Title: Aeternum
Chapter: 3/3
Starring: Huang Zitao, Wu Yi Fan, support casts.
Author: Annannnn
Pairing: KrisTao
Rating: NC
Genre: angst, romance, fantasy AU
Disclaimer: I have a great power upon my fanfic and this story undeniably mine to post and edit. I only use their names for the sake of storyline. You have no rights to copy and change the storyline under any circumstances
Warning: Violence.
Chapter 3—Sanctus
"All dust is the same dust. Temporarily separated to go peacefully and enjoy the eternal map."—Dejan Stojanovic
.
Zhaojun meraung melihat suaminya tertancap panah tepat di sela rusuk atas kirinya di mana jantung yang bertugas sebagai pusat pacu kehidupan itu berhenti berdegup. "Diao-ge," air mata meleleh membanjiri pipinya seraya berusaha menyangga tubuh pemuda yang tak lain adalah anak tiri sekaligus pasangan yang ditakdirkan untuknya selama ini.
Kawanan prajurit dengan pedang dan panah merangsek maju menumbangkan satu-persatu penjaga yang berkeliling di sekitarnya. Harapan yang tersisa dihempas angin malam bersama dengan kobaran api yang mengepung mereka. Menumpangkan kepala Diaotaomago di lengannya sendiri, wanita itu berlinang air mata tatkala pria itu tersenyum lemah, mengusap air matanya dengan ibu jarinya. "Baobei, jangan menangis. Kecantikanmu bisa berkurang," ucapnya berusaha menghibur meski darah telah ke luar dari sudut bibirnya.
Wanita itu berusaha menghela nafas. Putra dan putrinya telah diselinapkan oleh prajurit dan dayang istana terpercaya menggunakan kereta kuda ke tempat daerah kekuasaan aliansi mereka sejak sebelum matahari terbenam. Bisa dipastikan mereka hanya akan dianggap sebagai sepasang suami-istri dengan anak-anaknya berkat baju mereka yang sengaja sederhana dan tak berhiaskan emas-emasan seperti biasanya. Ia hanya bisa memandangi gerak bibir suaminya yang merenggang nyawa di pelukannya sendiri setelah oposisi berhasil menjalankan kudeta dan musuh dalam selimut mereka, panglima Yi Feng tak lain tak bukan adalah dalangnya.
"Aku tak akan sudi ikut dengan Yi Feng, gege," tuturnya mengambil sebilah belati tak jauh dari tempatnya duduk yang selalu ia sediakan di dalam balutan kain kakinya meski sempat terpental dari tangannya tadi.
Diaotaomago mengulas senyum lembut. "Aku tahu, kau adalah wanita yang sungguh kuat dan luar biasa. Berjanjilah padaku, jika kita bertemu di kehidupan selanjutnya, kembalilah padaku tanpa berpikir dua kali."
Zhaojun mengangguk pelan, menahan isakan yang seakan memenuhi dadanya, tenggorokannya tercekat. "Aku berjanji, kita akan terus bertemu, dan bersatu." Isakannya mengencang melihat pria itu terbatuk keras hingga memuncratkan darah segar yang menempel ke pipinya yang putih mulus bagai porselen. Melihat suaminya sudah kaku, ia menggenggam belati itu kuat-kuat, dan menusuk perutnya sendiri dalam-dalam.
"Zhaojun!" Yi Feng menyerbu berusaha melepaskan belati yang mengoyak perut wanita yang dicarinya sejak tadi dari tangannya. Terlambat sudah dengan disaksikan altar Buddha di sudut ruang baca di mana ia menyaksikan semua kejadian itu berlangsung, sumpah mereka tergoreskan pada lembar buku nasib jauh di atas sana. Menyimpan janji yang akan ditepati bila tiba waktunya di masa depan yang tak dinamis.
~†~†~†~
Teddy menunduk memperhatikan pemuda yang akan dirawatnya mulai detik itu. Ijazahnya sebagai seorang nanny telah disahkan oleh pemerintah dan walikota dengan resmi mempekerjakannya untuk menangani anaknya sendiri yang tengah terbaring di ranjangnya akibat panas yang dideritanya dua hari yang lalu. Pemuda berambut cokelat dengan kulit pucat itu terlihat lunglai di atas tempat tidurnya, wajahnya hampa memandang ke luar jendela.
