No Org.

zelochest

Genre : Humor, Romance

Rate : M

Disclaimer : Copyright© by Alice Clayton. Ini ff remake kedua saya dengan pertama kali bawa pemain utama YoonMin, haha. Remember fanfiction hanyalah sebuah karya penuh perjuangan fikiran dan fisik, sedangkan untuk idenya milik Alice Clayton Author-nim. Sayangnya pemainnya bukanlah milik saya seutuhnya.

Warning : Alternate Universe | MinYoon | Dominant!Jimin x Submissive!Yoongi | YAOI | MATURE ADULT CONTENT AND LANGUAGE! | REMAKE

Another warn : Yoonginya benar benar, you know, what ;)

Chapter 13

Langit terbuka, menghujami dengan air hujan yang dingin, yang bercampur dengan panas di sekeliling kami, dan di antara kami. Aku menatap ke arah Jimin di bawahku, hangat dan basah, dan tidak ada satu pun di dunia yang lebih kuinginkan selain bibirnya di bibirku. Jadi, walaupun setiap lonceng sapi di kepalaku membunyikan alarmnya, aku merapatkan diriku, melingkarkan kakiku lebih ketat di sekitar pinggangnya, dan menatap langsung ke arah matanya.

"Mmm, Yoongi, apa yang akan kau lakukan?" Dia tersenyum, tangannya memegang kuat pinggangku seolah jemarinya menekan ke dalam kulitku. Kulitnya menyentuh kulitku dengan cara yang membuat kepalaku tidak bisa bekerja dengan baik, dan aku bisa merasakan—aku benar-benar bisa merasakannya—ototnya di perutku. Dia begitu kuat, kuat yang amat lezat yang membuat otak mulai terbakar, dan organ lain mulai mengambil alih keputusanku.

Aku pikir O bahkan menampakkan kepalanya untuk sesaat, seperti tikus tanah. Dia menatap sekilas ke sekitar dengan cepat dan memutuskan sepertinya musim semi lebih dekat dari yang sudah dia perkirakan selama beberapa bulan.

Aku menjilat bibirku, dan dia mengikuti apa yang kulakukan. Aku hampir tidak bisa melihat dia dengan jelas melalui kabut uap dari bak mandi air panas dan sekarang nafsu teramu dalam kuali kecil yang berisi senyawa kimia terklorinasi ini.

"Aku tidak akan melakukan sesuatu yang baik, itu sudah pasti," aku menarik nafas, hanya sedikit mengangkat tubuhku. Sensasi dari dadaku yang menekan kulitnya tidak bisa terbayangkan. Ketika aku duduk lagi di pangkuannya, aku merasakan reaksinya dengan sangat jelas, dan kami berdua mengerang oleh sentuhan itu.

"Kau akan melakukan hal yang buruk, hah?" katanya, suaranya serak dan berat dan menuangkan sirup maple di atasku.

"Tidak baik," aku berbisik di telinganya bersamaan dengan bibirnya yang menekan leherku. "Mau berbuat nakal bersamaku?"

"Kau yakin?" dia mengerang, tangannya mencengkeram punggungku dengan nikmat.

"Ayo, Jimin. Mari kita menggedor beberapa dinding," jawabku, membiarkan lidahku keluar di antara bibirku dan menyentuh kulit di bawah rahangnya. Lapisan atasnya menggesek indera perasaku dan memberikanku bayangan akan seperti apa rasanya permukaan itu menyentuh tempat lembut lain di tubuhku.

O memunculkan lagi kepalanya sedikit lebih jauh dan langsung pergi menuju ke otak, yang langsung berbicara secara langsung ke arah tanganku.

Aku menggenggam pangkal lehernya dengan kuat, dan memposisikan dia langsung berhadapan denganku, matanya melebar dan berubah menjadi penghipnotis kecil.

Seringainya sangat kuat, dan begitu pun dirinya.

