.

ooOoo
In the Raspberry Thickets

.

SasuNaru
Rated T
Romance, Angst, Semi canon

Warnings: OOC/Typos, SLOWBURN

Characters © Masashi Kishimoto

.

.

ooOoo

In the Raspberry Thickets

CHAPTER SEVEN

.

Mereka berdua melaju terus, keluar dari desa, menemukan hutan kecil lebat, lalu memutuskan untuk bersembunyi di sana untuk sementara waktu. Sebisa mungkin Sasuke memastikan ia tidak meninggalkan jejak apa pun selama melarikan diri, memilih jalan memutar-mutar dan bercabang untuk membingungkan musuh. Setelah itu, dia memasuki hutan kecil asing yang sepertinya tak pernah terjamah manusia.

Ada sungai kecil berair jernih mengalir di sana. Pepohonan begitu rimbun sehingga cocok untuk dibuat berteduh. Udara agak mendingin karena dedaunan pepohonan sudah berwarna kuning kecokelatan pertanda akhir musim telah datang. Siang ini tidaklah seterik biasanya. Iklim di hutan ini memanglah tak seekstrim di desa itu.

Sasuke menurunkan Naruto dari gendongan dan menyandarkannya di batang pohon di pinggir sungai. Sedari tadi Naruto sama sekali tidak mengatakan apa-apa dan juga tidak banyak bergerak, membuat Sasuke khawatir kalau terjadi apa-apa pada Naruto.

Dan kehawatirannya terbukti. Naruto tak sadarkan diri di punggung Sasuke. Matanya terpejam dengan kerutan di antara kedua alisnya. Wajahnya kelihatan sedang kesakitan dan bibirnya membiru...

Jangan-jangan…

Panik, Sasuke mengecek punggung Naruto. Jangan bilang luka bekas kunai itu semakin buruk! Sasuke menarik pundak Naruto dan melihat punggung Naruto, melihat luka itu sudah tidak lagi berdarah, namun lebih parah lagi. Kulit di sekitar luka tusukan itu membiru.

"Kunai beracun?" bisik Sasuke tercekat, napasnya masih terengah-engah sehabis berlari jauh. Tangannya merobek jubah hitamnya memanjang hingga bisa membalut punggung Naruto, memutar melingkupi perutnya juga. Gawat. Sasuke sama sekali tidak punya penawar racun apa-apa sekarang ini. Ditambah lagi pusat desa terdekat sangat jauh jaraknya dari tempat ini. Dia tidak bisa membawa Naruto dan melaju ke sana begitu saja. Tidak dengan kondisi Naruto yang seperti ini. Menggendong Naruto di punggungnya tentu akan membuat goncangan-goncangan yang mungkin memperburuk kondisinya. Maka tidak ada pilihan lain. Sasuke harus mencari sendiri obat penawarnya.

Ia menelungkupkan Naruto yang setengah tak sadarkan diri di bawah pohon. Naruto merintih kesakitan, tapi matanya tetap terpejam. Luka tusukan kunai di punggungnya sudah terbalut robekan kain milik Sasuke, tidak berdarah, namun membuat kulit di sekitarnya membiru parah. Sasuke menanggalkan jubah hitam panjangnya, lalu melingkupinya ke tubuh Naruto, membuatnya kelihatan seperti selimut agar pemuda pirang itu tidak kedinginan oleh udara yang berembus dingin.

Ia meraba kening Naruto, lalu mendecakkan lidah. Badan Naruto panas. Sasuke harus segera bergerak cepat.

Ia melaju ke arah hutan. Mungkin dia bisa menemukan tanaman-tanaman obat yang bisa diramu untuk dijadikan penawar racun. Namun ia tahu benar tidak akan jadi mudah.

.

.

Sasuke benar-benar sedang tidak diuntungkan.

Penghujung musim gugur, pohon-pohon meranggas, daun-daun mengering, dan tanaman obat semakin usah diperoleh. Sasuke sedang diburu waktu sehingga dia tidak bisa terus menghabiskan waktu mencari tanaman obat terlalu lama.

Ia menemukan daun pohon elm yang masih hijau, usaha kerasnya setelah hanya menjumpai daun elm yang sudah mengering sedari tadi. Ia mengambil lembarannya sebanyak mungkin lalu segera melaju ke tepi sungai, tempat Naruto sekarang berada. Ia tidak boleh lagi menyia-nyiakan waktu.

Di perjalanannya, Sasuke menangkap sekilas siluet gubuk tua di tengah hutan yang ditinggalkan. Kemungkinan masih bisa ditempati untuk sementara ini. Ia harus segera mengobati luka Naruto lalu membawanya ke sana untuk beristirahat.

