.
ooOoo
In the Raspberry Thickets
.
SasuNaru
Rated T
Semi AU, Angst
Warning: OOC. Plot rushed. Mainstream. Bad descriptions. Newbie.
Characters © Masashi Kishimoto
.
.
ooOoo
In the Raspberry Thickets
CHAPTER ONE
.
.
"Kau tidak bisa menjadi ninja lagi. Maafkan aku, Naruto."
"…"
"Naruto…"
"Tidak apa-apa. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk jadi Hokage."
"Naruto… kau—"
"Aku baik-baik saja, Baa-chan."
"Maafkan aku… Seandainya saja masih ada yang bisa kulakukan untukmu—"
"Sudahlah, Baa-chan. Jangan paksakan dirimu. Aku tidak apa-apa."
.
.
Meskipun berkata begitu, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, Naruto berteriak.
.
-In the Raspberry Thickets-
.
Naruto berbaring di atas ranjang rumah sakitnya, duduk dengan kepala tertunduk lemah. Tangannya lunglai, disampirkan di atas pangkuan. Sekujur kaki tertutup selimut putih berbau samar obat-obatan.
Tsunade berdiri di sudut ruangan, bersama dengan Shizune, Sakura dan Kakashi yang membayanginya dari belakang. Tubuh mereka tegang, dengan wajah yang tak menyiratkan perasaan bahagia sedikit pun.
Sakura terisak, wajahnya memerah.
"Naruto…" bisiknya, suara gadis berambut pink itu pecah. "Maafkan aku. Gara-gara aku kau jadi—"
"Aku tidak apa-apa, Sakura-chan. Aku ini kuat, aku tidak akan kalah begitu saja." Naruto tersenyum, berusaha meyakinkan. Tapi sayangnya senyum itu sama sekali tidak menyentuh matanya.
Air mata Sakura semakin deras mengalir. Ia semakin terisak, membuat Naruto merasa buruk.
"Seharusnya kau tidak menyelamatkanku. Seharusnya kau membiarkanku saja…"
"Aku tidak akan meninggalkan teman-temanku, Sakura-chan. Kau dalam bahaya, dan sudah seharusnya aku menyelamatkanmu."
"Tapi sekarang kau—"
"Aku baik-baik saja. Berapa kali lagi aku harus bilang pada kalian. Aku tidak apa-apa."
Mereka semua diam, termasuk Sakura yang mencoba meredam isakannya. Suasana begitu tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara.
Tsunade maju ke depan. Langkahnya terukur dan tubuhnya sedikit membungkuk. Kerutan sedih di antara kedua matanya tampak jelas. Bibir merahnya melengkung turun tak membentuk senyuman sama sekali. Ia berhenti, lalu menarik tempat duduk kecil di samping ranjang Naruto untuk diduduki. Tangan dingin Naruto ia raih untuk digenggam lembut.
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Naruto. Kau sangat jauh dari kata baik-baik saja," desis Tsunade marah. Tapi tetap tidak bisa menyembunyikan getaran cemas di suaranya.
"Baa-chan…"
"Kau sama sekali tidak baik-baik saja. Kau tahu itu…" Suaranya menghilang.
Wajah Naruto berubah. Ia menggigit bibirnya. "Aku tahu…"
Tatapan Tsunade beralih ke tangan Naruto, memandangi bercak-bercak kebiruan yang terlihat jelas sekali di atas permukaan kulit Naruto. Tubuh Naruto dipenuhi bercak biru. Bukan hanya lengannya, tapi sekujur tubuhnya. Lengan, kaki, perut, bahkan wajahnya tampak ternoda oleh bercak yang tak hanya tampak begitu mengganggu, namun juga menyakitkan secara bersamaan. Wajah Naruto pucat, lebih pucat dibandingkan saat Naruto menghabiskan berhari-hari tanpa makan saat menjalankan suatu misi dulu. Bibirnya memutih, pecah-pecah dan kasar. Tatapannya nanar, memandang antara kenyataan dan pikirannya sendiri. Tubuh yang biasanya energik itu kini seperti tubuh seorang pesakitan. Pesakitan yang parah.
Genggaman tangan Tsunade bertambah erat, menuntut perhatian Naruto.
"Aku tidak akan menyerah," janji Tsunade. Mata kecokelatannya tampak berapi-api meskipun kesedihan masih belum padam di sana. "Aku akan mencari jalan keluar, seberapa pun susahnya itu. Akan kucari obat penawar. Jika perlu, aku akan datang ke desa kabut untuk menyelidiki ini semua. Kau tidak akan mati, kau tidak akan kuizinkan mati semudah ini. Aku janji akan mencari jalan keluarnya…"
Bibir Tsunade bergetar, dan matanya mulai basah.
