-makhluk mungil ini di sana. Entah untuk ditemukan dan diadopsi atau untuk mati.

Di bawah pohon besar penuh semak dan berpagar jeruri itulah akhirnya ia menyimpan mereka. Setelah mendapatkan hasil tidak mungkin bahwa penghuni rumah enggan menerima satupun dari makhluk mungil tersebut. Di sana akan aman. Tidak ada kendaraan, mereka berempat dapat bersembunyi sekaligus bermain di semak, dan jika beruntung, seseorang yang baik hati akan menemukan mereka untuk dibawa pulang ke rumah yang hangat.

Benar.

Sebelum pergi dari sana, ia memotret empat kucing tersebut dan mempostingnya di social media.

'Baru saja lewat dan menemukan empat anak kucing. Lokasi di sebuah taman Jalan XX, di bawah pohon besar. Mohon bantuan. Aku tidak bisa membawanya ke rumah karena tidak ada yang menyukai kucing.'

Ia bahkan menyertakan peta dan foto situasi sekitar. Tidak lupa tagar-tagar dan mention pada rescuer-rescuer hewan kaki empat yang ia ikuti selama ini. Besar harapannya agar cara ini efektif.

Kemudian ia menumpahkan sepotong besar wetfood kitten di dekat para kucing tersebut. Tidak lupa pula wadah yang kemudian diisinya dengan air mineral dan diletakkan tidak jauh dari sana.

"Aku akan kembali lagi besok. Kalian jaga diri, ya? Jangan main jauh dari sini. Aku akan datang lagi besok dan membawa makanan." Ia menatap kucing-kucing itu yang terus mengeong. Seolah mereka mengerti dan memohon agar gadis itu tidak meninggalkan mereka sendirian di luar sini. Tentu gadis itu ingin sekali melakukannya, jujur. Ia ingin sekali membawa keempat malaikat itu pulang dan mengasuh mereka semua hingga dewasa. Tapi ia bisa apa?

Dengan berat hati, ia berbalik dan berjalan menjauhi tempat itu. Jeritan tangis para kucing terus membayanginya. Sebisa mungkin sang gadis menguatkan hati agar tidak kembali menengok ke belakang. Ia berjanji dalam hati bahwa ia akan terus kembali. Ia pun memohon pada siapapun : angin, pohon, rumah-rumah besar, jalan, matahari, alam, Tuhan?

'Tolong jaga mereka. Jangan biarkan mereka mati,' bisiknya lirih. Mungkin pada Tuhannya Yang Maha Pengasih.

Untuk satu detak jantung, gadis itu merasa tenteram. Hatinya lega mengetahui bahwa para malaikat itu tidak akan lagi merasakan dinginnya alam. Dan usahanya selama seminggu ini tidak sia-sia. Namun…

Harapannya terlalu banyak.

Terlalu besar.

Untuk dijatuhkan dan dihancurkan.

Di depan matanya, ia melihat pemandangan paling tak terampuni dan tak tertahankan. Tangan-tangan jahat tidak mengenal ampun untuk berlaku lembut pada bulu-bulu kuning. Semua telinga tidak ada yang sudi untuk mendengarkan tangis serta jeritan pilu permintaan ampun. Kaki-kaki mereka tidak kalah jahat menendang, menginjak. Sorak sorai menggema di jalanan yang sepi, terutama ketika satu anak besar berhasil melembutkan kepala si abu dengan tangan telanjangnya sendiri. Tawa puas riuh menggema di kawasan sepi tersebut. Bercak merah mewarnai jalannya yang kerap ditaburi buah pinus. Kemudian anak-anak itu pergi. Puas telah bermain

Lewat pukul enam, pintu rumah tradisional itu digeser. Dengan langkah malas, ia semakin dalam memasuki rumah yang penuh dengan suara berat ayahnya. Lagi, moodnya memburuk. Kali ini sang ayah yang notabene seorang dosen itu tengah memarahi adik laki-laki satu-satunya di ruang keluarga. Sang ibu duduk di samping adiknya yang menunduk sambil terus mengelus punggungnya. Gadis itu peduli, tapi ia malas bertengkar dengan sang dosen. Ia memilih melewati ruangan tersebut untuk menuju dapur dan meminum sesuatu yang segar dari dalam kulkas. Toh masalah yang dibahas tidak akan jauh dari masalah nilai si adik.

"Jihoon. Anak sulung Hae In itu. Berapa IPKnya?" tanya sang ayah kepada ibu dengan nada tinggi sekaligus menyindir.

Ibu tidak menjawab, tapi memberikan tatapan tajam yang meminta agar suaminya berhenti bersikap demikian.

Mungkin tak peduli, kepala keluarga itu melanjutkan ocehannya. Cukup keras hingga terdengar sampai ke dapur. "Kau terlalu banyak bermain game! Contoh kakakmu! IPKnya besar! Ia tidak akan sulit menemukan pekerjaan!"

Gadis itu sudah selesai minum dari gelasnya.

Berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam itu si adik meringkuk lemah di atas ranjang. Kamar sudah gelap ketika secercah cahaya semakin lebar mewarnai ruangan tersebut. Ia yang belum tertidur terperanjat bangkit dan menengok ke arah pintu. Satu-satunya kakak perempuan berdiri di sana.

"Belum tidur?" Hanya gelengan tanpa kata. Si kakak masuk dan duduk di ranjang. Dalam gelap, ia melihat wajah lemas si adik yang habis dimarahi, disindir, dan dimaki sepanjang malam. "Jangan dengarkan kata-kata ayah. IPK tidak ada artinya."

"Tidak usah menghibur. Kau enak. IPKmu besar. Kau pintar."