Sasuke menemukan Naruto masih dalam posisi yang sama. Jubah hitam masih menutupi tubuhnya, wajahnya masih berkerut kesakitan bahkan mulai berkeringat banyak. Bibirnya memutih dan gemetaran.

"Naruto…" panggil Sasuke, tapi bocah itu tidak merespon.

Sasuke mengerutkan keningnya. Ia tidak boleh membuang waktu lagi. Segera ia mempersiapkan lembaran-lembaran daun elm, bersiap untuk menghaluskannya untuk dijadikan obat salep. Meskipun bukan ninja medis, Sasuke masih punya pengetahuan dasar perihal penawar racun. Dia juga pernah mendengar soal daun elm yang dikenal bisa dijadikan obat penawar racun darurat.

Daun-daun elm itu digiling menggunakan batu bersih, dicampur sedikit dengan air sungai yang mengalir jernih dan dihaluskan hingga menjadi salep. Setelah dirasa selesai, Sasuke menyingkap jubah yang menyelimuti Naruto, membuka kain bebatnya—kulit sekitar luka tusuk itu semakin membiru oleh racun—dan melumuri luka itu dengan salep daun elm.

Efeknya tidak akan terasa dalam waktu dekat ini, jadi mau tidak mau dia harus menunggu selama beberapa saat. Naruto mengerang, tapi tidak terbangun. Namun kini, kerutan di dahinya sudah tidak tampak. Mungkin reaksi mendinginkan dari daun elm sudah mulai terasa.

Sasuke memandang kaki langit di ujung sungai yang tampak oleh matanya. Matahari akan tenggelam beberapa saat lagi. Satu hari berlalu dengan cepat, dihabiskan dengan melarikan diri melewati hutan-hutan, lereng gunung, dan sungai-sungai. Angin berembus semakin kencang, semakin dingin, seolah sedang menghantarkan berita bahwa musim dingin akan segera datang.

Sasuke segera teringat gubuk di tengah hutan yang dilihatnya tadi, lalu, sambil mengangkat Naruto ke dalam gendongannya, ia mulai menggerakkan kaki-kaki lelahnya ke sana. Sasuke sangat kelelahan. Tenaganya nyaris habis, tapi masih saja ia paksakan untuk mencapai tempat itu. Kalau tidak cepat bergerak, mereka berdua bisa mati kedinginan di sini.

.

.

Gubuk itu ternyata jauh lebih memprihatinkan dari yang ia duga. Luasnya hanya tiga kali tiga meter dengan dinding yang terbuat dari kayu-kayu hutan yang sudah lapuk dimakan usia. Hanya ada satu pintu yang nyaris terlepas dari engselnya, berderit-derit menyakitkan saat dibuka dan ditutup. Lantai masih dari tanah, dengan satu dipan kotor dan lapuk dan lemari kecil di tengah ruangan. Di ujung ruangan, terdapat meja nyaris ambruk yang satu kakinya hilang, dengan beberapa pernik tanah liat tua dan dian usang yang ada di atasnya.

Sasuke membersihkan dipan itu dari tanah dan daun-daun kering yang berserakan, lalu membaringkan Naruto di atasnya. Jubahnya sekali lagi ia selimutkan ke badan Naruto yang entah mengapa semakin ringkih. Tas Naruto ia lepas dan letakkan di kaki dipan. Sasuke memandang sekeliling, lalu membuka lemari kecil di sana. Menemukan setumpuk kecil kain seperti selimut kotor yang tidak dilipat. Sasuke memandangi selimut itu. Kalau dicuci, pasti masih bisa digunakan. Kalau ingin bersembunyi di sini selama beberapa waktu, dia harus mempertimbangkan untuk memanfaatkan barang-barang di gubuk ini semaksimal mungkin.

Sasuke mengembuskan napas lelah, lalu beralih menuju pintu dan menyandarkan punggungnya di sana. Ia menatap langit yang sudah menggelap. Bulan menggantung di langit, nyaris purnama. Cahayanya terhalangi oleh rimbunan pohon-pohon di hutan ini yang mulai meranggas.

Perut Naruto berbunyi, walaupun Naruto sendiri masih belum bangun. Sasuke tersenyum kecil, lalu teringat kalau seharian ini perut mereka berdua masih belum terisi apa-apa. Mungkin dia harus mencari sesuatu untuk mengembalikan lagi tenaga yang hilang. Apalagi kondisi Naruto yang sedang seperti ini.

.

.

"Tsunade-sama, kita harus segera mencari Naruto!" kata Sakura, berjalan cepat berusaha mengimbangi langkah sang Hokage yang terburu-buru.

