Title: Aeternum
Chapter: Twoshot
Starring: Huang Zitao, Wu Yi Fan, support casts.
Author: Annannnn
Pairing: KrisTao
Rating: NC
Genre: angst, romance, fantasy AU
Disclaimer: I have a great power upon my fanfic and this story undeniably mine to post and edit. I only use their names for the sake of storyline. You have no rights to copy and change the storyline under any circumstances
Warning: Violence.
Chapter 1—Memoria
"Perhaps when we find ourselves wanting everything, it is because we are dangerously near to want nothing." —Sylvia Plath
.
Desiran angin di sela gemerisik pepohonan berpadu dengan deburan ombak beradu dengan teguh tegaknya tebing karang hitam. Bersama dengan gulungan ombak menghempas menjilati dinding tebing dengan vetegasi merambat menyentuhnya, pemuda berkemeja cokelat tanah itu menatap nanar sosok pemuda dengan bayonet di hadapannya. Mantel hitamnya berkibar diterpa angin senja dengan sinar matahari melukiskan perpaduan semburat lembayung, jingga, dan merah dari ufuk barat. Keheningan yang menyapanya dirasa terlalu mencekik dengan lemparan tatapan letih juga putus asa.
"Hei…" ia maju selangkah masih memegangi bayonet di tangannya.
Pemuda yang dipanggil Edison itu terengah mencoba mengatur napasnya selalu beringsut mundur sampai boots-nya menyentuh sebuah batu di belakang tumitnya. Pucat pasi menyaksikan berlariannya para prajurit dengan darah merembes ke seragam cokelat mereka berikut genangannya menghiasi jalanan ibu kota mengantarkannya ke sini setelah berhasil mencuri jeep dengan seorang perwira tertembak mati di kursi kemudinya. Bibir tebing itu tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hijau dan semak hutan, hingga menunduk di atas lepas pantai putih.
"Kau berbohong Li, kau bukan bagian dari kami." Pandangan benci dilemparkannya pada pemuda jangkung yang berusaha untuk tak menakutinya meski itu merupakan hal yang mustahil.
Pemuda itu menggeleng pelan. "Maafkan aku bila aku harus membohongimu, aku harus mematuhi perkataan Jenderal George."
"Kalian sekutu memang pembohong," tudingnya dengan laras pendek di tangan kanannya yang sempat ia curi dari mayat perwira pemilik jeep sebelum menendangnya ke atas tumpukan tubuh tak bernyawa lainnya.
Pemuda itu mengangkat tangan, "Tembak aku, Peach. Lebih baik aku mati di tanganmu daripada mati di tangan orang lain." Lengan mantelnya turun beberapa centi meter, menunjukkan tanda lahir di bagian dalam tangannya berupa jam yang dimiliki semua orang dengan model yang berbeda telah berubah keemasan. Indah bagai cap yang diguratkan dengan besi panas berukir di dekat urat nadinya yang berwarna keunguan dengan jarum panjang bergeser pelan sesuai hitungan detik.
Pemuda di seberangnya terdiam. "Sejak kapan?" tanyanya lirih kini menurunkan sedikit laras yang digenggamnya dengan gemetar tangannya menahan pelatuk.
"Sejak aku tak sengaja bertemu denganmu di kemah ketika aku hedak menemui dengan Jiang," jelasnya tak melepaskan tatapan dari manik mata sebening mutiara hitam tersebut.
"Li, aku tak akan bisa memaafkanmu, harusnya aku mendengarkan kata-kata Yangmi-jiejie sejak awal. Kau memang pengkhianat, dan aku tak bisa membunuhmu." Ia menurunkan laras pendeknya, memasukkannya ke tempat kulit yang tergantung di pinggangnya kemudian membuka kain abu-abu yang membalut tangan kirinya hingga separuh lengan bawahnya.
Pemuda di hadapannya itu membulatkan matanya, nada suaranya terdengar gamang saat melihat figur yang lebih pendek di hadapannya itu memasang wajah sendu. "Kau?"
