"Kau tak akan memukulku atau menendangku?"

Lu Han memandang sosok yang telah dua hari menjadi kawannya di ruang pengap ini dengan pandangan penuh dengan rasa ingin tahu. Ia kini duduk di bangku yang terletak di pojok ruangan membelakangi jendela kecil, sementara Sehun sedang duduk di salah satu sofa tunggal di samping pintu masuk. Tangannya bergerak lincah menyusuri ponsel di tangannya. Sesekali, keningnya akan mengerut dan bibirnya akan melengkung ke bawah, namun dengan cepat ia akan kembali memasang tampang datar, tak ingin memberi Lu Han satupun reaksi di wajahnya.

"Tidak," jawabnya pendek.

Namun Lu Han, seperti itulah dia, takkan berhenti dengan satu jawaban tak meyakinkan seperti itu.

"Kenapa?" tanyanya, seolah menginginkan alasan pasti yang mendasari mengapa seorang penculik—atau penyandera, dalam kasus ini—tidak melakukan tugasnya. Tidak, bukannya Lu Han seorang masokis yang suka ditendang dan disakiti. Ia masih sayang tubuh dan nyawanya, terima kasih. Namun ada keingintahuan yang muncul setiap kali Tuan Penyandera—begitulah Lu Han memanggilnya, karena si Tuan itu akan selalu memandangnya sinis dan tajam ketika ia memanggilnya dengan nama aslinya—lebih memilih untuk mengancamnya dengan kalimat alih-alih melakukan kekerasan padanya.

Sehun mengangkat pandangannya dari ponsel dalam genggamannya dan memilih untuk menatap Lu Han di seberang ruangan. Matanya berkilat tajam, namun Lu Han tak gentar ketika memandangnya. Ia malah berdehem kecil dan mengangkat alisnya, menunggu jawaban dari Sehun.

Beberapa detik berlalu, namun Lu Han tak juga mendapat jawaban sebelum akhirnya—

"Aku dimintai tolong oleh seseorang untuk tak menyakitimu."

Lu Han mengangkat alisnya tak paham. Seseorang? Untuk tak menyakitinya?

"Seseorang?" Lu Han menyuarakan pikirannya keras-keras. Ia menunduk memandang jemari tangannya yang berada di atas pangkuannya. Keningnya mengerut, memikirkan pemikirannya yang bisa saja benar, karena—

Sehun mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian menegakkan tubuhnya hingga ia bisa melihat sosok Lu Han dengan baik.

"Kukira kau sudah bisa menebak siapa orang itu, kan? Bukankah kau adalah seorang ilmuwan?"

Lu Han mengangguk, namun tak juga mengangkat kepalanya. Keningnya masih mengerut sempurna, agak tak yakin dengan pikirannya sendiri. Mungkinkah, Kris yang menyuruh si Tuan Penyandera untuk tak menyakitinya? Lalu mengapa? Mengapa bukan ia sendiri yang datang kesini, atau lebih baik lagi—menyelamatkannya? Bukankah ia adalah mafia paling ditakuti? Apakah sebegitu takutnya ia pada ayahnya dan kekuasaan yang ia miliki, jadi ia tak mau repot-repot berurusan apalagi menyelamatkan Lu Han?

Mengapa?

Mengapa ia tak datang, dan malah—

"Mengapa?" Lagi-lagi, Lu Han menyuarakan pikirannya keras-keras.

Ia akhirnya mengangkat pandangannya, kemudian keping matanya bertemu dengan iris Sehun yang menatapnya tajam.

"Mengapa bukan ia yang datang kesini?"

Sehun mengangkat alisnya. "Apakah itu sangat penting bagimu?"

Apakah itu sangat penting bagi Lu Han? Lu Han mengangguk dalam diam. Ia meneguk ludahnya sendiri, menatap Sehun penuh dengan rasa keingintahuan.

Ia ingin tahu mengapa Kris menolak bertemu dengannya.

Ia ingin tahu mengapa Kris seolah telah menghapus sosoknya dari ingatan dan kehidupannya.

Ia ingin tahu mengapa—

"Jujur saja, akupun tak tahu. Namun kurasa, ia punya alasan yang tak ingin diketahui olehmu."