"Kau hanya perlu di sini, hanya perlu bertahan hidup dan mematuhi semua perintahku. Kau hanya perlu bertahan hidup… Kuatkan dirimu, jangan pernah sekali-kali kau menyerah pada hal remeh seperti ini… Aku tahu kau itu kuat… Berjanjilah padaku untuk tidak pernah menyerah…"
Kedua mata biru Naruto terpaku pada dua buah orbs cokelat milik Tsunade, ikut terhanyut ke dalam jiwanya. Ikut merasakan betapa kacaunya ia sekarang.
"Baa-chan…"
"Berjanjilah padaku!" desak Tsunade. Tangannya mencengkeram lengan Naruto dengan erat. Tatapannya mengeras.
Naruto menggigit bibirnya. "…Aku berjanji."
Dan di belakang sana, suara isakan Sakura kembali terdengar keras.
Suasana kembali hening. Yang terdengar hanyalah suara dentingan jam dinding, desiran udara malam yang menggesek kaca jendela rumah sakit, dan isakan tangis Sakura yang begitu menyayat hati. Merasa bersalah dan tak berguna, seperti itulah yang dirasakan Sakura sekarang ini. Ia merasa tak berguna. Tak mampu melindungi dirinya sendiri dan malah membuat Naruto dalam keadaan seperti ini… Sakura tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Embusan napas mereka terdengar jelas, disaputi keheningan yang begitu kental di dalam ruangan itu. Tidak ada yang mengucapkan apa pun, tidak ada yang berani memecah kesunyian. Terlalu sunyi hingga terasa sedikit menyesakkan.
Shizune melirik jam dinding di ruangan itu dan melangkah maju. "Tsunade-sama," ujarnya mengingatkan.
Seolah terseret kembali ke kenyataan, Tsunade mengalihkan pandangannya dari Naruto. Ia menoleh ke arah Shizune yang saat ini berada di belakangnya. Shizune mengangguk padanya.
Sambil bangkit berdiri, Tsunade melepaskan genggamannya pada tangan Naruto.
"Aku harus pergi," ujarnya, penuh beban. "Ada yang harus kuselesaikan sekarang."
Naruto mengangguk lemah, tapi tak mengucapkan apa pun.
Sebelum Tsunade meninggalkan ruangan, ia mengusap kepala Naruto, mengacak-acak rambut pirang bocah itu dengan lembut. Wajahnya terpatri sebuah senyum sedih yang menyakitkan untuk dilihat.
"Jangan khawatir. Banyak yang akan menjagamu di sini," janjinya. Sebelum akhirnya melenggang keluar bersama Shizune yang mengekor di belakangnya.
Pintu ruangan tertutup nyaris tanpa bunyi deritan sama sekali. Dan begitu suara Tsunade dan Shizune tak terdengar lagi di lorong, Sakura langsung melompat ke arahnya, memeluk lehernya dengan wajah basah penuh air mata.
"Naruto…" tangisnya, air mata deras mengalir di wajahnya yang masih merah. Tangannya erat di leher bocah pirang itu.
Mata Naruto melebar, sebelum akhirnya ikut meredup. Ia membalas pelukan Sakura hanya dengan satu lengannya melingkar di punggung gadis itu (terlalu lemah untuk bisa menggerakkan kedua lengannya sekaligus). Dan dengan lambat ia mengusap punggung Sakura, berusaha menenangkan.
"Sakura-chan…" bisik Naruto, teredam rambut pink gadis itu.
Tangis Sakura bertambah kencang. "Maafkan aku… Maafkan aku… Kumohon maafkan aku…"
"Jangan menangis… Aku tidak apa-apa…" Naruto tersenyum pedih.
.
Kakashi masih berdiri di sudut ruangan. Matanya memerhatikan kedua muridnya yang sedang tenggelam dalam tangis. Sakura dengan wajahnya yang merah dan basah, dan Naruto yang berusaha menenangkannya dengan senyum pedih yang sama sekali tidak meyakinkan itu…
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Naruto bisa berada di sini. Kenapa kondisi Naruto bisa seburuk ini. Dan kenapa umur Naruto tiba-tiba bisa memendek drastis seperti ini. Yang ia ketahui hanyalah ia dipanggil untuk datang ke rumah sakit, dan begitu ia sampai, ia sudah disambut oleh beberapa wajah yang ia kenal sedang menangis sedih, beserta Naruto yang berada dalam penanganan darurat.
