"Ini hasilnya." Seokjin menyerahkan amplop coklat setelah sehari sebelumnya Jimin memeriksakan dirinya. Perlahan jimin membuka amplop tersebut dan membaca isinya. Mata sipitnya membulat seketika dan menatap Seokjin dihadapannya. Seokjin tersenyum manis dan mengangguk.
"Eonni, apa aku benar-benar akan menjadi seorang ibu?"
Seokjin menggenggam kedua tangan Jimin. "Benar Jiminnie. Bahkan kondisimu sangat bagus dan tidak ada gangguan. Benar-benar sehat. Kau mau melakukan USG?"
Jimin mengangguk antusias.
.
"Selamat ulang tahun sayang."
Jungkook yang baru duduk di kursi untuk menikmati sarapan langsung dihadiahi kecupan dari ibunya serta sebuah kue dengan lilin berangka sembilan yang menyala diatasnya. Ayahnya yang baru keluar dari kamar juga menghadiahi kecupan untuknya.
"Selamat ulang tahun."
"Terima kasih eomma, appa. Kookie senang sekali."
Jimin memegang kedua bahu jungkook dan tersenyum. "Ucapkan permintaanmu lalu tiup lilinnya."
"Baik eomma." Jungkook memejamkan matanya cukup lama lalu meniup lilinnya.
"Eomma boleh tau tidak apa permintaan kookie?"
"Kookie mau punya adik."
Sontak Yoongi dan Jimin langsung bertatapan. Yoongi menautkan alisnya saat melihat Jimin tersenyum dan berlalu menuju kamarnya. Jimin kembali dengan sebuah surat dan memberikannya kepada jungkook.
"Eomma hamil? Tapi, kok adik bayinya nggak kelihatan?" Jungkook terlihat bingung dengan USG yang dilihatnya.
"Tentu saja belum kelihatan kookie. Eomma kan baru hamil tiga bulan. Saat eomma cek dua hari yang lalu, eoma rasa ini hadiah yang bagus untuk kookie."
"Jimin, kau tidak memberitahuku?"
"Maaf oppa."
"Adik bayi harus sehat ya?" Jungkook mengusap perut datar Jimin bahkan mengecupnya. Jimin tersenyum. Namun senyuman itu sirna saat Yoongi dengan raut wajah yang sulit diartikan bagi Jimin berlalu begitu saja.
BLAM!
.
Yoongi mengusak frustasi rambutnya. Ia benar-benar bingung dengan pemikirannya sendiri. Bagaimana bisa ia semarah ini saat mendengar kehamilan istrinya? Suami gila mana yang seperti itu? Tentu saja jawabannya adalah dirinya sendiri.
"Bagaimana kalau hal itu terulang lagi? Bagaimana kalau Jimin meninggalkanku? Aku tidak ingin kehilangan lagi. Apa benar Jimin baik-baik saja?" Yoongi bergumam pelan kepada dirinya sendiri.
"Oppa?"
"Pergilah. Aku sedang tidak ingin diganggu." Yoongi masih duduk di ranjang dan membelakangi Jimin.
"Kau tidak senang dengan kehamilanku ya?"
"Aku bilang pergilah. Tinggalkan aku."
"Apa dulu oppa juga seperti ini saat mendengar Jimin hamil?"
"Apa yang kau katakan?"
"Aku hanya bertanya."
"Jika kau bertanya aku senang atau tidak, aku tidak mengerti."
"Tapi sikapmu aneh."
"Jangan sampai aku menyuruhmu untuk menggugurkannya!" Yoongi mencoba menahan suaranya agar tidak meninggi. Namun ia sudah berdiri dan menunjuk ke arah Jimin. Karena tersadar, ia menurunkannya perlahan. Jimin tidak marah. Namun ia tertawa remeh.
"Dua tahun menikah denganmu seharusnya aku ingat. Ternyata kau masih menganggapku dan park jimin itu sama."
"Kau ini bicara apa? Kenapa kau selalu mengatakan hal itu. Harus berapa kali aku mengatakan kalau aku tidak pernah menyamakan kalian."
"Kalau begitu, kenapa kau terlihat ragu dengan kehamilanku?"