Si Godaime Hokage tidak menjawab. Ia berjalan ke sepanjang lorong dengan Shizune yang mengekor di belakangnya. Malam baru saja tiba, dan kesibukan masih berlangsung di gedung Hokage ini.

Sudah beberapa hari ini Sakura berusaha menemui Tsunade. Semenjak hilangnya Naruto dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, perasaan Sakura menjadi kalau-balau. Naruto mudah sekali menerobos keluar dari desa karena chakranya yang tidak terbaca sehingga membuat ninja pelacak kesulitan menyadari keberadaannya.

Tsunade diam saja saat ditanyai perkara kepergian Naruto. Memang benar di pagi harinya mereka semua kelimpungan mencari bocah pirang itu. Namun begitu mereka menemukan surat peninggalan Naruto di rumahnya, Tsunade jadi bungkam. Begitu juga dengan Kakashi, Iruka, bahkan Kapten Yamato. Sakura berkali-kali mengusulkan untuk membentuk tim guna mencari Naruto, tapi sang Hokage tetap tidak mengabulkan permintaannya.

"Tsunade-sama!" Sakura memanggil lagi, merasa putus asa.

"Sakura," Shizune menghentikannya, memaksa Sakura berhenti di tengah lorong. "Tsunade-sama sedang ada urusan. Lain kali saja kalau kau mau membicarakan sesuatu."

Tsunade masih berjalan menjauh.

Sakura terlihat putus asa. "Tapi, Tsunade-sama! Anda tidak bisa memutuskan seperti itu! Naruto sedang… sedang…" Ia tidak meneruskan perkataannya.

Tsunade berhenti, berpikir, lalu membalikkan badan dan berjalan lambat mendekati Sakura kembali. Ekspresi wajahnya tegang dan sendu.

"Sakura," ucap Tsunade, "aku mengerti apa yang ingin kau katakan. Tapi saat ini tidak ada lagi yang bisa kulakukan."

"Tapi—"

"Naruto sendiri yang memintanya. Kau baca suratnya sendiri, kan? Itu adalah keinginan Naruto. Dia yang meminta agar dibiarkan mencari Uchiha Sasuke sendirian, bahkan meminta kita untuk tidak mencarinya."

"Tapi kondisinya sekarang sedang tidak bagus… Dia masih perlu dirawat… obat-obatannya masih belum habis…"

"Dia sudah membawa serta beberapa bungkus obat bunga salamander bersamanya. Setidaknya akan bertahan hingga beberapa minggu ke depan."

Sakura terdiam, menggigit bibirnya dengan sikap gamang. "Lalu apa yang akan terjadi kalau obatnya habis? Apa yang akan terjadi kalau dia tidak bisa lagi mengonsumsi obat-obatannya?"

"Itu—" Tsunade berusaha menjawab, tapi diinterupsi kembali oleh Sakura.

"Aku tahu Naruto masih perlu penanganan serius. Dia tidak bisa dibiarkan berkeliaran di luar sana tanpa memperhatikan kesehatannya sendiri… Tsunade-sama, kumohon, biarkan aku dan yang lainnya mencari Naruto! Tanpa persetujuan dari Anda, kami tidak bisa sembarangan keluar dari desa!"

Tsunade menggeleng kuat. "Sakura. Aku ini memang seorang Hokage, tapi aku juga seorang ninja medis. Sudah menjadi tugasku untuk mengobati dan menyembuhkan setiap pasien yang ada di sini, tapi bukan berarti aku bisa mengesampingkan permintaan mereka," Tsunade memberitahunya.

"Tapi kalau dia tidak bisa dirawat di rumah sakit…"

Tsunade mengembuskan napas. "Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, Sakura. Pengobatan biasa sudah tidak lagi berdampak apa-apa buatnya, termasuk penanganan di rumah sakit. Untuk sekarang ini yang bisa menolongnya adalah obat bunga salamander. Selama dia punya obat itu, dia hanya butuh istirahat sampai kondisinya kembali stabil."

Sakura menggelengkan kepalanya, masih menolak untuk setuju. "Tapi… kalau Naruto berada di bawah penanganan khusus Anda, dia pasti akan—"

"Aku sudah memberitahumu, Sakura," potong Tsunade dengan kening berkerut sedih, "tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku sudah melakukan semua yang kumampu, tapi tetaplah tidak cukup. Penyakit Naruto terlalu mematikan untuk bisa disembuhkan secara total. Dan kau sudah tahu sendiri kalau obat bunga salamander itu sejatinya tidak bisa mengobati penyakit Naruto, tapi hanya untuk memperpanjang usianya…"

Kelopak mata Sakura bergetar. Matanya memanas, serasa ingin menangis lagi.