"Kau yang pintar. IQ-mu lebih besar dariku. Kau juga bermain game, jadi pasti kau yang lebih pintar." Si adik tidak menjawab. Ia masih yakin kakaknya hanya berusaha menghibur. Padahal, lebih daripada itu. "IPK tidak ada artinya. IPK tidak menjamin kau bekerja di mana sekarang. Ia mengatakannya karena ia seorang dosen. Kau tahu bagaimana orang tua kita." Gadis itu terdiam dan si adik tampak tidak lebih baik. Sang kakak sangat mencintai adiknya tersebut. Walau tidak menjadi sasaran kemarahan sang ayah, ia dapat memahami perasaan si adik dan menyimpan amarah besar terhadap beliau.

"… Bagaimana kabar mereka?"

"Hnn?"

"Kucing-kucing itu?" tanya si adik demi mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau lagi membahas kedua orang tua mereka yang terlampau konservatif. Topik yang menurutnya tepat saat itu adalah mengenai kegiatan si kakak selama beberapa hari terakhir. Ia belum menyadari keputusan yang salah ini.

"… Mati."

Mata si adik melebar. "… Semuanya?"

Si kakak mengangguk.

Barulah si adik menyadari kekeliruannya. "… Para makhluk malang. Itu bukan kesalahanmu. Kau sudah berusaha sebaik mungkin. Itu salah orang yang membuang mereka sebelumnya."

Si kakak menahan air mata. Tidak. Ia tidak berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan anak-anak kucing itu. Ia ada di sana ketika kucing terakhir diperlakukan seperti bola sepak oleh para manusia kurang ajar. Apa yang ia lakukan? Hanya diam dan menyaksikan, lalu mengubur mereka semua begitu para laknat itu telah pergi. Ia tidak melakukan apapun untuk menyelamatkan mereka, bahkan ketika ada kesempatan. Jika saja adiknya tersebut mengetahui bagaimana kucing-kucing itu meninggal, maka…

"Seharusnya kau memposting foto-foto kucing tersebut di Picstagram. Mungkin-."

"Tidak ada." Sang kakak memotong sambil gemetar. "Aku sudah melakukannya. Aku sudah mempostingnya begitu aku menemukan mereka. Bahkan sudah dilengkapi peta, deskripsi jelas. Sejak aku menyimpan mereka di taman itu, hingga hari ini -duduk di sini-, tidak ada satu pun yang merespon. Bahkan yang merepost pun tidak ada."

Lawan bicaranya terdiam, menelan ludah. Ia tahu kakaknya sedang sedih, marah, kecewa. Ia takut, tapi rasa itu datang bersama kecemburuan. Kakaknya selalu melakukan apapun yang tidak pernah ia lakukan. Atau yang takut untuk ia lakukan.

"Kau hebat, kak. Kau pintar dan kau sangat berani. Jika aku jadi kau, aku akan pura-pura tidak melihat kucing-kucing itu dan tetap meninggalkan mereka di sana. Karena aku takut. Aku tahu ibu akan langsung menolaknya. Tapi kau tidak. Kau membawa mereka kemari. Tidak takut pada ibu dan ayah. Setidaknya kau berani berusaha dan bertindak. Waktu mereka menyuruhmu membuang mereka, kau tidak lepas tangan begitu saja. Setiap sore kau datang ke taman dan memberi makan kucing-kucing itu. Tidak seperti aku yang pengecut. Aku bahkan tidak bisa menyenangkan hati ayah." Sang adik mulai menangis. Air matanya menetes diimbangi suara sesak yang tipis.

Kakaknya yang melihat itu segera memeluk si adik dan mengelus punggungnya. Walau si adik lebih tinggi, punggungnya serapuh anak kucing. "Jangan menangis." Matanya kosong. Gelap, penuh dendam. "Kita lihat saja. Suatu hari nanti, mereka akan mengerti. Aku janji."

Obor-obor jarang membara dalam gelap, menjadikan setidaknya ruangan itu bernuansa remang-remang. Bau lembab, metal, dan minyak tidak lekas menyurutkan nafsu makan. Pisau dan garpu terus berdenting beradu dengan piring. Kunyahan yang lahap memperlihatkan bahwa selera makan dapat muncul di manapun. Bahkan di tempat seperti ini.

Begitu piring telah kosong, ia menekan bel yang suaranya menggema nyaring. Tiga detak jantung kemudian, seorang perempuan muda keluar dari zona lain ruangan yang lebih gelap. Di tangannya ia membawa sebuah nampan berisikan dome logam yang lumayan besar. Pakaiannya putih berlapiskan apron berwarna tosca gelap. rambutnya rapi terkuncir dengan seulas senyum terukir di kulit putih kekuningan wajahnya.

Hidung Militan Hijau bisa mencium semilir aroma segar jeruk dan coklat lezat ketika perempuan tersebut menaruh dome besar di hadapannya. Sebagai gantinya, piring kosong di atas meja akan dibawa kembali menggunakan nampan barusan. "Apa dessert untuk malam ini?"

"Puding. Chocorange."

Pria itu berdecak. "Tidak lagi."

"Ia menyukainya. Sudahlah."

"Yah. Apapun." Pria berjubah hijau mengedikkan bahu dan membuka dome di hadapannya. Si perempuan masih berdiri di tempatnya ketika Militan Hijau mulai menyantap hidangan baru tersebut. Beberapa detik mengunyah, ia mengangguk mantap dan melihat ujung bibir si perempuan tertarik. "Bagus. Enak sekali."

"Syukurlah. Seleramu sulit dipuaskan."

"Sulit? Kukira kau bisa menebak seleraku."

