Lelaki berusia pertengahan dua puluhan berambut pirang itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya serta mentup laptop nya dan menarik nafas serta menghembuskannya perlahan. Perutnya terasa benar-benar lapar hingga otak nya tak mampu bekerja dengan baik akibat perutnya yang terasa melilit.

Jam telah menunjukkan pukul setengah tiga sore dan lelaki itu sama sekali belum menyentuh bento yang dibeliinya dari vending machine lima belas menit sebelum jam kerja dimulai. Ia baru saja akan membuka kotak makan siang ketika ponselnya mendadak berbunyi.

Tanpa ragu, ia segera mengangkatnya tanpa melirik nama penelpon terlebih dahulu. Ia yakin jika yang menelponnya saat ini adalah sang kekasih yang mengajaknya makan siang bersama sehingga sudut bibirnya terangkat tanpa sadar.

"Moshi-moshi, teme."

"Ini aku, Naruto-kun," terdengar suara seorang waniita di seberang telepon.

"Ada apa, Karin-nee?" tanya Naruto seraya membuka laptop dengan satu tangan dan mengecek tanggal yang tertera. Saat ini merupakan tanggal sepuluh, dan seharusnya Karin sudah menerima uang yang dikirimkan Naruto setiap tanggal satu.

"Bolehkah aku meminjam uang padamu, Naruto-kun? Aku berjanji akan berusaha membayarmu secepatnya. Aku benar-benar membutuhkan uang untuk membayar kegiatan karya wisata anakku," ucap Karin dengan suara yang terdengar seperti akan menangis.

Naruto mengernyitkan dahi, merasa agak heran dengan ucapan Karin. Setiap bulan Naruto mengirimkan uang sejumlah tiga ratus lima puluh ribu yen, jumlah yang seharusnya cukup untuk membayar uang sekolah serta tagihan-tagihan rumah tangga Karin.

"Bukankah aku baru saja mengirimkan uang beberapa hari yang lalu, Karin-nee?"

"Aku tahu, Maafkan aku, tapi kekasihku meninggalkanku setelah menguras semua uang di tabungan yang kami buat bersama," ujar Karin dengan suara parau. Setelahnya tangisannya meledak di telepon.

"Bagaimana jika kita makan malam bersama pukul enam sore? Aku akan menjemputmu nanti,"

"Ah, baiklah. Kumohon, Naruto-kun. Untuk kali ini bantulah aku. Jaa ne."

Naruto terdiam. Sesudahnya ia segera mematikan ponselnya dan memijit pelipisnya yang mendadak terasa nyeri.

Beberapa tahun berlalu setelah ia lulus dari universitas dan kini ia bekerja sebagai manager di perusahaan milik Sasuke atas permintaan lelaki itu. Dan sudah bertahun-tahun pula Naruto mengirimkan uang bulanan kepada Karin yang sebetulnya merupakan seluruh uang yang didaptnya dari hasil penyewaan apartemen yang dibelikan Sasuke sebagai hadiah atas perayaan kedewasaan Naruto.

Sebetulnya Naruto sendiri sudah mendengar secara langsung dari Sasuke mengenai Karin yang berniat mengadopsi Naruto setelah mengetahui jika orang tua Naruto masih memiliki harta berupa uang asuransi sebesar lima puluh juta yen, sebuah rumah sederhana berukuran kecil serta sedikit perhiasan. Dan semua peninggalan orang tua Naruto disimpan oleh Sasuke dan diberikan pada Naruto tepat ketika Naruto berusia dua puluh tahun.

Namun Naruto memutuskan untuk tetap membantu perekonomian Karin karena merasa kasihan dengan kedua anak Karin yang hidup di dalam kemiskinan. Namun lama kelamaan ia mulai merasa jengah dengan wanita itu yang terkadang menghubunginya untuk meminjam uang meskipun Naruto telah memberikan uang. Dan Karin tak pernah bisa melunasi seluruh hutang-hutangnya sehingga Naruto terpaksa membiarkannya.

Naruto benar-benar terlarut dalam lamunannya hingga ia tak menyadari jika Sasuke kini sudah masuk kedalam ruangannya dan berdiri dihadapannya.