Sakura berkata lirih. "Kenapa kalian semua mengatakan hal yang sama…? Kakashi-sensei… Iruka-sensei… Kapten Yamato … dan sekarang Anda…"

Tsunade tidak bisa menjawab. Memang berat dia harus memutuskan ini, tapi memang, seperti yang dia katakan, dia sudah tidak bisa berbuat lebih. Tsunade sudah mengerahkan segala yang dia mampu untuk menyembuhkan Naruto meskipun kesembuhan total masih begitu mustahil untuk diraih. Menghilangnya Naruto dari desa memang mengguncangnya, tapi surat permintaan Naruto juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Tsunade takut kalau permintaan itu adalah yang terakhir dari Naruto, dan Tsunade akan merasa sangat bersalah kalau tidak mengabulkannya demi anak itu. Maka dari itu, dengan berat hati dia membiarkan Naruto pergi.

Namun tetap ada rencana tersusun di belakang kepalanya. Rencana cadangan kalau-kalau yang satu ini gagal terlaksanakan. Meskipun kemungkinannya masih sangat kecil, dia tidak akan putus harapan.

"Apa…" Suara yang baru datang, berasal dari ujung lain lorong.

Tsunade, Shizune dan Sakura menoleh ke sumber suara, lalu membeku.

"Apa yang terjadi?"

Sakura mengerut sedih, "Gaara…"

"Kazekage…" Tsunade menggumam.

Gaara berdiri kaku di ujung lorong bersama Temari dan Kankurou yang membayang di belakangnya. Ekspresinya mengeras, bercampur terkejut dan tak percaya.

"Apa yang terjadi pada Naruto?" tanyanya tegang.

.

.

Sebenarnya inilah urusan mendadak Tsunade—menemui Kazekage yang akhirnya bisa berkunjung ke Konoha. Namun, Sakura yang sedang putus asa menghentikan Tsunade di tengah jalan sehingga membuat Gaara (yang awalnya sudah menunggu di ruang pertemuan) harus keluar untuk mengecek… dan akhirnya malah mengetahui semua. Tsunade segera menyuruh Sakura pulang dan mengisyaratkan Gaara untuk kembali ke ruang pertemuan bersama-sama. Gaara mengikutinya dengan wajah tegang.

"Hokage, tolong jelaskan semuanya padaku. Apa maksudnya dengan perkataan Sakura tadi? Naruto pergi dari desa?" Gaara segera mencecar Tsunade dengan pertanyaan-pertanyaan segera setelah mereka semua duduk di ruang pertemuan. Tsunade berada di hadapannya, hanya ditemani Shizune yang sama tegangnya.

Tsunade mengangguk khidmat. "Seperti yang sudah kaudengar, Kazekage, Naruto memang pergi dari desa. Ini sudah hari yang keempat semenjak dia pergi."

Gaara mengepalkan tangannya. "Kenapa dia dibiarkan begitu saja? Bukankah Anda bilang sendiri kalau dia sedang sakit parah?"

"Aku khawatir kalau itu memang keputusannya sendiri, Kazekage. Sebelum pergi, dia meninggalkan surat di rumahnya." Tsunade berhenti, lalu berbalik menatap Shizune. "Shizune, kau bawa benda itu?"

"Ya, Tsunade-sama," jawab Shizune, mengambil secarik kertas dari dalam saku pakaian miliknya. Kemudian dia menyerahkan benda itu ke sang Hokage.

Tsunade meraba kertas itu, merasakan teksturnya di bawah jemarinya. "Surat ini berisi permintaan dari Naruto," ujarnya. "Sebuah permintaan dari seorang pasien yang sakit parah, tentu saja tidak bisa kuabaikan begitu saja."

Wanita itu mengulurkan kertas surat itu, yang langsung diterima oleh sang Kazekage sendiri.

Gaara membaca surat itu sungguh-sungguh, mencermati tulisan tangan Naruto yang sedikit berantakan tapi memiliki arti yang dalam. Selesai membaca, dia meletakkan kertas itu di atas meja. Kerutan gusar di keningnya semakin dalam.

"Ini tindakan gegabah," kata Gaara. "Membiarkan seorang berpenyakitan seperti Naruto berkeliaran keluar dari desa, dengan kondisi seperti itu, dan tidak ada yang mengawasi… Apa Anda mengerti resikonya, Hokage?"

Tsunade mengerutkan keningnya. "Aku mengerti benar apa resikonya…" ujarnya lambat.

Gaara terlihat tidak bisa diyakinkan. "Aku meragukan perkataan Anda, Hokage. Apa Anda sudah mempertimbangkan seandainya kondisi Naruto tiba-tiba drop?"