"Ya. Tapi sulit." Pria di hadapannya sudah puas, si perempuan tidak melihat alasan lain untuknya bertahan. "Permisi."

Melewati zona yang lebih gelap sebanyak lima langkah, perempuan itu berhadapan dengan beberapa kompor menyala yang sedang bekerja. Ada sup mendidih yang segera ia berikan potongan daun bawang, ada kentang rebus yang harus ia pastikan sudah matang atau belum, daging yang masih harus dicincang, dan oven yang baru saja selesai memanaskan makanan. Ia sibuk sekali tanpa kehadiran dua teman seruangannya saat ini.

"Ke mana C103 dan C658?" gema teriak Militan Hijau yang sampai ke dapur.

"Satu mengantar makanan, satu mengambil sayuran."

"Kau sangat sibuk. Dan serius. Biar kuceritakan sesuatu padamu."

Perempuan itu mengangguk, walaupun sang Militan Hijau tidak melihatnya.

"Pernah suatu hari, saat kami pergi berperang, pos kami berada di daerah yang gersang. Bukit-bukitnya curam dan matahari sepertinya ada tiga. Kami semua setuju bahwa kondisi itu sangat tidak menyenangkan. Kau tahu bahwa di dalam perang, menang saja tidaklah cukup? Selamat pun tidak kalah pentingnya. Apa gunanya menang jika tak selamat, hmm? Juga, setiap laki-laki harus dapat bertahan hidup di manapun ia berada."

Perempuan itu masih sibuk bekerja sambil mendengar.

"Yang terburuk dari menjadi seorang prajurit bagiku adalah bukan kematian, tapi ketika harus menunggu perintah di medan perang. Iklim yang ganas, tidak ada makanan. Tidak tahu apakah kematian akan datang hari ini atau besok : karena musuh, kelaparan, kedinginan atau dehidrasi, kehausan, atau memang harus demikian. Tidak ada kabar seminggu, sebulan, setahun, lama sekali sampai aku berpikir bahwa kami telah dilupakan, dibiarkan meninggal satu per satu begitu saja. Tidak ada kabar, ransum, semuanya menyerah dengan mudah pada kondisi seperti itu. Ketika satu per satu teman kami mati, kami tidak menguburkan mereka. Kami memakan mereka. Suka tidak suka, mentah atau matang. Keinginan bertahan hidup adalah motivasinya, tapi lapar dapat mengalahkan segalanya.

Kau tahu bagian terlucunya?

Saat aku berhasil bertahan dan pulang dalam keadaan selamat, banyak orang bersorak padaku. Memberiku bunga, melagukanku sebagai pahlawan, keluarga dan pacarku sangat bangga padaku." Militan Hijau menyengir. "Tidak hanya aku saja. Jarang dari mereka semua yang tahu bahwa yang kembali itu adalah monster. Seolah mereka menyelamatiku untuk itu. Hehehe. Monster." Militan Hijau mengunyah makanannya lagi. Piring itu sudah kosong sekarang.

"Semua orang memiliki monster dalam dirinya masing-masing," tanggap si perempuan. Ia kembali ke hadapan si Militan Hijau dengan hidangan baru dan mengambil piring kosong di meja.

"Benar. Tapi monster seperti apa? Yang menyantap daging manusia? Tidak semuanya."

Lagi, ujung bibir perempuan itu tertarik.

"Oh. Jangan sup dulu. Bawakan aku menu terbaiknya. Lalu dessert. Puding pun tidak masalah."

Perempuan itu kembali setelah beberapa menit. Dome besar lagi-lagi dibawanya untuk disajikan di atas meja makan kayu besar. Saat dibuka, aroma amis yang segar menyeruak dan membuat sang calon penyantap merasa diberkahi. Tidak menunggu, ia segera meraih pisau dan garpunya, lalu melahap daging mentah itu dengan cepat.

Si perempuan memperhatikan dari sebrang meja. Sesekali matanya melihat ke arah piring, lalu ke penyantap.

Masih puas dengan kudapannya, pria bertudung hijau bertanya tanpa berhenti mengunyah. "Katakan padaku." Ia menelan. "Bagaimana rasanya menyajikan daging mereka di atas piring seperti ini? Setelah bertahun-bertahun meniatkannya?"

Senyum si lawan bicara sungguh lebar. Ia mengingat semua momen menghadap setiap orang yang terikat membuka di dapur. Ia tidak melihat manusia yang tak berdaya. Mereka semua adalah anak-anak kecil atau remaja akhir yang dulu menyiksa kucing-kucing mungil itu satu per satu. Kengerian yang timbul dari mata-mata dewasa mereka saat melihat berbagai macam alat tajam di tangannya tidaklah sesedih tatapan kucing-kucing mungil yang dulu. Gema jeritan minta ampun dari mulut mereka yang terlilit lakban tidaklah senyayat kucing-kucing tersebut. Air mata yang keluar dari mereka tidak setulus makhluk tak berdosa itu. Dan ketika berbagai jenis pisaunya menyayat daging mereka sedikit demi sedikit, hal itu sepertinya tidak seberapa jika dibandingkan dengan semua penderitaan yang para kucing alami. Setidaknya, ia menyuntikkan sedikit obas bius pada mereka agar lumpuh. Ini pun demi alasan profesional. Kepanikan dapat membuat rasa daging menjadi sangat buruk.

"Seperti keadilan," jawabnya.


Hari kedua…

Vanderwood sedang mencuci piring saat aku menuruni tangga. Tidurku lelap sekali sampai aku bangun sesiang ini. Jujur saja, awalnya sangat sulit untuk tidur semalam. Rasa gugup berada di tempat baru, pikiran mengenai Seven, dan kabar dari Minhyuk-oppa soal Jaehee-eonni membuatku akhirnya tidur di atas jam 2 pagi. Aku pun tidak sadar telah terlelap begitu saja. Ketika mataku terbuka, matahari sudah bersinar sangat terang dan aku tahu, ini sudah lewat jam 7 pagi.