"Mengapa kau tidak membalas pesanku, dobe? Kau belum makan siang, kan?"

"AH!" Naruto memekik keras ketika menyadari sang kekasih kini telah berada dihadapannya. "Sejak kapan kau masuk ke ruanganku, teme? Lalu mengapa kau disini? Bukankah katanya kau harus menghadiri rapat hari ini?"

"Rapat?" Sasuke mengernyitkan dahi. Ia sama sekali tidak memiliki jadwal rapat hari ini. Hari ini pekerjaannya lebih sedikit disbanding biasanya sehingga ia sudah menyelesaikan seluruh pekerjaannya untuk hari ini dan dapat mengajak Naruto makan siang bersama.

"Eh? Hari ini rabu, kan?"

Sasuke menyeringai tipis. Sang kekasih pasti benar-benar kelaparan hingga otaknya menjadi kacau seperti ini. Menjalin hubungan romansa selama enam tahun dan lebih dari satu decade tinggal bersama Naruto membuat Sasuke mengetahui setiap hal mengenai Naruto, termasuk kebiasaan buruknya.

"Ini selasa, dobe," sahut Sasuke seraya mengambil kotak bento Naruto. "Biar kubawa ke ruanganku. Akan kupanaskan bentomu dengan microwave di ruanganku."

Naruto menggelengkan kepalanya, "Tidak usah, teme. Aku benar-benar lapar sekarang."

Sasuke kembali meletakkan kotak bento diatas meja dan mengelurkan bento yang jbaru dibelinya dari vending machine yang dipasang di kantornya, "Kalau begitu tukar saja dengan bentoku."

Naruto menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis, "Tidak apa-apa, kok. Aku sudah terbiasa memakan makanan dingin. Tapi kau pasti tidak terbiasa."

Sasuke tak menampik ucapan Naruto. Ia memang tak terbiasa dengan nasi yang keras dan makanan yang dingin, karena itulah ia membeli microwave untuk diletakkan didalam ruangannya. Ia bahkan tak begitu suka dengan makanan cepat saji dan tak akan mau memakannya jika bukan karena Naruto yang memperkenalkannya dengan makanan cepat saji yang ternyata cukup enak.

"Itadakimasu," seru Naruto seraya mengambil ayam dengan sumpit dan segera memakannya.

Sasuke segera membuka kotak bento dan menatap sang kekasih serta berkata, "Itadakimasu."

Naruto makan tanpa mengatakan apapun. Bento dingin yang dikonsumsi Naruto terasa masih cukup lezat bagi perutnya yang terasa sangat lapar. Namun entah kenapa Naruto tak begitu bernafsu makan. Raut wajahnya menunjukkan dengan jelas jika ada sesuatu yang menganggu pikirannya, terlihat dari tatapan Naruto yang menatap hampa ke dinding ataupun jendela.

Sasuke merasa tak nyaman melihat sang kekasih yang terlihat memikirkan sesuatu. Dan ia kini menjadi orang yang sangat penasaran dengan urusan orang lain ketika sudah berkaitan dengan Naruto.

"Sesuatu menganggu pikiranmu, dobe?"

Naruto menghentikan makannya. Ia menatap Sasuke sejenak dan terdiam. Haruskah ia bercerita pada Sasuke mengenai permasalahannya kali ini? Ia memang tak pernah menutupi apapun dari Sasuke, dan Sasuke juga tak pernah menutupi apapun dari dirinya, terkecuali hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Entah kenapa Sasuke tak pernah mau menceritakan permasalahan dalam pekerjaannya pada Naruto, dengan alasan tidak etis jika menceritakan masalah perusahaan pada bawahan.

"Karin-nee membuatku khawatir padanya," ujar Naruto dengan sedikit bimbang. Ia tahu jika Sasuke tak pernah menyukai Karin, dankarena itulah ia juga tak pernah mengundang Karin maupun anak-anaknya untuk datang ke rumahnya yang hingga kini masih ia tinggali bersama Sasuke, kekasih sekaligus mantan ayah adopsinya.

"Apa yang dilakukan wanita itu?" tanya Sasuke dengan sedikit rasa penasaran yang tersirat dari intonasi suaranya. Ia merasa penasaran dengan ulah wanita itu hingga membuat kekasihnya merasa khawatir.