Aku membungkuk dan menghisap bibir bawahnya di antara gigiku, menggigitinya dengan lembut sebelum menggigit dan menariknya lebih dekat. Dia mendekat dengan suka rela, menyerahkan kendali ketika jemariku menarik dan mendorong rambutnya, dan lidahku menekan bibirnya ketika dia mengerang ke arahku. Semua hal di duniaku menyempit menjadi hanya perasaan untuk pria ini, pria luar biasa di tanganku ini dan di antara kakiku, dan aku menciumnya seperti dunia akan berakhir.

Ciuman ini tidaklah manis atau ragu-ragu, ciuman ini murni keputusasaan jasmaniah yang dibubuhi dengan nafsu yang tak dapat dipahami dan bergulir menjadi bola raksasa dari tolong-Tuhan-biarkan-aku-hidup-dalam-mulut-pria-ini-sampai-waktu-yang-tidak-terbatas-di-masa-depan. Bibirku membawanya ke dalam tarian yang sama tuanya dengan gunung yang mengawasi kami, lidah dan gigi dan bibir kami saling bertemu dan menghancurkan dan memberikan ketegangan manis yang telah terbangun sejak aku muncul di pintunya memberikan inspirasi untuk nama panggilanku.

Aku bergetar ketika aku merasakan tangannya bergerak ke bawah untuk menangkup pantatku dan menarikku lebih dekat, kakiku bergerak ketika aku terengah seperti pelacur di gereja. Gereja Jimin...di mana aku hampir mati untuk berlutut di hadapannya.

Mataku tertutup, kakiku terbuka lebar, dan sekarang aku mendesah ke arah mulutnya seperti anjing gila. Gagasan bahwa sebuah ciuman, hanya sebuah ciuman, mengubahku menjadi sekantung besar berisi nafsu dari Yoongi yang butuh O tidak terbantahkan, dan aku tahu, jika dia terus membuatku merasakan hal ini aku akan mengundangnya langsung ke Surgaku. Ide bagus.

"Datanglah ke padaku, Jimin," aku bergumam dengan tidak jelas di mulutnya.

Dia berhenti sesaat. "Yoongi, datang ke apa mu? Oh, Tuhan," dia bergerak, ketika aku mendorong kami ke sisi bak mandi air panas dan mendorong kami melintasi air, mengosongkan sebagian isinya ke atas geladak dan sebagian lainnya tumpah di sekeliling kami seperti ombak besar. Dia mendorongku ke arah dinding yang berlawanan, menekanku ke arah bangku dan membelitkan kembali kakiku di sekitar pinggangnya, dan aku dengan penuh keberanian menekankan bibirku kembali ke arahnya, tidak mau melepasnya pergi. Pada satu titik, aku menciumnya dengan keras, sampai dia harus mendorongku menjauh hingga dia bisa mengambil nafas.

"Bernafas, Jimin, bernafas." Aku terkikik, membelai wajahnya ketika dia berjuang keras di depanku.

"Kau...adalah... gila," dia terengah, tangannya melengkung di bawah lenganku dan melingkar di sekitar bahu atasku, menahanku tetap di sisi yang berlawanan ketika aku menekan kakiku ke arah pantatnya, mendorongnya ke tempat di mana aku benar-benar membutuhkannya. Dia menutup matanya dan menggigit bibir bawahnya, geraman seperti binatang terdengar rendah di tenggorokannya ketika aku meluncurkan gelombang kedua dari serangan yang dipimpin Yoongi Bagian Bawah.

"Kau terasa menakjubkan," aku mendesah ketika aku mulai menciumnya lagi, menghujani dia dengan ciuman di seluruh mulutnya, pipinya, rahangnya, bergeser ke bawah untuk menghisap dan menggigit lehernya dan dia menjatuhkan kepalanya ke belakang untuk membiarkan seranganku. Tangannya bergerak dengan kasar di tubuhku, bergerak turun di punggungku dan menyusup ke bagian belakang celana renangku. Merasakan dada telanjangku menyentuh kulitnya membuatku gila oleh nafsu. Ketika aku melakukan gerakan itu, aku menyenggol satu botol kosong Cava, dan mengakibatkan efek domino dari botol-botol yang menghantam lantai. Aku tertawa ketika dia mundur, terkejut oleh suara itu.

