I Don't Love You
.
CHAPTER 1
Warning! YAOI, Marriage life, MPREG, Angst gagal, TYPOS
Pair! Jaehyun X Doyoung
Slight! Jaehyun x Irene
NCT adalah punya Sment, Saya Cuma pinjem nama dan gejolak cinta yang mereka rasakan satu sama lain (?)
.
Happy Reading
Dingin menusuk kulit.
Sunyi, sepi... Aku benci.
Tatapannya menusuk jauh jantungku yang detaknya pun mulai terasa sakit.
Bagaimana aku harus memulai?
Bagaimana aku harus mengakhiri tanpa menyakiti?
Kuremat tanganku di sisi kursi. Mencari cara untuk hilang, namun tidak pergi.
.
Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu.
Aku tidak ingin tahu.
Kututup semua indra. Kuabaikan semua tanya.
Harus bagaimana aku sekarang?
Kemana aku harus berkelana?
Jika sang jarum kompas mulai menunjukkan keraguannya.
.
Jaehyun Pov.
Aku meninggalkan rumah dengan dasi yang dipasangkan Doyoung. Rapi, namun mencekik leherku terlalu kuat. Tidak aku beri dia keluhan, tidak aku beri dia protesan. Cukup dengan pergi saja akan membantuku merasa sedikit longgar. Semudah itu.
Di kantor, semua orang menyapaku dengan hangat. Bukan karena aku memperlakukan mereka dengan hangat pula, namun karena sebuah lencana kecil di kerah jas formal yang membuat perbedaan kasta terlihat jelas. Aku pemimpin, mereka bawahan. Bawahan harus memperlakukan pemimpin dengan baik. Dan pemimpin, akan melakukan hal yang wajar pada bawahannya. Tidak terlalu ramah, tidak terlalu baik, hanya biasa-biasa saja.
Ruangan sudah dalam suhu yang pas saat aku masuk. Dokumen yang menggunung di meja tak lagi jadi bahan erangan, sudah biasa. Aku duduk di seberang meja. Mulai mengerjakan apa yang seharusnya kukerjakan.
.
Doyoung Pov.
Aku meninggalkan rumah dengan dasi yang kupasang sendiri. Rapi, sempurna. Tak lupa aku kunci pintu dari rumah yang kosong. Satu tangan kujalin dengan tangan kecil Jeno yang berlonjak girang di hari ke limanya di sekolah. Buah hatiku, duniaku.
Setiap pagi sejak beberapa hari lalu, kulihat dia selalu berlari senang masuk ke dalam sekolahnya. Melepaskan tangannya dari tanganku dengan begitu mudah untuk meraih tangan teman-temannya yang berteriak tak kalah antusias. Ada rasa sesak kala tak kurasakan lagi hangat tubuhnya dalam jangkauan. Aku tak terbiasa tanpanya sejak dia lahir. Aku masih tak bisa percaya, bertahun-tahun telah terlewati dengannya. Dengan denganya.
"Appa, saranghae!"
Jeno berlari ke arahku lalu mencium bibirku seperti biasanya.
"Eoh... Sudah sana. Belajar yang rajin dan buat daddy-mu bangga."
Jagoan kecilku mengangguk antusias lalu kembali berlari masuk ke dalam sekolahnya. Saat itu, aku telah terlambat.
"Kau terlambat, Doyoung-ah."
"Ne, sepertinya akan terus seperti itu."
Ten, teman kerja satu departemenku, menyapa sambil mengetik pekerjaannya di komputer. Ia melirik, melewati sekat yang memisahkan meja kami.
"Apa Jeno rewel?"
"Tidak. Kalau ada seseorang yang rewel, itu pasti aku. Hahaha..."
"Dasar kau ini. Dia 'kan sudah besar jadi wajar kalau mulai suka bermain diluar ketimbang denganmu."
"Iya-iya. Aku tahu kau lebih pengalaman," kuraih beberapa dokumen yang serayanya baru masuk pagi ini untuk kuserahkan pada ketua manajer. "Aku mau menyerahkan ini dulu."
"Eh, apa? Ah... dokumen itu... eum..." Kulihat dengan heran tingkah Ten. Ada yang salah dengan caranya bicara. "Kenapa tidak nanti siang saja?"
"Hah?" saat aku mengantarnya nanti siang, semua sudah terlambat karena dokumen itu harus segera ditandatangani. Aku yakin Ten tahu persis masalah itu. Maka, saat dia memukul kepalanya sendiri karena ucapannya, aku hanya tergelak. "Sudah ya..."