"Ya, Li, jika itu memang namamu yang sebenarnya," ia memberikan jeda dengan mata yang berkaca-kaca. "Milikku juga berubah di hari itu, di detik yang sama saat kita tangan kita saling bersentuhan hendak mengambil buku yang sama." Di dekat urat nadinya, tanda berbentuk jam yang tadinya berwarna cokelat gelap itu kini berwarna keemasan senada dengan yang tercetak di tangan Li.
Mereka kembali bertatapan dalam, membiarkan angin membelai rambut mereka membawa dinginnya suhu laut yang turun di kala malam menjelang. Deru suara mesin diesel yang kasar membuat tatapan mereka berubah menjadi gelisah dan diliputi kecemasan yang nyatanya tak berlebihan ketika jejak langkah beberapa orang mulai terdengar merangsek memasuki hutan di belakang Li dengan tebasan belati membelah udara.
"Jiaheng!" suara berat memanggil nama yang terdengar asing di telinga pemuda yang tengah terpaku di bibir tebing itu.
Li mencoba mendekatinya dengan tergesa menyebabkannya mundur, menendang kerikil yang jatuh ke hempasan ombak pada karang gelap di bawah sana. "Aku tak akan menyakitimu," ucap pemuda itu dengan matanya yang nanar mencoba mengeluarkan suara sepelan mungkin.
"Aku tahu, tapi mereka yang akan melakukannya." Sorot matanya bukanlah memancarkan ketakutan dengan kemerahan di bawah matanya, bibirnya yang kering membiru dan giginya mengoyak bagian bawahnya, tak sampai menggoreskan merah di sana.
Mereka menahan napas merasakan suara itu hanya berjarak beberapa puluh meter dari balik hutan sana. Lagi-lagi mata bening itu membuatnya terpana akan kejujuran yang tersirat di sana. "Air laut pasti dingin," gumamnya pelan namun Li dapat menangkap maksudnya.
Mengulas senyum lembut, ia berujar lirih. "Aku akan menghangatkanmu." Mencampakkan bayonet miliknya, ia membawa pemuda yang lebih kecil itu ke dalam dekapannya, ke balik lingkup mantelnya. Senyumnya dibalas tak kalah lembutnya, begitu tulus juga lelah dengan semua ini.
"Jangan melepasku," ucapnya mengalungkan lengan di lehernya. Pemuda itu pun menunduk, menyongsong bibir yang terasa lebih mungil dan kenyal di bawahnya, melumat manis pahitnya dengan desingan peluru di belakangnya. Seberkas cahaya keemasan meluncur di balik kelopak matanya, detak jantung mereka berdua terdengar jelas berikut helaan napas yang seakan berasal dari jiwa yang sama, soul mate. Memejamkan mata, semuanya terasa seperti melayang ketika kaki mereka tak lagi menyentuh tanah, mengikuti lajunya gravitasi bumi yang menarik mereka begitu cepat.
"Jiaheng!" suara teriakan ketiga orang yang sempat menyaksikan kedua pemuda itu terjun bebas terlahap deru angin yang berdengung kencang di telinga mereka.
Tangan yang melingkari pinggangnya tak melepasnya bahkan ketika tubuh mereka menyentuh permukaan laut yang menggelora diiringi bunyi debur ombak yang menghempas tubuh mereka menabrak terjal dan tajamnya dinding karang. Merobek kulit, meremukkan tulang, menyentuh kantung udara yang nyatanya tak dapat berfungsi tatkala air asin pahit merasuki rongga mulut, dan pernapasan milik mereka yang seakan mangkir dari tugasnya memberikan pasokan udara ke tubuh dingin yang semakin kehilangan pergerakannya.
Tik. Tik. Tik.
Kelopak matanya yang perlahan menutup melihat senyum indah terulas di bawah cahaya keperakan penerang malam yang sempat menembus permukaan air gelap yang menjadi tempat mereka bersemayam. Sinar keemasan dari simbol jam di pergelangan tangan mereka perlahan meredup hingga menyisakan warna tembaga yang berkilau ketika tubuh-tubuh itu jatuh semakin dalam tertimpa jatuhnya karang yang runtuh berkat terjangan tiada henti. Suara detik jarum panjang yang bergeser itu tak bisa lagi mereka dengar, tak menggema dalam kesunyian, dan kegelapan dasar laut.
