Conceal the Truth

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Rated: For now, T

Genre: Random! XD

Main cast: Find your self ;3

DLDR

RnR

.

.

.

Kedua mata safir itu masih bersembunyi di balik kelopak mata. Sorotan sinar matahari yang sudah mencapai ufuk rasanya tidak membuatnya beringsut dan segera membuka kedua matanya. Bukan untuk bangun dan bergegas ke kamar mandi dan melakukan rutinitasnya. Melainkan sekedar menjawab panggilan dayang istana yang sudah sejak setengah jam yang lalu memanggil namanya dari luar kamar.

Kuil Santo yang masih satu kawasan dengan istana sudah mulai melakukan persembahan. Para tetua dan biksu sepertinya sudah berada di sana. Lonceng logam sebesar ukuran tubuh pamannya, Chouji Akimichi, sudah dipukul berkali-kali. Suaranya memekakan telinga memang. Namun bagi bocah berambut pirang itu, suara bising itu sudah terasa biasa baginya.

Pintu kamarnya terbuka. Menampakkan seorang bocah perempuan berambut indigo dari balik sana. Layaknya bocah berusia 5 tahun, ia berteriak bising membangunkan kakaknya yang belum juga beranjak dari tempat tidurnya.

"Bangunlah. Ini waktunya persembahan Niisan." ujar bocah itu mengguncang tubuh kakaknya.

Si pemilik tubuh menepis tangan adiknya untuk menjauh, dan kembali menenggelamkan dirinya di balik selimut putih bercorak simetris.

"Pergilah Hima! Persembahan kali ini akan berjalan walau tanpa diriku." katanya disertai dengusan.

Bocah perempuan itu bersungut sebal.

"Tidakkah kau ingin mendoakan mendiang Ibu?" tanyanya menarik selimut.

Sang kakak berbalik. Menatap tajam adiknya yang masih berdiri di ambang tempat tidurnya.

"Tidak. Karena bukan aku yang bersalah. Harusnya pria itu yang mendoakan mendiang Ibu, agar tenang di surga." tandasnya.

Mendengar jawaban yang sangat tidak nyaman didengar, Hima segera berlari keluar. Cucu kedua Kaisar Namikaze itu menyesal membangunkan kakanya, dan mendengar jawaban semacam itu keluar dengan mudahnya dari bibirnya.

Di balik pilar, tepat di depan kamar putranya, seorang pangeran mahkota berdiri dengan kepala tertunduk. Pria itu sedih. Karena hari ini peringatan kematian istrinya? Bukan. Kejadian memilukan itu sudah terlewat setengah windu yang lalu. Semuanya lebih kepada kesedihannya, yang masih belum mendapatkan tempat di hati anaknya.

Langkah gontai diambil oleh sang Pangeran Mahkota. Sebentar lagi ia harus bersiap untuk mengunjungi suatu tempat. Bukan inginnya. Namun sebuah tugas negara yang ia emban sebagai Pangeran Mahkota harus segera diselesaikan.

"Segera siapkan kudaku. Aku akan berangkat satu jam dari sekarang."ujarnya pada seorang pria di belakangnya.

"Tapi Yang Mulia, Jiraiya-sama sudah menyiapkan kereta kencana untuk anda pergi kesana." kata pria tersebut.

"Tidakkah kau mendengar apa yang kukatakan? Aku akan pergi dengan kuda seorang diri. Bukan dengan kereta kencana." selanya menatap tajam pelayan pribadinya.

"B-baik. Saya mengerti." katanya segera menghilang dari hadapannya.

Kembali ke kamar calon Pangeran Mahkota. Dimana sang pemilik kamar belum juga menampakkan batang hidungnya. Meski dirinya sudah berhasil membuat adiknya menangis keluar kamar karena perkataanya.

"Boruto,"

Seorang lelaki senja masuk begitu saja kedalam kamar yang tidak tertutup itu. Sebuah ranjang single menjadi tujuan utamanya. Tepatnya pada seseorang yang 'masih' berbaring di sana.

Iris hitam itu menjelajahi setiap sudut kamar cucunya. Katana lengkap dengan sarungnya tergeletak di atas meja. Hampir separuh badan samurai tertutup kertas tipis bergurat tinta hitam.

Pemilik rambut silver metalic itu duduk di tepi tempat tidur.