"Dia sudah membawa obat-obatannya dalam jumlah cukup banyak. Selama dia punya obat itu dan mengonsumsinya secara benar dan rutin, kemungkinan terburuknya bisa dihindari," Tsunade ragu-ragu, "setidaknya sampai rentang waktu tertentu."

"Sampai rentang waktu tertentu," Gaara mengutip ucapan Tsunade, tidak senang. "Hokage, Anda sendiri tidak yakin mengatakannya. Apa Anda sungguh bisa menjamin keadaan Naruto?"

Tsunade mengembuskan napas. "Ada banyak sekali kemungkinan, tentu saja aku tidak bisa seratus persen menjaminnya," sangkal Tsunade. "Aku sudah menyusun rencana untuk ke depannya. Kau tidak usah khawatir, Kazekage."

"Rencana? Maksud Anda mengirim ninja untuk mencarinya?"

"Tidak… Belum. Masih belum saatnya…"

"Apa maksud Anda belum saatnya? Anda bilang sendiri Naruto hanya punya rentang waktu tertentu…," Gaara mencecarnya dengan pertanyaan, lalu satu pemikiran langsung terbentuk di kepalanya. "Kalian bermaksud mencari kandidat Jinchuuriki Kyuubi selanjutnya."

Itu bukan pertanyaan. Gaara mengingat satu bagian dalam surat Naruto yang meminta untuk dicarikan wadah Jinchuuriki untuk Kyuubi yang selanjutnya. Naruto tidak ingin membuat Kyuubi ikut mati bersamanya. Tapi bukankah itu… sama seperti… keluar dari kandang singa tapi masuk ke mulut buaya? Memang benar Naruto tidak akan mati karena penyakitnya, tapi dia tetap akan mati kalau Kyuubi terlepas dari tubuhnya, kan?!

"Tidak!" Tsunade langsung menyangkal. "Itu tidak sepenuhnya benar! Kazekage, ini urusan internal desa Konoha. Tentang Kyuubi dan Jinchuuriki, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan desa Suna. Tapi percayalah, aku punya rencana. Aku juga sama, aku tidak ingin Naruto mati! Aku akan membentuk tim khusus untuk mencari Naruto, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Ada banyak persiapan yang harus dilakukan, tidak bisa serta-merta selesai."

Gaara terdiam, mencerna ucapan Hokage. Rencana, huh…? Kalau memang benar apa kata Tsunade bahwa persiapannya butuh waktu, berarti rencana yang dipersiapkan tidaklah sembarangan.

"Baiklah, aku mengerti," Gaara akhirnya menimpali. "Kalau memang Konoha butuh waktu untuk persiapan, aku tidak bisa ikut campur. Tapi," Gaara menatap lekat, "aku sendiri yang akan mencari Naruto."

"Kazekage!" Tsunade berseru.

Gaara bangkit berdiri. "Temari, Kankurou, kita kembali ke Suna." Dia harus segera bersiap.

Kedua saudaranya itu tampak kebingungan hendak berbuat apa, tapi tetap mengabulkan permintaan Kage mereka. Ketiganya melangkah keluar dari ruang pertemuan itu.

"Kazekage! Jangan gegabah!" Tsunade berteriak, tapi Gaara mengabaikannya.

Dia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Gaara mengatasnamakan desa Suna untuk mencari Naruto.

.

.

Naruto bangun dalam posisi yang tidak biasa. Tubuhnya bertelungkup di atas dipan keras dan kasar, sulit digerakkan. Ada jubah hitam yang melingkupi tubuhnya seperti selimut. Tebal, meskipun tidak bisa mengusir dingin sepenuhnya. Saat ia berusaha bangkit, sengatan rasa sakit membuat ingatan peristiwa yang lalu menyerbu kepalanya. Soal pencariannya, bertemu orang-orang asing, disekap, Sasuke menyelamatkannya, melarikan diri bersama…

Naruto terkesiap, menyadari sampai di mana dia mencerna ingatannya.

Ia memaksa bangun, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di punggungnya. Pasti karena luka kunai itu. Tidak disangka rasa sakitnya terasa sampai sekarang. Cukup parah juga ternyata.

Naruto menatap sekeliling, menyadari dirinya tengah berada di dalam bangunan sempit dan reyot. Di ujung ruangan ada satu dian tua yang menyala dengan api kecil, cukup untuk penerangan darurat di tempat seperti ini. Pintu depan separuh terbuka tapi hanya menampilkan pemandangan hitam yang pekat. Hari sudah malam.