~†~†~†~
Cahaya keemasan matahari bebas memasuki kamarnya yang agaknya lupa untuk dilingkupi tirai tebal berwarna hijau tua bercampur krem yang ada di sisi jendela sementara pemilik kamar menarik selimutnya lebih tinggi untuk menutupi wajahnya yang masih tak rela untuk meninggalkan ranjangnya. "Edison, petal," suara lembut milik ibunya membuatnya mengerang pelan dan memejamkan matanya lebih rapat.
Tepukan pelan di bahunya menandakan kehadiran wanita berkepala tiga itu di pinggir ranjangnya dengan gaun berwarna cokelat gelap bercampur dengan merah jambu yang lembut berpotongan sederhana namun elegan dengan rok-nya yang melebar. "Ayo sayang, bangunlah, petal." Tangan lembut itu menyisiri rambut pirang kecokelatannya, hasil turunan dari ibunya yang berambut senada dengan ikal besar di bagian bawahnya.
"Aggu ggidakk maow bettemuu dia," ucapnya pada bantal empuknya membuat ibunya sukses mengernyitkan dahi tak menangkap maksud dari perkataannya yang teredam.
"Eddie," wanita itu terdengar tidak sabar. Tangannya menarik tubuh anaknya yang tertimbun selimut tebal hingga berhasil menggapai bahunya, mendudukkannya yang masih setengah sadar dengan wajah pucat dan sedikit membengkak.
"Astaga, kau pasti membaca sampai malam lagi ya? Sudah mama katakan supaya tak membaca pada malam hari. Lihat, bagian bawah matamu jadi menghitam dan membengkak," protesnya setengah jengkel setengah gemas dengan tingkah anak semata wayangnya yang mencebikkan bibir bawahnya layaknya seorang anak kecil.
"Aku tak melihatnya, mataku masih setengah menutup," sahutnya dengan suara seraknya yang terdengar manja.
Wanita itu menghela napas dan tersenyum pada seorang wanita paruh baya yang masuk membawa setelan yang akan dipakai oleh remaja yang masih setia bersandar pada bantal tingginya. Waist coat berwarna cokelat muda dengan kemeja putih, ruffle scarf sewarna anggur merah, serta celana panjang cokelat gelap yang diletakkan di gantungan dekat meja belajarnya. Baju resmi yang akan dikenakan oleh Edison segera setelah ia selesai membersikan badannya.
"Ayolah, petal, kita harus bertemu tamu penting hari ini, jangan malas begitu, kita bisa terlambat," bujuknya sembari merapikan rambut anaknya yang berantakan selepas mengarungi dunia mimpi meski masih lekat wangi vanilla dari shampoo yang ia gunakan sebelum tidur tadi malam. Bagus, paling tidak ia tak perlu mengeringkan rambutnya yang pastinya akan basah sehabis keramas nanti.
"Eung…" remaja yang dipanggil Edison tu beranjak bangun. Masih mengenakan piyama bergarisnya, ia masuk ke kamar mandi membawa selembar handuk tebal yang ia gantungkan tak jauh dari sisi ranjangnya. Kebiasaan, padahal ibunya sudah berulang kali memperingatinya untuk menjemur handuknya di teras atas, tapi rupanya Edison takut pada gelapnya malam tiap kali ia harus ke luar.
Wanita itu mendesah, meninggalkan anaknya yang mungkin akan selesai dalam kurun waktu setengah jam. Menuruni tangga, ia mengecek kembali makanan yang disediakan untuk dibawa ke jamuan awal musim gugur di rumah megah milik keluarga Wu di ujung jalan. Rumah itu sendiri berukuran lumayan besar dengan tiga lantai, bercat biru tua dengan pagar kayu rendahnya yang putih tulang. Semak mawar putih dan merah jambu yang kini tak berbunga setia menghiasi keliling rumah sementara sebatang pohon oak besar dengan ayunan putih yang menjadi tempat favorit Edison untuk bersantai terletak di bagian belakangnya.
Derap langkah menuruni tangga membuat sang kepala rumah tangga yang memakai dasi senada dengan warna scarf Edison itu menolehkan kepala dari koran pagi yang dibacanya. Meletakkan kopi dengan beberapa sendok susu dan krim, pria itu berdeham membuat anaknya memelankan langkahnya dan menyunggingkan senyuman terpaksa. "Pagi, Ed," sapa ayahnya dengan suara beratnya.