"Hai," sapanya pelan pada pemuda yang ia yakini berusia kurang lebih dua puluh satu tahun itu, dua tahun lebih tua darinya yang berusaha mengumpulkan tiap sen untuk kebutuhan adik-adiknya di panti dan membantu bibi Violet, sang pengurus berhati besar. Mengulas senyum lembut, ia meletakkan koran bertanggalkan empat belas Februari tahun 1627 di sisi meja lalu mengambil sebuah lap yang sudah ia celup ke dalam air hangat, dan diperas kuat-kuat. Mengompresnya, ia tak henti mengagumi struktur wajah pemuda itu yang begitu tampan dengan rahang kokohnya, dan matanya yang tajam, bibirnya yang penuh dengan tulang pipinya yang tinggi. Begitu indah untuk dipandang bagai pahatan patung pualam yang pernah ia lihat saat melewati air mancur di depan kantor walikota.
"Sudah puas melihatnya?" tanya Evan, pemuda yang terbaring sakit itu ketus.
"Ma-maaf," menunduk, Teddy membawakan senampan makanan sesuai saran dokter yang baru saja pulang memeriksanya untuk tuan barunya tersebut.
Menyendokkan buburnya dengan potongan tipis daging rebus, ia meniupnya pelan. "Silakan buka mulutmu, sir," pintanya sopan menyorongkan sendoknya pada Evan yang memandanginya sangsi sebelum menurut memakannya. Tak sampai sepuluh menit bubur itu sudah habis, dan Teddy undur diri untuk menaruh semuanya di dapur sebelum kembali membantu pemuda yang lebih jangkung darinya itu membasuh tubuhnya sendiri.
Ia berkonsentrasi mengusap pundak dan punggung lebar milik Evan yang sama putih dan pucatnya dengan sprei yang baru ia ganti. Tubuh Evan setengah menegang dan kaku karena tak banyak bergerak semenjak beberapa hari terakhir disertai batuknya yang seringkali tak kunjung berhenti hingga mengeluarkan darah segar dari mulutnya. "Hentikan, Ted, tak akan ada gunanya," Evan menggaruk tangan kirinya yang terasa gatal.
"Baik, sir," sahutnya pelan menyingkirkan tangannya yang memijat punggung itu pelan sesuai dengan arahan sang dokter.
Evan baru melihat dengan jelas sosok nanny yang ditugaskan merawatkan pagi ini. Masih terlihat muda dengan wajahnya yang memiliki baby fat, berikut kerlingan matanya yang masih terlalu naif memandang dunia. "Duduk di sini," titah pemuda itu tak mau dibantah menepuk sisinya di atas ranjang membuat Teddy ragu sejenak.
Hingga akhirnya ia memutuskan mematuhinya untuk menyenangkan tuannya itu. "Waa!" pekiknya pelan ketika Evan menariknya hingga jatuh ke atas ranjang. Pemuda itu sendiri merangkak di atas tubuhnya dengan wajah yang tak terbaca.
"Sir?" tanyanya takut-takut. Jika Jack, pelayan yang tadi sempat melemparkan pujian yang membuatnya risih itu datang melihatnya dengan posisi begini, bisa-bisa ia ditendang ke luar dari mansion milik keluarga Griffiths ini. Baru saja ia mendapatkan pekerjaan tetap, hidupnya sudah terancam hanya karena keegoisan tuan muda yang seenaknya menjadikannya bantal tidurnya.
"Biarkan aku memelukmu, aku tahu aku tak akan hidup lebih lama lagi," ucapnya dengan suara lirih kelelahan. Badannya terasa membara membakar sisi kanan tubuh Teddy yang dipeluk erat olehnya.
"Jangan bicara begitu, kau pasti akan sembuh, sir, aku akan membantumu," ucapnya berusaha meyakinkan meski dirinya sendiri mempertanyakan janji manis itu.
"Evan, panggil aku Evan," pintanya dengan suara parau sehabis terbatuk hebat dan meludahkan darah serta dahaknya ke sebuah pot tembaga di sisi ranjang.