"Jangan mencoba untuk membujukku."ucap Boruto di balik selimut.

Lawan bicaranya hanya tersenyum simpul. Suara berat khas orang tua keluar dari bibirnya.

"Aku tidak akan melakukan itu. Karena sepertinya Hima sudah melakukannya tapi gagal."

Dengusan menjadi jawaban dari perkataan lelaki senja itu.

"Aku melihat adikmu berlari sambil menangis tadi. Boruto, dengar— hentikan semua ini. Kau bukan anak kecil lagi. Tidak lama lagi kau akan menjadi Pangeran Mahkota."

Bibir mungil itu diam. Perlahan ia berbalik memandang kakeknya dari sudut matanya. Tatapan risih ia lempar begitu saja kepada tetua Negeri Oki tersebut.

"Tidak lama lagi Ayahmu akan diangkat menjadi Kaisar. Sementara kau, harus belajar banyak dan berusaha keras untuk jabatanmu yang selanjutnya. Kesampingkan egomu. Kau juga harus mulai memikirkan rakyat kita."

Masih diam. Tidak ada jawaban apapun yang Boruto dapatkan untuk mengelak perkataan kakeknya.

"Tapi untuk apa aku menjadi Pangeran Mahkota jika ibu tidak ada di sini?"

Tetua berkutil di hidung itu berdecap.

"Dengar, sebagai pangeran dan keturunan Kaisar Senju dari klan Hashirama, kau hidup bukan untuk keluargamu. Melainkan untuk rakyatmu. Suka tidak suka, mau tidak mau, takdir sudah mempercayakan hidup banyak orang untuk bergantung padamu. Meski usiamu baru 12 tahun, tapi tanggung jawabmu untuk kelangsungan hidup Negeri Oki, tidak dapat kau kuasai dalam satu genggaman tangan. Kau mengerti?"

"Tapi kakek..."

"Apa aku menyuruhmu untuk berbicara? Hanya hari ini. Untuk hari ini saja aku sedikit melonggarkan aturan istana. Setelah persembahan selesai, jangan harap kau bisa tidur nyenyak di atas sini." katanya.

Pria senja berkedudukan tetua istana itu lantas pergi. Meninggalkan Boruto yang setengah bangkit.

Di ambang pintu Jiraiya berdiri. Masih dengan posisinya, menghadap kedepan, ia bersuara,

"Sebentar lagi Ayahmu akan pergi untuk melaksanakan tugas terakhirnya sebagai Pangeran Mahkota. Saat kembali, ia akan segera dinobatkan sebagai Kaisar. Maka dari itu, sebelum kau kehilangan banyak waktumu dengan Ayahmu, lebih baik berhenti bersikap seperti anak kecil. Karena Kaisar tidak akan melayani bocah nakal sepertimu." ujarnya kemudian pergi. Benar-benar pergi.

"Apa bedanya menjadi putra Pangeran Mahkota ataupun Kaisar? Dia sama sekali tidak pernah mempedulikanku." gumamnya bangkit dari tempat tidur.

oOo

Barisan prajurit telah berbaris rapi. Tombak yang mereka genggam masing-masing mengarah ke atas di sisi tubuh mereka. Menandakan mereka semua siap melepas pimpinanya untuk segera keluar istana.

Setelan hakama berwarna hitam di bagian atas dan putih di bagian bawah sudah siap untuk di pakai menempuh perjalanan jauh. Tidak ada prajurit yang akan mendampinginya. Hanya dua bilah katana dan beberapa anak panah beserta busurnya yang akan melindunginya.

"Kau yakin tidak akan membawa satu atau dua prajurit untuk ikut bersamamu?" tanya Jiraiya yang berdiri berdampingan dengan tetua-tetua Negeri Oki yang lainnya.

"Tidak." jawab Naruto singkat. "Mengemban tugas menjadi Kaisar lebih berat di banding hanya menangkap para pemberontak yang kabur ke Negeri tetangga. Aku akan membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku layak menjadi Kaisar pengganti Ayah." ucap Pangeran berusia 35 tahun tersebut.

Jiraiya hanya bisa mengangguk mendengar perkataan pria yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu.

"Baiklah. Semoga Tuhan selalu melindungi setiap langkahmu." tutur tetua dari divisi sumber daya negeri Oki.