"Pagi papa," sahutnya seraya duduk di kursi sebelah ibunya yang baru saja menaruh semangkuk nasi dan tumisan sayur serta sosis di hadapannya. "Wah, tumben kita sarapan a la China?" tanyanya yang selalu antusias merasakan makanan negara ayahnya berasal. Ia memang menyukai steak dan pasta juga keju, tapi tak menampik bisa disodorkan dengan tumisan sayur juga daging berbumbu, dan sup segar berisikan potongan tahu juga seledri dan daun bawang.
"Papa yang memintanya," jawab ibunya melirik sang suami yang hanya mengedikkan bahu, dan menyingkirkan korannya kemudian menghabiskan potongan sosis yang tak sempat ia habiskan dengan nasi panas yang diambilnya.
Edison mengangguk tak terlalu memperhatikan. Melahap makanannya dengan cepat, remaja itu tak menangkap kedua orang tuanya bertukar tatapan. Ibunya menggeleng lemah sementara ayahnya berdecak pelan sesudah menyelesaikan makanan, dan meneguk habis kopinya. Pergelangan tangan mereka menunjukkan simbol jam pasir yang menetes perlahan berwarna senada, emas kemerahan sementara Edison masih gelap, dan tak bergeming menandakan orang yang tepat untuknya belum datang ke kehidupannya.
Mereka bertiga pun berjalan menyusuri perumahan dengan pagar rendah menuju mansion abu-abu milik keluarga Wu. Menjemukan, begitulah pikir Edison kali pertama ia lewat sepulang sekolah bersama Barty, kakak kelasnya yang rumahnya searah. "Bersikaplah yang manis, petal, kita akan menemui tuan dan nyonya Wu juga tamu-tamu bisnis ayahmu," ibunya memperingati.
Remaja itu menggerutu pelan. Untuk apa ikut ke tempat keluarga Wu yang terkesan tertutup dengan baju sebagus ini sampai membawa hantaran segala? Pai persik serta pai ceri kesukaannya dibawanya dengan nampan, cukup berat meski jarak yang ditempuh tak sampai seratus meter. Matanya menyusuri lengkungan langit-langit dengan gypsum berukir membatasi dinding dengan kubahnya, pajangan keramik dan guci di sana-sini seakan memamerkan kebanggaan mereka sebagai keluarga berdarah Tiongkok berpadu dengan artistiknya lukisan abstrak, dan perabotan kayu yang mengisi ruangan.
"Selamat pagi, Huang," sesosok pria muncul dengan kemeja abu-abu dan waist coat hitam-nya, di sisinya istrinya yang mengenakan terusan merah hati tersenyum ramah.
Ayahnya membalas senyuman dan jabatan tangan itu begitu pula ibunya sementara ia masih repot dengan nampan di tangannya. "Selamat pagi, tuan dan nyonya Wu," ia berusaha membungkuk sedikit, menyeimbangkan nampan di tangannya.
"Manis sekali," nyonya Wu memekik memperhatikan Edison yang mencoba menyunggingkan senyuman sopan meski ia bertanya-tanya apa wanita terhormat ini selalu berperilaku layaknya seorang gadis remaja.
"Ini Edison, anak kami. Kami juga membawakan kalian sedikit kue untuk makan siang nanti." Ibunya menjelaskan sementara Edison mengangkat sedikit nampan tertutup yang dibawanya seakan ingin menunjukkan bahwa itu adalah barang yang dimaksudkan oleh ibunya.
Menghela napas, Edison mengikuti arahan mereka untuk turun bersama ke halaman belakang yang luas dengan meja piknik memanjang dan piring-piring berisikan makanan tertutup plastik bening. Ia pun meletakkan nampan yang dibawanya sejak tadi dan menarik lengannya ke atas mencoba melemaskan otot tangannya.
Duk.
"Auw!" suara yang lebih berat di belakangnya membuatnya terkejut dan berbalik. Seorang remaja yang terlihat kurang lebih seusianya mengerang pelan memegangi matanya.