Ia tidak ingat dibawa ke tempat ini. Bahkan ia tidak ingat separuh dari perjalanan mereka melarikan diri. Naruto sudah tak sadarkan diri sejak di tengah perjalanan. Yang terakhir ia lihat hanyalah warna kuning kecokelatan daun-daun maple yang meranggas, dan juga langit yang tertutup awan… Jadi di mana ini sebenarnya?

Dan yang paling penting, di mana Sasuke sekarang?

Seolah-olah menjawab pertanyaan kebingungan Naruto di dalam hatinya, ada suara langkah kaki di luar, ringan dan berirama, beradu dengan keringnya daun-daun kuning yang berserakan di tanah hutan.

Lalu wajah Sasuke muncul dari balik pintu.

Naruto mengembuskan napas lega.

Sasuke berjalan lambat mendekat. "Kau sudah bangun?"

"Hm," jawab Naruto.

Sasuke duduk di ujung dipan. Dua ekor ikan yang barusan dibakar ada di tangannya. Naruto meraba perutnya. Terasa perih. Ia kelaparan.

"Ini makanlah," Sasuke menyerahkan seekor ikan bakar ke Naruto, yang langsung disambut antusias oleh pemuda pirang itu. "Tidak ada piring bersih di sini, jadi makan saja seadanya."

Naruto makan dengan lahap. Perutnya benar-benar kosong seharian ini. Ikan yang dibawa Sasuke tidaklah seberapa besar. Hanya dibakar sekenanya tanpa bumbu penyedap apa pun, tapi tetap terasa enak buat Naruto yang memang sedang kelaparan. Pasti Sasuke menggunakan teknik apinya untuk membakar ikan ini. Eh tapi tunggu, bagaimana bisa dia berburu ikan malam-malam begini?!

Melihat Naruto menghabiskan ikannya dengan cepat, Sasuke menyodorkan ikan satu lagi. Naruto menerimanya, tapi ragu-ragu.

"Ini bagianmu kan?" tanya Naruto.

"Aku sudah makan bagianku tadi," bohongnya. "Sudah makan saja."

Naruto tidak menjawab lagi. Ia makan sambil terus dipandangi oleh Sasuke. Agak tidak nyaman juga, tapi dia berusaha tidak memikirkannya. Selesai makan, Sasuke menyodorkan wadah air minumnya ke Naruto. Pemuda pirang itu meneguk air itu dengan cepat. Dia dehidrasi.

Sasuke berkata, "Berikan aku wadah minummu. Aku akan mencari air lagi."

Naruto menurut tanpa berkomentar, merogoh saku bajunya untuk mengambil wadah air minum yang sudah kosong. Ia menyerahkan benda itu sambil memandang Sasuke kebingungan.

Sasuke berlalu keluar sambil membawa tulang-tulang ikan yang terkumpul untuk dibuang.

Naruto terdiam, mempertajam pendengaran. Ia tidak mendengar suara gemericik air di sekitar sini. Pasti sumber airnya cukup jauh sehingga butuh waktu untuk mencapai sana. Naruto memandangi wadah minum milik Sasuke di tangannya. Masih tersisa seperempat wadah. Matanya berkilat ke arah tasnya yang menggantung di seberang ruangan. Ia ingat harus segera meminum obatnya.

Tubuhnya terasa kaku dan punggungnya sakit, tapi Naruto harus memaksakan diri untuk berdiri. Setidaknya dua langkah lebar hingga tangannya bisa menjangkau tasnya. Badannya terhuyung-huyung, limbung. Kepalanya serasa berputar akibat tak sadarkan diri cukup lama. Namun tas berhasil berada di tangan. Resleting masih tertutup rapat. Naruto berdoa dalam hati, berharap Sasuke sama sekali tidak menyentuh isi di dalamnya.

Ia membuka resleting tasnya, menarik keluar obat-obatannya, mengambil empat butir yang berwarna biru, lalu mengembalikan tasnya ke posisi semula. Saat kembali ke dipan, tubuhnya serasa ingin ambruk. Punggungnya benar-benar sakit.

Empat butir obat ia telan, dibilas dengan air minum yang masih tersisa. Selanjutnya, ia hanya perlu menunggu sampai rasa kantuk kembali datang, sekalipun Naruto sudah tidur nyaris seharian ini.

Sasuke kembali beberapa menit kemudian, membawa wadah air minum yang sudah terisi penuh. Naruto berkedip lambat, matanya terasa berat.

Sasuke duduk di atas tanah dengan punggung bersandar di dipan reyot itu. Ia memandang Naruto dari sudut matanya.

"Bagaimana punggungmu?" tanya Sasuke.

"Masih sedikit sakit. Padahal hanya terkena satu kunai, tapi masih terasa sakit sampai sekarang."

