Another dimension : Change destiny.

Disclamer : Semua karakter dalam fict ini bukanlah milik saya, jika ada yang bilang ini milik saya jangan pernah percaya.

Pair : — ?

Rate : Maybe M? Untuk jaga-jaga kalau tiba-tiba Author pengen masukin lime / lemon.

Genre : Fantasy, Adventure, Suprantural, and etc.

Warning : OOC, OC, Typo, Mainstrem, Human!Naru.

Chapter 1 : Aku sedang bosan.

Naruto berdiri dengan raut kebingungan. Seingatnya tadi ia sedang dalam perjalanan pulang setelah melakukan misi di Amegakure, lalu kenapa dirinya ada disini sekarang? Di tempat asing yang penuh dengan nuansa putih dan berbagai kubus yang memiliki warna sama.

Apakah selepas misi dia diculik dan dibawa kesini? Atau mungkin ... secara kebetulan dia nyasar? Rasanya tidak mungkin, mana mungkin seorang ninja bisa nyasar kan? Lalu ... kira-kira penjelasan apa yang masuk akal untuk hal ini.

Berkali-kali Naruto memikirkan kemungkinan yang ada, mulai dari hal mungkin hingga yang sangat tidak mungkin terjadi. Namun semuanya tidak memberikan jawaban yang pasti.

"Hm ..." Gumamnya pelan, "Apa Kakashi-sensei memindahkanku ke dimensi lain? Tapi masa' iya sih?"

"Mendekati, tapi ... bukannya Kakashi-san sudah kehabisan cakranya?"

"Benar juga. Tidak mungkin Kakashi-sensei memindahkanku kedimensi lain, dia sendiri saja kelelahan setelah misi. Jadi—"

Naruto segera mengambil jarak ketika tersadar bahwa ada orang lain di tempat ini. Tak jauh darinya, seorang anak (umurnya kisaran 10 tahun) berambut putih duduk di salah satu kubus.

Ia memakai kaos yang dipadukan dengan rompi lengan pendek berwarna kuning pudar, wajahnya elok dengan mata yang memancarkan perasaan aneh.

"Wow ... reaksi yang bagus."

"Siapa kau?"

Anak tersebut diam untuk beberapa saat hingga pada akhirnya ia menjawab pertanyaan Naruto. "Memberitahukan namaku tidaklah penting, toh makhluk fana sepertimu tidak akan pernah sanggup untuk mendengar nama sejatiku ... Tapi kau bisa memanggilku malaikat, mahkluk gaib, dewa, atau bahkan kami-sama ... sebagian manusia memanggilku begitu."

"Eh—tunggu! Kami-sama?" Naruto memperhatikan dengan seksama anak dihadapannya, mulai dari jari kaki hingga ujung rambut. Setelah puas mengamati, Matanya menyipit, "Sangat mencurigakan."

"Terserahmu Naruto, mau mempercayaiku atau pun tidak itu adalah masalahmu, paham? Terlepas dari itu semua, aku akan menjelaskan perihal keberadaanmu disini."

"Pertama, Alasanku membawamu kesini karena aku sedang bosan." Ucap sang dewa dengan watados!

Butuh beberapa detik bagi Naruto untuk mencerna perkataan anak yang mengaku dewa ini. Kalau dipikir-pikir ...

Dia di bawa kesini dalam keadaan letih karena baru menyelesaikan misi, selama dua jam dia mengelilingi tempat ini dengan segudang pertanyaan dan alasan dia mengalami segala kesusahan ini hanya karena 'Bosan'?

Greb.

"Kau ingin mati ya?"

Secepat hiraishin tangan Naruto mencengkram kepala sang anak. Wajah tegas dengan senyuman sehangat mentari itu mengeras, pupilnya yang sewarna laut itu pun ikut menajam.

Perpaduan antara jengkel dan marah.

"Aha-ha-ha ... cengkraman seperti ini mana mungkin bisa membuatku mati." Sang anak kelihatan tidak terpengaruh akan cengkraman Naruto. Namun semakin bergulirnya waktu, rasa panik mulai muncul seiring dengan rasa sakit yang ia rasakan.