"Ma-maaf, kau tidak apa-apa?" ucapnya khawatir menyentuh lengan atas pemuda tersebut. Ia mengikuti langkahnya yang mundur sampai berhenti di bawah pohon birch di sisi taman.
Orang-orang yang larut dalam percakapan sendiri-sendiri di sekeliling mereka tak terlalu mempedulikan mereka sementara Sean, anak termuda dari keluarga Wu tengah melahap potongan pudding cokelat keempatnya, melanggar larangan ibunya yang sudah diucapkan sejak pagi tadi. Pemuda pucat itu menelan potongan keempatnya dengan sukses sementara matanya menangkap adegan yang terjadi di sisi taman di mana kakaknya menunduk dalam sementara seorang remaja yang ia kenali sebagai murid kelas sebelah tengah berada di sisinya. Menarik, pikirnya sembari melanjutkan invasinya pada potongan pai ceri yang menarik perhatiannya dengan kemilau merah ranum dan kulit kecokelatan yang terlihat garing. Terserahlah si sulung itu ingin berbuat apa, yang penting ia sukses mengenyangkan perutnya dengan makanan manis.
Remaja pirang itu mendesah dan menegakkan badannya, "Wa!" serunya kencang.
"Aaa!" pekik Edison tak kalah kencang mengundang tatapan dari orang-orang di sekitar mereka. "Maaf…" ia membungkuk pelan sebelum menghadap pemuda jangkung dengan vest biru tua dengan bordir perak itu. Remaja itu menatapnya sengit.
"Kenapa, petal?" tanyanya mengejek. "Kau terkejut ya?" sambungnya dengan senyum miring yang mengganggu.
Edison menggeram kecil menyadari dirinya telah diperdaya dengan tipuan murahan, ia juga mendengar suatu nama yang membuat telinganya panas. "Kau jangan seenaknya menyebutku begitu!" ia menunjuk wajah pemuda yang lebih tinggi itu dengan telunjuknya.
"Whoops! Kau bisa menusuk mataku dengan jari lentikmu." Menangkap tangannya, pemuda pirang itu menunduk mendaratkan kecupan di belah bibir merahnya.
Edison membulatkan mata, pipinya merona. Ia menarik napas cepat saat merasakan sentakan listrik ketika tangan yang lebih besar itu meraup tangannya dan merasakan pergelangan tangan kirinya memanas sejenak ketika bibir mereka bertemu. Sepertinya pemuda itu merasakan hal sama karena ia pun membelalakkan matanya dan langsung melepas tangan berjemari panjang dan lentik tersebut. Mereka memeriksa pergelangan tangan kiri masing-masing dan berbagi tatapan horor.
"Ma-mama," ujar Edison pelan, dan takut-takut menyaksikan simbol jam berbentuk serupa dengan yang berada di tangan pemuda tersebut mengeluarkan pendar keemasan dan perlahan jarum panjangnya berdetak pelan.
Belum sempat pemuda itu mengucapkan sepatah kata, remaja itu telah berlari ke arah dua pasang suami istri yang ia kenali sebagai orang tuanya, dan mungkin yang berada di dekat mereka itu adalah orang tua anak itu. Oh, astaga. Harusnya ia tak tidur di atas pohon dan mematuhi perkataan ibunya untuk ikut turun sejak sepuluh menit yang lalu. Ekor matanya menangkap Sean, adiknya yang sama jangkung dan kurusnya telah melahap potongan pai apel dan pear secara bergantian. Oke, ia tidak akan mau menolong jika adiknya itu mengeluh sakit perut nanti malam, pikirnya seraya berjalan menghampiri orang tuanya di dekat rumpun begonia dan mawar yang masih meninggalkan bunga barang satu dua batang di sana.
Tergopoh-gopoh, Edison mendekati mereka sembari mengacungkan tangannya. "Mama! Mama!" serunya panik membuat keempat orang dewasa itu memusatkan atensi mereka padanya. "Mama, jamku berdetak. Mama aku takut!" tuturnya dengan mata yang memerah dan bibirnya yang digigiti olehnya sendiri, ketara sekali air matanya akan tumpah jika saja tidak ditenangkan.