"Itu karena kunainya beracun."

"Beracun?!"

"Hm. Aku sudah membuat penawarnya dengan bahan daun elm, tapi sepertinya butuh waktu sampai lukanya benar-benar sembuh."

Racun lagi, batin Naruto. "Apa kita sudah lepas dari mereka?"

"Untuk sementara ini iya," jawab Sasuke. "Tapi aku tidak bisa menjamin sampai seterusnya."

"Sebenarnya ini di mana?"

"Aku tidak tahu pasti. Yang jelas kita sudah tidak berada di Kusagakure lagi. Mungkin ini di hutan desa kecil yang bukan bagian dari lima negara besar." Ia memandang Naruto. "Jangan tidur telentang seperti itu. Itu hanya akan menghambat penyembuhan luka di punggungmu. Menelungkuplah."

Naruto menurut tanpa banyak bicara.

Kemudian senyap. Naruto tidak bisa melihat Sasuke dengan posisi seperti ini sehingga mulai bertanya-tanya apa pemuda itu sudah tertidur. Tapi napasnya yang pendek-pendek tak teratur menandakan bahwa Sasuke masih terjaga.

Well, mungkin ini pertanyaan yang berbahaya, tapi Naruto benar-benar penasaran.

"Mereka itu sebenarnya siapa? Apa masalahmu dengan mereka?" tanya Naruto.

Sasuke diam sebentar. "Mereka itu ninja-ninja bayaran dari desa tersembunyi yang jauh dari sini. Mereka dibayar oleh seorang petinggi desa yang haus kekuatan untuk membawaku ke desanya dan mengambil mataku."

"Jadi itulah kenapa mereka membicarakan sharingan-mu terus-menerus?"

"Ya. Mereka sudah memburuku sejak berbulan-bulan yang lalu."

"Kenapa tidak kaulawan saja? Bukankah kau cukup kuat untuk mengalahkan mereka?"

"Sudah kulakukan, tapi mereka tidak ada habisnya," jawab Sasuke. "Aku baru saja menghadapi pertarungan besar yang membuat kekuatan mataku melemah, jadi aku tidak bisa menggunakan kekuatan penuhku hingga waktu tertentu."

Itulah kenapa Sasuke berusaha menghindar untuk menghimpun kekuatan. Itulah kenapa dia langsung terlihat kelelahan setelah hanya menggunakan Amaterasu satu kali. Sasuke sudah memperhitungkan semuanya seorang diri.

"Lalu apa yang akan kaulakukan setelah ini?"

Sasuke terlihat ragu-ragu. "Aku akan terus menjaga jarak dari mereka sambil menunggu mataku pulih. Setelah itu, aku akan ke desa mereka dan menghabisi petinggi desa itu. Dengan begitu aku akan terbebas dari mereka sampai seterusnya."

Sebenarnya Sasuke meragukan keputusannya untuk memberitahu Naruto rencananya ini, tapi Naruto berada di keadaan yang sama dengannya. Dia sudah menyeret Naruto ke dalam permasalahannya hingga membahayakan nyawanya sendiri. Naruto berhak tahu semua ini.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa yang akan kaulakukan?" Sasuke balik bertanya.

Naruto berpikir sebentar. "Aku tidak bisa kembali ke Konoha, kan?"

"Tidak," jawab Sasuke. "Kalau kau kembali, mereka akan mengikutimu ke Konoha karena mengira aku ada bersamamu. Kemudian bisa saja mereka melakukan serangan besar ke desa itu."

Karena musuh masih belum menunjukkan kekuatan yang sebenarnya. Serangan-serangan kecil yang Sasuke alami tidak bisa dijadikan patokan seberapa besar kekuatan musuh. Sasuke hanya tahu bahwa ambisi mereka kelewat besar untuk mengambil mata sharingan-nya. Terlebih lagi Sasuke adalah yang terakhir dari klan Uchiha.

"Aku tidak bisa membiarkan mereka menyerang Konoha," ujar Naruto.

"Kalau itu memang maumu, kau tidak bisa lagi kembali ke sana."

Ini jauh lebih buruk dari bayangan Naruto.

Sasuke melanjutkan, "Aku sebenarnya tidak mau melibatkanmu dalam permasalahan ini. Tapi karena kau sudah terlanjur terlibat dan dikenali oleh musuh, kau harus tetap bersamaku," ia berhenti sebentar. "Tentu saja kau bisa menolak dan melarikan diri sendirian kalau kau mau, tapi kupikir itu bukan pilihan terbaik."

"Karena aku tidak tahu mereka seperti apa sedangkan kau sudah bertarung dengan mereka berkali-kali," Naruto menimpali, berusaha menghubungkan titik-titik permasalahannya.