"Ah itu-"
"Sudahlah oppa. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan jungkook hari ini."
.
Mereka begitu lelah setelah seharian berada di taman bermain untuk merayakan ulangtahun jungkook. Bukan karena mereka tidak ingin mengadakan pesta, tetapi jungkook sendiri yang memintanya. Kini waktu sudah menunjukkan pukul satu dinihari, tidak ada satupun diantara Jimin dan Yoongi yang tertidur dan terus sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing.
"Jimin!"
"Oppa!"
Mereka sama-sama menghela nafas dalam keadaan yang masih saling membelakangi.
"Kau belum tidur?"
"Belum."
"Kau harus tidur. Fikirkan bayimu. Jangan dirimu saja."
"Ya. Dia memang bayiku. Karena aku sangat menyayanginya dan mengharapkan kehadirannya."
"Apa maksudmu?"
"Tidak ada apa-apa." Jimin memejamkan matanya dan ia benar-benar terlelap setelah itu.
.
"Aku pergi dulu eomma." Jungkook mengecup pipi jimin yang mengantarnya sampai pintu. Jimin mengabaikan yoongi yang biasanya melakukan hal yang sama. Bahkan ia meladeni jungkook yang mengusap perutnya. "Aku bingung harus menyebut diriku eonni atau noona. Kau harus sehat dan bermain denganku." Jimin mengusap rambut jungkook yang mencium perutnya.
"Aku pergi."
"Appa, tidak mencium eomma?"
"Eoh? I-iya." Dengan canggung yoongi hanya mengecup dahi jimin.
.
Jimin tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa sambil sesekali mengusap perutnya dan tersenyum. Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya, ia memasuki kamar dan memasukkan sebagian bajunya ke dalam koper. Jimin berencana akan menginap sampai suasana hatinya membaik.
Baru saja keluar dari kamar sambil mengetik pesan untuk memberi tahu yoongi, pintu apartemen utama mereka terbuka dan menampilkan tubuh yoongi.
"O-oppa?"
"Kau mau kemana?"
"A-aku akan ke rumah eonni."
"Hentikan sifat kekanakanmu!"
"Siapa yang kekanakan? Kau atau aku? Secara tidak langsung kau menyamakanku dengan jimin karena kau meragukan kehamilanku."
"Tapi tidak harus pergi."
"Aku hanya ingin tenang. Aku tidak ingin terjadi hal buruk pada bayiku kalau aku tinggal disini."
"Bagaimana dengan jungkook? Kau bahkan lebih egois."
"Sudahlah! Aku harus pergi. Kau juga harus kembali ke kantor kan?" Jimin mencoba untuk melanjutkan perjalanannya namun tangannya ditahan oleh yoongi.
"Buktikan kepadaku kalau kau memang baik-baik saja. Kita ke tempat jin noona sekarang juga."
"Aku mau ke rumah baekhyun eonni."
"Aku sendiri yang akan mengantarmu jika kau baik-baik saja."
.
Jimin dengan enggan duduk di kursi berdampingan dengan yoongi setelah menjalani pemeriksaan dan mereka berhadapan dengan seokjin.
"Jimin baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda yang membahayakan. Kalau perlu aku akan mempertaruhkan karirku jika hal buruk itu terjadi."
Yoongi mengepalkan tangannya mencoba menerima pernyataan jujur seokjin. Bahkan ia berani mempertaruhkan karirnya yang sudah dibangun selama bertahun-tahun setelah menjalani sumpahnya.
"Baiklah. Aku pegang janjimu noona." Yoongi langsung beranjak dan Jimin menatap punggung yoongi dari kursi yang didudukinya yang menghilang setelah ia menutup pintu.
"Jangan fikirkan hal ini jiminnie. Yoongi hanya takut hal itu terjadi lagi."
"Entahlah eonni. Aku pergi dulu."
.
Sesuai janjinya, Yoongi mengantar jimin ke rumah kakaknya. Tentu saja rumah itu kosong karena baekhyun pasti sudah berada di kantor. Sejak kejadian besar itu terjadi, baekhyun dipindahkan ke kantor mantan mertuanya. Yoongi berada disini pun untuk menyelesaikan urusan bisnis perusahaannya yang ada di amerika yang sudah menjalani hubungan dengan perusahaan tersebut.