"DOYOUNG!"
Panggilannya kuabaikan. Aku menuju ruang ketua manajer yang tak jauh dari mejaku.
Saat aku hampir mengetuk pintu kayu itu, sebuah suara yang samar terdengar dari sebaliknya. Suara lembut milik seorang wanita juga suara bass seorang laki-laki. Membeku aku dibuatnya, beberapa detik sebelum akhirnya aku tetap mengetuk kayu persegi itu.
"Manajer Jung, ini Sekretaris Kim."
Butuh beberapa saat sampai pemilik ruangan menyahut. Aku masuk ke dalam ruangan dengan langkah pasti. Seorang wanita telah lebih dulu ada di sana. Dengan pakaian berwarna peach yang serasa mencerahkan dunia. Dia tersenyum sopan, sangat anggun dan berkelas.
"Maaf mengganggu, manajer Bae."
"Aniya... kau 'kan harus mengerjakan pekerjaanmu. Silahkan..." dia bergeser beberapa langkah guna memberi jalan bagiku mendekati Jaehyun.
"Ada beberapa persetujuan yang membutuhkan tanda tangan anda..." lalu pekerjaanku dimulai.
.
Jaehyun Pov.
Baru beberapa saat aku duduk dan membaca dokumen-dokumen yang sudah kuhapal benar strukturnya, seorang wanita masuk ke dalam ruangan. Senyumannya yang cerah mengundangku untuk ikut tersenyum senang. Kecantikannya yang alami dengan polesan sedikit make up membuatku terpana seketika.
"Manajer Jung..."
"Owh! Irene... berhenti memanggilku demikian saat kita bedua."
Aku bangkit dari kursi untuk mendekatinya. Kuambil tubuhnya untuk selanjutnya kudekap dalam pelukanku. Tubuhnya serasa begitu sempurna, seakan menjadi pecahan puzzle yang lain dari tubuhku. Aku hendak mencium bibir merahnya yang menggoda, namun dia menahan.
"Masih pagi. Aku tidak mau make up-ku berantakan." Ucapannya sukses membuatku mendesah kesal. Dia tertawa kecil melihat tingkahku itu. "Eoh... dasimu kelihatannya tidak nyaman. Sini aku benarkan."
Alasan inilah kenapa aku tidak pernah mengeluh dengan cara Doyoung mengikat dasi di leherku. Karena selalu ada Irene yang siap memperbaikinya. Dengan sentuhan plus-plus yang membuatku terbuai.
"Hari ini kau ada acara?" tanyanya.
"Tidak juga. Kenapa?"
"Temani aku mencari baju ya. Lusa akan ada pertemuan dengan kolega kita dari Jepang."
"Dengan senang hati..."
"Aku mencintaimu, Jung."
"Aku juga mencintaimu..."
Begitulah kurasa. Perasaanku pada Irene sepertinya adalah cinta.
Saat kami sedang dalam puncaknya mencari romansa, pintu ruanganku diketuk.
"Manajer Jung, ini Sekretaris Kim."
Kami berdua saling tatap untuk beberapa saat sebelum akhirnya wanita itu tersenyum lalu berjalan menjauh dariku. Begitu pula aku yang segera kembali ke balik meja.
"Masuk."
Seorang laki-laki dengan pakaian rapinya masuk membawa dokumen-dokumen baru. Pemandangan yang setiap hari datang pula namun tak pernah kutunggu kehadirannya.
Doyoung menatapku sebentar sebelum beralih pada Irene.
"Maaf mengganggu, manajer Bae."
"Aniya... kau 'kan harus mengerjakan pekerjaanmu. Silahkan..."
Doyoung mendekatiku lalu menjelaskan semua isi dari map yang dia bawa. Aku mendengarkannya dengan hati-hati agar tidak kecolongan satu pun proyek yang dirasa kurang pas. Setidaksuka apapun aku pada dokumen-dokumen itu, mereka semua adalah tanggung jawab yang harus aku terima dengan baik. Tidak setengah-setengah.
"Hanya ini saja. Lalu jam 1 siang nanti akan ada rapat direksi. Sekedar mengingatkan."
"Iya, aku ingat. Kau boleh pergi."
Ada rasa tidak enak saat aku mempersilahkan Doyoung keluar sementara Irene masih ada di tempatnya untuk waktu yang tak singkat. Tapi, nyatanya Doyoung adalah orang yang baik. Dia pamit tanpa meninggalkan tatapan membunuh padaku apalagi pada Irene. Sebaliknya, dia malah tersenyum simpul.