"Karin-nee menghubungiku tadi," ucap Naruto. "Dia meminjam uang padaku untuk membayar biaya karya wisata kedua anaknya. Katanya kekasihnya baru saja memutuskannya dan menguras semua uang di tabungan yang dibuatnya bersama dengan kekasihnya. Aku bahkan tak pernah tahu jika dia memiliki kekasih baru."

Sasuke mendengus pelan. Dalam hati ia merasa agak jengkel dengan Karin. Setiap orang memang berhak jatuh cinta dan menjalin hubungan dengn siapapun, namun hal itu tidak berlaku jika seseorang telah memiliki anak. Sebelum memulai hubungan, setidaknya seseorang harus memikirkan anak terlebih dahulu. Setidaknya begitulah menurut opini Sasuke.

"Kau ingin tahu siapa kekasih Karin?"

Naruto tersentak mendengar ucapan Sasuke, "Eh? Memangnya kau tahu?"

Sasuke mengangguk. Minggu lalu ia merasa agak penasaran dengan kehidupan Karin saat ini sehingga memutuskan untuk menyewa detektif bayaran dan mencari informasi mengenai Karin, terutama setelah mendengar jika Naruto mengirimkan uang setiap bulan pada wanita itu. Ia ingin tahu apakah wanita itu sedang berusaha memperalat kekasihnya lagi atau tidak.

"Kekasihnya adalah seorang gigolo sekaligus penari striptease yang dua tahun lebih muda darimu. Karin bertemu dengan lelaki itu pertama kali ketika ia pergi ke diskotik dan memutuskan untuk mencari gigolo untuk menemaninya."

"APA?!" seru Naruto dengan suara meninggi hingga ia hampir tersedak makanan jika tidak cepat-cepat meminum segelas air yang berada diatas mejanya.

"Gigolo yang dua tahun lebih dariku? Dia tidak mungkin memakai uang yang kukirimkan setiap bulan untuk hal-hal semacam itu, kan?"

"Dia memakai uang yang kau berikan untuk biaya hidupnya bersama gigolo itu. Dan kedua anaknya terpaksa bekerja paruh waktu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Putrinya yang masih SMP bahkan memalsukan umur untuk bekerja paruh waktu."

Naruto mengepalkan tangan dengan marah. Ia merasa tertipu selama ini. Ia pikir ia sengaja memberikan uang dalam jumlah besar pada Karin dengan pemikiran agar kedua anak Karin bisa memiliki uang jajan yang cukup agar dapat bersekolah dengan baik tanpa harus bekerja.

"Jadi selama ini dia menipuku? Kurasa kini aku mengerti mengapa kau berusaha keras menjauhkanku darinya."

"Akhirnya kau sadar, hn?"

Naruto meringis. Tiba-tiba ia merasa bodoh karena pernah berpikir jika Sasuke memiliki maksud yang buruk terhadap dirinya ketika sebetulnya Sasuke berusaha keras melindunginya dengan cara lelaki itu sendiri.

"Gomen. Kupikir kau bermaksud buruk dengan menjauhkanku dari Karin-nee. Kurasa aku benar-benar salah paham."

"Aku tak akan memaafkanmu."

Naruto meringis. Ia benar-benar merasa tidak enak, "Kumohon maafkan aku, teme. Aku akan melakukan apapun asal kau memaafkanku, teme.'

Sasuke menyeringai, "Apapun?"

"Ya, apapun."

"Bagaimana jika kau melayaniku di tempat tidur malam ini?"

Wajah Naruto memerah bagaikan tomat. Ia merasa malu hanya dengan membayangkannya. Namun ia segera menganggukan kepala, "Baiklah kalau itu yang kau inginkan, teme."

Sasuke tersenyum seraya meletakkan tangan di kepala kekasihnya dan mulai mengacak-acak rambut lelaki itu, "Tidak perlu. Aku masih sanggup menunggu beberapa bulan lagi hingga malam pernikahan kita."