"Setelah bayi ini lahir, aku akan berpisah darimu."
Jimin mengatakan itu tepat setelah ia menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang kecil rumah baekhyun. Yoongi ingin sekali marah dan melampiaskannya. Tapi dia tiba-tiba saja ingat kalau orang hamil itu emosinya sulit untuk terkendali. Jadi ia hanya menghela nafas.
"Kau sudah bilang kau akan datang?"
"Belum." Jimin langsung membuka pintu mobil dan kembali menutupnya setelah berada diluar. Yoongi cepat-cepat keluar dan mengambil koper jimin dibagasi.
"Jaga dirimu." Yoongi mencoba tersenyum walaupun jimin mengacuhkannya.
.
"Coklat hangat favoritmu noona. Aku membelinya di cafe langgananmu." Yoongi langsung memberikan cup berisi coklat hangat saat seokjin baru saja duduk disampingnya. Saat ini mereka sedang berada di bangku taman rumah sakit tempat seokjin bekerja.
"Kau tidak bekerja?"
"Tidak. Aku datang atau tidak, itu tidak berpengaruh. Yang penting aku tetap memantau perusahaanku disana."
Seokjin mengangguk dan menyeruput minumannya sesaat. "Jadi apa yang membuatmu datang kesini dan menyogokku dengan minuman ini?"
Yoongi terkekeh.
"Aku takut noona."
"Umurmu sudah kepala tiga tapi masih saja takut."
"Karena umurku aku takut. Aku takut kehilangan lagi."
"Yakk! Aku sudah mempertaruhkan karirku."
"Aku tidak memintanya. Itu resikomu sendiri."
"Menyebalkan!" Seokjin menendang ke samping mengenai kaki yoongi. Mereka saling tertawa sesaat. "Tidak ada yang perlu kau takutkan. Jimin baik-baik saja." Seokjin berkata dengan tetap menatap lurus ke depan.
"Entahlah. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Tapi jimin benar-benar tidak mau melihatku."
"Kau pasti tau kalau ibu hamil memang seperti itu. Emosinya tidak terkendali. Tapi kalau sudah manja, kau pasti menyukainya."
"Aku tidak pernah merasakannya noona. Jimin tidak pernah marah ataupun bermanja-manja denganku. Aku benar-benar merasakan kehadirannya di detik terakhir kehidupannya." Yoongi merasakan nyeri dihatinya. Seokjin yang sudah menganggap yoongi sebagai adiknya sendiri langsung mengusap punggung yoongi.
"Aku mengerti perasaanmu. Hilangkan dan lupakan ketakutanmu. Jimin-mu sekarang berbeda. Hanya lakukan yang terbaik. Mengerti?"
"Iya noona."
.
"Tuan Yoongi?"
"Bibi jung, jimin dimana?"
"Nyonya sedang ada dikamarnya."
"Dia sudah minum susu?"
"Belum tuan."
Yoongi melihat kantong berisi dua kotak susu dan memberikannya kepada pelayan setia di rumah baekhyun. "Tolong buatkan susu ini dan antar ke kamarnya. Saya akan menemui jimin."
"Baik tuan."
.
Jimin tampaknya belum menyadari kehadiran yoongi. Karena pintunya terbuka, yoongi masuk begitu saja dan melihat jimin duduk dipinggir ranjang lalu melihat keluar jendela. Hanya pemandangan susunan komplek perumahan yang sangat membosankan.
"Hiks..."
Yoongi mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu bukan suara jimin. Jiminnya yang sedang menangis.
"Dia...tidak mencintaiku...hiks...dia...dia masih...menyamakanku dengannya."
Jimin menunduk dan bahunya bergetar. Saat akan menghampiri jimin, pelayan datang dan Yoongi segera mengambil alih nampan tersebut. Yoongi tersenyum dan pelayan itu mengerti kemudian pergi. Yoongi meletakkan nampan itu di nakas dan dirinya duduk di samping jimin lalu memeluknya dengan sangat erat. Yoongi tersenyum saat jimin membalas pelukannya.