Teddy mengiyakan dan membiarkan dirinya dipeluk meski rasa ketakutan yang merayapi akan pintu kayu kokoh itu terbuka mempertontonkan dirinya dan tuannya itu membayangi. Langit lagi-lagi mendung, semendung perasaannya saat tiba-tiba Evan mengusap pinggangnya pelan. Debaran jantungnya berpacu membuatnya gelisah akan rasa yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.
"Evan, sir, aku mohon, lepaskan aku," pintanya lirih meski tubuhnya bergetar hebat mendengar gemuruh petir bersahut-sahutan di tengah hujan yang semakin deras membasahi bumi.
Langit London di musim dingin tak ubahnya pada musim-musim selanjutnya. Hanya bertambah intensitas hujan dan kelembapan udara dengan suhu yang turun hingga sanggup membekukan air di tong-tong luar sehabis hujan turun. Benar-benar menjemukan, dan menyiksa orang-orang yang terlalu sensitif dengan cuaca seperti dirinya.
"Teddy, aku tahu ini tanggal hari Valentine dan aku mungkin tak akan snaggup untuk hidup lebih lama lagi," tuturnya serius setelah beberapa menit memejamkan mata dan tak bersuara. "Maukah kau jadi Valentine-ku untuk pertama, dan terakhir kalinya?"
Pertanyaan yang berhasil membuat lidahnya kelu dan matanya tak fokus dengan gigi serinya yang menggigiti bibir bawahnya sendiri. "Baiklah, aku mau, Evan," sahutnya setengah iba dnegan wajah pucat Evan yang makin lama makin kehilangan warnanya. Sungguh, ia tak sesehat lukisan yang sempat Teddy kagumi dengan rona pada pipi dan merah bibirnya juga pancaran manik mata biru yang sanggup menelisik ke jiwa siapapun. Evan yang memeluknya terlihat kelelahan, kantung matanya menghitam, wajahnya kuyu, bibirnya membiru, napasnya satu-satu dengan tempo begitu lambat.
Detik di mana bibir mereka bertemu, tangan mereka terasa panas. Badan mereka terasa ringan dengan kilau tali-temali keemasan yang dapat mereka lihat di balik mata mereka sendiri hingga mereka melepaskan tautan bibir mereka. Teddy memalingkan wajahnya dengan canggung, begitu pula Evan. Ciuman yang terlalu kekanakan dengan bibir bertemu bibir tak lebih dari beberapa detik sudah cukup menyalakan simbol jam dengan angka Romawi dan ukiran indah di pergelangan tangan kiri mereka yang identik itu berpendar keemasan begitu bahagia dapat bergerak untuk pertama, dan mungkin terakhir kalinya.
Evan menatapnya dengan senyum seindah malaikat, "Terima kasih, sunshine," ucapnya untuk terakhir kalinya sebelum matanya tak lagi menyiratkan cahaya kehidupan di depan dokter, walikota Griffiths juga istrinya dan Jack yang bertugas mengantarkan dokter Cox ke kamar itu.
Mata Teddy sembap menatap dokter menutup wajah Evan dengan selimut biru yang baru saja ia berikan pada pemuda itu beberapa jam yang lalu atas permintaannya sendiri. Tak disangka penyakit bertambah parah dengan sesak yang menutupi jalur pernapasannya dan mengakhiri hidupnya, menambah angka pada tingkat kematian yang meninggi di tahun itu. Memandang nanar jam yang kini berwarna tembaga di pergelangan tangannya yang tak terasa hangat, Teddy mulai terbatuk keras hingga ia tak sanggup lagi untuk berdiri meraih gelas yang tak jauh dari jangkauan tangannya. Seiring dengan pecahnya gelas berisikan air tersebut, ia memuntahkan darah segar ke lantai. Mengelap mulutnya sendiri, ia mengetahui bahwa ajal tak lama lagi akan menyapanya, menyusul Evan yang mungkin menunggunya di surga sana.
~†~†~†~
"Kris?" sebuah suara berat menyadarkannya.