Matanya biru berkabut, dipenuhi dengan nafsu, tapi ketika matanya terfokus kearahku, matanya mulai mengkristal. Dia menggelengkan kepalanya seperti ingin membuat semuanya menjadi jelas, lalu dia menutup matanya dengan rapat, memutuskan semua koneksi di antara kami. Termasuk menarik tangannya dari dalam celana renangku-

"Hey, hey, hey!" aku mendesak, memaksa matanya untuk terbuka dan membuatnya melihat ke arahku.

"Baru saja kau pergi kemana?" Bisikku.

Dia terdiam dan sepertinya sadar akan sesuatu dan aku merasakan wajahku berubah menjadi merah padam. Seluruh darah di tubuhku mengkhianatiku dengan seketika.

"Yoongi," dia memulai, bernafas dengan berat, tapi menatap ke arahku dengan hati-hati.

"Ada yang salah?" aku memotong.

Tangannya menyentuh bahuku, dan dia terlihat menjaga jarak di antara kami.

"Yoongi, kau luar biasa, tapi aku...aku tidak bisa—" lanjutnya.

Kali ini aku yang menutup mataku. Emosi bergulung di belakang kelopak mataku, rasa malu menjadi pemimpin di antara mereka. Hatiku merosot. Aku bisa merasakan matanya menatap ke arahku, menginginkan aku untuk membuka mataku.

"Kau tidak bisa," kataku, membuka mata dan melihat kemanapun kecuali ke arahnya.

"Tidak, maksudku, aku..." dia tergagap, jelas terlihat tidak nyaman ketika dia bergerak menjauhiku.

Aku mulai gemetaran. "Kau...tidak bisa?" Tanyaku, tiba-tiba merasakan dingin yang menusuk, bahkan di dalam air. Aku melepas belitan kakiku dari pinggangnya, memberikan ruang yang dia butuhkan untuk menjauh.

"Bukan, Yoongi, bukan kamu. Bukan seperti—"

"Well, tidaklah aku merasa seperti orang idiot?" ucapku, tertawa pendek dan bangkit keluar dari air ke sisi bak mandi air panas.

"Apa? Tidak, kau tidak mengerti, aku hanya tidak bisa—" dia bergerak ke arahku dan aku mengangkat kakiku ke arahnya, menekan kakiku di dadanya untuk menahan dia tetap menjauh.

"Hey, Jimin, aku mengerti. Kau tidak bisa. Ini keren. Wow, malam yang gila, hah?" aku tertawa lagi, berbalik dan bergerak ke arah rumah, ingin pergi menjauh sebelum dia bisa melihat air mata yang kutahu sedang dalam perjalanannya untuk keluar. Tentu saja, ketika aku berusaha untuk mengarahkan langkah kakiku, aku terpeleset di titik basah dan jatuh dengan suara keras. Aku bisa merasakan bagian belakang bola mataku mulai terbakar ketika aku berusaha pergi secepat yang aku bisa, panik aku akan menangis sebelum aku tiba di dalam. Sekarang, ketika aku bergerak, aku bisa merasakan efek dari seluruh alkohol yang aku minum, dan awal mulai dari sakit kepala yang kuat.

"Yoongi! Kau tidak apa-apa?" Jimin berteriak, berusaha keluar dari bak mandi air panas.

"Aku tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Hanya..." ucapku, tenggorokanku mulai tertutup ketika aku tersedak oleh isakanku.

Aku mengangkat tanganku ke belakang, berharap dia bisa mengerti aku tidak butuh bantuannya.