Naruto tak mampu menahan diri untuk tidak tersenyum. Tujuh bulan lagi status yang tertera di kolom kartu identitasnya akan berubah. Statusnya tak lagi lajang, melainkan menikah. Ia tersenyum seraya menatap sang calon suami yang kini berada dihadapannya.

"Bagaimana kalau aku membatalkan pernikahanku? Bisa saja aku kabur di hari pernikahanku. Iya kan, teme?"

"Lakukan saja."

Naruto menyadari jika Sasuke pasti sedang tidak serius. Raut wajah dan intonasi suara lelaki itu menjelaskan segalanya.

"Serius?"

"Hn."

Naruto tertawa melihat ekspresi Sasuke yang terlihat datar, "Mana mungkin aku melakukannya? Dimana lagi aku bisa menemukan lelaki yang mencintaiku dan mau menerimaku apa adanya sepertimu? Bagaimanapun juga aku berhutang sangat banyak padamu."

"Jadi, kau bersedia menjadi suamiku karena merasa tidak enak padaku, dobe?" goda Sasuke pada lelaki yang sebentar lagi akan dinikahinya.

"Kau lupa siapa yang pertama kali menyatakan perasaan, teme?"

Sasuke meneguk ludah. Ia merasa harga dirinya agak terluka setiap kali mengingat pernyataan perasaan yang diucapkan Naruto.

Naruto tersenyum lebar sambil menatap Sasuke. Ia mendadak teringat satu hal dan segera berkata, "Omong-omong, bolehkah aku mengundang Karin-nee di pesta pernikahan kita nanti?"

Sasuke menganggukan kepala tanpa ragu. Bersama dengan Naruto mengubah kepribadiannya, membuatnya menjadi sosok yang lebih pemaaf pada orang lain. Menurutnya Naruto adalah orang yang sangat pemaaf hingga terkadang Sasuke merasa jika Naruto benar-benar bodoh.

"Benar nih?" Naruto bertanya dengan ragu.

"Undang saja. Lagipula dia keluargamu, hn?"

"Arigatou," ucap Naruto.

Naruto mendadak teringat dengan janjinya untuk bertemu Karin. Dan ia segera memberitahukannya pada sang kekasih. Dan reaksi Sasuke yang diluar dugaan membuatnya benar-benar terkejut hingga matanya terbelalak lebar dan untuk sesaat mulutnya terbuka tanpa ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.

.

.

Karin berseta kedua anaknya berjalan mengikuti pelayan yang mengantarnya ke meja setelah mengatakan jika ia bersama dengan Uzumaki Naruto. Ia merasa agak heran dengan Naruto yang mendadak menelponnya dan batal untuk menjemputnya serta memintanya untuk bertemu di sebuah restoran pukul enam sore.

Langkah Karin mendadak terhenti ketika ia menatap lelaki yang duduk di samping Naruto. Bertahun-tahun telah berlalu dan wajah yang dikenalinya itu sedikit berubah, namun ia masih sangat mengenali wajah yang terkadang muncul di televisi, artikel internet dan majalah bisnis itu.

Sasuke tak melakukan apapun. Ia hanya duduk diam dan menatap kearahnya, namun Karin merasa sangat tidak nyaman hingga ia merasa ingin berbalik badan dan pergi saat ini juga.

"Konbawa, Naruto-nii," ucap kedua anak Karin seraya berjalan menghampiri meja Naruto, membuat Karin terpaksa berjalan mengikuti kedua anaknya.

"Konbawa," ucap Naruto sambil tersenyum tipis. Ia menyadari tatapan keheranan kedua sepupunya serta berkata, "Perkenalkan. Ini calon suamiku, Uchiha Sasuke."

Sasuke tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya, mengajak Karin dan kedua anaknya untuk bersalaman sebagai formalitas. Ia menyadari jika tangan Karin terasa agak kasar untuk ukuran wanita, pertanda jika wanita itu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Selain itu wajah Karin juga benar-benar menua dibanding kali terakhir ia melihatnya.

Karin tampak terkejut, begitupun dengan kedua anaknya. Bukan karena mereka terkejut dengan orientasi seksual Naruto yang menyimpang. Toh hubungan sejenis merupakan hal yang legal di masa kini. Mereka terkejut dengan sosok lelaki yang kini menjadi calon suami Naruto.

