Disklaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto. Tidak ada keuntungan materiil apa pun yang didapatkan dalam pembuatan fanfiksi ini selain kesenangan belaka.


L E B U R

Story by Kentang Jamur

{Eternal Dream Chowz dan Kenzeira}


Ketika malam menjelang, Hinata menatap munculnya bulan di langit gelap. Langit sewarna biru kehitaman itu membuatnya risih. Ia merapal beberapa kali. Ambigu. Menimbang nasib. Haruskah ia berjalan menuju tepi pantai atau tidak.

Menimbang-nimbang, semakin ragu. Kastil-kastil tinggi di belakangnya tampak terang-benderang, berbanding terbalik dengan keadaan hatinya yang redup. Ia kembali berpikir, mestikah ia membunuh dirinya sendiri. Ragu. Keinginan yang tidak sepenuhnya diinginkan. Bukan karena takut mati, ada pemikiran lain tersendiri. Sekali lagi, ia menatap permukaan air laut di depan sana yang berkilauan, tertimpa cahaya bulan, seolah-olah menggodanya untuk mencelupkan kaki ke sana, lalu berjalan semakin dalam. Semakin jauh.

Tenggelam. Lantas mengambang. Tanpa nyawa. Ditemukan mati membiru di jalur laut kelihatannya tidak semenyakitkan menusuk perut dengan pisau belati. Harakiri. Ia enggan mati berdarah-darah.

Dilepaskannya geta di atas pasir. Ia melangkah perlahan. Mata memandang jauh. Kalau Ayah dan ibunya membawanya ke Inggris hanya untuk dijual kepada bangsawan, dia lebih baik mati.

Apakah kau akan kembali padaku, Hinata?

Aku harap begitu, Sasuke. Aku harap aku bisa kembali padamu.

Embusan angin malam menyapu lembut kedua pipi, membuatnya dingin. Rambut yang ditata sedemikian rupa oleh pengrias istana kini kembali berantakan, setiap ujungnya menari-nari. Hinata siap mati, tapi bayangan lelaki itu muncul dalam ingatan. Ia ingin kembali, pulang lantas menyambut cinta Sasuke. Tapi apa daya, inilah yang harus diterima, kenyataan lebih pahit dari dongeng Romeo dan Julia.

Tapi aku sudah tidak lagi utuh.

Sasuke, dengan kejam, terus membayang-bayangi diri. Bagaimana cara lelaki itu tertawa, setiap ekspresi yang tercipta dan senyum simpul yang menggugah hatinya. Sasuke yang dengan baik hati menawarkan cinta semanis apel merah; murni namun dalam, setiap warnanya menerobos masuk melalui celah, lantas melebur dan enggan lenyap. Manis sekaligus tragis.

Apakah aku sebegitu tak pantas bersanding denganmu?

Kau pantas, Sasuke. Bahkan hanya kau yang pantas.

Tapi kau akan pergi.

Aku akan kembali.

Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada waktu.

Bukan apa yang terjadi pada waktu, tapi apa yang terjadi pada setiap keputusan yang diambil. Apakah keputusan itu akan membawanya pada kebahagiaan atau justru sebaliknya, menderita seorang diri tanpa satu pun penghibur hati yang lara, tidak bahkan sebongkah kenangan manis. Sebab, kenangan manis itu kini terasa pahit saat diingat kembali.

Tanpamu, aku tidak lagi utuh.

Melangkah lambat, telapak kaki mulai menyentuh air laut yang dingin. Air mata terkuras habis. Kini sepasang mata itu tidak lagi memberi warna. Hanya kehampaan. Dan kehampaan membunuhnya pelan-pelan.

Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan saat memutuskan untuk mati daripada menungguku kembali. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan sekarang. Kepada siapa aku kembali, kalau bukan padamu. Tapi kau terlanjur lebur.

Hinata tidak mampu lepas dari cengkeraman bangsawan yang menjadikannya budak. Andai kata lepas, dia tidak tahu ke mana harus pulang. Untuk apa hidup kalau tidak merasa hidup. Bersama Sasuke, Hinata akhirnya memilih untuk ikut lebur.[]


11:08 PM – 23 September 2016