"Oh Tao," seru ibunya yang memegangi tangan anaknya. Di sisinya baik suami maupun pasangan Wu memasang ekspresi terkejut yang sama dengan pertanyaan di benak mereka, siapa?
Senyum terulas di wajah mereka saat melihat Christian, putra sulung mereka melesat melewati sekumpulan remaja lain yang berusaha mengajaknya berbicara, tak menghiraukan panggilan gadis-gadis yang biasanya ia ladeni. Wajahnya pun juga sama pucat dan takutnya. Ditilik dari hal itu pun mereka sudah dapat membaca situasi sekarang.
"Hei, maafkan aku. Aku tak bermaksud begitu," Christian langsung mendaraskan ucapan maaf pada Edison yang masih terlihat kaget juga ketakutan. Di sekeliling mereka terdengar bisik-bisik dari para tamu yang diundang ke halaman belakang untuk menikmati jamuan sekaligus beramah-tamah untuk membuka relasi kerja sama dalam hal bisnis maupun lainnya.
Ayahnya membuka suara saat Edison, remaja berambut pirang kecokelatan itu memandang Christian dengan wajah linglung. "Christian, apakah kau mencium Edison kami?" tanyanya tanpa dipoles dengan kata-kata yang lebih halus membuat yang ditanya merasa tertohok dan sedikit takut.
"Ya," jawabnya setelah jeda di mana ia melirik remaja yang tadi ia perhatikan dari atas dahan birch lekat-lekat. Ia tertarik untuk menjahilinya karena wajahnya yang unik juga senyumnya yang manis untuk dilihat meski sejak tadi remaja itu sibuk sendiri menata piring-piring yang dibawanya bersama hidangan lain yang disajikan pelayan sejak sejam yang lalu. Ia tak menghiraukan pelayan yang hilir-mudik membawa nampan, tapi ketika seorang anak yang ia yakini sebaya adiknya itu datang, ia berhenti menghitung lengkung awan cumulus yang berarakan di langit.
Suara bisik-bisik terdengar jelas bagai dengung lebah yang membuat Edison tak nyaman, dan mulai beringsut mendekati tubuh ayahnya yang lebih besar. Christian melanjutkan kembali dengan wajah netral. "Dia soul mate-ku," deklamasinya seraya menaikkan tangannya dan tangan Edison, mempertontonkan simbol serupa di pergelangan tangann mereka yang masih menyala-nyala keemasan. Tanda bahwa simbol itu memang baru saja diaktifkan dengan sentuhan dari pasangan takdirnya yang tak lain tak bukan adalah Edison Huang.
Seorang gadis dengan rok nila terjatuh lemas, pingsan di sisi Sean yang buru-buru meloncat menghindar dengan piring berisikan padi ceri buatan nyonya Huang. Remaja itu masih sempat menggigit painya sebelum ibunya berdesis galak menyuruhnya untuk berhenti mengkonsumsi makanan manis. Dengan acungan ibu jari pada Christian, kakaknya, Sean menghabiskan makanannya sebelum meletakkan piring kosong di meja kecil di sisi taman bersama dengan piring-piring lain yang menumpuk.
"Chris!" seru ayahnya pelan di samping Christian yang masih memegang tangan Edison.
Christian tak menghiraukannya dan malah menunduk memandang Edison dengan ulasan senyum di wajahnya sementara remaja yang dipandanginya membalasnya bingung. "Ugh," gumamnya kikuk dipandangi remaja aneh yang tadi sempat mengagetinya tersebut. Jika ada lubang dalam tak berdasar saat ini, Edison ingin memasukinya untuk menghindari tatapan tak percaya maupun tertarik dari orang-orang yang notabene termasuk dalam lingkungan tempat tinggalnya. Lagipula, kenapa dia baru melihat pemuda ini sekarang? Aneh.
~†~†~†~
"Selamat datang," sambut pemuda berambut hitam legam dengan snapback cokelat tua berlogo café itu acuh tak acuh dengan senyuman yang dipaksakan. "Ada yang bisa saya bantu?" lanjutnya lagi.
Matanya menyusuri blackboard dengan tulisan kapur berwarna-warni berkesan klasik yang digantung di belakang sang barista di balik counter. "Aku ingin cinnamon dolce latte dan dua potong club sandwich dengan tartar sauce dimakan di tempat," diktenya cepat.
