Wahaa, maaf ya tidak update untuk beberapa lama XD


Loser, loner
A coward who pretends to be tough
A mean delinquent
In the mirror, you're
JUST A LOSER
A loner, a jackass covered in scars
Dirty trash
In the mirror, I'm a..

I curse the blue skies
Sometimes I wanna lay it all down
I WANT TO SAY GOOD BYE
When I stop wandering at the end of this road
I hope I can close my eyes without regrets

Midorima Shintarō

Ditengah perjalanan panjangku menuju prefektur Harima, aku termenung diam dalam kereta yang melesat dengan kecepatan tinggi, membawa tubuhku pergi- sementara benakku berkelana, menyusuri sisi-sisi kelebatan ingatan yang entah mengapa semakin suram.

Jika harus jujur, ini adalah pertama kalinya pikiranku kosong seperti ini. Tidak ada rumus, persoalan, atau masalah yang ku khawatirkan. Apa ini semua karena aku menghadiri pemakaman temanku, yang mengubah pandangan hidupku menjadi seperti sekarang?

Walaupun sikapku acuh tak acuh dengan yang lain, namun nyatanya aku sering mendoakan mereka agar semuanya sehat dan diberi kemudahan oleh Kami-sama. Aku bukannya munafik, atau mencoba tertutup. Aku hanya merasa hal itu tidak perlu dibesar-besarkan.

Memang benar apa kata orang terhadap diriku, bahwa aku ini tsundere. Julukan konyol yang mereka letakan setelah menelaah sikap peduliku yang tertimbun tingkah laku tak acuh.

Aku tidak menampiknya, karena itu memang kenyataan, memikirkannya saja membuatku menyeringai sendiri seperti orang gila.
Satu hal yang sangat bukan Midorima, mungkin itu yang akan Takao- temanku, katakan.

Tapi, disatu sisi aku sangat menyadari betapa kehilangannya seorang Akashi. Bagiamana tidak? Akashi dan Kuroko itu saling mencintai, tak peduli jika dunia ini menentang, persetan dengan sekitar.
Cinta mereka tulus dan murni. Tidak terjamah hal kotor atau nista sebagaimana bila insan lainnya yang saling jatuh cinta.

Kuroko yang tak pernah menuntut. Akashi yang tak kusangka memiliki sisi lembut. Jika tidak ada yang mau menerima mereka, lantas, dengan definisi macam apa lagi aku akan menjabarkan cinta? Mereka, keduanya, keras kepala. Pantang menyerah bahkan saat sudah begitu lelah. Hal itu tidak mengagetkanku, yang membuatku terkejut adalah fakta; betapa besar cinta mereka berdua, sampai-sampai tidak mampu lagi menahan mereka tetap disini.

Begitu pula yang dirasakan Aomine, dia juga kehilangan salah satu teman yang paling berharga. Seharusnya akulah yang paling bersyukur, tapi entah mengapa aku tidak merasakan nikmat hidup yang dapat dinikmati sebagaimana mestinya.

"Stasiun Harima, Stasiun Harima, sebentar lagi kereta akan memasuki Stasiun Harima." Ah, ternyata cukup lama juga aku melamun, dan tanpa kusadari sebentar lagi kereta akan sampai.


Sungguh pagi hari yang sangat cerah untuk mengawali hari, mungkin kata-kata itu akan lebih pantas apabila orang lain yang mengatakannya, tapi tidak denganku. Aku beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi, setelah selesai aku beranjak ke dapur setelah mempersiapkan kemeja yang kugantung agar tidak kotor saat sarapan.

Memasak satu set omelette untuk sarapan, dan satu set bento untukku nanti dikantor, 'rumah' kedua untukku setelah rumah yang kubeli dengan hasil jerih payah sendiri dan sedikit memutar otak untuk mendapatkan pendapatan tambahan diluar gaji pokok. Setelah semaunya siap, aku pun bergegas menuju kantor dan bekerja dari jam 9 pagi hingga 5 sore, itupun kalau aku tidak lembur.

Dan siklus itu, selalu kuulang-ulang tanpa henti.
Hingga suatu hari, perasaan itu datang dimana aku sudah mencapai titik terjenuh dalam hidupku yang monoton dan tanpa warna ini. Kedua kakiku seperti tak bisa digerakkan sesuai keinginan, namun menuruti rutinitas yang ingin kuhindari selama ini.

Aku merasa seperti menjadi robot, bergerak dengan otomatis ke tempat yang selalu sama dengan tata letaknya yang sama, seakan-akan ada penanda dimana aku harus berhenti dan dimana aku tidak boleh berhenti. Suka atau tidak, raga ini tak perduli lagi dengan itu.