"E-eh? Bukankah Uchiha-jiisan baru saja muncul di televisi beberapa hari yang lalu?" ucap Rika secara refleks.

"Hn? Kau menonton acara talk show di channel itu juga?" Sasuke agak terkejut.

Beberapa hari yang lalu Sasuke memang mendapat undangan untuk tampil di acara talk show yang disiarkan di channel TV yang kebanyakan membahas soal bisnis, saham dan sejenisnya. Mayoritas penonton acara di channel itu adalah para professional yang berusia tiga puluhan keatas.

"Ya. Aku memang suka dengan acara-acara di channel itu. Kemarin aku bahkan memasang alarm di ponselku agar tidak lupa untuk menonton acara talk show yang mengundangmu."

Baik Sasuke dan Naruto tampak terkejut. Sementara Shin dan Karin sudah meringis mendengar penuturan Rika yang penuh semangat itu.

"Maaf. Anakku memiliki hobi yang agak aneh. Dia memang sering menonton acara-acara di channel bisnis."

Sasuke tersenyum tipis secara refleks. Rasanya agak lucu melihat eorang gadis SMP yang malah menyukai acara-acara bisnis, bukan menonton animasi atau drama yang diperankan oleh para aktor tampan.

"Rika bercita-cita menjadi pengusaha?" tanya Sasuke dengan nada yang agak lembut dibandingkan biasanya.

Rika menganggukan kepala dengan malu-malu.

Dua orang pelayan datang mengantarkan makanan yang dipesan secara khusus oleh Sasuke. Menu makanan di restoran ini merupakan berbagai set menu yang terdiri dari appetizer, entrée, main course dan dessert.

Pelayan itu meletakkan appetizer yang seluruhnya sama, yakni semangkuk sup krim tomat. Naruto mendelik kearah Sasuke begitu menyadari Sasuke memesan sup tomat untuk semua orang, namun Sasuke berpura-pura mengacuhkannya.

"Sekarang Rika dan Shin kelas berapa?" tanya Sasuke dengan maksud berbasa-basi. Sebetulnya apa yang ia lakukan merupakan bagian dari rencananya.

"Aku kelas dua SMP," sahut Rika.

"Aku kelas satu SMA," ucap Shin pada Sasuke.

Sasuke melirik Shin lekat-lekat, "Apakah kau memiliki rencana untuk masa depanmu, Shin?"

Shin terdiam sejenak. Ia merasa agak gugup dengan pertanyaan semacam itu. Namun ia segera menjawab, "Mungkin… aku ingin menjadi pianis. Tapi…"

Sasuke mengernyitkan dahi, "Tapi-?"

Shin tidak enak melanjutkan ucapannya. Ia terdiam dan Karin segera mendelik serta berbisik dengan suara pelan namun entah kenapa dapat didengar Naruto, "Apa-apaan,sih? Cita-citamu sangat tidak masuk akal. Kau sendiri tahu betapa mahalnya harga piano dan kursus piano, kan? Lagipula mana ada orang yang baru belajar main piano di usiamu?"

Shin benar-benar terdiam. Ekspresinya terlihat hancur, namun sesaat kemudian raut wajahnya kembali datar.

Naruto menyadari jika Shin adalah tipe orang yang agak pendiam dan sepertinya agak pemalu, bertolak belakang dengan Karin. Dan Naruto merasa jengkel mendengar ucapan Karin.

"Cita-citamu tidak mustahil, kok. Bahkan kalaupun kau bercita-cita ingin menjadi astronot atau presiden juga tidak mustahil," ucap Naruto dengan maksud membesarkan hati Shin.

Sasuke segera menganggukan kepala dan menatap Shin serta Rika bergantian. Ia tak sabar lagi untuk langsung mengungkapkan rencananya, "Begini saja, bagaimana kalau kalian bersekolah di sekolah almamaterku? Disana memiliki kelas untuk belajar piano. Kalian pasti menyukai sekolahnya."

"Eh? Tokyo International School?"