Tak sampai dua menit pesannya sudah tersedia di atas nampan cokelat berikut kembaliannya. "Silakan menikmati," tukasnya lagi dengan nada monoton yang sama kemudian mulai membesihkan counter tanpa menoleh sedikit pun pada pria berkemeja garis-garis krem dan merah tua yang menjadi pelanggannya.
Pria itu sendiri tak terlalu mempermasalahkan setelah menyunggingkan senyum sekilas yang ia tahu tak akan dibalas oleh sang barista yang kini sibuk membersihkan sisa krim yang tumpah dengan lap dan alat penyemprot di tangannya. Ia pun memilik duduk di pojok untuk menikmati sarapannya, tak peduli jika ia telat karena toh, ini masih pukul delapan kurang seperempat. Ia bisa menikmati paginya dengan tenang dan memandangi barista favoritnya dengan leluasa selagi melahap sandwich berisikan bacon dan potongan ayam goreng kesukaannya yang lezat.
Matanya tak lepas mengamati tindak-tanduk sang barista yang ia akui sangat ramping—ia takut jika pinggang itu akan patah jika dipeluknya. Mengerjap, pria itu menghabiskan makanannya dalam diam mencoba tak terlalu menghiraukan saat seorang pemuda yang mengenakan seragam yang sama dengan sang barista dan mungkin sedikit lebih muda darinya itu menghampirinya dari belakang. Ia tak melepaskan matanya dari pergerakan tangan pemuda yang baru datang itu untuk mampir ke pinggang yang sudah dua bulan terakhir ini ia kagumi.
Berulang kali pria itu berusaha menerka apa hubungan sang barista dengan name tag Tao dan pemuda ber-name tag Sehun. Penasaran, jujur saja, ia selalu bertanya-tanya melihat sang barista yang agaknya enggan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya selain Sehun itu. Begitu pula dengan pergelangan tangan kirinya yang senantiasa ditutup aksesoris berupa handband ataupun plester biasa untuk menyembunyikan simbol yang sudah ada semenjak mereka semua lahir. Bukan berarti orang-orang sekarang tak menutupi simbol di tangan mereka. Mayoritas mengenakan aksesoris berupa jam tangan atau gelap yang cukup untuk menyembunyikannya agar tak terlalu kasat mata. Miliknya sendiri tertutup jam tangan perak yang melingkar dengan nyaman, hanya menyisakan lengkung hitamnya mengintip sedikit dari ujung tali arloji.
Jika memikirkan bahwa pasangan hidupmu sudah ditentukan dengan simbol sederhana di pergelanganmu, rasanya itu sedikit terlalu memaksakan kehendak, dan terkadang cukup menyebalkan. Ia tahu jika umur biologisnya akan bergerak maju jika pasangan yang memang ditakdirkan untuknya sudah datang dan bertukar ciuman. Kris tahu semuanya terdengar seperti dongeng sebelum tidur bagi anak berusia balita, tetapi semuanya itu nyata di kehidupannya, di kehidupannya semua orang yang sama-sama menjalaninya di planet biru ini.
Usianya yang mencapai dua puluh empat tak berarti jika tubuhnya mencapai usia yang setara. Tubuh manusia akan berhenti menua di umur dua puluh sampai mereka menemukan pasangan yang digariskan untuk mereka. Dengan bertemunya dua jiwa yang direncanakan sebagai manifestasi dari dua pikiran berbeda, mereka akan selaju mengarungi hidup mereka dengan umur yang sama meski seringkali dengan kematangan jiwa yang berbeda.
Ia pernah mendengar cerita seorang pria berusia lima puluh tahun yang baru saja bertemu dengan istrinya dua bulan lalu yang ternyata berusia tiga puluh dua tahun dan berada di kota yang sama tetapi tak pernah bertemu. Terima kasih berkat teman mereka yang mengadakan pesta pertunangan, mereka akhirnya dapat melihat simbol identik di tangan mereka berpendar emas dan jarumnya berdetak untuk pertama kalinya. Terdengar mengharukan sekaligus menakutkan. Akankah ia berakhir dengan nasib yang sama? Mengejar takdir yang tak pasti hanya karena simbol bodoh dalam kehidupannya yang menghentikan perkembangan biologisnya sampai entah kapan.