Sungguh, aku sudah muak dengan semua rutinitasku. Jenuh, tapi tidak akan terasa lebih baik kalau aku berhenti. Tak ingin lagi bermain basket, enggan keluar rumah, bahkan dirumahpun aku sering tidak makan seharian.

Mungkin ini rasanya bosan, pada taraf kesekian. Padahal Oha-asa selalu memihakku akhir-akhir ini, alumnus anggota Shutoku yang lain juga tidak membuatku kesal ataupun membuatku malu dengan sikap mereka, semuanya berjalan lancar sesuai denga keinginanku.
Sesuai dengan rencanaku.

Tapi kenapa? Apa yang kurang dari itu semua? Kenapa rasanya aku ingin mengakhiri hidupku yang berharga ini? Kenapa semua manusia yang ada dimuka bumi ini lebih mencintai kehidupan ketimbang kematian? Padahal kehidupan yang saat ini kita jalani ini hanyalah kebahagiaan semu, dan kematian itu adalah kenyataan yang menyakitkan bagi siapa saja yang merasakannya.
Bukankah, kita hidup untuk mati?

Seberapapun bahagianya, semua itu akan berakhir, bukan?

Betapa menyenangkan menjadi Kuroko-nanodayo, dia sudah bisa pergi kealam yang sebenarnya.
Sudah dapat mencicipi kedamaian sesungguhnya.

Sedangkan aku dan yang lain masih harus terus berjuang di dunia yang penuh tipu daya muslihat- yang sudah menjadi makanan sehari-hariku semenjak lulus dari bangku kuliah.
Dunia penjilat, berisi para keparat yang rela melakukan apa saja demi sedikit harta yang fana dan tak akan bisa dibawa ke tempat peristirahatan abadi.

Manusia itu sangat takut dengan kata-kata 'kematian', namun mereka semua- tak terkecuali aku, akan merasakan kematian itu juga. Lalu apa yang sebenarnya mereka takuti dari kematian itu sendiri?

Aku juga pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa manusia itu lahir tidak membawa apa-apa, dan manusia juga mati tidak membawa apa-apa. Awalnya aku tidak percaya, tapi setelah aku melihat kematian itu sendiri dengan mata kepalaku, aku harus percaya pada kata-kata itu; orang itu benar.
Semua orang, sesungguhnya menghitung mundur kematian. Menyicil perbekalan pribadi, untuk urusan ia dan Tuhannya di hari akhir nanti.

Kapan ini semua harus berakhir? Aku lelah dengan pekerjaanku, yang mengharuskanku bekerja setiap hari tanpa libur.

Penat. Tak ada penawarnya. Rasa sakit ini hanya tumbuh semakin besar setiap harinya.
Rasanya seperti jalan yang tidak ada ujungnya, disaat ingin memutar arah semua sudah terlambat untuk diulang, pilihan terakhirya hanyalah terus melangkah maju; itu pendapat orang-orang berintelek yang tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya, jika sudah tidak bisa lagi 'melangkah' untuk selamanya.

Dan disinilah aku, stagnan. Diam ditempat. Menghitung laju detik konstan. Menatap kehidupan lewat kacamata idealis, yang harapan hidupnya semakin hancur karna alasan tak logis yang tersaji.

Selintas, pikiran untuk mengakhiri hidup pun muncul. "Apa lebih baik aku akhiri saja semua ini? Toh tidak ada yang memperhatikanku-nanodayo" gumamnya, dan semakin aku memikirkannya, semakin ingin rasanya seorang Midorima Shintarō untuk terlepas dari jeratan duniawi yang fana ini.


Hari demi hari, aku terus mencoba untuk tegar menghadapi kehidupan yang hanya bagaikan ilusi, menghipnotis bagi siapa saja yang tinggal untuk terus mencari kenikmatan yang tidak akan pernah abadi.

"Aku sudah tidak tahan lagi" gumamku dalam hati, sembari menyeruput secangkir kopi hitam yang pahit, sama pahitnya dengan kenyataan dunia yang sesungguhnya. Apa aku ini sebenarnya orang yang egois? Memetingkan diri sendiri tanpa mengetahui dampak yang akan timbul pada sekitar? Mungkin iya; aku ini egois. Hanya memikirkan diri sendiri dan berkata dengan mudahnya bahwa seorang Midorima Shintarō adalah orang yang tidak pantas untuk diperhatikan.

Daripada terus bergumam, aku seharusnya membulatkan tekad. Hari ini, aku sudah memantapkan diri untuk mengakhiri semuanya. Sungguh tekad yang bodoh bukan? Dan tekad itu aku mulai dari membersihkan seluruh rumah yang kutinggali selama ini, dan menaruh semua persediaan makanan yang ada kedalam kulkas. Tak lupa aku juga menulis surat permohonan maaf kepada orangtuaku karena telah mengecewakan mereka selama ini.