"Doyoung... orang yang sangat baik." Celetuk Irene.
"Iya begitulah," Aku mengambil napas sambil tak melepaskan pandangan dari Irene. "Tapi, baik bukan jaminan semua orang nyaman berada di dekatnya."
.
Doyoung Pov.
"Doyoung-ah..."
"Hmmm?"
Kuletakkan dokumen yang telah ditandatangani Jaehyun di meja biasa. Setelah itu aku berjalan ke arah mejaku, dimana Ten telah menunggu.
"Gwenchana?"
Tugas baru sudah menunggu. Laporan, serta jadwal yang harus aku susun untuk esok hari. Jadi, aku menjawabnya sambil tak melepas atensi dari layar komputer.
"Tentu saja. Kenapa?"
Ten tak langsung menjawab. Aku melirik padanya diam-diam. Dia menggingit bibir bawahnya yang menandakan kecemasan di hatinya. Selalu saja seperti ini.
"Apa kau ada masalah dengan Johnny? Agaknya hari ini kau sedikit aneh."
"Doyoung! Jangan pura-pura tidak tahu! Buka mata dan telingamu lebar-lebar!"
Tiba-tiba dia meninggikan suaranya. Beberapa karyawan lain sampai memandang ke arah kami. Melihat ketidakmenyesalan Ten, aku mengambil alih untuk minta maaf.
"Ten..."
"Mau sampai kapan kau mengabaikanku? Aku berusaha menjagamu, Youngie. Kenapa kau tidak mau dengarkan aku? Dia selingkuh!"
Aku apresiasi kalimatnya kali ini. Hanya karena dia berbisik dengan nada kemarahan yang meledak-ledak. Tidak banyak orang yang bisa melakukan itu. Jadi, aku terkekeh melihatnya.
"Doyoung-ah... Ini bukan saatnya bercanda."
Keseriusan dari kalimatnya membuatku mau tak mau berhenti tertawa. Kuhadap dia yang masih terbakar emosi. Aku tidak mengerti kenapa dia marah pada hal yang bukan urusannya.
"Ini kantor. Kau tidak bisa mencampurkan urusan pribadimu dengan pekerjaan... Begitu caranya ketika sepasang orang yang telah menikah bekerja di tempat yang sama," aku mengambil napas sembari memutar otak. "Dan ini bukan urusanmu Ten. Sungguh, aku tahu apa yang terbaik untuk hubungan kami. Lagi pula, kami masih baik-baik saja sampai sekarang. Tidak ada yang berubah."
Sudah lebih dari satu tahun Ten menerocosiku dengan wanti-wanti yang sama, berasal dari masalah yang tak pernah berubah. Aku menyayangi Ten yang begitu perhatian dan peduli padaku. Tapi, masalah ini hanya aku yang bisa menyelesaikannya.
.
Jaehyun Pov.
Rapat selesai jam 4 sore. Semua orang telah keluar dari ruangan kecuali aku dan Doyoung yang merupakan sekretarisku. Kami sedikit bicara mengenai presentasi yang akan aku tampilkan minggu depan yang masih berhubungan dengan rapat hari ini.
"Apa kau ada acara hari ini? Jeno sepertinya ingin dijemput olehmu." Ucap Doyoung saat pembicaraan kami tentang presentasi selesai.
"Ah... sebenarnya aku sudah ada janji."
"Dengan Irene?" pertanyaan tiba-tiba itu cukup membuatku mematung. "Aku penasaran, kenapa kau dekat sekali dengannya. Yah... untuk ukuran sesama manajer, sebatas rekan kerja, kenapa harus sering pergi berdua?"
Aku sudah duga dia telah mendengarnya. Tapi, baru kali ia bertanya dengan gamblang.
"Kami hanya berteman dekat."
"Iya, aku tahu kok." Dia menjeda kalimatnya. "Tapi, kuharap pertemananmu dengannya tidak membuatmu lupa dengan kami yang menunggumu di rumah."
Dadaku seketika terasa sesak mendengarnya. Meski tidak ada nada curiga ataupun kemarahan dalam perkataan Doyoung, rasanya kalimat itu sukses membuat beban berat jatuh ke pundakku.
"Manajer Jung! Ah, ada sekretaris Kim ternyata. Maaf, menggaggu." Seorang yang menjadi bahan pembicaraan tiba-tiba muncul.