Lu Han menurunkan pandangannya, namun lirih suaranya kembali terdengar menggema di seluruh ruangan pengap tersebut.

"Apakah ia—takut?"

Sehun mengangkat bahunya walau ia tahu Lu Han takkan melihatnya. "Mungkin ya, mungkin juga tidak."

Lu Han merenung dan tanpa sadar, ia mengangkat kakinya hingga lengannya bergelung memeluk lututnya sendiri. Ia menggigit bibirnya, menelaah semua alasan mengapa Kris bertingkah seolah ia tak ingin berurusan lagi dengan Lu Han.

"Hey."

Lu Han mendongak mendengar suara Sehun yang memanggilnya. Ia mengangkat salah satu alisnya, menatap Sehun yang sepertinya terlihat begitu ingin bertanya, namun lebih memilih untuk berhati-hati.

"Ya?"

Beberapa kali, Lu Han melihat Sehun melayangkan pandangannya keseluruh ruangan, mencoba menemukan kata yang tepat untuk bicara, mungkin, atau sekadar ingin mengalihkan pandangan kearah lain, asal bukan Lu Han.

"Yang perlu kauketahui di sini adalah—aku tak menyiksamu karena ia meminta tolong padaku agar melakukan hal itu, dan kupikir ia sangat peduli padamu."

Lu Han memajukan bibirnya. "Tindakan heroik yang separuh-separuh seperti itu membuatku muak. Kenapa ia tak kesini saja dan membebaskanku kalau ia peduli padaku?"

"Kenapa kau tak memberikan serum itu saja dari pada ia harus mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanmu?"

Lu Han mengernyit menatap Sehun yang kini menatapnya dengan pandangan menantang.

"Cih. Menyelamatkanku tidak se-ngeri itu. Bukankah dia mafia kelas kakap? Tentu mudah baginya untuk menembak mati semua pengawal ayahku, kan?"

Sedetik setelah mengucapkannya, Lu Han mendengar suara tawa dari mulut Sehun. Suara tawa yang penuh dengan nada sarkasme dan hinaan. Lu Han merengut mendengarnya, namun lebih memilih untuk diam dan menenggelamkan kepalanya pada kedua lengannya.

"Kau memang tak mengerti tentang hal-hal seperti ini, ya, rupanya."

Lu Han memutar mata, namun menolak untuk bicara.

"Tidak semudah itu membunuh orang, kau tahu? Walaupun kelihatannya kami ini berpengalaman dan ditakuti banyak orang, tak semudah itu membunuh dengan pelatuk. Apalagi membunuh orang-orang kaki tangan seorang yang punya kuasa besar seperti ayahmu. Ketika kami salah langkah sedikit, saja, bukan hanya nyawa kami sendiri taruhannya, namun juga nyawa orang-orang yang ada di dekat kami."

Lu Han mengangkat kepalanya, menelusuri sosok Sehun yang mengucapkan kalimat tersebut dengan nada yang berbeda. Kali ini, ketika mengucapkan kalimat terakhir, nadanya memberat, seakan ia tak ingin mengakuinya namun telah terlanjur ia katakan.

"Bukankah ia akan melakukan apapun untukku? Katamu, dia peduli padaku."

Sehun mengangkat kepalanya, kemudian ia mengirim tatapan bengis pada Lu Han. Ada kilat kecewa dan hinaan dalam sirat pandangnya, dan hal tersebut memuat Lu Han menciut.

Kalimat selanjutnya yang diucapkan oleh Sehun terdengar begitu keras dan dingin.

"Apakah kalian punya hubungan khusus, sampai-sampai ia harus peduli hingga mempertaruhkan nyawa untukmu?"

"Apakah perlu status untuk seseorang agar peduli dan bertaruh nyawa?"

"Ya."

Lu Han tersentak mendengar jawaban spontan yang keluar dari mulut Oh Sehun, seolah-olah ia begitu paham dan acap kali sering menjawabnya dengan demikian.