Setelah semua urusan rumah telah usai, aku menitipkan kunci rumahku kepada tetangga terdekat agar disaat keluargaku datang, tak perlu lagi repot-repot mencari dimana aku menyelipkan kunci.

Sungguh perjalanan yang menjenuhkan, dan aku melihat lagi pemandangan yang sudah tak ingin kutemui. Yah, meskipun aku tidak akan menemukan pemandangan seperti ini; aku akan mengakhiri ini semua.

Sebuah cerita yang sudah dilukiskan dengan sebaik-baiknya oleh Kami-sama, dan kini aku akan mengakhiri jalan cerita yang terukir. Iya, aku memang naif. Ah Sudahlah! aku tidak ingin memperpanjang lagi urusanku di tengah alam yang buas ini.

Aku pun menaiki kendaraan yang Takao tinggalkan di rumahku, jika aku butuh ya tinggal dipakai, toh dia menumpang di tempatku. Sebelum itu, lebih baik aku tulis notes terlebih dahulu agar Takao mengambil mobil ini di tempat yang akan kukunjungi. Mobil pun melesat menuju gedung yang meninggalkan kenangan pahit yang membekas dalam benak, dan menjadi saksi bisu dalam perjalanan karir yang aku bangun dari awal.

Kami-sama, tolong terima aku. Dengan berdiri di lantai teratas gedung pencakar langit tertinggi yang dapat kutemui, aku melangkah dengan perlahan menuju alam lain yang sudah aku impikan. Namun, Aku bisa merasakan angin yang seakan mendorongku, seperti ingin menahan ragaku untuk terus melangkah.

Aneh, tiba-tiba ragaku meminta untuk sekedar merebahkan diri di tengah atap gedung ini, yasudah kuturuti saja, lagipula nanti aku akan menemui Kami-sama. "Ah, langitnya sangat indah untuk dipandang." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa ada aba-aba atau perintah dari otakku.

Sekarang? Kenapa aku malah menikmati berbaring diatap gedung seperti ini? Lagi-lagi perkataan kebanyakan orang memang benar, jika Tuhan berkehendak, ia akan mudah membalikkan keadaan dengan sekali kedipan mata. Sekarang, niatku untuk mengakhiri hidup malah memudar dengan sendirinya.

Hei, Midorima? Kamu sudah terlanjur melakukan persiapan untuk hari ini. Kira-kira begitulah akalku berbicara, sebenarnya bisa saja aku tidak melakukan ini, tapi aku sudah bosan dengan dunia yang semakin menua usianya, namun daya tariknya semakin menjadi-jadi untuk para penjilat.

Akhirnya badanku beranjak dari tempat aku berbaring, dan berjalan menuju dunia lain, tempat yang seharusnya raga ini berada. Bukan disini.

"SHIN-CHAN!"

Ah, rasanya aku seperti mendengar teriakan Takao. Sudah berapa lama ya aku tidak menyapanya? Mungkin sudah lama semenjak kami lulus dari Shutoku, dan berpisah karena arah hidup yang berbeda. Takao, maaf karena telah membuatmu jauh-jauh datang kesini, dan aku yang malah terjun bebas untuk menjemput ajalku sendiri.

Tapi, aneh juga ya? Aku memberikan tempat kepadanya, tapi tak pernah berkomunikasi? Hanya sekedar menyapa saja benar-benar tidak ada waktu. Hah, aku ini kan egois, memetingkan diri sendiri. Ah sudahlah, sekali lagi maafkan aku Takao.

Aku memutarkan badanku, dan aku pun terjun bebas dari gedung tertinggi yang ada di kota ini setelah melihat Takao yang hampir menggapai badanku, mencegahku untuk bertemu Kami-sama. Sakit, itulah yang pertama kali kurasakan setelah terjun bebas menikmati udara kota dan membentur aspal dengna sangat keras.

"Midorima-kun?" tanya salah seorang yang menghampiriku, aku tidak bisa melihat apa-apa selain cahaya yang menyilaukan mata dan seorang laki-laki dengan rambut biru. HAH? Rambut biru?

Kucoba untuk memfokuskan kembali mataku kepada orang yang saat ini masih berdiri disampingku yang saat ini tergeletak. "KUROKO?"


Last Chapter:

Akashi Seijurō

Tapi berhubung ada kendala dari partner, jadi belum bisa merilis chapter terakhir. Maafkan kami ^_^V

Bye Bye!