"Tidak-tidak! Kami sudah selesai manajer Bae. Aku akan kembali ke ruanganku."
Aku kehilangan kata-kata. Doyoung sudah pergi dari sini meninggalkanku dengan Irene.
"Kita jadi pergi?"
"Tentu..."
.
Doyoung Pov.
Kutinggalkan mereka berdua. Memang apa lagi yang harus kulakukan selain itu? Menyeret Jaehyun meninggalkan Irene. Itu tidak mungkin. Jaehyun tidak akan mau.
"APPA!"
Teriakan melengking yang sangat kukenal membuatku berbalik. Mataku membulat saat melihat sosok kecil Jeno berlari mendekatiku. Perasaan hangat langsung menyergap kala melihatnya tersenyum cerah sambil menerima sambutanku untuk memeluknya.
"Aigoo... aigoo... kau membesarkan anakmu dengan sangat baik Doyoung."
"Ah! Eommonie... kau ada disini? Kenapa?"
Ibu Jaehyun ternyata datang bersama Jeno. Aku baru saja menyadarinya.
"Tadi Jeno pulang cepat tapi ponselmu tidak bisa dihubungi jadi sekolahnya menelponku. Aku menjemputnya dan membawanya kemari. Lagipula, suamiku merindukannya."
"Omo! Benarkah? Terima kasih banyak eommonie..."
"Ah! Jangan begitu, Jeno kan cucuku. Aku juga bertanggung jawab akan dia."
Aku bersyukur memiliki ibu mertua seperti ibu Jaehyun. Seseorang yang terbuka dan bersifat cerah. Ia tak pernah membuatku merasa sulit seperti ibu mertua kebanyakan. Bahkan, berkali-kali beliau membantuku mengurus Jeno. Seperti sekarang.
"Eomma..."
Jaehyun keluar dari ruang rapat yang beberapa saat lalu aku tinggalkan. Irene berjalan di belakang namja itu.
"Daddy!" Jeno berontak dari dekapanku demi mendekati ayahnya yang terkejut dengan kehadirannya di kantor. Meski begitu Jaehyun dengan semangat menggendong Jeno. "Daddy, aku kangen daddy! Kenapa sih kalau pagi berangkat duluan terus? Aku kan ingin diantar daddy."
"Aih! Jagoan daddy manja ya... sini cium dulu sini."
Kedekatan mereka membuat hatiku serasa mau meledak. Sangat senang rasanya. Namun, saat pandanganku teralih pada Irene, perasaan takut yang asing itu datang. Wanita itu dengan berani mendekati Jaehyun yang menimang Jeno.
"Hai, Jeno..."
Tanpa sadar aku merapat pada ibu Jaehyun. Suara merdu itu, senyuman itu...
"Daddy, nugu?"
Tidak! Jaehyun, jangan jawab!
"Ini Irene imo, temannya daddy."
Jae...
"Hihihi... teman daddy cantik." Tangan kecil Jeno mengusap wajah Irene. Aku membeku. Rasanya sesuatu yang sangat berharga milikku siap diambil oleh seseorang di depan mataku sendiri. Ketakutan yang hebat membuatku bergetar. Pemandangan indah antara Jaehyun, Jeno dan Irene itu bagai mimpi buruk. "Tapi, appa dan Jaemin lebih cantik. Hehehe..."
"Jaemin, nugu?" tanya Jaehyun.
"Teman Jeno. Tapi, dia lebih suka dekat sama Malk hyung sih... tapi tidak apa-apa."
"Doyoung... nak..." Ibu Jaehyun menggoyang bahuku. "Kau tidak apa-apa?"
"Iya eommonie. Aku baik."
Pemandangan mengerikan di hadapanku akhirnya hilang kala ayah Jaehyun datang. Dia siap pulang dilihat dari penampilannya yang sedikit lebih santai.
"Presedir Jung. Selamat sore." Irene menyapanya dengan sopan dan ayah Jaehyun menyambutnya dengan senyum berwibawa.
"Jaehyun-ah. Aku dan ibumu pinjam Jeno sehari ya? Kami merindukannya."
"Appa, Anakku bukan barang!"
"Yah! Jangan memonopoli cucuku. Berbagilah sedikit. Jeno, sini harabojie gendong."
Anak empat tahun itu hanya menurut saja. Dia beralih ke gendongan ayah Jaehyun dalam sekejap.
"Doyoung-ah, kami merindukan Jeno. Biarkan dia di rumah kami semalam ya. Besok juga kan dia libur sekolah."
"Tentu abonim."