"Karena ketika kau tak memiliki status apa-apa dengannya, itu berarti masing-masing dari kalian tak memiliki hak. Dan ketika kalian tak memiliki hak atas masing-masing, apa yang akan kalian lakukan takkan ada artinya."

Ada nada aneh dalam suara orang yang sangat misterius itu, dan hal tersebut membuat Lu Han takut. Dulu, dulu sekali, saat ibunya masih hidup, beliau pernah mengajarkan berbagai falsafah hidup. Dan dulu, beliau pernah berkata bahwa orang yang menyimpan terlalu banyak hal dalam hidupnya, adalah orang yang paling perlu dikasihani dan paling perlu ditakuti.

Dan sepertinya, Oh Sehun terlalu banyak menyimpan rahasia.

Lu Han tersenyum, membawa pandangannya kembali ke lantai kotor di bawahnya. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Sehun sangat salah.

Sangat, sangat salah.

"Kau salah, Tuan Penyandera," katanya. "Karena ketika dua orang saling mencintai, walaupun mereka tak memiliki status atau hak, apa yang akan mereka lakukan adalah hal paling mulia dan tulus yang akan mereka bawa, bahkan ketika keduanya berakhir di tempat yang sangat jauh berbeda, atau dengan orang yang berbeda."

"Kau mengatakannya seperti kau begitu mengetahuinya," sindir Sehun. Sudut bibirnya terangkat mencela.

Lu Han menatap Sehun tepat di kedua matanya. Satu senyum muncul di bibir tipisnya, dan ia mengangguk kecil sebelum akhirnya berkata—"Aku memang telah melaluinya. Kris dan aku berpisah dan memilih jalan yang sangat berbeda. Ia membunuh, dan aku menciptakan kehidupan. Aku adalah Tuhan, sementara ia adalah malaikat pencabut nyawa."

Sehun terdiam membisu, dan Lu Han menatapnya tanpa bergeming.

"Sungguh menyedihkan, bukan?" lanjutnya dengan nada yang semakin lirih. "Tapi hal tersebut bukan berarti apa yang kami lakukan demi satu sama lain tak ada artinya, kan?"

Dan dengan kalimat itu, Sehun benar-benar tak bisa menjawab sepatah katapun.


Berbicara pada sanderanya adalah satu hal yang aneh, namun berbicara dengan Lu Han, orang yang sepertinya punya kekuatan gaib untuk menyelam dan menelisik diri Sehun dengan sekali lihat adalah hal yang menakutkan.

Lelaki itu terus saja bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan mengapa bukan Kris yang ada di sana, melainkan Sehun. Dan jujur saja, hal itu membuat Sehun bosan mendengar dan menjawabnya.

"Bukankah ia akan melakukan apapun untukku? Katamu, dia peduli padaku."

Sehun menatap Lu Han tajam, membenci fakta bahwa lelaki itu mengukur semua hal dari apa yang dilakukan seseorang untuk dirinya. Ia membenci orang yang egois, dan naasnya, Lu Han telah membuktikan bahwa dia adalah orang yang sangat egois.

Di atas itu semua, ia membenci pertanyaan yang baru saja ia ajukan.

Karena hal tersebut begitu mengingatkannya pada Baekhyun. Ia kembali mereka-reka hal-hal yang telah ia lakukan untuk Baekhyun, menyelam kembali masa lalunya dan apa saja yang telah ia perbuat untuk menunjukkan kepeduliannya pada si pemuda Byun.

Namun itu semua tersandung oleh sebuah kenyataan bahwa mereka, bukanlah dua merpati yang terbang bersama.

"Apakah kalian punya hubungan khusus, sampai-sampai ia harus peduli hingga mempertaruhkan nyawa untukmu?"

Sehun bertanya tanpa sadar, mengetahui dengan pasti jika jawabannya akan selalu bertolak belakang dengan kisahnya bersama Baekhyun.

Kilat di mata Lu Han yang seolah menantangnya membuat Sehun memandangnya lebih tajam.

"Apakah perlu status untuk seseorang agar peduli dan bertaruh nyawa?" Lu Han balik bertanya, menatap Sehun tak kalah tajam. Ada kilat dalam matanya yang menunjukkan kepercayaan diri dan intelegensi tinggi yang seolah-olah ia mengetahui semuanya.