Sasuke mengerjap sesaat. Ah, Rika pasti merupakan penggemarnya dan bahkan membaca biografi nya di Wikipedia. Atau jangan-jangan gadis itu malah membaca buku autobiografi yang ditulisnya secara iseng dan diluar dugaan malah laku keras di pasaran.

"Hn. Aku yang akan membayar biayanya. Kudengar sekolah itu menyediakan asrama sekarang. Atau kalian juga bisa tinggal di rumahku kalau mau."

Naruto terkejut dengan tawaran Sasuke pada Rika dan Shin. Sejak kapan sang kekasih yang tak menyukai anak-anak kini malah bersedia merawat anak-anak? Terlebih lagi anak dari seseorang yang dibencinya. Dan ia juga terkejut dengan suara Sasuke yang terdengar lembut pada kedua sepupunya.

"Terima kasih. Tapi kami tidak ingin terlalu banyak merepotkan,"

Sasuke menggelengkan kepala. Ia memang berniat memindahkan sekolah kedua anak itu dan membiarkan kedua anak itu tinggal di asrama atau di rumahnya agar tidak ada lagi alasan bagi Karin untuk meminta uang setiap bulan dari Naruto.

.

.

Naruto menatap takjub kearah Sasuke. Entah bagaimana, lelaki itu mampu mempersuasi Rika dan Shin untuk bersedia pindah sekolah dan tinggal di asrama serta meninggalkan Karin. Ia tak menduga jika Sasuke dapat menghadapi anak-ana dengan cara yang tidak terduga.

"Kau benar-benar menawarkan Shin dan Rika-chan untuk tinggal di rumah? Bagaimana kalau mereka benar-benar bersedia?"

"Tidak masalah," sahut Sasuke. "Beberapa bulan lagi aku berencana mengajak mereka tinggal di rumah. Kurasa Shin perlu mengikuti kursus piano."

"Hah?" Naruto terkejut. "Kau serius? Bukankah biasanya kau tidak suka anak-anak? Aku benar-benar terkejut dengan rencanamu tadi."

Sasuke tak tahu kenapa, namun ia mulai menjadi lebih menyukai anak-anak setelah bertemu Naruto. Lagipula sebetulnya Shin dan Rika sudah bukan lagi anak-anak.

Ia menepuk bahu Naruto dan menjawab, "Kurasa mereka bukan anak-anak. Lagipula, bukankah kau menginginkan anak sesudah menikah?"

Naruto teringat jika ia mengatakan kalau ia ingin membesarkan seorang anak suatu saat nanti. Namun karena Sasuke tidak menyukai anak-anak, ia mengurungkn niatnya dan berpikir untuk mulai mengunjungi panti asuhan dan menemui anak-anak disana.

"Tidak juga. Bukankah kau tidak menyukai anak-anak, teme?"

"Dua," sahut Sasuke dengan reaksi yang membuat Naruto bingung. "Gunakan jasa ibu pengganti. Satu dari benihmu dan satu dariku."

Butuh waktu beberapa lama hingga Naruto mampu mencerna makna dari ucapan Sasuke. Ketika ia menyadarinya, ia merasa agak terkejut dengan ucapan Sasuke. Namun sesaat kemudian sudut bibirnya terangkat dan membentuk seulas senyum.

"Ah. Rasanya aku malah tidak sabar menunggu hari pernikahanku denganmu. Dan aku tak bisa membayangkan bagaimana jika kita memiliki anak. Kurasa rumah akan semakin ramai."

Sasuke menyeringai. Ia mendekatkan wajahnya seolah hendak mengecup pipi Naruto, namun ia berbisik, "Atau kau tidak sabar menunggu 'malam kedua' bersamaku, hn?"

Wajah Naruto sedikit tersipu. Ia merasa agak malu hanya dengan mendengarnya. Sasuke mengecup pipi Naruto sebelum memeluknya.

Sasuke tak ingin mengakuinya, namun sebetulnya ia juga tak sabar menanti hari pernikahan nya dengan sang kekasih.

-The End-


Author's Note:


Awalnya author ga berniat buat special chapter, cuma berhubung banyak pembaca yang penasaran sama kelanjutan SasuNaru, akhirnya author buat special chapter ini.

Berhubung besok natal, selamat natal bagi yang merayakan.