Mengerjap membasuh air mata yang tak sadar dikeluarkannya ketika terlelap, Tao memandang seorang pemuda dengan mata besar dan alis tebal yang terlihat menyatu akibat kernyitan di dahinya. "Di mana?" ia membuka pembicaraan dalam keadaan setengah terbangun. Kepalanya terasa pening dan pipinya dingin, tersiram linangan air mata yang kini telah berhenti dan diusapnya dengan punggung tangan.
"Oh hei, orang asing. Aku Chanyeol, teman Kris," sapanya dengan nada yang terlalu ceria dan bersinar seakan memberikan salam pada orang asing yang baru saja bangun dari tidurnya adalah hal yang wajar untuk dilakukan.
"Kris?" ia balik bertanya denga linglung menopang badannya yang berusaha duduk meski sesuatu yang cukup berat menghimpitnya. "Ugh, berat," erangnya tertahan sukses terbaring lagi di atas ranjang yang tiga kali lebih luas daripada ranjangnya di flat yang ia sewa bersama Sehun.
Gerutuan seseorang membuat matanya terbuka lebar, terlabih mendengarnya menggeram dengan getaran yang berasal dari atas perutnya. "Uwah!" Tao mendorong kepala bersurai pirang gelap itu dengan keras hingga pemiliknya terpelanting jatuh dari atas ranjang menimbulkan bunyi tulang beradu dengan lantai marmer begitu keras juga menyakitkan.
"Ouch, pasti sakit," ucap orang yang mengenalkan diri dengan nama Chanyeol tersebut menjadi komentator dadakan dengan seringai jahil menghiasi wajahnya.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" ia mengecek tubuhnya sendiri yang ternyata masih berpakaian meski jaketnya ditanggalkan dan digantung tak jauh dari pinggir pintu biru tua di ujung sana.
"Aku menjemputmu dan Kris di halte dengan supermarket setelah Kris menghubungiku," jelasnya duduk di pinggir ranjang tak mempedulikan erangan menyedihkan dari temannya yang perlahan beranjak dari lantai tempatnya terjatuh beberapa waktu lalu. "Selamat datang kembali, Kris," sapanya riang.
"Enyah kau, Yoda," tukasnya kembali mengambil tempat di atas ranjang di sisi Tao yang beringsut menjauh. Mengerjap, Kris memicingkan matanya menemukan seseorang dengan surai hitam kelam menatapnya curiga. "Oh!" ucapnya seketika menegakkan tubuhnya yang terbalut kemeja dan celana panjang untuk bersandar pada headboard mengulas senyum canggung.
Momen itu dirusak oleh suara tawa menyebalkan milik Chanyeol melihat semu merah di wajah Kris yang salah tingkah. Baru kali ini ia melihat temannya itu merona hebat dengan gerakan tangan yang seakan takut untuk menyentuh lapisan gypsum rapuh yang belum kering. Sekali sentuh, semuanya akan hancur.
Tao memberikan tatapan aneh padanya yang masih tertawa terbahak tak mengerti sisi lucu dari situasi yang mereka hadapi. Seingatnya tadi ia melihat wanita yang seringkali muncul dalam mimpinya bunuh diri dengan tragis, tak jauh berbeda dengan Ted yang terserang penyakit sampar paru-paru hingga tak bisa lagi bernapas dengan lega. Dirinya sempat merasa tercekik dan tak bisa bergerak sedikit pun, takut akan kematian yang mungkin menyapanya lebih cepat, tapi nyatanya itu adalah beban tubuh pelanggan café-nya.
"Kau Tao 'kan?" Chanyeol menyeletuk tiba-tiba, membuatnya melepaskan kontak matanya dengan pemuda yang berambut acak-acakan tersebut.
"Ya, apakah kau pelanggan Sunset?" tebaknya tak ingin terlihat bodoh.
"Bisa dikatakan begitu, meski tak sesering Kris yang kerap kali mengunjungi Sunset hanya untuk melihatmu berdiri di balik counter dengan gerakan bagai robot menerima dan membuat pesanan lalu mengantarkan para pelanggan pergi dengan suara monoton juga ekspresi datarmu akhir-akhir ini," cerocosnya tak diminta. Tao mengerjapkan mata ketika detik berikutnya pemuda yang ia ketahui bernama Kris itu menerjang Chanyeol hingga mereka berguling di atas lantai marmer yang keras juga dingin.