Mata safir beradu dengan iris yang berwarna sama. Ia menunduk sedih melihat anak bungsunya menangis di balik kaki Jiraiya. Masih dengan katana yang tergantung di pinggang kirinya, Naruto jongkok menatap lurus Himawari yang sudah berlinang air mata sejak tadi.

"Ayah akan kembali bukan?" tanyanya terisak.

"Pasti. Ayah memiliki janji dengan festival kembang api musim semi nanti."

"Berjanjilah Ayah akan pulang dan melihat festival kembang api bersamaku dan Boruto Niisan."

Tidak ada perkataan terlontar. Hanya anggukan dan senyum penuh keyakinan yang di tampakkan oleh Naruto. Ia sangat yakin akan kembali dengan keadaan sehat dan tubuh yang utuh. Hanya menangkap para pemberontak yang membantu para perompak ilegal mendapatkan ikan di laut Negeri Oki. Bukan hal yang sulit baginya.

Naruto kembali berdiri. Melihat sekelilingnya hanya ada para tetua dari berbagai pemerintahan yang berdiri. Serta barisan dayang yang mengelilinginya. Seorang bocah laki-laki yang ia cari tidak menampakkan wajah padanya.

"Dimana anak itu?" tanya Naruto pada Jiraiya.

"Terakhir kali aku melihat dia masih berbaring di kamarnya." jawab pria tua itu.

"Baiklah, sepertinya aku tidak perlu pamit padanya. Sampaikan saja salamku padanya. Aku akan kembali secepatnya." Kata Naruto kemudian berbalik. Melewati pintu istana megah bercorak dua naga.

Sesaat pandangannya mengarah pada puncak kuil Sato. Lonceng hitam dari tembaga masih terlihat bergoyang. Itu artinya persembahan belum sepenuhnya selesai.

'Jaga mereka selama aku pergi, Hinata.' batinnya sembari memejamkan mata.

Pria berambut pirang itu berjalan cepat ke arah kuda. Hanya dengan satu kali lompatan ia sudah menempatkan dirinya di atas kudanya dan segera berlalu dan menghilang di balik gerbang istana.

Dari kejauhan dua pasang mata meratapi kepergian putra kebanggaan mendiang Kaisar Minato itu.

Seorang dayang menghampiri Jiraiya dengan napas tersengal. Kepangan panjangnya sampai berpindah ke depan saking terburu-burunya. Semua pasang mata tertuju pada dayang muda tersebut.

"Ada apa Ritsu?" tanya Jiraiya dengan sudut di dahinya.

"B-Boruto-sama tidak ada di kamarnya, Jiraiya-sama." jawabnya.

"Mungkin dia sedang mandi atau kalau tidak sedang berada di ruang makan." kata pria tua itu lagi.

"Tidak. Peternak istana bilang, Boruto-sama pergi membawa kudanya sesaat setelah Naruto-sama pergi, Jiraiya-sama."

"A-apa kau yakin?"

"Iya Jiraiya-sama. Aku sudah memeriksa katana dan ketapel di kamarnya. Tapi benda itu tidak ada di sana."

Kedua tangan Jiraiya teremas geram. Giginya bergemeretak menahan amarahnya.

"Kakek..." lirih Himawari sedih.

"Anak itu!" desisinya dengan suara tertahan. "Panggil Shikamaru untuk segera menghadap padaku!"

.

.

.

.

.

.

"T-tapi Tenten-sama. Anda tidak bisa keluar sekarang."

Untuk kesekian kalinya, dayang istana memperingatkan Tenten untuk tidak pergi. Bukan hanya karena hari sudah gelap, namun para penjaga yang berjaga di depan gerbang istana juga menjadi alasan utama.

Gadis berusia 22 tahun itu masih berkutat dengan penyangga dadanya. Kedaan kamar cukup gelap. Hanya sebatang lilin menyala di atas meja yang menjadi penerangan.

"Tidak akan ada yang tahu jika kau tidak memberitahu, Temari-san." jawab Tenten datar. "Kenapa talinya sulit sekali?" gerutunya berusaha mengaitkan besi pengait di belakang punggungnya.

Dayang pribadi Tenten segera membantu mengaitkan bebat tebal itu. "Berbahaya Tenten-sama. Di luar dingin dan gelap. Anda bisa terluka atau bahkan lebih buruk lagi." kata Temari.