"Ya." Sehun menjawab dengan spontan dan tegas, membuat Lu Han tersentak kaget dengan nada yang ia keluarkan.

"Karena ketika kau tak memiliki status apa-apa dengannya, itu berarti masing-masing dari kalian tak memiliki hak. Dan ketika kalian tak memiliki hak atas masing-masing, apa yang akan kalian lakukan takkan ada artinya."

Sehun melanjutkan kalimat yang bergelanyut di pikirannya, menyuarakan apa yang ingin ia utarakan keras-keras. Ia kembali teringat pada Baekhyun, dan ia bertanya-tanya, apakah ia akan baik-baik saja hari ini?

Pagi tadi, ketika ia pulang untuk menengoknya, Baekhyun berkata bahwa Kyungsoo yang akan menemaninya selama Sehun tak bisa pulang, dan Sehun sangat bersyukur akannya. Namun sinar dalam mata Baekhyun membuatnya sakit—seakan ia lebih bahagia jika Sehun tak ada bersamanya.

Dan Sehun tak bisa merasa kecewa atau marah karena hal tersebut, karena ia tak memiliki hak secuilpun atas Baekhyun dan kehidupannya. Namun Sehun, tentu saja, mengabaikan fakta tersebut. Karena ia sangat pandai dalam mengabaikan hal-hal yang menyangkut tentangnya dan Baekhyun.

Sehun tersentak ketika ia mendengar kembali suara Lu Han, dan itu membuatnya harus mengangkat kepalanya dan memandang sosoknya yang tengah tersenyum kecil ketika berbicara.

"Kau salah, Tuan Penyandera. Karena ketika dua orang saling mencintai, walaupun mereka tak memiliki status atau hak, apa yang akan mereka lakukan adalah hal paling mulia dan tulus yang akan mereka bawa, bahkan ketika keduanya berakhir di tempat yang sangat jauh berbeda, atau dengan orang yang berbeda."

Ada sesuatu yang menggantung dalam nada suara Lu Han saat mengatakannya, dan Sehun tak bisa menebak hal tersebut. Ada hal yang membuatnya seperti mengingat nostalgia masa lalu dari caranya berbicara, dan entah mengapa, hal itu membuat Sehun bersimpati.

"Kau mengatakannya seperti kau begitu mengetahuinya," jawab Sehun, mencoba mengusir rasa aneh yang bergelanyut di dalam dirinya. Kau mengatakannya seolah kau sedang mengejekku. Kau mengatakannya karena kau tak memahami posisiku.

Ia menatap Lu Han yang malah menatapnya dengan tatapan sendu, namun sebuah senyum kecil tak lolos dari bibirnya. Dan detik kemudian, jawaban yang Sehun dengar begitu membuatnya terdiam.

"Aku memang telah melaluinya. Kris dan aku berpisah dan memilih jalan yang sangat berbeda. Ia membunuh, dan aku menciptakan kehidupan. Aku adalah Tuhan, sementara ia adalah malaikat pencabut nyawa."

Entah ia yang terlalu berpikiran negatif terhadap sosok tersebut atau apa, namun Sehun merasa bahwa dalam nada suaranya, Lu Han seakan sedang mencerca dan mengejeknya.

"Sungguh menyedihkan, bukan?" Lu Han kembali berkata, mengagetkan Sehun. Suaranya yang semakin pelan dan melemah membuat Sehun harus menajamkan pendengarannya. "Tapi hal tersebut bukan berarti apa yang kami lakukan demi satu sama lain tak ada artinya, kan?"

Tidak, Sehun ingin menjawab dengan tegas. Semua yang kaukatakan adalah kebohongan dan salah. Semua yang kaukatakan tak berlaku dalam kasusku. Sehun ingin mengatakannya, namun ia tidak bisa.

Karena sejujurnya, ia sangat tahu bahwa apa yang dikatakan Lu Han ada benarnya.

Namun sialnya, dalam kasusnya, cinta adalah kata yang berat sepihak.