"Kalian tak apa-apa?" tanyanya cemas merangkak ke tepian ranjang yang benar-benar besar juga luas untuk dirinya sendiri.
"Yeah," seru Chanyeol meringis kesakitan mengusap belakang kepalanya sementara Kris mengusap lengannya yang terasa ngilu terbentur sisi ranjang.
~†~†~†~
Setelah makan malam yang terasa begitu canggung juga kikuk meski ditengahi lelucon kurang bermutu dari Chanyeol, Kris menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. "Tak perlu," tolak Tao halus, namun pria itu bukanlah orang yang pantang menyerah.
"Aku minta maat telah melibatkanmu dalam hal ini, Tao. Aku tak bermaksud menculikmu bagai penguntit yang ingin menguasaimu untuk diriku sendiri," ungkap Kris begitu jujur hingga irinya sendiri membulatkan matanya penuh horor melihat Tao menatapnya lurus-lurus.
"Terlalu frontal!" celetuk Chanyeol yang muncul tiba-tiba di balik pintu yang terbuka membuat Kris menutup pintu apartment-nya dengan wajah jengkel. Temannya itu memang tak bisa membaca situasi.
"Maaf," sergah Kris cepat.
Tao mengangguk pelan dan berniat untuk pergi dari sana sampai tangan besar itu mencegahnya pergi, membalikkan badannya hingga ia harus menengadah melemparkan tatapan penuh tanya. Otaknya memutar kembali helaian mimpi yang dirajut menjadi satu dalam peristiwa acak dengan interval waktu yang berbeda tahun demi tahunnya. Seketika teori yang dicetuskan Sehun muncul kembali ketika dengan berani Kris menunduk menempelkan bibir miliknya pada Tao, menciptakan cipratan tali-temali keemasan di being bola mata mereka yang saling beradu.
"AKH!" Kris berseru kaget mengelus pipinya yang terasa perih sehabis merasakan tamparan kuat dari pelayan café yang biasa disinggahinya.
"Jangan kurang ajar ya!" seru Tao dengan kilat amarah yang terlukis jelas di wajahnya dengan posisi defensif layaknya leopard yang siap menerkam mangsanya yang bergerak barang sedikit saja.
Kris menatapnya bingung. "Tapi kita soulmate, kau sudah melihat buktinya 'kan? Jiwa kita ditakdirkan bersama," ia menunjukkan pergelangan tangan kirinya yang telanjang tak dilapisi arloji Rolex-nya sementara Tao mundur ketakutan.
Wajahnya pucat pasi melihat Kris yang maju berusaha menggapainya. "Jangan sentuh!" hardiknya membuat pemuda yang lebih tinggi darinya tersebut membeku di tempat dengan wajah waspada. "Aku tak mau mati lagi!" ucapnya sarat akan ketakutan. Mengingat tiap darah yang harus terciprat jika ia bertemu pasangan jiwa yang digariskan untuknya dalam kitab nasib yang menertawakan ketidakberuntungannya kali ini.
"Kenapa? Aku sudah menunggumu," tutur pemuda di hadapannya setengah putus asa setengah tak paham menyaksikannya histeris.
"Kris, tidakkah kau ingat?" tanya Tao dengan wajah lelah dan panik. "Tiap kali kita bertemu, kita pasti akan berujung pada kematian," ujarnya lirih membuat Kris menatapnya seakan ingin memiliki tiga mata.
Menelan ludah dengan susah payah, pemuda berambut hitam itu sadar bahwa hanya dirinyalah yang diganggu mimpi-mipi buruk tak bertemu. Wajah demi wajah serupa dengan berbagai jenis kelamin, suasana, hingga nama dan latar yang berbeda. Bagaikan film yang diputar berulang kali di dalam otaknya ketika malam menjelang, menyiksanya dengan bayang-bayang kematian yang selalu meninggalkannya tersentak panik dengan sakit kepala yang menghantamnya begitu kuat hingga seringkali ia susah menjalani harinya layaknya orang normal. Serangan sakit kepala itu semakin hebat hingga detik ini.
"Maaf, selamat tinggal," tegasnya berlalu dengan tote bag yang dijinjingnya dengan susah payah meninggalkan pemuda berambut pirang itu terpaku menatap punggungnya menjauh hingga menghilang ke dalam pintu metal.