"Aku tidak apa-apa, Jimin." Aku tidak bisa berbalik dan melihatnya. Aku hanya melanjutkan langkahku. Kutukan dari musik yang masih bermain di atas meja, tapi aku masih bisa mendengar dia memanggil namaku sekali lagi. Aku membiarkannya, aku masuk, merasa bodoh sekarang dalam celana renang yang sekarang sama sekali tidak semenarik yang kukira.

Aku bahkan tidak mengambil handuk. Aku malah membuka pintu kaca dan mendengarnya menutup dengan keras di belakangku ketika aku berlari dengan kencang ke kamarku. Aku meninggalkan sedikit genangan air sepanjang jalan menuju kamarku, mencoba untuk mengabaikan tawa yang keluar dari kamar Jihoon. Ketika air mata akhirnya meluncur turun di pipiku, aku mengunci pintuku dan membuka celanaku. Merangkak ke kamar mandi, menyalakan lampu, dan di sanalah aku berdiri, memantul kembali ke arahku. Telanjang, memar mulai terbentuk di pahaku karena jatuh...dan bengkak, bibir yang membengkak karena ciuman.

Aku menutupi rambutku dengan handuk kecil, dan kemudian mendekatkan diriku lebih dekat dengan cermin.

"Yoongi, sayangku, kau baru saja ditolak oleh seorang pria yang pernah membuat seorang wanita mengeong selama tiga puluh menit tanpa henti. Bagaimana rasanya?" seorang telanjang di cermin menjawabku, menjadikan jempolnya sebagai mikrofon kecil. Dia bergerak di hadapanku, mengangkat jempolnya.

"Yah, aku minum cukup banyak anggur sampai mampu menenggelamkan pemukiman kecil di Daegu, aku belum mengalami orgasme selama sekitar seribu tahun, dan aku mungkin akan mati tua sendirian dalam apartemen dengan semua anak haram Holly berkerumun mengelilingiku...kau pikir seperti apa rasanya?" aku balik bertanya, mengerahkan jempolku ke arah Yoongi di cermin.

"Yoongi bodoh, kau kan sudah mengebiri Holly," Jawab Yoongi di cermin, menggelengkan kepalanya ke arahku.

"Urusi dirimu sendiri, Yoongi di cermin, karena aku tidak bisa melakukannya," aku selesai, mengakhiri wawancarku dan membawa pantat telanjangku kembali ke tempat tidur. Memakai kaos,

menjatuhkan diri ke tempat tidur, diriku yang mabuk kelelahan karena pendakian dan makan malam, anggur serta musik dan percumbuan terbaik yang pernah kulakukan. Pikiran ini membawa air mataku kembali ke permukaan, dan aku berguling untuk mengambil tisu, namun menemukan kotaknya kosong, yang membuatku menangis lebih keras lagi.

Jimin bodoh.

Bisakah malah ini menjadi lebih buruk lagi?

Dan kemudian teleponku berdering.

.

ZELOCHEST

.

"Panekuk, sweetie?"

"Tentu, terima kasih, babe."

Ya Tuhan.

"Masih adakah krim untuk kopinya?"

"Aku punya krim untukmu di sini, sayang."

Astaga.

Mendengarkan pasangan yang baru jadian, lebih tepatnya dua pasangan baru kadang-kadang bisa membuat muntah. Tambahkan dengan sensasi mabuk, dan ini akan menjadi pagi yang panjang.

Setelah berbicara dengan Zhoumi di telepon semalam, aku jatuh tertidur dengan sangat pulas, terbantu, tanpa diragukan, oleh semua anggur yang aku konsumsi. Aku bangun dengan lidah yang terasa tebal, sakit kepala sebelah, dan perut yang memberontak—menjadi lebih mual lagi ketika aku tahu aku harus bertemu dengan Jimin pagi ini dan berhadapan dengan percakapan aneh yang membuat kita-benar-benar-lepas-kontrol-tadi-malam.

Zhoumi membuatku merasa lebih baik. Dia membuatku tertawa, dan aku mengingat bagaimana dia merawatku dengan baik dulu.