"Maafkan aku."
"Aku mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu."
"Aku juga mencintaimu dan aku juga tidak ingin kehilanganmu." Yoongi mengusap punggung jimin dan mengecup puncak kepalanya. Dapat ia rasakan kalau jimin meremas kemejanya begitu kuat. "Aku tidak pernah menyamakanmu dengan siapa pun. Kau adalah jeon jimin. Wanita yang dewasa dan bertanggungjawab."
"Oppa...hiks..."
"Aku takut terjadi hal buruk denganmu. Aku takut membesarkan anakku tanpa istriku. Aku takut kau pergi. Aku takut."
.
"Bibi jung, sejak kapan yoongi dan jimin ada disini?"
Baekhyun baru saja pulang ke rumah dan cukup terkejut dengan kedatangan adik dan juga adik iparnya.
"Eomma, jimin imo ada disini ya?"
"Iya nyonya. Pertama nyonya jimin diantar. Lalu tuan yoongi datang."
"Eomma, wonnie mau ketemu imo."
"Pergilah. Kalau mereka sedang istirahat, kau jangan masuk."
"Baik eomma."
.
Yoongi terbangun dari tidurnya dengan keadaan jimin yang memegang tangannya. Perlahan Yoongi mengusap tangan jimin kemudian mengecup bibirnya. Jimin sama sekali tidak terusik. Setelah saling menuangkan perasaan masing-masing, jimin menangis dan tertidur. Yoongi kemudian mengecup mata jimin yang terlihat bengkak.
"Imo, ini wonnie." Suara wonwoo terdengar pelan begitu juga suara ketukannya. Yoongi melepas genggaman tangan jimin perlahan dan berjalan mendekati pintu kemudian membukanya.
"Samcheon? Maaf. Wonnie mengganggu."
"Tidak sama sekali. Kau sudah pulang?"
"Iya. Baru saja. Wonnie mau ketemu jimin imo."
"Tapi jimin imo sedang tidur. Samcheon akan membangunkannya."
"Jangan samcheon. Pasti jimin imo sedang lelah. Nanti saja kalau sudah bangun. Samcheon dan imo akan menginap kan?"
"Hanya jimin imo saja. Samcheon harus pulang. Kasian jungkook sendirian di rumah. Besok dia harus sekolah."
"Oohh begitu. Aku ganti baju dulu samcheon."
"Iya." Yoongi mengusak rambut wonwoo sebelum pergi.
.
Sementara itu, Baekhyun menuju ke dapur untuk sekedar menghilangkan dahaganya dengan air putih. Saat meneguk airnya, matanya tertuju pada kotak susu untuk ibu hamil. Ia pun bertanya kepada pelayannya yang baru memasuki dapur.
"Bibi jung, siapa yang meminum ini?"
"Itu untuk nyonya jimin. Tuan yoongi yang membelikannya."
"A-apa?"
Baekhyun segera menuju kamar jimin dan tanpa sengaja menerobos masuk. Membuat yoongi yang sedang menikmati wajah damai jimin yang tertidur menghentikan kegiatannya. Jimin pun menggeliat tidak nyaman dan terbangun.
"Oppa? Siapa yang masuk?" Jimin mengusap kedua matanya dan bersandar di kepala ranjang. Sementara yoongi sudah menghampiri baekhyun.
"Kau ini! Jangan sembarangan masuk."
"Yakk! Kalian! Tidak memberitahukan hal sebesar ini kepadaku?"
"E-eoh i-itu. Kami akan memberitahukannya nanti kalau jimin sudah bangun."
Wajah baekhyun terlihat lembut dan menghampiri jimin lalu mengusap perutnya.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan eonni."
"Eoh? Koper siapa itu?"
"Rencananya aku akan menginap eonni. Tapi sepertinya tidak jadi. Kasian jungkook."
Yoongi hanya menatap jimin dengan tatapan penuh tanya. Namanya juga ibu hamil. Wajar saja keinginannya berubah-ubah. Itulah yang yoongi fikirkan.
"Baiklah. Setidaknya kalian pulang setelah makan malam ya? Eonni mau merayakan kehadiran malaikat kecil kalian."