"Ya. Dan aku sudah mulai mengenali pola penyerangan mereka."

"Dan kalau aku pergi sendirian, aku tidak akan tahu kalau mereka menyerangku, begitu?"

"Kau ternyata lebih pintar dari yang kuduga," kata Sasuke agak terkejut. "Ya. Kau benar. Akan jauh lebih baik kalau kau dan aku bergerak bersama. Kita sudah menghilangkan jejak dari mereka, dan mereka tidak akan bisa menemukan kita dalam waktu dekat ini.

"Aku berencana untuk tetap berada di hutan ini sampai musim gugur benar-benar berakhir. Iklim akan menjadi sangat dingin, jadi mungkin aku akan sesekali ke pusat desa untuk membeli kebutuhan mendasar. Saat musim dingin datang, kita akan bergerak ke desa, mencari penginapan, berpindah-pindah seperlunya, tanpa menurunkan penjagaan dari mereka."

Naruto mencerna perkataan dan rencana yang diutarakan Sasuke. Ternyata Sasuke telah memikirkan semuanya masak-masak.

"Apa kau benar-benar tidak keberatan kalau aku ikut denganmu?" tanya Naruto bersungguh-sungguh. Ia tidak tahu apakah Sasuke merasa tidak nyaman dengan kehadiran Naruto di sini.

"Mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan yang lebih baik dari ini," jawab Sasuke.

Saat Naruto ingin menjawab lagi, ia menguap. Rasa kantuk datang dalam gelombang yang kuat, membuat matanya terasa kian berat dan memejam. Sasuke menyadari itu.

"Sebaiknya kau tidur, Naruto. Tidak ada gunanya berdiskusi kalau kau menahan kantuk seperti itu," kata Sasuke. "Aku yang akan berjaga malam ini."

Naruto mengangguk lemah, membiarkan rasa kantuk menguasai dirinya. Namun samar-samar, dia bisa merasakan seseorang menyampirkan jubah hitam semakin erat ke tubuhnya, menjadikannya sebagai selimut.

Besok akan jadi hari yang melelahkan.

.

.

Gaara, Temari dan Kankurou kembali ke Suna dengan kecepatan penuh. Mereka sampai keesokan harinya, disambut oleh petinggi desa yang terkejut melihat Gaara yang kembali lebih cepat dari yang dijadwalkan. Rapat kecil darurat langsung diadakan, dihadiri oleh beberapa petinggi desa dengan raut wajah kebingungan. Sang Kazekage memberitahukan permasalahan yang ada, dan memutuskan untuk membentuk tim khusus untuk mencari sahabatnya, Naruto.

Esok hari dia akan berangkat menuju ke luar desa bersama timnya. Tim yang hanya terdiri dari empat orang termasuk Gaara sendiri, dengan dua orang Jounin pelacak dan satu Anbu yang ia percaya. Semua urusan di Sunagakure akan ia serahkan sementara ke saudara-saudaranya, Temari dan Kankurou, serta para petinggi lain yang berwenang. Ia akan membatasi waktu misi ini. Misi ini harus selesai dalam waktu maksimal dua minggu. Gaara bagaimanapun adalah seorang Kazekage yang bertanggung jawab atas desa. Dia tidak bisa meninggalkan urusan desanya terlalu lama.

Naruto adalah sahabatnya yang berharga, jadi dia akan membawanya kembali dan menyuruhnya untuk diam di rumah sakit sampai sembuh. Gaara sebenarnya merasa marah pada Hokage, kenapa hanya membiarkan Naruto pergi begitu saja tanpa tindakan cepat. Namun Gaara tetap saja tidak bisa mengkritisi sikap Hokage itu karena ia tidak tahu rencana macam apa yang sedang Tsunade persiapkan.

Maka Gaara hanya perlu bergerak sendiri. Dia hanya perlu menemukan Naruto, kan? Kalaupun dia nanti bertemu dengan Sasuke, dia tidak akan peduli. Naruto tidak akan aman berada berdekatan dengan pelarian Konoha itu. Sasuke sudah berkontak dengan Akatsuki, organisasi berbahaya yang sudah merenggut Ichibi dari dalam tubuhnya, maka Naruto tidak boleh bertemu Sasuke sama sekali kalau tidak ingin kehilangan Kyuubi. Dia harus menyelamatkan Naruto apa pun yang terjadi.

.

.

.

To be continued.

.

.

.

Author note:

Setelah chapter sebelumnya kayak gitu, chapter ini jadi berasa antiklimaks yah haha :'

Thanks for reading!

Kritik/saran?