Jeno sangat menyayangi kedua kakek neneknya. Mau bagaimana lagi, orang tuaku sudah meninggal. Hanya mereka yang bisa memberikan kasih sayang kakek dan nenek pada Jeno.
"Gurae... Kau pulanglah dengan Jaehyun dan nikmati malam kalian. Aku tahu, punya anak kecil itu pasti susah mencari moment berdua."
Tiba-tiba kurasakan pipiku memanas. Bukan apa-apa, hanya saja aku malu. Dan lagi, ada Irene di sana yang sepertinya tak sanggup menyembunyikan raut wajah kecewanya.
"Sudah-sudah. Ayo kita semua pulang. Ke basecamp sama-sama..." ibu Jaehyun menyeret anak dan menantunya. Tapi, ia kemudian teringat Irene. "Ah! Manager Bae, kau membawa kendaraan?"
"Aku, akan naik bis." Ucap wanita itu.
"Tidak-tidak! Jaehyun, kau antarkan dia dulu sampai rumah baru kalian berdua pulang ya..."
Lalu begitulah kami ada di sini. Di samping mobil Jaehyun yang bahkan bisa kuhitung berapa kali aku menaikinya. Aku nyaris membuka pintu belakang saat tiba-tiba Jaehyun menyeletuk.
"Kenapa duduk disitu? Duduk di depan bersamaku."
Sebuah tawaran yang mengejutkan. Aku melihat Irene sekilas. Dia hanya memasang wajah biasa miliknya. Tapi, aku menurut.
.
Jaehyun Pov.
Entah sudah berapa kali aku mencuri pandang lewat kaca spion untuk melihat Irene. Dia sedang tidak baik. Rencana kami gagal karena seseorang yang kini duduk di sampingku, yang sialnya adalah orang yang aku nikahi. Bukan aku menyalahkannya, Doyoung juga tidak meminta semua ini terjadi. Tapi, rasa kesal tetap ada di hatiku entah untuk kejadian tak terduga ini atau untuk Doyoung.
Kulihat spion depan sekali lagi. Kali ini Irene juga melihatku lewat benda yang sama. Dia tersenyum. Senyuman yang mampu membuatku merasa aman dan nyaman. Ingin sekali setiap hari kulihat senyuman itu mengambut setiap aku bangun tidur. Tapi, kenyataannya yang ada hanyalah kasur kosong karena ditinggal pemiliknya. Doyoung tidak pernah ada di sana setiap kali aku bangun. Bahkan ketika kami melewati malam panas bersama sebelumnya.
Meninggalkan kaca spion, tak sengaja kulihat Doyoung yang menatapku dengan wajah datar. Aku ketahuan.
"Terima kasih tumpangannya, manajer Jung, sekretaris Kim."
"Ye, semoga harimu menyenangkan manajer Bae."
Mobilku melaju lagi setelah menurunkan Irene di apartemennya. Arah rumah kami berbeda. Jadilah kini aku dan Doyoung harus berbalik arah dan terjebak kemacetan petang yang menyebalkan.
"Haruskah kuhidupkan radio?" tawar Doyoung.
"Ya, tolong. Aku hampir mati stress sekarang."
Sebuah lagu sountrack drama langsung terputar sesaat setelah Doyoung menghidupkan radionya. Kami berpandangan ketika menyadari judul lagu yang memenuhi mobil itu.
"Astaga, sudah berapa lama kita tidak mendengar lagu ini?" seru Doyoung.
"Ya, lagu duet kita di perpisahan sekolah. Benar-benar sudah sangat lama." Ingatanku terbang ke 10 tahun yang lalu saat kami membawakan lagu ini bersama di acara perpisahan sekolah. Benar, hubungan kami sudah selama itu. Kami berteman sejak SMA dan menikah saat kami lulus kuliah. Saat itu kedua orang tua kami yang mempersiapkan segalanya. Aku dan Doyoung hanya mengiayakan saja saat kami dijodohkan. Entah apa yang membuatku bisa mengatakan ya dengan cepat saat ibu bilang aku harus menikah dengan Doyoung.
"Dramanya juga bagus... aku ingin menontonnya lagi."
"Tidak masuk akal. Sekarang mana ada yang menjual kasetnya." Celetukku.
"Benar juga..."
Lagu berjudul To You itu selesai berputar. Kami bernyayi dengan lirih selama lagu itu mengalun sambil mengingat masa-masa dimana aku masih menjadi temannya. Saat itu semua terasa sangat mudah.