"Tidak bisa eonni. Aku tidak bisa meninggalkan jungkook di apartemen. Kalau menjemputnya, pasti dia akan sangat kelelahan. Hari minggu nanti saja ya eonni? Aku janji dan akan mengajak jungkook juga."
"Baiklah."
.
Enam bulan kemudian...
Yoongi baru saja pulang dari urusannya di amerika. Seminggu meninggalkan jimin membuat dirinya rindu setengah mati. Pasti baekhyun sangat repot mengurus masa ngidam jimin dan belum lagi urusannya yang lain. Yoongi tersenyum puas setelah membeli beberapa keperluan untuk bayinya. Yoongi dan jimin sama sekali tidak mengetahui jenis kelamin bayinya. Mereka sengaja melakukannya agar menjadi kejutan dihari kelahiran nanti dan hal ini membuat jungkook kesal.
"Tidak! Tidak! Kau tidak boleh mati." Jimin memasang raut wajah sedih saat aktor kesayangannya berada diambang kematian. Jimin begitu menikmati drama bergenre kriminal tersebut. Tentu saja ada beberapa adegan romantis. Saking menikmatinya, jimin tidak menyadari kehadiran yoongi yang sebenarnya ingin disambut dengan hangat.
"Jiminnie?"
"Oppa? Kau sudah pulang?" Tanya jimin acuh tak acuh sambil memakan kacang dengan mata yang tetap pada televisi.
Yoongi hanya bisa memaklumi sifat jimin karena dia sedang hamil. Karena tubuhnya yang begitu lelah karena perjalanan jauh, akhirnya ia memilih untuk masuk ke dalam kamar dan tanpa sadar menutup pintunya terlampau keras. Biarlah. Ia tidak perduli dengan tanggapan jimin.
.
Jimin menemukan sepatu, kaus kaki, dasi, tali pinggang, dan jas tersusun rapi di lantai menuju tempat tidur. Disana sudah ada yoongi yang terbaring dan menutup matanya dengan lengan kirinya sementara tangan kanan tergantung di pinggir ranjang. Jimin sedikit kesusahan dengan perutnya yang sudah sangat besar. Perlahan tangannya mulai memijat kaki yoongi. Sebenarnya yoongi sudah merasakan kehadiran jimin karena desahannya yang kesulitan dengan perut besarnya.
"Oppa, kau marah?"
"Tidak."
"Lalu kenapa kau disini?"
"Kau terlalu menikmati dramanya. Jadi aku tidak ingin mengganggumu."
"Kau marah."
"Tidak." Jawab yoongi dengan posisi yang sama dan nada yang datar.
"Iya."
"Tidak jiminnie."
"Kau ini benar-benar marah."
"Kalau aku bilang tidak ya tidak." Yoongi bangun dan duduk bersandar membuat kakinya tidak terjangkau oleh jimin. Nada bicaranya sedikit tinggi.
"Hiks..." Jimin tertunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Untung saja jungkook sedang berada di rumah kakeknya.
"Maaf. Aku tidak sengaja." Yoongi langsung memeluk jimin.
"Benarkan dugaanku? Kau sedang marah. Hiks..."
"Tidak sayang."
"Benarkah?"
Astaga! Yoongi merasa seperti pedofil sekarang. Bagaimana bisa jimin bertingkah seimut itu. Lihatlah tangannya yang sedang mengusap airmatanya dengan bibir yang mengerucut lucu. Yoongi yang tidak tahan akhirnya mengecup singkat bibir manis itu.
"Aku tidak marah."
"Benarkah?"
"Iya Jiminnie."
"Oppa!"
"Eh? Ada apa?"
"Bajuku basah."
Tatapan yoongi tertuju pada dress yang jimin pakai sudah basah dibagian bawahnya.
"Argh! Sakit oppa!"
"Ketubanmu pecah jiminnie."
"S-sakit oppa!"
.
Begitu sampai di rumah sakit, yoongi langsung menggendong jimin dan petugas yang melihat segera memberikan kursi roda. Disaat itu juga, ia bertemu seokjin yang baru saja akan kembali ke ruangannya.