Kris memiliki kepanikan tersendiri mengetahui jika pemerintah pernah menghukum mati seorang berusia hampir seratus dua puluh tahun yang tak menua seharipun dari umur dua puluh tahun. Pemuda, atau mungkin pria tua yang tak akan pernah menua itu berakhir di gantungan karena ketahuan membunuh dua orang yang ditakdirkan untuknya. Pertama, pada umurnya tiga puluh tahun ia bertemu seorang wanita baik yang ia ketahui memiliki simbol identik di lengannya—menolak hal itu, sang wanita tak berdosa berakhir terhanyut di sungai keesokan harinya tanpa bukti yang pasti selain catatan yang ternyata disimpan oleh pria itu sendiri. Yang kedua, di suatu pagi ketika umurnya mencapai delapan puluh lima tahun, ia menemukan bahwa simbol jam di tangannya yang sudah memudar sejak lama perlahan muncul kembali. Lima belas tahun kemudian ia menemukan seorang remaja berambut merah sebagai pasangan takdirnya ketika tanpa sengaja remaja itu menciumnya yang menurutnya, "sangat tampan". Naas, remaja itu berakhir membusuk di garasi villa musim panas milik keluarganya.
Kris menghabiskan minumannya, menenggak air mineral yang ia bawa dari rumah dan beranjak pergi dari sana dengan tas kulitnya. Sudah menjadi hal yang lumrah jika semua orang yang masih lajang tak lagi sembarangan menunjukkan simbol milik mereka di muka umum. Memangnya siapa yang ingin berakhir menjadi mayat? Dengan pikiran itu Kris menyusuri gedung kantor dan pertokoan hingga berakhir pada bangunan besar berwarna abu-abu yang menjadi tempatnya mencari nafkah.
Tao mengerjap, memandangi meja tempat bekas pria yang saban kali memesan sarapannya. Pria berambut pirang yang entah kenapa akhir-akhir ini sering mengunjungi mimpinya yang selalu samar, tak jelas, buram dengan potongan-potongan adegan tumpah-tindih yang mengakibatkan pusing berkepanjang di paginya. Berulang kali ia berdialog dengan dirinya sendiri apakah pantas bertanya langsung pada pria pirang yang entah kenapa seringkali mencuri pandang padanya itu? Bisa-bisa ia dianggap aneh dan café ini bisa kehilangan salah satu pelanggan setia yang royal memberikan tip.
Jika terus dipikirkan, ia menjadi tak bisa berkonsentrasi baik pada kuliahnya maupun pekerjaan sambilannya. Selalu berakhir dengan dirinya limbung dari tempat tidur hingga perlu bantuhan Sehun, sahabatnya sejak sekolah dasar yang sudah mengetahui dirinya luar-dalam. Tao yang sebenarnya enggan meminta tolong pada siapapun bahkan keluarganya sendiri merasa dirinya bagai benalu jika tak bisa mandiri dan terus-menerus bergantung pada kebaikan orang lain.
"Kau baik-baik saja, Tao? Perlu istirahat?" tanya Sehun pelan dari belakang beberapa menit yang lalu yang tentu saja ia jawab dengan gelengan pelan. Ia tak mau dianggap seenaknya karena Jiang Jinfu, sang pemilik café mengizinkannya untuk tak bekerja selama tiga hari yang lalu, dan sekarang ia sudah mau beristirahat sepagi ini? Bisa-bisa ia menjadi bulan-bulanan pegawai lain yang iri. Ia berusaha meminimalisir konflik dan menjalani hidupnya dengan damai. Dalam pikirannya, ia hanya perlu belajar dengan benar, bekerja, kemudian mengganti tiap sen uang yang dikeluarkan orang tuanya untuk kehidupannya hingga detik ini.
Menghela napas, ia menyambut kembali tamu yang masuk ditandai dentingan lonceng kecil yang ada di atas pintu, mengacuhkan rasa gatal pada kulit di bawah handband-nya. "Selamat datang, silakan."
.
.
.
Author's note: Terinspirasi dari post di Human of Tumblr facebook page. #CagarBudayaKT