"Ittai-Ittai ... lepaskan aku Naruto, aku hanya bercanda! Ini sangat sakit, baka! Kalau kau tidak melepaskannya kepalaku bisa botak, dobe!"

5 menit kemudian.

"Fiuh ... kupikir kepalaku akan jadi botak."

Naruto tidak merespon keluhan dari si anak, dia sudah terlalu letih semenjak pulang dari misi, apalagi dengan keadaan aneh yang tengah di alaminya. Keletihannya bertambah menjadi dua kali lipat.

"Kalau memang tidak ada keperluan yang mendesak, aku ingin kembali ke duniaku. Terlalu lama disini bisa membuatku pusing."

"Kau tidak bisa pergi dari sini Naruto, kuasaku sebagai dewa tidak memperbolehkanmu untuk keluar dari tempat ini."

Menghentikan langkah kakinya yang menjauh, Naruto menoleh kembali kepada sang dewa. "Apa maksudmu dengan tidak memperbolehkanku keluar dari sini?"

Merasa umpannya di makan, si anak menyeringai, "Sebelumnya aku sudah bilang kan? Aku ini sedang bosan ... lalu sebuah ide gila muncul di kepalaku."

"Bagaimana kalau Naruto sang anak dalam ramalan berpindah dimensi? Bukankah itu akan menarik? Seseorang dengan kemampuan ninja tingkat tinggi pergi ke dimensi lain dan memulai kehidupannya dari awal, terdengar bagus 'bukan?"

"Haaaaa?"

Si anak kemudian memegang dagunya layaknya sedang berpikir. "Tunggu dulu, bukannya itu malah membosankan. Bagaimana kalau di rubah saja, kau akan ku pindahkan ke dimensi lain yang sedang berkonflik, dengan kemampuanmu yang sekarang harusnya tidak ada masalah."

"Tunggu dulu." Naruto mengibaskan tangannya niat menolak, "Bukannya tidak suka dengan idemu, tapi aku punya kehidupan sendiri yang perlu dijalani dan cita-cita yang harus ku wujudkan. Jika kau memang dewa sungguhan, seharusnya kau mengerti dengan apa yang ku bicarakan. Jadi maaf, bisakah kau memberikan kesempatan ini pada orang lain saja?"

Naruto kemudian melanjutkan langkah kakinya meskipun tujuannya tidak jelas. Langkah demi langkah ia ambil, sebenarnya tadi dia sudah berjalan keseluruh tempat yang terjangkau oleh pandangannya. Namun semuanya terasa sama hingga kadang ia berpikir kalau dirinya sama sekali tidak pergi kemanapun.

Tapi siapa yang peduli?

Daripada mendengarkan pembicaraan absurd bin tidak jelas dari anak yang mengaku dewa itu, berjalan tanpa arah kedengarannya lebih baik.

Setengah jam lamanya Naruto berjalan menjauh tanpa menoleh kebelakang, seharusnya ia sekarang sudah sangat jauh dari anak yang mengaku dewa itu.

"Fiuh ... sepertinya sudah cukup, sekarang bagaimana caraku pergi dari sini?" Tanya Naruto pada dirinya sendiri.

"Bukannya sudah kubilang? Kau tidak bisa pergi dari sini tanpa izin kuasaku sebagai dewa? ... Tidakkah kau cukup pintar untuk mengerti ucapanku? Atau mungkin aku yang terlalu menilai tinggi kecerdasan otakmu, Naruto?"

Setengah tidak percaya, di belakang Naruto sosok sang anak masih duduk dalam posisi santai. Naruto kemudian memperhatikan sekelilingnya, keadaan disekitarnya tidak berubah. Mulai dari ruangan yang berwarna putih, posisi kubus, dan bahkan pose dari dewa tersebut. Apa itu artinya dia tidak pergi kemanapun?

Naruto ingin mengumpat, namun di urungkannya. Keadaan ini sudah sangat familiar baginya, selama beberapa tahun karirnya sebagai shinobi Naruto sudah sering mengalami hal seperti ini. Jadi tidak di ragukan lagi kalau ini adalah genjutsu, begitulah pikir Naruto.

Namun setelah Naruto melakukan beberapa metode pelepasan genjutsu seperti mengacaukan aliran cakra atau pun melukai diri sendiri keadaan disekitarnya tidak berubah.