Keduanya selesai memasang baju hakama yang biasa Tenten gunakan. Kini tinggal mencepol tinggi rambutnya di atas kepala, maka semuanya selesai dan Tenten sudah siap untuk berangkat.

"Tidak akan terjadi apapun. Katana menemaniku." balasnya terkesan tak peduli.

Temari kembali membantu Tenten dengan rambutnya. Sang Puteri Mahkota memandang dirinya lewat pantulan kaca. Wajahnya hanya terlihat sebagian. Sementara bagian yang lain tidak tampak akibat minimnya cahaya.

Setelah selesai dengan rambut Tenten. Temari menatap Puterinya tersebut.

"Ada apa Tenten-sama?" tanya dayang berambut pirang itu.

Sang Puteri menatap nanar. Diikatkan kain panjang di tangannya itu untuk menutupi bagian dahinya.

"Yang aku takutkan hanyalah, jika aku di asingkan." lirihnya menunduk.

Kedua bahu yang sebelumnya tegak seolah yakin dengan apa yang akan di laluinya nanti, perlahan mulai turun. Temari jelas melihat, sosok di depannya bukan lagi Naoto yang berani dan bersemangat. Melainkan sang Puteri yang selalu berusaha ceria di balik segala kecemasan yang dia rasakan.

Tangan Temari turun. Membetulkan letak bebat kain di dada Tenten sebelum menutupinya dengan baju yang pengerajin kayu Naoto pakai biasanya.

"Percayalah, Kaisar Seiyu tidak akan membiarkan itu terjadi. Mana mungkin Kaisar tega mengasingkan putrinya yang mewarisi segala rupa dan sifat mendiang istrinya." ujar Temari rendah. Temari juga sangat menyayangkan keputusan para tetua secara sepihak itu. Jika benar sampai itu terjadi, tidak peduli ancaman gantung menghantuinya, ia akan tetap berada di samping Tenten. Menjaga puteri yang sudah bersamanya sejak kecil itu.

Kembali Tenten menunduk. Lagi-lagi ia harus meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Ayahnya tidak akan pernah membiarkan para tetua Istana mengasingkannya.

'Semoga saja.' batinnya lirih.

"Tenten-sama, saya akan membantu anda keluar." tawarnya.

"Tidak perlu. Sai sudah menungguku di kandang kuda."

"Baiklah. Setidaknya ijinkan saya untuk mengantar anda kesana. Ada sesuatu yang ingin aku katakan pada Sai." Temari berujar datar.

Anggukan dari Tenten menjadi akhir dari percakapan mereka.

.

.

.

.

Ilalang tanda perbatasan antara desa dan hutan sudah terlihat. Tampak dari kejauhan, dua manusia sedang mendekat menggunakan kuda yang mereka tunggangi.

"Cukup sampai di sini Sai. Kau tidak akan ikut lebih jauh lagi." ucap Tenten begitu langkah kudanya berhenti.

Wanita berpenampilan pria itu turun dari kuda. Memantapkan posisi kapaknya dan menyerahkan tali pengikat kuda pada Sai.

Pria berwajah pucat itu ikut turun. Menyusul Tenten lalu menerima uluran tangan sang Puteri.

"Tapi perjanjian kita tadi bukan seperti ini Tenten-sama.."

"Sst! Bukankah sudah kubilang untuk memanggilku Naoto di luar istana." sela Tenten menginterupsi.

"Maaf. Tapi sulit membedakan anda dan Naoto setelah aku mengetahui semuanya." ujar Sai menunduk.

"Lupakan. Baiklah, itu janjimu pada Temari satu jam yang lalu. Tapi bagaimanapun, aku adalah Puteri. Wewenangku pada kalian adalah mutlak."

"Naoto.."

"Kumohon Sai. Ketika aku tahu kau mengetahui siapa diriku sebenernya, itu sudah membuatku takut. Jika kau terlibat lebih jauh dengan semua ini, akan sulit untukmu lepas dari hukuman. Menyembunyikan tentang identitasku sudah lebih dari cukup bagiku."

Sai menatap datar teman baik sekaligus Putri Kaisar di hadapannya. Tidak ada yang dapat Sai ucapkan untuk menentang sang Puteri. Mematuhi perkataanya adalah mutlak, namun mengutamakan keselamatannya juga sangat penting.