[Petang semuanya... disini masih denganku. Johnny Seo...]
"Ah! Ini pacarnya Ten."
Aku tak terlalu menggubrisnya. Yang kutahu, Ten adalah teman dekat Doyoung di kantor.
[Hari ini aku sangat sedih karena kekasihku marah-marah. Dia sedang kesal dengan temannya yang sulit diatur. Dan dengan tidak berperikemanusiaan dia melemparkan kemarahannya padaku. Aku tidak melakukan apapun... jangan marahi aku.]
Doyoung tertawa mendengar lawakan Johnny. Mungkin yang sedang Johnny bicarakan adalah Doyoung. Atau, mungkin yang lain. Entahlah.
[Dia juga menyuruhku mengirimkan pesan pada temannya itu lewat radio. Begini... ehem ehm... YAH! KAU INI SUDAH TIDAK WARAS YA!? KENAPA PURA-PURA TIDAK TAHU TERUS!? INI SUDAH SETAHUN, BODOH! AKU SUDAH CAPEK MENGINGATKANMU! TINGGALKAN DIA KARENA DIA SUDAH SELINGKUH DASAR- pip]
"Aku yakin Ten sedang PMS sekarang."
Doyoung mematikan radionya. Dia juga tak menatap padaku.
"Ya, mungkin saja."
.
Doyoung Pov.
"Mandilah dulu. Aku akan masak makan malam."
Jaehyun menuruti perkataanku tanpa membantah. Mungkin sudah terlalu lelah menghadapi kondisi jalan yang baru saja kami lewati. Juga sedikit kejadian tak terduga yang membuatku ingin mengiris bibir Ten sampai tak berbentuk lagi. Aku harap Jaehyun tidak menyadarinya.
Kuabaikan tubuh yang lengket dengan keringat. Meski tidak terlalu pandai memasak, tapi pengalaman selama 5 tahun sudah mengasah kemampuanku dengan baik. Selama itu aku berusaha melayani Jaehyun sebisaku dan untungnya dia tidak pernah protes, pun menyanjungku. Dia hanya bertindak sebagai penerima yang pasif, yang benar-benar menerima saja apa yang diberikan orang padanya.
"Aku bisa kerjakan sisanya, kau bisa mandi sekarang."
Dari belakang, Jaehyun telah berdiri dengan wajah yang lebih segar. Masakanku sudah matang, dia hanya cukup meletakkan di piring dan mangkuk saja.
"Iya."
Aku berjalan ke arah kamar kami disamping dapur. Disana baju kerja Jaehyun tergeletak tak elit di kursi kerjanya. Menyebalkan, kebiasaan buruk yang tidak pernah berubah sejak pertama kali kami bertemu. Kuabaikan kain itu untuk lebih dulu membersihkan badan. Jaehyun bisa saja tidak sabar menunggu.
Secepat mungkin aku mandi dan hanya melewatkan 10 menit tak berarti. Untuk itu aku berjalan ke meja kerja Jaehyun lalu mengambil baju kerjanya di sana. Sedetik kuangkat kain itu, aroma yang familiar langsung menguar. Berdifusi dengan udara sekitar. Aroma yang kuyakini bukan milik Jaehyun karena aku hafal sekali bagaimana aroma suamiku.
Dalam kebingungan itu, ponsel Jaehyun di atas meja bergetar. Nomor tak dikenal. Aku menimang-nimang, haruskah kuangkat telepon ini atau kuserahkan saja langsung pada Jaehyun. Tapi, egoku menguasai. Kugeser tombol hijau di layar.
Hening...
Ada bunyi gemeresak di seberang yang menandakan seseorang ada di sana. Mungkin menunggu kata halo dari Jaehyun.
[Jaehyunnie... kau sudah sampai rumah?]
Deg!
Suara yang sama dengan wanita yang aroma parfumnya menempel di pakaian Jaehyun. Tiba-tiba jantungku berdebar lebih cepat. Mataku mulai memanas mendengar suara lembut yang pasti didambakan suamiku setiap saat.
[Jae, kenapa tidak menjawab? Hei! Kau harus tetap menepati janjimu untuk membeli baju bersamaku. Besok pagi, ok? Aku tunggu di apartemenku.]
Kuambil napas sebanyak yang paru-paruku bisa tampung. Mencoba menyalurkan lebih banyak oksigen ke otakku yang buntu dan jantungku yang terasa sakit.
"Manajer Bae? Maaf sudah lancang, tapi ini Doyoung."
.
.
TBC