Di saat-saat seperti ini, saat di mana Lu Han telah lelah berbicara dan bergumam hingga menyisakan keheningan yang meraja di antara mereka berdua inilah saat yang paling Sehun sukai.

Ia tak menyukai sosok Lu Han yang terlihat sangat ingin mengajaknya berbicara atau mengobrol seperti mereka adalah teman, bukan sandera dan penyandera.

Dan di saat seperti inilah, ia ingin sekali menelepon Baekhyun, mengecek kabarnya. Menyusuri daftar kontak di ponselnya, tanpa ragu ia kemudian memencet tombol panggil pada nomor Baekhyun.

Perlu beberapa kali sambungan sebelum Baekhyun mengangkat teleponnya, dan sesaat setelah suara lembut Baekhyun menyapa telinganya, Sehun tanpa sadar tersenyum.

"Kau baik-baik saja?" tanya Sehun, memandang lantai di bawahnya, mencoba melayangkan pikirannya, mengembara pada sosok Baekhyun.

Ada jeda sebentar sebelum Baekhyun menjawab, dan sayup-sayup Sehun bisa mendengar suara televisi yang menyala dan suara Kyungsoo.

"Baik, bagaimana denganmu? Apakah kerjaanmu masih banyak?"

Sehun merasa bersalah harus berbohong seperti ini pada Baekhyun, namun ia tak punya pilihan lain. Mengangguk, ia kemudian menjawab pertanyaan tersebut.

"Begitulah. Mungkin lusa aku akan kembali kesana, namun aku tak bisa lama-lama."

"Tak apa, kok. Aku tahu jika kau sedang sangat sibuk. Jangan khawatirkan aku. Kyungsoo merawatku dengan baik."

Ada palu godam tak kasat mata yang menghancurkan keping hatinya mendengar nada Baekhyun yang biasa saja ketika mengetahui bahwa Sehun tak bisa pulang. Sehun sangat ingin Baekhyun merajuk, atau memintanya untuk memerhatikannya atau pulang cepat—yang mana akan Sehun lakukan jika memang ia memintanya—namun apa yang Sehun dapat hanyalah jawaban biasa yang menghancurkan imajinasinya.

Namun tak apa, Sehun telah terbiasa dengan keadaan yang ada.

Ia bisa berpura-pura baik-baik saja.

"Begitukah?"

"Mhm. Kututup teleponnya, ya? Aku tak ingin mengganggumu bekerja. Dah, Sehun. Selamat malam."

Sehun menelan ludah, dan rasanya begitu sulit, ketika ia mendengar suara Baekhyun tertelan keheningan yang ada.

Dan hal selanjutnya yang menyapa pendengarannya adalah suara Lu Han yang begitu membuatnya muak.

"Kau mencintainya, ya?" katanya seolah mereka sudah sangat dekat hingga bisa membahas kehidupan pribadi masing-masing. "Sangat mencintainya."

Sehun menolak memandang Lu Han, dan lebih memilih untuk menggenggam erat ponsel di tangannya dan menunduk kaku. Ia meredam amarahnya, entah karena kenyataan bahwa Baekhyun tak pernah memberinya kesempatan untuk bertindak peduli atau Lu Han yang terlalu berani menyuarakan pikirannya.

"Matamu berkilat tak biasa setiap kau meneleponnya. Kemarin juga. Tadi pagi juga. Apakah dia kekasihmu?"

Sehun masih terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan tak bermutu dari Lu Han.

Namun Sehun lupa bahwa orang yang mengajaknya bicara adalah Lu Han, pemuda yang takkan menyerah hanya karena satu pertanyaannya tak terjawab.

"Aku selalu ingin tahu, bagaimana sudut pandang cinta dari seorang pembunuh sepertimu?"

Sehun mengangkat kepalanya, dan maniknya bertemu pandang dengan kedua mata besar Lu Han yang berkilat penuh rasa ingin tahu seperti biasa.

Sedingin es, sekeras batu, namun sesakit masa lalu—semua itu terpatri sempurna dalam jawaban Sehun.

"Menyakitkan. Sangat menyakitkan."

Dan dengan jawaban itu, Lu Han memilih untuk menutup mulutnya.


tbc