Kenangan yang sangai indah, dan terasa lebih menenangkan. Dia menelepon berpura-pura untuk mengecek mengenai warna cat, yang dengan cepat aku anggap sebagai gertakan. Dan kemudian dia mengakui dia hanya ingin berbicara denganku, dan menyegarkan diri dari Penolakan di Bak Mandi Air Panas yang Hebat, aku senang bicara dengan seseorang yang aku tahu menginginkan perhatianku.

Sialan kau, Jimin. Ketika Zhoumi mengajakku untuk makan malam akhir pekan berikutnya, aku menyetujuinya dengan segera. Kami yakin akan sangat menikmatinya...dan semenjak O kembali ke liang persembunyiannya, aku mungkin juga akan menikmati malam di Seoul.

Sekarang, aku duduk di meja sarapan, dikelilingi oleh dua pasangan baru yang memenuhi dapur dengan kepuasan seksual yang cukup untuk membuatku menjerit. Meskipun begitu aku tidak melakukannya. Aku mengingatkan diriku ketika Taehyung duduk dengan riangnya di atas pangkuan Jungkook, dan Mingyu menyuapi Jihoon dengan bola melon seolah-olah keberadaan dia di bumi memang untuk alasan ini dan memang hanya untuk alasan ini.

"Bagaimana sisa malammu, Yoongi?" Taehyung berkicau, mengangkat alisnya ingin tahu. Aku menekan ujung garpuku ke tangannya dan menyuruhnya untuk diam.

"Wow, galak. Seseorang pasti menghabiskan malam seorang diri," Jihoon berbisik ke arah Mingyu.

Aku mendongak ke arah dia dengan terkejut. Sikap santai mereka terhadap urusan ini benar-benar mulai membuatku merasa terganggu.

"Well, tentu saja aku menghabiskan malam sendirian. Memangnya kalian pikir aku menghabiskan malam dengan siapa? Huh?" tanyaku, menggebrak meja dan menyenggol gelas jus jerukku sampai terguling. "Ah, pergi kalian semua ke neraka," gerutuku, menghambur ke arah teras, air mata mulai muncul lagi untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari 12 jam.

Aku menjatuhkan diri di salah satu kursi taman, menatap ke arah danau. Udara dingin pagi menenangkan wajahku yang memanas, dan aku menghapus air mataku dengan serampangan ketika aku mendengar langkah kaki perempuan mengikutiku ke teras ini.

"Aku sedang tidak ingin membahas ini, okay?" Perintahku, ketika mereka duduk di hadapanku.

"Oke...tapi kau harus memberi kami sesuatu. Maksudku, kukira ketika kita pergi tadi malam, maksudku...kau dan Jimin melakukan—" Taehyung memulai, dan aku menghentikannya.

"Aku dan Jimin bukan apa-apa. Tidak ada aku dan Jimin. Apa, kalian kira kami akan menjadi pasangan hanya karena kalian berempat akhirnya menyadari urusan kalian masing-masing? Omong-omong, Terima kasih kembali untuk itu," bentakku, menarik penutup topi bulatku turun lebih rendah ke wajahku, menutupi air mata yang terus turun dari sahabat-sahabatku.

"Yoongi, kami hanya berpikir—" Jihoon memulai, dan aku juga menghentikannya dengan segera.

"Kalian pikir karena kami adalah orang yang tersisa, kami secara ajaib berubah menjadi pasangan? Benar-benar seperti di buku cerita—tiga pasangan yang cocok dengan sempurna, begitu? Seperti hal itu memang pernah terjadi. Ini bukan kisah novel romantis."

"Oh, ayolah, kalian berdua cocok satu sama lain. Kau menyebut kami buta tadi malam? Hai, panci. Ini aku, wajan," Jihoon balas membentak.