"Yoongi?" Seokjin tidak jadi membuka pintu ruangannya dan memilih ke ruang bersalin. Di dalamnya ia melihat yoongi yang begitu panik melihat kondisi jimin yang sudah dibaringkan di ranjang.
"Kau pasti bisa jiminnie." Yoongi mengecup dahi jimin dan tersenyum lembut.
"Yoongi!"
"Noona, selamatkan jimin dan anakku!"
"Iya, iya." Seokjin sedikit geli dengan tingkah yoongi dan ia melihat jimin juga sepertinya merasakan hal yang sama.
.
Jimin tampak lebih tenang dari sebelumnya. Maksudnya tenang dari rasa sakit. Bukan tenang dari ketakutan seperti yang yoongi rasakan. Yoongi duduk di samping ranjang jimin dan membelakangi seokjin bersama rekannya melakukan apa yang harus mereka lakukan. Jimin tersenyum lemah melihat raut wajah yoongi.
"Kenapa oppa yang takut? Aku merasa kalau sekarang yang menjalani proses bersalin itu dirimu."
"Kau tidak melihatnya...oh! Astaga!" Yoongi kembali memejamkan matanya setelah sempat melirik perut jimin.
"Jangan dilihat kalau takut."
Proses persalinan memakan waktu yang cukup lama hingga terdengar suara tangisan bayi. Seperti bayi laki-laki. Begitulah yang ada difikiran mereka. Yoongi melihat seokjin menggendong bayi dengan darah yang masih melekat ditubuhnya.
"Anakku..." Panggil yoongi dengan lirih. Sementara jimin sudah tidak sadarkan diri.
.
"Oppa?"
"Eomma sudah bangun?" Jungkook yang sedari tadi duduk di sofa langsung berdiri menghampiri jimin yang tersenyum lemah. Bersamaan dengan itu, seokjin datang dengan menggendong bayi mereka yang sudah terbalut kain berwarna biru langit. Seokjin melepas kain itu dan meletakkan bayi itu diatas tubuh jimin. Hal yang memang harus dilakukan oleh seorang ibu.
"Noona, anakku akan kedinginan."
"Oppa lihat! Dia menyusu."
Yoongi melupakan rasa khawatirnya yang sebenarnya sama sekali tidak penting dan berganti dengan senyuman tulus. Ia memegang tangan mungil putranya.
"Anak yang pintar. Min Jiyong."
"Eoh?"
"Oh ya, aku dan jungkook sepakat menamainya anak kita dengan nama itu."
"Darimana kalian mendapatkannya?"
"Oppa tau kan drama yang aku tonton tadi? Pemainnya sangat tampan dan namanya Kim Ji Yong."
"Bagaimana bisa kau menamai anak kita seenaknya?"
"Kau ini kenapa ribet sekali sih oppa? Setidaknya aku tidak terlalu kecewa karena anak kita tidak mirip dengan aktor itu. Lihat! Dia sangat mirip denganmu." Jimin tampak kecewa. Yoongi yang awalnya terkejut, malah tertawa mengejek.
"Siapa suruh kau membenciku? Kau seharusnya sedikit mempercayai mitos. Anak yang dikandung bisa mirip dengan orang yang dibencinya."
Semua yang ada diruangan itu tertawa. Jimin mengusap punggung telanjang anaknya.
"Jiyongie, kau sangat mirip dengan appamu. Jadi kau harus meneladani sikap appa."
Yoongi merasa tersanjung.
"Tapi kau jangan ketakutan seperti appa jika menemani istrimu yang sedang menjalani proses persalinan." Bisik jimin yang memang sengaja untuk menyindir yoongi.
Reaksi yoongi adalah tertawa dan mengecup dahi jimin.
"Terima kasih untuk semuanya."
"Eomma, terima kasih ya? Kookie senang menjadi noona." Jungkook mengecup pipi jimin. Jimin membalasnya dengan tersenyum tulus.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
END
.
.
.
.
.
.
.
.
Maaf ya udah nunggu lama. Author terlalu fokus menyelesaikan ff "I Hate You". Buat ChiminsCake dan Soohee yang udah minta sequel, author mengucapkan terima kasih. Semoga sequelnya bisa diterima. Sekian dari author.