"Sudah bangun, non? Kau pasti lelah sekali."

Jam menunjukkan pukul 8 pagi. Mungkin karena baru saja terbangun, aku merasa kalimatnya seperti sindiran terhadapku. Haneul yang tidak melakukan apa-apa kemarin, tapi bangun paling siang hari ini.

"Aku sudah menyiapkan sarapanmu di meja. Seharusnya masih hangat. Aku harap kau suka roti bakar mentega dan bertabur gula pasir. Krim supnya, mungkin tidak enak. Tapi ya… itulah masakan dari negaraku."

"… Perlu kubantu sesuatu?" tanyaku tidak enak.

"Sesuatu? Hmmm…." Tangannya masih sibuk membasuh piring-piring. "Tidak ada. Semuanya sudah kukerjakan."

Rasa tidak enakku semakin bertambah. Pada akhirnya, aku duduk di meja makan dan melihat menu makanan yang Vanderwood klaim sebagai punyaku. Wanginya yang sedap membuat perut dan kerongkonganku memelas. Ketika aku hanya melihat satu porsi roti dan sup krim ini…

"Seven, apa dia sudah sarapan?"

"Hmm? Oh." Vanderwood tidak menengok. "Ya. Sudah. Ia menghabiskan semuanya dalam satu menit. Mungkin efek sejak semalam. Ia hanya menyantap satu suap dan kembali bekerja."

Dari meja, aku melangkahkan kakiku menuju pagar. Kulihat Seven yang masih berhadapan dengan komputernya. Ia tidak melakukan apapun selain menatap monitor lekat-lekat. Dari sini, bisa kulihat tubuhnya menegang dengan kuat.

Belumkah ia beranjak dari sana?

Sedetik berpikir demikian, ia membalikkan tubuh dan sempat melihat ke arahku. Aku yang tak menyangka tidak seketika tersenyum atau menyapa. Ia sudah membalikkan diri lagi sebelum aku melakukannya. Tatapan dan sikapnya begitu dingin. Sama seperti kemarin dan tidak kunjung mencair.

Kalian tahu?

Aku benar-benar merasa asing di sini.


Menjelang tengah hari, kondisi Jaehee belum juga membaik. Minhyuk yang duduk di sampingnya sejak pagi dapat bersaksi atas itu. Sejak semalam, ia lebih banyak menghabiskan waktu di tempatnya sekarang. Kafe dan rumah hanya jadi persinggahan untuk melihat keadaan, selanjutnya hanya Jaehee yang ia pikirkan. Ia tidak tega meninggalkan perempuan malang itu sendirian.

TOK TOK TOK

Minhyuk menoleh.

Zen berdiri di ambang pintu sambil menggenggam seikat mawar merah. Sempat ada tertegun dalam hatinya sebelum digantikan rasa lega. "Halo."

Terik tengah hari begitu menghangatkan bagi Minhyuk. Berjam-jam di ruangan berAC membuatnya kaku dan mengerut. Sinar matahari membuatnya merasa hidup kembali. Sementara itu, Zen menikmati sepoi angin di balkon kamar rumah sakit ini. Di tengah-tengah waktu padatnya, ia sempatkan diri untuk datang kemari secepat mungkin. Lari selama beberapa menit adalah hal yang dilakukannya sebelum dan setelah naik bis.

"Syukurlah ada yang menjaganya. Aku mewakili RFA sangat berterima kasih padamu. Beberapa dari kami belum bisa menjenguknya sekarang." Zen memulai pembicaraan.

"Tidak perlu berterima kasih. Itu kewajibanku menolongnya," balas Minhyuk dengan senyum ramah.

"Chatroom ricuh tengah malam tadi. Yah, sepertinya baru aku saja yang dapat menjenguknya saat ini. Sisanya pasti akan menyusul. Bagaimana kejadiannya? Apa kata dokter?"

"Kejadiannya sangat cepat. Awalnya ia datang ke kelasku, bercerita mengenai kedai kopi, lalu saat hendak kembali ke kantornya, ia mendadak pingsan. Dokter bilang ia kelelahan."

"Tch. Sudah kuduga." Hyun mengepal tangan. "Jaehee bekerja terlalu keras. Si brengsek itu yang membuatnya demikian!"

Minhyuk diam saja.

"Proyek kedai kopi, kucing, dan seantero tugas lainnya. Ia pikir Jaehee itu robot, apa? Bos keparat itu benar-benar kurang ajar!"

"Nona Kang sudah diberhentikan dari proyek kedai kopi itu. Kucingnya pun berada di rumahku. Kemarin saat datang menemuiku ia sepertinya sangat tertekan. Dan sedih atas pemberhentian dirinya dari proyek kedai kopi. Ia sangat mencintai proyek itu."

Kedua mata Zen melebar telak. Ia baru mengerti. Kemarin saat mengunjungi Catastrofee, Jaehee tidak ada di sana. Lalu ia putuskan untuk pergi ke tower, khawatir terjadi sesuatu pada wanita itu. Jaehee berada di sana, sempat menemuinya, dan meneteskan air mata. Pikirannya hanya berkutat pada alasan kelelahan dan ingin beristirahat. Namun ternyata jauh lebih dalam.

Kepalan tangan Zen menguat. Ia mengerti betul bagaimana rasanya dipisahkan dari sesuatu yang sangat dicintai. "Jumin baru login pagi tadi. Katanya ia akan mengusahakan segera pulang ke sini. Aku harap ia serius." Zen melirik Minhyuk dan sempat ragu sebelum kembali bicara. "Kau orang baik. Seharusnya Jaehee memiliki bos sepertimu."