"Hai, ketel, kau punya waktu sekitar 30 detik sebelum si panci menendang pantatmu. Tidak terjadi apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa. Jika kau sudah lupa, dia punya harem. Dengar? Harem! Dan aku tidak akan jadi selir ketiganya. Jadi kau bisa melupakan ini, okay?" teriakku melompat dari kursi, kembali ke dalam rumah, dan berlari tepat ke arah si pendiam Jimin.

"Bagus! Kalian ada di sini juga! Dan aku bisa melihat kalian berdua mengintip melalui tirai, idiot!" teriakku, ketika melihat Mingyu dan Jungkook mundur dari jendela.

"Yoongi bisakah kita bicara?" tanya Jimin, menangkap tanganku dan memutarku menghadap ke arahnya.

"Tentu, kenapa tidak? Ayo buat rasa malu ini menjadi lengkap. Karena kalian semua penasaran dengan apa yang terjadi, aku menyerahkan diriku pada pria ini tadi malam, dan dia menolakku. Oke, rahasia terbongkar. Sekarang bisakah kita melupakan hal ini?" aku melepaskan diri dari genggaman tangannya dan berjalan melalui jalan setapak ke arah danau. Aku tidak mendengar apapun di belakangku dan berbalik untuk melihat mereka berlima, mata melebar dan jelas-jelas tidak yakin akan melakukan apa selanjutnya.

"Hey! Ayolah, Jimin. Ayo pergi," Aku menjentikkan jariku, dan dia mengikutiku, terlihat sedikit ketakutan.

Aku menghentakkan langkahku dan mencoba untuk memperlambat nafasku. Jantungku berdegup kencang, dan aku tidak ingin berbicara ketika aku gusar seperti sekarang. Tidak ada hal baik yang akan keluar dari sini. Ketika aku menarik nafas dan menghembuskannya, aku melihat pagi yang indah di sekitarku dan mencoba membiarkan pemandangan itu sedikit meringankan hatiku. Apakah aku perlu membuat semua ini menjadi lebih aneh dari seharusnya? Tidak. Aku punya kendali di sini, begitu juga tadi malam. Aku seharusnya bisa membuat kejadian tadi malam tidak perlu terjadi, atau pasti bisa mencobanya.

Aku bernafas lagi, merasakan sedikit ketegangan meninggalkan tubuhku. Terlepas dari semua hal yang terjadi, aku menikmati kehadiran Jimin dan mulai marasakan dia sebagai temanku. Aku tetap berjalan menghentak di sepanjang jalan setapak, namun pada akhirnya mengurangi kecepatan langkahku menjadi santai. Aku melewati pepohonan di belakangku dan tidak berhenti sampai tiba di ujung dok. Matahari mengintip setelah badai tadi malam, memantulkan cahaya perak ke permukaan air.

Aku mendengar dia menyusulku dan berhenti tepat di belakangku.

Aku mengambil nafas panjang lagi. Dia tetap diam.

"kau tidak akan mendorongku, kan? Itu akan menjadi keputusan yang buruk, Jimin." Dia tertawa, dan aku tersenyum kecil, aku tidak ingin tersenyum, tapi juga tidak sanggup menahannya.

"Yoongi bisakah aku menjelaskan tentang tadi malam? Aku ingin kau tahu bahwa—"

"Jangan, oke? Tidak bisakah kita menganggapnya sebagai obrolan santai?" tanyaku, berputar untuk menghadap langsung ke arahnya dan mencoba untuk mendahului kata-katanya.

Dia menunduk menatapku dengan pandangan paling aneh di wajahnya. Dia terlihat berpakaian dengan terburu-buru: baju hangat putih, celana jeans sobek, dan sepatu gunung yang bahkan tidak diikat, talinya sekarang terjatuh dan berlumpur. Tetap saja dia terlihat mengagumkan, matahari pagi menyinari garis wajahnya yang kuat dan pemandangan itu terasa begitu nikmat.

"Kuharap aku bisa, Yoongi, tapi—" dia memulai lagi.