Pria itu mengulurkan tangannya pada Tenten. Kedua alisnya terangkat.

"Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat." kata Sai.

Gadis itu menerima jabatan tangan Sai dengan senyum terkembang.

"Aku akan kembali bagaimanapun caranya. Entah itu sebagai Puteri ataupun Naoto." balasnya penuh keyakinan.

Tidak lagi ada percakapan di antara mereka. Tenten segera berlari ke arah hutan. Masuk kedalam menembus kegelapan. Mencari sesuatu yang sudah lama ia curigai. Dan untuk membuktikannya, satu-satunya cara adalah dengan menyelidiki apakah dugaanya selama ini benar.

Masih di selimuti pikiran tentang Sai, Tenten terus berlari kedalam hutan seorang diri. Tentang Sai yang secara tiba-tiba mengetahui semua tentang dirinya. Secara teknis, Tenten dan Temari sudah menjaga rapat rahasinya, lalu bagaimana mungkin seorang Sai yang hanya pelajar jenius yang bahkan jarang masuk ke lingkungan istana bisa mengetahui kebenaran tentang dirinya?

"Kuharap kau bisa kupercaya Sai." lirih Tenten di tengah napasnya yang terengah.

oOo

Malam semakin pekat. Bahkan angin malam yang biasanya berhembus lirih juga terlihat tak bersahabat. Membiarkan seorang gadis berperawakan pria, berlari seorang diri. Tenten tidak berpikir bahwa malam terakhir di bulan Agustus kali ini begitu menyeramkan.

Lirikannya berpaling sebentar ke arah bawah. Katana masih berada di dalam sarungnya. Yang ia perlukan hanyalah menghunus benda berbilah tajam dan berujung runcing itu, jika ada sesuatu yang mengancam keselamatannya.

Satu jam berlari, menjauhi perbatasan desanya. Tidak ada satu pun hal yang aneh selama itu. Entah sudah seberapa jauh dirinya masuk ke hutan. Ia bahkan tidak peduli jika suatu waktu dirinya tersesat. Yang dia pedulikan hanyalah menyelesaikan masalah ini segera. Mengharapkan kepolisian desa untuk turun tangan akan memakan waktu lama. Dan selama itu berlangsung, tidak ada yang tahu bagaimana nasib para pengerajin kayu di desanya. Karena ancaman gulung tikar bisa terjadi kapan saja.

Dalam gelap, perlahan ia memperlambat langkahnya. Mengikuti sinar bulan yang seolah menemaninya melalui bayangannya yang tercipta berkat cahayanya. Tunggu, bayangan?

Bruk!

Seutas tali yang menjuntai dari kaki pohon satu ke pohon yang lain menumbangkannya begitu saja. Dan saat dirinya bangkit, barulah Tenten sadar dengan apa yang terjadi. Saat dia berlari, bahkan sinar bulan tidak cukup terang untuk menerobos daun hijau pepohonan yang tumbuh begitu rimbun. Berbanding terbalik dengan sekarang, Tenten bahkan bisa melihat bayangannya sendiri dengan jelas.

"Kami-sama, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?" lirihnya terperangah, sesaat setelah mendongak.

Sepanjang mata memandang, manik itu mengamati sekitarnya. Hampir seluruh pohon di depannya mengering dengan serpihan sisa penebangan mengelilingi bagian bawahnya. Pelaku menyisakan setengah dari badan pohon untuk di siram. Berharap pohon itu tumbuh kembali setelah di siram air.

Seseorang menepuk bahunya. Tenten terkejut, seketika mundur dan mendelik. Menghadapkan tubuhnya pada orang di belakangnya.

"Nanti bersihkan sisa-sisa serpihannya. Sekarang ikut aku, semua batang kayu sudah siap dikirim." ucap orang tersebut pada Tenten.

Baiklah, mungkin Tenten tidak bisa membaca dan memahami sesuatu yang terlampau rumit. Namun ia juga tidak sebodoh itu. Jelas perkataan pria yang baru saja buka suara itu menunjukkan bahwa dia adalah pelakunya.

"B-baik."

Tenten menurut. Setidaknya itu satu-satunya cara agar ia bisa masuk lebih jauh ke dalam markas para pekerja ilegal ini.