~†~†~†~
Sehun mengamati Tao yang terlihat lebih murung daripada biasanya meski tak sepucat yang sudah-sudah. "Kau masih sering pusing?" tanyanya yang hanya dijawab gelengan pelan, sibuk membersihkan counter hingga berkilat dan bebas dari kuman dengan desinfektan yang setia bertengger di bawah counter.
"Mimpimu bagaimana?" tanyanya masih setia akan rasa penasarannya pada Tao yang akhir-akhir ini jarang ia lihat di kampus, dan semakin hemat berbicara di tempat kerja.
Menghela napas untuk meredamkan rasa kesalnya, Tao menatapnya tak suka. "Sehun, bisakah kita berhenti membicarakan hal ini? Aku hanya ingin menyelesaikan shift-ku dan pulang ke rumah secepat mungkin," tuturnya kesal pada temannya yang malah menepuk pinggangnya pelan.
"Aye, princess," ucapnya sambil lalu mengakibatkan temannya itu mendelik tajam.
Beberapa menit setelah Tao menyelesaikan shift-nya dan Sehun bersiap untuk pergi ke perpustakaan, pemuda berambut pirang yang biasa memandangi sahabatnya lamat-lamat itu memasuki café dengan terengah-engah, sebuket lili segar serta sekotak bunga berada di tangannya. Sehun sempat terpesona, karena siapa yang bisa mendapatkan lili di musim dingin?
"Di mana Tao?" tanyanya di tengah sengal napasnya yang kepayahan.
"Ia sudah pulang," ucapnya singkat.
Wajah Kris langsung membeku dan terlihat kehilangan nyawanya. "Kau bisa menemukannya di sini," jawab Sehun berbaik hati tak tega melihat keputusasaan dan kegamangan yang tergambar jelas di wajah pria dengan t-shirt dan jaket denim tersebut. Menerima sobekan note yang bertuliskan alamat, Kris ke luar dengan wajah penuh harap meninggalkan pelanggan café yang masih tersisa melemparkan pandangan bertanya yang hanya bertahan sebentar sebelum kembali larut dalam kesibukan masing-masing.
Pemuda itu berlari menyusuri trotoar yang hanya berisikan beberapa orang pejalan kaki, mengabaikan seruan dari orang-orang yang menyuruhnya untuk memperhatikan langkahnya hingga ia harus melemparkan permintaan maaf ke sana-sini sambil lalu—tak kunjung memperlambat langkahnya. Berhenti di sebuah bangunan dengan bata cokelat abu-abu yang terlihat tak terlalu tinggi, ia menekan bel tak sabaran.
"Selamat petang," seorang wanita di awal umur tiga puluh memberikan senyum ramah padanya. Sepertinya ia adalah induk semang dari Tao.
"Maaf, apakah Tao ada? Aku temannya," jawab Kris cepat.
"Ya, di lantai tiga," ucapnya lugas melebarkan pintu hingga Kris dapat masuk mencari keberadaan flat yang dituju.
Mengatur napas, menyiapkan hati, ia menekan bel yang tersedia di sisi pintu hingga mengayun terbuka memperlihatkan Tao yang telah mengenakan celana pendek berikut baju tangan lengan yang terlihat kebesaran di tubuhnya. "Sehun kau cepat seka—" Kris mengerjap saat pintu itu mengayun menutup setelah Tao berhasil meredakan kekagetannya melihat pemuda itu menyorongkan sebuket lili putih di hadapannya.
Tanpa pikir panjang Kris mendorong pintu itu dengan pundaknya karena tangannya telah penuh dengan hadiah permintaan maaf untuk pemuda itu. "Tao dengarkan aku!"
BRAK.
Pintu itu berhasil didobraknya hingga miring dengan posisi tak natural dari engselnya membuat Tao terkesiap menatapnya tak percaya. "Kau membobol masuk ke rumahku!" hardiknya dengan wajah yang masih menunjukkan kekagetan sempurna melihat pintu putih itu tak lagi bisa menutup sempurna dan bisa kapan saja copot dari engselnya.