Aku menggelengkan kepalaku. "Serius, Jimin, bisakah—" aku memulai, tapi berhenti ketika dia menekan jarinya ke mulutku.

"Kau yang harus diam, oke? Kau terus memotongku, dan lihat seberapa cepat kau akan dilemparkan ke danau itu," dia memperingatkanku dengan binar di matanya.

Aku mengangguk, dan dia memindahkan jarinya. Aku mencoba membiarkan panas yang membara di bibirku, bara yang muncul ke permukaan hanya dengan sentuhan kecilnya.

"Jadi, tadi malam kita hampir saja melakukan kesalahan besar," katanya, dan ketika dia melihat mulutku mulai kembali terbuka, dia menggoyang jarinya ke arahku.

Aku mengunci mulutku, membuang kuncinya ke danau. Dia tersenyum sedih dan melanjutkan.

"Sangat jelas aku tertarik padamu. Bagaimana mungkin aku tidak tertarik? Kau menakjubkan. Tapi kau mabuk, aku mabuk, dan sehebat apapun yang akan terjadi tadi malam, itu akan—ah, itu akan mengubah sesuatu, kau tahu? Dan aku tidak bisa, Yoongi. Aku tidak bisa membiarkan diriku untuk...aku hanya..." dia berusaha keras, mengusap tangan ke rambutnya dengan sikap yang kupahami sebagai rasa frustasinya. Dia menatap ke arahku, berharap aku akan membuat segalanya menjadi lebih baik, untuk mengatakan kepadanya kami baik-baik saja.

Apakah aku ingin kehilangan seorang teman karena hal ini? Tentu tidak.

"Hey, seperti yang aku bilang, santai—terlalu banyak anggur. Selain itu, aku tahu kau punya peraturanmu sendiri, dan aku tidak bisa...aku hanya lepas kendali tadi malam," jelasku, mencoba untuk membuat dia percaya alasannya.

Dia membuka mulutnya untuk berkomentar, tapi setelah beberapa saat dia mengangguk dan mengeluarkan desahan panjang. "Kita tetap berteman? Aku tidak ingin semuanya berubah menjadi aneh. Aku benar-benar menyukaimu, Yoongi," katanya, terlihat seolaholah dunianya akan berakhir.

"Tentu saja teman. Memangnya akan jadi apa lagi kita?" Aku menelan ludah dengan susah dan memaksa senyuman. Dia juga tersenyum, dan kami mulai berjalan kembali ke jalan setapak. Oke, ini tidak terlalu buruk. Mungkin ini akan berhasil. Dia berhenti dan mengambil segenggam penuh pasir pantai dan menyimpannya ke dalam sebuah botol kecil.

"Botol?"

"Botol." Dia mengangguk, dan kami mulai berjalan.

"Jadi sepertinya rencana kecil kita berhasil," kataku, mencoba mencari bahan obrolan.

"Dengan orang-orang itu? Oh ya, kurasa berhasil cukup baik.

Mereka terlihat berhasil menemukan apa yang mereka butuhkan."

"Itu yang berusaha dilakukan semua orang, bukan?" aku tertawa ketika kami melintasi teras menuju ke dapur. Empat kepala menghilang dari jendela dan mulai mencari posisi tidak mencurigakan di sekitar meja. Aku berdeham.

"Selalu menjadi hal yang bagus ketika apa yang kau butuhkan dan apa yang kau inginkan adalah hal yang sama." kata Jimin, menahan pintu terbuka untukku.

"Wow, kau mengatakan sesuatu yang sangat berarti." Kesedihan tiba-tiba menghantamku lagi, tapi aku tidak perlu memaksakan senyuman ketika aku melihat bagaimana senangnya teman-temanku.

"Kau mau sarapan? Aku rasa masih ada roti kayu manis." Tawar Jimin, berjalan ke arah meja.

"Um, tidak. Aku rasa aku akan berkemas, merapikan barang-barangku," kataku, menyadari semburat kekecewaan melintasi wajahnya sebelum dia tersenyum dengan berani.