Tidak ada yang aneh sejauh ia mengikuti perintah pria itu. Hingga akhirnya pria misterius itu sendiri yang membawanya ke tempat persembunyian dan berujung pada sesuatu yang tidak pernah ia duga. Seolah segala pikiran yang mengganjal di hatinya dan para pengerajin di desa terbayar lunas saat itu juga.

Puluhan batang pohon yang sudah dikikir sedemikian rupa tergelatak beronggok-onggok di hadapannya. Beberapa kereta kuda modifikasi sudah siap untuk mengantar bahan mentah itu entah kemana. Bagaimana bisa para polisi desa tidak bisa melihat tindakan ilegal ini? Apa yang mereka lakukan setelah Kaisar menandatangani surat ekspedisi hutan?

Tangan kanannya mengenggam rapat gagang katananya. Merasa tidak ada yang mempedulikannya, Tenten segera menghunus benda mengkilat itu langsung ke leher pria yang memerintahnya.

Iris Tenten menyala dihujani sinar bulan. Di tengah kegelapan, ia menyalurkan kegeramannya melalui gertakan rahangnya. Dengan segala daya yang tersisa di raganya, tangannya merapat pada genggaman. Siap menebas apapun yang ada di hadapannya. Termasuk gerombolan orang yang mulai melihat ke arahnya.

"Katakan siapa yang mengutusmu!"

To Be Continued...

Masih ingat fanfic bulukan ini? XD Maaf ya kalo semakin gak jelas dan ceritanya awut-awutan. Sedikit info dari aku. Fanfic yang rencananya hanya akan jadi 3 chapter ini, kayanya akan berbuntut panjang. Dengan kata lain, mungkin ini akan jadi fanfic panjang melebihi fanfic Gadis Pencuri. Juga seiring berjalannya waktu dan berkembangnya cerita, akan ada banyak chara baru yang akan ambil bagian di sini. Jadi.. semoga gak bosan ya sama fanfic ini :*

Eniwei, mungkin ada yang bertanya kemana Neji? X"D Oke gini, sengaja aku putus di sini agar di chapter depan peranan Neji dan ... bisa di tampilkan merata dan lebih banyak XD Jadi, sudah terjawab kan kenapa Neji gak ada sama sekali di chapter ini.

Dan untuk yang request chara di chapter sebelumnya, mohon maaf jika karakter yang kalian usulkan tidak masuk. But don't worry, tunggu give away di chapter2 depan ya :"))

Lenny chan: Yep! Benar dugaan Leny XD Naoto itu Tenten. Neji gak tahu kan soalnya udah bertahun-tahun mereka gak ketemu XD Dan untuk requestan karakternya, maaf karena aku menyesuaikan dengan jalan cerita, Sesshomaru dan Shinichi Kudo belum bisa dimasukkan :"3 Gomeenn~ :"D Mungkin next time. Jadiii, terimakasih sudah membaca dan maaf kalo chapter ini mengecewakan :"3

Guest: Aww, makasih banyak untuk waktunya membaca dan coret2 di kotak review aku :3 Amiin. Semoga yang ini chapter ini gak separah yang kemarin XD Dan untuk soal Naruto, congratz! Naruto sudah ambil bagian di fanfic ini lengkap dengam taburan Borutonya! XD Sekali lagi makasih untuk waktunya ya :"3

Rahasia: Maaf ya :"3 Tapi kalo mood lagi baik, mungkin next time akan bacod2an lagi XD /nak. Mmm, plot itu belum kepikiran untuk di letakkan di bagian mana dan chapter berapa. But, akan aku pertimbangkan kok. Soal humor, pasti ada nanti. Tapi gak yakin bakal kemakan sama reader XD *dengan kata lain, garing* For the last, untuk Sai... hmm, sayang banget karena di udah jadi teman baik Tenten dan *sensor* yang ini masih rahasia XD /plakk.

Marin Choi: Hehehehe, maaf ya slow update :"D Kehidupan real life membuatku keteteran :"3 Okelah, semoga chapter ini tidak mengecewakan :"3 Dan untuk fanfic Ambivalence... a-ano, sepertinya tidak lama lagi fanfic itu akan aku hapus :"3 *dijejelin bom molotov* Alasannya karena aku merasa fanfic itu melanggar R&G nya ffn :"3

Done ya :"D Seperti biasa, untuk yang log in bisa cek PM masing-masing. Krisar bisa di sampaikan di kotak review. Saya Ran Megumi, sign out~