Bibir Lee tersungging malu. "Ah, aku tidak akan sanggup membayar gaji Nona Kang. Kedai kopiku hanya sebesar ujung jalan."

"Kau terlalu merendah, bung." Aktor tampan itu terdiam sebentar. "Euhm… maaf. Apa kau dan Jaehee… hmmm…" Zen berusaha menjelaskan menggunakan gestur selama beberapa detik.

Mata Minhyuk sebesar pisin saat mengerti. "Bu.. Bukan..!" potongnya gugup. Seketika ia berubah salting.

Zen selalu bangga akan intuisinya. Dan ia mencium sesuatu yang positif dari lelaki ini. "Tapi kau menyukainya."

Minhyuk masih berusaha untuk tetap tenang. Ingin menyangkal, tapi ia lebih yakin gesturnya sudah menceritakan banyak hal. Pada akhirnya, ia mengangguk rendah.

"Hwooo~… Kita ini sesama laki-laki. Kau tidak perlu merasa sungkan. Sudah kau katakan padanya?"

Decak singkat terdengar sebelum matahari meronakan pipi Lee. "Sudah kucoba."

"Dan?"

"Ia pergi. Kabur? Entahlah. Ia lari ke luar rumahku begitu saja. Cepat sekali. Saat kukejar, ia sudah menghentikan taksi dan menaikkinya. Kukira jawabannya adalah tidak."

"Jika itu jawabannya, ia tidak akan datang dan curhat padamu semalam. Jaehee mungkin perlu waktu untuk memikirkannya."

"Ya. Mungkin."

Euphoria istirahat makan siang dirasakan pula oleh mereka yang masih menghuni balkon ditemani semilir angin. Riuh suara yang samar seakan lenyap sedikit demi sedikit dan hati Zen dirasakan semakin lapang. Semakin hampa.

"Aku juga menyukai seseorang. Kau beruntung karena Jaehee belum menolakmu." Minhyuk menoleh, tertarik. "Kau mengenalnya. Gadis ini. Apa.. dia pernah bercerita tentangku atau membicarakanku padamu?" Senyum getir melengkung.

Lagi, ia mengerti maksud Zen, dan menjawab. "Ah... Ya. Tentu saja. Ia pernah memintaku memilihkan gaun untuknya pergi ke sebuah pesta. Pesta yang juga kau hadiri. Ia sangat senang waktu kau mengajaknya pergi."

"Ya. Aku melakukannya. Ia sangat manis. Aku ingin sekali melindunginya."

"Ya. Aku paham maksudmu." Minhyuk menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya. "Haneul, ia sangat menyukaimu, kau tahu?"

Musim semi datang di hati Zen. Lalu lenyap begitu saja digantikan musim gugur. "Ya. Ia memang pernah begitu."

Minhyuk melongo heran. "… Pernah?"

Bibir Zen seolah dilapisi obat saat dijilatnya sebelum mengangguk. Ada getir di matanya yang enggan ia bagi dengan Minhyuk. "Ya. Pernah."


"Hei, non. Apa kau tahu cara membuat Kotayaki?"

Mataku memicing mencoba memahami maksud Vanderwood. Kegiatanku mencuci ikan terhenti sejenak. "… Kotayaki?"

"Ya. Cemilan bola-bola tepung yang diisi gurita itu."

"Takoyaki, Vanderwood."

Suara itu…

Aku menoleh ke belakang namun Seven sudah menaikki tangga. Ia melewati kami dengan cepat dan menghilang segera setelah menapaki tangga demi tangga. Walaupun hanya begitu, aku merasa senang melihatnya rehat dari depan monitor. Akhirnya ia berbaur bersama kami!

"Seven-." Vanderwood menahanku yang berniat menyusulnya. Ia menggeleng untuk semakin mengikatku di sini.

Seven terlihat lagi. Kali ini ia menuruni tangga dengan cepat bersama seperti perlengkapan yang cukup besar.

"Ah.. benar. Takoyaki namanya," Vanderwood bicara agak kencang. Tatapannya lurus ke depan dan tidak bersuara. Yang ada hanya suara berisik dari dalam peti besar itu akibat guncangan. Tidak ada sapaan saat dirinya lewat, seolah aku dan Vanderwood tidak ada di sini. "Kau mau Takoyaki, Agen 707?"

Ia tidak menjawabnya dan kembali lagi ke depan monitor. Setelah memasang headset, Seven melakukan sesuatu dengan peralatan yang baru saja dibawanya turun. Pada detik ini aku benar-benar merasa ia mengabaikanku. Apa ia tidak senang karena aku berada di sini?

"Non, apa ikannya sudah siap?"

Pertanyaan Vanderwood menyadarkanku. "Eh? S-sebentar lagi."

Aku kembali melanjutkan tugas sementara Vanderwood menyiapkan bahan lainnya. "Hhh~… Dasar bocah aneh. Biasanya ia akan menggonggong kalau aku menawarinya Kotayaki. Yah.. walaupun aku tahu ia menyukainya bukan karena masakanku, tapi karena missie yang membuatnya. Hhh~… aku pun merindukannya. Terutama Katoyaki buatannya."

"Takoyaki," gumamku tidak sadar.

"Ya. Apapun itu namanya." Vanderwood merasa tersinggung. "Mengapa Asia punya nama-nama aneh untuk makanannya?"

Tidak. Bukan itu.

Aku tidak meralat kata-kata Vanderwood. Takoyaki bukanlah makanan umum di Korea. "… Missie…?"