Baiklah, jadi ini tidak terlalu bagus. Well, itu yang terjadi ketika dua orang teman berciuman. Semuanya tidak akan sama lagi. Aku mengangguk ke arah mereka dan menuju kamarku.

.

ZELOCHEST

.

Terdorong oleh keinginanku untuk kembali ke Seoul secepatnya, dalam waktu dua jam kami semua sudah beres berkemas dan menentukan siapa yang berkendara dengan siapa. Aku tidak mau sendirian dengan Jimin, jadi aku menarik Taehyung dan menyuruh dia untuk membawa Jungkook bersama kami. Sekarang kami semua berada di luar merapikan tas-tas. Ketika Jimin memasukkan semuanya ke dalam Range Rover. Aku sedikit gemetar, menyadari sudah terlambat untuk mengambil jaket buluku dari dalam tas, yang sekarang sudah terkubur di bawah yang lain. Ketika dia berbalik, dia menyadarinya.

"Kau kedinginan?"

"Sedikit, tapi tidak apa-apa. Tasku di bawah, dan aku tidak mau kau mengeluarkan lagi semuanya," jawabku, menggoyangkan kakiku untuk tetap hangat.

"Oh! Itu mengingatkanku, aku punya sesuatu untukmu," serunya, mengeledah tasnya, yang berada di posisi paling atas. Dia menyerahkan kepadaku bingkisan empuk, terbungkus dengan kertas coklat.

"Apa ini?" tanyaku. Dia tersipu. Jimin tersipu? Aku tidak pernah melihatnya.

"Kau tidak berpikir aku lupa, kan?" jawabnya, rambutnya jatuh menyentuh matanya ketika dia mengeluarkan senyum kekanakan.

"Aku akan memberikannya tadi malam, tapi kemudian—"

"Hey, Park! Bisakah kau membantuku di sini!" Mingyu memanggil ketika dia berusaha untuk memasukkan barang-barang Jihoon.

Kemarin, ini adalah pekerjaan Jungkook. Sekarang ini tugas Mingyu.

Kemarin.

Dunia berubah banyak hanya dalam satu hari.

Dia meninggalkan aku ketika Taehyung dan Jungkook mengambil tempat duduk di kursi belakang.

Aku membuka bingkisannya dan menemukan sweater yang sangat lembut dan tebal. Aku mengeluarkannya, merasakan beratnya dan teksturnya yang bergelombang. Aku menekannya kearah hidungku, menyerapa aroma wol dan tidak salah lagi aroma Jimin yang menempel di sini. Aku tersenyum ke arah sweater, kemudian memakainya di atas kaosku, mengagumi bagaimana benda ini meluncur dengan lembut, tapi tetap membungkusku dengan cara yang nyaman, aku berbalik untuk melihat Jimin sedang melihat ke arahku melalui mobil Mingyu. Dia tersenyum ketika aku berbalik ke arahnya.

"Terima kasih," Ucapku tanpa suaraku.

"Sama-sama," balasnya.

Aku mengirup aroma sweaterku dengan dalam dan lama, berharap tidak ada seorang pun yang memperhatikan.

.

ZELOCHEST

.

Saya tiba tiba kepikiran, apa kalian bosan nungguin saya update begini lama ?

Apa ficnya dihentikan saja ?

Apa saya –

Oke, ampun.

TETEP LANJUT EHEHEH

Tapi- kasih saya review ? /le winkeu ke readers

Oh! Ya!

Saya mau minta maaf kalo saya tidak balas review kalian satu persatu, saya bukan sombong sombong squad tapi... Kalau saya balas satu satu kayanya ini fanfic sekali turun bisa 20k words(?) karena saya cukup bawel membalas review xD

Mungkin kalo mau chit chat badabing badabong .no silahkan cari saya di zelochest

Semoga saya ingat passwordnya-

Okay paypay dont forget to riviyu! .smooch