"Itu tak penting!" sergah Kris. "Aku akan menggantinya!" sambungnya cepat setengah ngeri jika dirinya makin tak sopan di tempat pemuda yang diam-diam ia perhatikan, ia akan diusir melibatkan pihak keamanan.
"Apa maumu Kris?" tanya Tao setengah menengadah untuk dapat bertemu dengan manik mata milik pemuda itu yang menyiratkan penyesalan yang teramat dalam.
"Maafkan aku Tao. Aku tak bermaksud membuatmu ketakutan, aku hanya terlalu bahagia untuk menemukan soulmate yang selama ini hanya menjadi dongeng pengantar tidur. Kau pasti mengerti 'kan?" tanyanya setengah mengiba setengah berharap dengan masih berdiri di koridor memandangi Tao yang mendengus pelan melipat tangannya di depan dada.
"Kau yang tak mengerti, Kris. Aku mendapatkan mimpi-mimpi buruk tentang orang yang menyongsong kematian dengan tragis. Kau tak akan tahu bagaimana rasanya melihat orang yang memiliki wajahmu melompat terjun dari tebing, menusuk perutnya sendiri agar tak jatuh ke tangan pihak musuh. Kali lain tergolek bersama manekin sehabis dihantam double decker, atau yang paling menjijikkan, memuntahkan lender bercampur darah dan mati dalam kubangannya. Ini semua hanya mimpi buruk, Kris." Tao berucap dengan suara bergetar, tenggorokannya tercekat ketika semalam ia mencoba menghitung berapa hari lagi ia akan bertahan sebelum kecelakaan tragis merenggut nyawanya.
Mungkin ia akan mati tertimpa tiang-tiang penyangga di jalan? Atau mungkin terpanggang dalam oven super besar yang ada di dapur café? Atau mungkin klasik, tertabrak kendaraan seperti yang sudah pernah ia alami di kehidupan sebelumnya? Sepertinya tiap kematiannya begitu unik, dan tak pernah sama.
Detik berikutnya sepasang lengan hangat merengkuhnya masuk membiarkan air mata yang tak disadarinya jatuh membasahi bagian depan t-shirt abu-abu tersebut. "Maaf, aku tak tahu kalau kau setakut itu untuk bertemu lagi denganku, Zhaojun," ujarnya lembut.
Membulatkan matanya, Tao mundur melepaskan tubuhnya dari pelukan hangat yang tak bisa ia sangkal sangat menenangkan itu. "Diao?" tanyanya ragu.
"Baobei, di sini aku adalah Kris. Di sini kita harus memulai awal yang baru, mana mungkin nasib mempermainkan kita selamanya." Mengangsurkan buket lili putih itu kepadanya, Kris mengulas senyum menimbulkan letupan-letupan kecil di dada Tao kembali bergelora. "Berikan aku kesempatan, aku akan membahagiakanmu," ucapnya meraih dan mengecup jari-jemari lentik milik Tao dengan tangannya yang telah kosong—buket bunga itu telah berpindah ke tangan kiri pemuda berambut kelam tersebut.
"Kau berjanji, Kris?" Tao menelengkan kepalanya membiarkan Kris mengusap pipinya yang basah.
"Ya, Tao." Cukup dengan kalimat pendek itu bibir mereka bertemu kembali dengan mesra saling memagut melupakan kehadiran siapapun yang ada di sekitar mereka. Larut dalam manis dan hangatnya takdir yang menyapa mereka, kini dengan senyuman dan tangan terbuka.
Di dekat tangga, seorang wanita berambut panjang yang indah tertawa pelan. Di tangannya, gadget sudah merekam tiap gerak-gerik dua sejoli yang akhirnya bertemu itu. Victoria, wanita yang menjadi pemilik gedung sekaligus sosok kakak bagi seorang Huang Zi Tao cukup puas dengan apa yang ia saksikan di hadapannya. "Tugasku sudah selesai," ucapnya pelan dengan senyum lebar. "Tugas seorang Qian memang menyenangkan," ia kembali ke flat-nya sendiri, menyambut Nickhun, tunangannya yang baru pulang dari seminar mengenai pertamanan dengan wajahberseri-seri.
.
.
.
FIN
Author's note: Akhirnya akhirnya… :") #CagarBudayaKT