"Kai! Kai! Kai! Kai! Kai! Kenapa ini tidak berfungsi? Apa aku salah melakukannya."

Berkali-kali Naruto melakukan pengacauan cakra pada dirinya sendiri, tapi semua tidak memberikan efek yang berarti.

"Hentikan saja Naruto, kuasaku itu berada diluar batas logika. Kau tidak mungkin bisa keluar dari sini bermodalkan pengetahuanmu sebagai manusia. Pahamilah Naruto, Tidak ada jalan keluar dari sini selain menyetujui kesepakatanku."

"Jangan kau pikir aku akan menerimanya. Setelah semua perjuanganku untuk di akui, sekarang kau bilang aku harus pergi dan melupakan itu semua? JANGAN BERCANDA!"

Step ... wusssh!

Sang anak bergerak dalam sepersekian detik, tangannya yang kecil mencengkram erat kerah jumpsit Naruto dan dalam satu hentakan keras, sang anak membanting tubuh ideal sang anak ramalan ke lantai.

"Dengar ya manusia. Sejak tadi aku berusaha menjadi dewa yang baik agar kau mengerti, tapi kau tidak memberikanku pilihan. Maka akan kuberitahu alasan kenapa aku menyuruhmu berpindah dimensi ..."

"... Dimasa depan, akan ada seorang musuh yang tak bisa kau kalahkan ... dia akan membunuhmu dan seluruh manusia yang ada di duniamu. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mereka adalah dengan menjadi lebih kuat. Kau perlu menjadi lebih kuat dari sekarang sampai pada saat yang sudah di tentukan. Aku disini untuk membantumu, apa kau paham!?"

"Apa—"

Naruto tidak ingin mempercayai perkataan anak tersebut, namun sebuah ingatan menyerupai penglihatan masuk ke dalam kepalanya.

Disana ia melihat satu sosok berbalut jubah hitam, tubuhnya tegap dan mengeluarkan bau darah. Ia sedang mencengkram sebuah kepala. Naruto tidak terlalu jelas melihatnya, tapi dia sangat yakin kalau kepala itu memiliki rambut berwarna kuning dan 3 pasang whisker.

Tunggu, bukankah itu kepalanya sendiri (Naruto)?

Naruto mencoba memikirkan apa yang terjadi, lalu mendadak sebuah ingatan samar masuk kembali ke dalam kepalanya, di ingatan tersebut dia melihat dirinya (Naruto yang mati) bertarung habis-habisan dengan segenap kekuatannya, tapi pada akhirnya itu berakhir pada kemtaian.

Tak lama kemudian, ingatan tentang teman-temannya yang dibunuh oleh sosok tersebut muncul di kepalanya. Dimulai dari kematian Ino, kemudian Sai, lalu Tenten, hingga pada akhirnya sahabat sejatinya, Sasuke.

"Hah ... hah ... hah ... hah ..."

Nafasnya menjadi tidak teratur, melihat teman-temannya yang mati tanpa bisa berbuat apa-apa membuat mentalnya terkuras. Tapi seakan tidak peduli, penglihatan tentang kematian teman, sahabat, kenalan, hingga gurunya sendiri masuk kembali dengan paksa ke otaknya.

.

.

.

Saat tersadar dari runtutan ingatan menyakitkan, Naruto mengatur nafasnya yang terengah-engah.

"Jadi bagaimana Naruto? Akankah kau kembali ke duniamu dan menunggu kedatangan si pencabut nyawa? Atau menerima tawaranku dan mencoba menjadi lebih kuat dari dirimu yang sekarang? Pilihannya ada padamu, Naruto."

Naruto tampak ragu dengan pilihannya, keduanya adalah hal yang sulit. Jika dia tetap di dunianya, maka kematianlah yang menunggu ia dan teman-temannya. Tapi jika ia memilih opsi kedua, itu berarti membuang semua jerih payahnya.

Kamatian sahabatnya ataukah membuang cita-citanya. Jika kita membicarakan Naruto, maka mungkin yang akan ia pilih adalah ...

"Lebih baik aku membuang cita-citaku daripada membiarkan teman-temanku mati."

"Maka sudah diputuskan."

"Aku menyetujui kesepakatanmu."

To Be Continue.