Mata coklat Vandy menatapku sejenak. "… Missie? Oh. Dia perempuan pirang yang pernah kemari. Dia bukan kaukasia, tapi kurasa ia mengecat rambutnya. Agen 707 memanggilnya 'noona'. Itu… dia istri orang kaya-."

"Suzuya-eonni?"

"YA! ITU DIA! Aku lebih senang memanggilnya Missie. Kau tahu? Karena rambut pirangnya. Selama ia berada di sini, ia yang memasak untuk kami berdua. Tuhan tahu bagaimana lahapnya Si Jahe saat Missie berada di sini. Kotoyaki adalah favoritku. Kupikir rasanya akan manis, tapi ternyata tidak. Satu hal lagi, dengannya aku dapat menggunakan Bahasa Inggris. Oh, syukurlah pada akhirnya aku bertemu seseorang yang dapat menggunakan Bahasa Inggris secara normal! Dengan Agen 707?" Vanderwood menggeleng.

Aku tidak tahu alasannya, tapi aku merasa sedikit tidak nyaman. Suzuya-eonni… Mengapa aku tidak suka mendengarnya?

Jerman?

Rusia?

Perancis?

Suara Seven begitu kencang hingga sampai ke tempat kami. Sudah berapa lama sejak ia bicara menggunakan bahasa asing tersebut? Kudengar pada satu menit ia bernada sopan, kemudian cemas, lalu marah, kembali lagi ke mode sopan, lalu naik lagi, stabil, namun tidak lama. Tanpa terasa karena terus memperhatikannya selagi menyuapi diri, sup kedelai di mangkukku sudah habis.

"Itu Bahasa Belanda. Jika kau penasaran." Vanderwood berkata sambil mengunyah roti keras dan meminum sup kedelai.

'Bagaimana ia tahu?'

"Masalah proyek. Agen 707 komplain soal alat yang dibelinya. Lalu ia minta semacam kerjasama. Juga dengan ancaman kalau permintaannya tidak dituruti."

Jantungku berdebar kencang mendengarnya. "… Apa harus begitu?"

"Dalam kehidupan kami itu hal yang normal. Tidak ada hal baik yang datang jika kau bersikap baik. Kebalikan dunia normal. Kau harus lebih tangguh, lebih keras bahkan untuk mendapatkan hal kecil. Apapun caranya agar tugas kami selesai. Toh jika tidak, pihak sana yang akan memanfaatkanmu. Mereka tidak akan peduli kau mati atau tidak. Dan sebaiknya kita pun tidak peduli pada mereka."

Menelan ludah seperti menelan asam rasanya. "Tapi bagaimana jika pihak sana yang lebih kuat dan terjadi sesuatu pada Seven?"

"Apa kau bertuhan, non?"

Aku menggeleng.

"Aku juga. Jadi, hanya ada berusaha sebaik mungkin. Ia, Agen 707, tahu apa yang dihadapinya. Setiap orang yang masuk ke dunia ini paham risikonya.

Apa kau tahu berapa jumlah uang yang kami hasilkan hanya dari tugas memata-matai selama 1 detik? Kau akan bingung mengapa ada orang yang sanggup membayar satu negara bekerja untuknya selama sebulan namun memilih menghabiskannya untuk membayar lima puluh orang dari kami. Dengan uang itu, kau bisa membeli rumah yang bagus.

Bukannya kami menyembah uang. Tapi uang yang kami dapatkan cukup untuk membuat kami bersenang-senang sebelum…. Yah, kau tahu."

"Apa kalian punya waktu untuk berlibur?"

"Yup. Tapi jika diperlukan, harus segera kembali."

"Apa Seven selalu sibuk seperti ini?"

"Dia? Tidak." Mr. V merobek sebongkah roti lagi untuk dicelupkan ke dalam sup. "Ada saatnya ia bersantai. Seperti tidur selama hampir 24 jam, bermalas-malasan seminggu tanpa melakukan apapun, jalan-jalan ke luar negeri, bahkan ia pernah bicara ingin berlibur ke bulan. Itu bisa terjadi."

"Jika Seven sampai sesibuk ini, apa tidak ada orang lain yang membantunya?"

"Agen 707 terpaksa melakukannya sendirian."

"Kenapa?"

"Karena hanya ia sendiri yang tahu cara menyelesaikan misi ini."

Hatiku sakit mendengarnya. Sendirian? Jika saja aku dapat menolongnya, membantunya. Tapi aku tidak bisa apa-apa. Aku benar-benar tidak berguna.

"Jangan khawatir, non. Si Jahe itu jenius. Jika saja ia mengerjakan semua hal ini sejak kemarin, misi itu pasti sudah selesai saat ini. Kesibukkannya sekarang itu akibat dari kebiasaannya menunda pekerjaan. Ia pasti akan baik-baik saja."


Rumah sakit mulai menyepi. Roda-roda dan langkah kaki semakin berkurang. Apapun yang terjadi jauh dari sini, gemanya sampai ke telinga Minhyuk. Ketenangan ini memudahkannya berkonsentrasi pada aktivitasnya membaca buku. Sesuatu tentang Genghis Khan. Bukan hal yang disukainya untuk teman minum kopi, tapi buku itu ada di sana dan sangat membantu dalam menyibukkan imajinasi dan mengurangi rasa bosan. Sesekali ia melirik Nona Kang untuk memastikan apakah perempuan itu sudah terbangun atau belum. Pada lirikan terakhirnya..

TOK TOK TOK

Pintu dibuka oleh pihak luar. Sosok pria kharismatik nan rapi-lah pengetuk pintu tersebut.

"Selamat malam," salamnya pada Minhyuk.

Minhyuk mengangguk pelan sebelum berdiri dari kursinya. Mata itu mengikuti gerak si pria kharismatik yang sedikit demi sedikit memasuki kamar dan mendekati ranjang. Mata abu kebiruan pria tersebut tidak berkedip memandangi Nona Kang yang masih terbaring lemah. Ia terlihat penasaran sekaligus tidak percaya.

Tanpa pria kharismatik itu sadari, Minhyuk masih memperhatikannya. Tidak ada kedipan atau rasa penasaran. Lee kenal siapa pria ini. Satu Negara Korea Selatan tahu siapa pria ini.

Dengan langkah yang ringan, pria kharismatik itu menghampiri Minhyuk. Ekspresinya terlalu netral untuk seseorang yang baru saja menjenguk seorang kolega di rumah sakit. "Maaf. Jika boleh saya tahu, siapa anda?"

Minhyuk masih menatap penerus grup terbesar di depannya ini. Lidahnya dinamis setelah meneguk ludah. "Lee Min Hyuk, teman dari Kang Jaehee."

"Teman? K-." Jumin terhenti sejenak. "… Kau pemilik kedai kopi itu."

Senyum sosial Minhyuk tidak pernah sesingkat ini. "Ya. Itu benar. Dan kau adalah atasan dari Nona Kang, Jumin Han."

"Ya. Itu benar." Sebagai seseorang yang formal, jabat tangan adalah hal yang selalu Jumin lakukan di setiap kali perkenalan. Sebagai seseorang yang ramah, Minhyuk tidak pernah menunda ajakan akrab seperti itu. "Salam kenal."

"Tentu," balas Lee dengan sedikit remasan.

"Kau sangat baik, Tuan Lee. Bersedia menyempatkan diri menemaninya pada jam seperti ini."

"Ada orang yang dapat kupercaya untuk mengelola kafe selama tidak berada di sana. Kau pun mempercayakan beberapa hal pada Nona Kang selama berbulan madu, benar?"

"Seorang asisten? Ah, aku mengerti."

Minhyuk tidak bermaksud demikian. Tapi biarlah orang kaya ini menganggapnya apa. Ia lebih menunggu pertanyaan itu. Pertanyaan yang telah diajukan oleh Zen.

"Ia kelelahan."

Jumin yang tadinya sedang menjudge buket mawar merah dalam vas menatap Minhyuk. "… Maaf?"

"Dokter bilang ia kelelahan. Dan kini dalam masa penyembuhan."

"Ah, ya. Perusahaan sedang hektik akhir-akhir ini. Banyak proyek baru dari berbagai divisi dan Nona Kang sangat maksimal dalam menyelesaikan pekerjaannya," balas Jumin santai.

Sangat tipis dalam menunjukkannya, tapi Minhyuk benar-benar tidak habis pikir. Apa Jumin sungguh tidak merasakan sedikitpun sindiran yang dilontarkan olehnya? Alih-alih tersindir, ia kembali menjudge pajangan bunga yang kurang cocok itu di dalam hati.

"Ya. Aku bisa melihatnya. Pekerja keras, dapat diandalkan. Kau sangat beruntung mendapatkan karyawati sepertinya."

"Benar. Dia yang terbaik selama ini." Jumin melihat ke arah mawar itu lagi. "Apa kau yang menyimpan mawar itu di dalam vas?"

Minhyuk tidak menjawab, tapi mengatakan hal lain. "Aku mengerti ia bekerja padamu dan itulah alasanmu membayarnya. Ia pun tidak pernah mengeluh soal pekerjaanya, kukira?"

Jumin teralih. Kalimat terakhir membuatnya tertarik. "… Maksudmu?"

Ia menghembuskan nafas sebelum menjawab. "Maksudku, dengan kejadian ini dan kondisinya sekarang, aku harap ini dapat menjadi pelajaran dan membuatmu lebih berhati-hati dalam menugasinya sesuatu."

Ego Jumin tersulut. "Aku yakin kau pasti mengetahui soal kontrak kerja. Bukan begitu, Tuan Lee?"

Minhyuk mengangguk.

"Mereka yang melamar pekerjaan di perusahaanku seharusnya tahu bagaimana ritme dan risiko yang harus mereka tanggung setelah diterima. Di dalam perusahaan kami, semua karyawan diberi imbalan yang pantas untuk pekerjaannya masing-masing. Jika ada perasaan keberatan atas apapun, aku tidak pernah melarang mereka untuk menyampaikannya. Dan jika tidak menyukainya, mereka bisa pergi. Anda pun seorang pengusaha, Tuan Lee. Anda pasti mengerti."

"Apa ada karyawan yang pernah menyampaikan perasaannya padamu, Tuan Han?"

"Tidak ada. Mereka semua profesional."

"Begitu juga dengan karyawanku. Mereka tidak akan menyampaikan apapun, apalagi rasa keberatan. Kita yang membayar mereka dan kita pun dapat memutuskan itu kapan saja."

"Aku membayar semua karyawanku untuk semua pekerjaan dan pikiran mereka. Mereka tahu itu."

"Mereka tahu pasti hal itu. Tapi mereka tidak akan berani. Apa perusahaanmu tidak pernah memecat seseorang, Tuan Han?"

Jumin mengernyitkan dahi.

"Pemecatan karena alasan subjektif pun adalah fakta dan banyak terjadi. Mungkin tidak terjadi di perusahaan anda, tapi di perusahaan lainnya? Dan karena hal itu terjadi dan merupakan cerita umum, tidak aneh bukan jika karyawan anda sendiri pun jadi merasa takut?"

"Maksudmu… Asisten Kang takut menyatakan pendapatnya kepadaku?" Han muda merasa ragu. Jaehee yang ia kenal selalu memberi saran dan solusi yang bagus. Ia ingat momen Jaehee menyatakan dasi pilihannya tidak pantas untuk menghadiri sebuah rapat.

"Ya. Aku sangat mengerti masalah kontrak. Dan sebab saya sendiri adalah pengusaha, Tuan Muda Han, saya mengerti benar." Kedua matanya menatap Han tajam, tanpa berkedip, shady apakah untuk mengancam atau mengajarkan sesuatu. "Sudah jadi hukum umum kita membayar dengan murah untuk mendapatkan sesuatu yang mahal atau sepadan. Nona Kang adalah hal yang mahal. Sebagai pengusaha kecil, aku tidak akan sanggup membayarnya. Tidak sepertimu. Apa anda yakin akan mendapatkan yang sama seperti Nona Kang jika anda kehilangannya?"

Jumin Han menoleh ke arah asistennya yang terbaring, kemudian kembali menatap Minhyuk. Tidak sedalam pandangan lawan bicaranya dan ia berusaha mengerti apa yang pemuda itu sampaikan.

"Aku yakin kau mengerti dan mau mempertimbangkannya. Semoga aku salah, tapi ia sangat menantikan liburan itu."

"Tapi Asisten Kang sangat dibutuhkan di kantor. Hanya ia orang yang dapat aku percayai menangani semua hal."

"Ya. Tapi apakah masih berarti jika anda kehilangannya? Mungkin tidak sekarang, tapi suatu hari nanti?"

Jumin terlihat bingung. Mungkin bukan masalah prinsipnya perihal kontrak, tapi bagaimana jika kata-kata Minhyuk benar. Andaikata Jaehee pergi meninggalkannya… ia harus mencari asisten lain. Ia ingat betul bagaimana menyiksanya hal ini.

"Kita punya peran, Tuan Han. Kita pemimpin di mata mereka. Pemimpin yang baik tidak hanya memerintah, tapi juga memanusiakan. Anda pun tidak menyangkal bahwa anda membutuhkan Nona Kang, bukan?" Yang ditanya terdiam untuk membenarkan. "Kalau begitu, buat dirinya membutuhkan anda. Buat dirinya senang bekerja dengan anda. Libur beberapa hari pasti akan membuatnya merasa sangat senang."


Purnama sudah tinggi. Sudah berapa jam berlalu sejak aku berada di sini? Malam ini sangat dingin dan aku tidak bisa tidur sama sekali sekalipun sudah berselimut tebal dan merasa hangat.

Kupikir berjalan-jalan sejenak akan bagus. Menuruni tangga, aku mampir sebentar ke dapur untuk minum. Dari tempatku berada, suara jelas Seven begitu terdengar. Sambil memegang gelas, aku melangkah menuju pagar dan melihat dirinya masih berada di hadapan tujuh monitor menyala. Kali ini aku mendengar dirinya bicara menggunakan Bahasa Inggris. Kecepatan dan nada bicaranya naik turun, berapi-api, hingga ia sampai memukul mejanya dengan keras. Aku terkejut. Ia marah, aku tahu itu. Dan aku benar-benar ingin membantunya. Tapi jika Vanderwood pun tidak bisa membantunya, apalagi aku?

Tanpa kusadari, aku terus berdiri di sini hingga Seven selesai dengan panggilannya. Ia sudah lebih tenang sekarang dan kupikir, aku harus kembali lagi ke kamar. Sudah berkali-kali aku mengajaknya mengobrol, tapi ia tidak pernah menyahut. Aku tidak tahu apa sibuk dengan pekerjaannya atau karena ia memang tidak mau bicara.

Sampai di kamar, aku tidak merasa jauh lebih baik. Malah semakin buruk dengan menyadari betapa tidak bergunanya aku. Tidak bisa memasak seperti Suzuya-eonni, tidak bisa diandalkan seperti Jaehee-eonni, atau mengayomi seperti Rika. Jika saja aku seperti mereka bertiga sedikit saja, Seven pasti sudah sangat terbantu.

Robot kucing yang ada di atas lemari seperti menawarkan diri untuk menghibur. Vanderwood bilang bahwa Seven menciptakan robot itu untukku, tapi belum pernah kumainkan sama sekali. Aku tidak melihat satu pun tombol on/off di manapun. Namun di bagian punggungnya terdapat putaran yang menyerupai kunci. Saat kucoba putar 180 derajat, sebuah tulisan 'halo' muncul pada layar matanya. Seketika, aku dibuat takjub oleh suaranya yang imut.

"Ada apa? Kenapa kau sangat sedih? Tersenyumlah. Ini malam yang indah. Bulan purnama di langit, mawar mekar di halaman." Robot ini banyak bicara, tapi hanya satu pertanyaan di awal lah yang paling menyita perhatianku. Selebihnya tidak lagi kudengar.

"… Jika kau merindukannya, telepon saja dia."

Sarannya itu membuatku terpikir. "…Telepon?"

"Yap. Telepon saja. Dia pasti akan mengangkatnya. Aku tahu."

Seven mungkin tidak mau bicara langsung padaku karena ia sibuk, tapi telepon? Ia dapat bekerja sekaligus bicara denganku sambil melakukannya. Ia juga selalu mengangkat semua telepon yang masuk selama ini. Robot imut ini benar. Mengapa tidak terpikir sejak awal?!

Mungkin aku merasa senang atau gugup, atau keduanya secara bersamaan. Tombol ponsel kutekan dengan cepat dan menempelkannya ke telinga. Tidak sampai selesai nada sambung pertama, panggilan ini dijawab.

"Halo?"

"H-halo, Seven?"