Tidak ada yang menceritakan apa pun padanya. Tidak ada yang menjelaskan bagaimana Naruto bisa berada dalam kondisi seperti ini. Sakura sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Terlalu sibuk merasa bersalah karena telah menjadi penyebab Naruto seperti ini. Dan Tsunade beserta ninja medis lainnya juga tidak memberi jawaban yang memuaskan… Mereka seperti bungkam, enggan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Seakan hanya dirinyalah yang tidak berhak tahu.
Ia memandang murid kesayangannya itu, memerhatikan punggung tangannya yang terpasang jarum infus. Cairan infus yang menggantung di samping ranjangnya tampak pekat dan kental, menetes perlahan. Di beberapa bagian lain tubuhnya tertancap beberapa alat medis lain yang tidak ia ketahui namanya, sehingga membuat setiap pergerakan tubuhnya melibatkan banyak kabel dan slang… Mesin-mesin aneh dan asing di samping ranjangnya terus-terusan membunyikan suara yang seirama dengan detak jantungnya…
Kakashi memandangi Naruto dengan sedih. Muridnya yang biasanya selalu berisik dan penuh senyum itu kini bahkan tidak mampu menggerakkan bagian tubuhnya dengan bebas. Tubuhnya dipenuhi bercak biru yang mirip memar, namun lebih parah. Wajahnya begitu pucat bagai mayat, dengan senyum lemah di bibirnya yang kering dan memutih.
Ia tidak tega melihatnya, melihat Naruto yang itu tiba-tiba terbaring tak berdaya di sini, mendapatkan perawatan yang benar-benar serius, dengan berbagai alat asing yang ditancapkan ke tubuhnya untuk menyangga hidupnya…
Naruto ia selama ini ia kenal tidak pernah seperti ini.
.
ooOoo
In the Raspberry Thickets
.
Kakashi berjalan dengan langkah lambat. Kakinya mengarah ke ruangan Hokage yang berada di ujung lorong di lantai ini. Berdasarkan apa yang dikatakan Shizune yang ia temui di lantai bawah tadi, Tsunade-sama telah menyelesaikan urusannya dan kini sedang berada di ruangannya. Dan kali ini, Kakashi berniat ingin menemui Hokage itu untuk meminta penjelasan karena sampai saat ini tidak ada yang mau menjelaskan apa yang telah terjadi pada Naruto padanya.
Jounin ini mengetuk pintu dengan perlahan, menunggu jawaban dari wanita yang ada di dalam. Setelah terdengar suara Tsunade yang mempersilakan masuk, Kakashi membuka pintu berwarna cokelat itu dengan lambat, nyaris tanpa suara deritan, dan masuk ke dalam.
Dan di ruangan itu, ia bisa melihat Tsunade yang kelihatan sedang banyak sekali pikiran. Wajahnya tertekuk tak membentuk senyuman apa pun, dan kedua tangannya ia buat tumpuan untuk menopang kepalanya yang serasa memberat.
Kepala Tsunade terangkat sedikit sewaktu menyadari siapa yang datang.
"Kakashi? Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanya Tsunade dengan nada kecil dan lelah.
Kakashi berdiri di hadapannya, ekspresinya serius. "Aku ingin bertanya apa yang telah terjadi pada Naruto dan yang lainnya. Kenapa Naruto tiba-tiba jadi seperti itu?"
Alis Tsunade berkerut. "Tidak ada yang memberitahumu?" tanyanya. Sedikit terkejut.
Kakashi menggeleng. "Tidak ada. Sakura tidak menjawab saat aku bertanya padanya, dan ninja medis juga tidak berani memberi penjelasan," jawabnya muram. "Dan sekarang aku ingin menanyakannya langsung pada Anda, Tsunade-sama."
Tsunade terlihat ragu-ragu. Dalam benaknya, ia tidak yakin apakah ini keputusan yang benar jika membiarkan Kakashi tahu apa yang telah terjadi pada Naruto. Tapi Kakashi adalah jounin yang membina Naruto. Dan ia juga berhak tahu yang sebenarnya. Selain itu, Kakashi juga selalu bisa dipercaya.
"Baiklah. Aku akan menceritakan padamu apa yang sebenarnya terjadi," ucap Tsunade, nadanya serius dan dingin. "Semuanya."
Kakashi berdiri diam, bersiap mendengarkan. Ia tahu ini tidak akan menjadi hal yang bagus, tapi bagaimanapun ia harus tahu.
Tsunade menopang dagu dengan kedua tangannya. Ekspresinya menerawang.
"Tiga hari yang lalu, aku mengirim Naruto, Sakura, Sai dan Yamato untuk sebuah misi rank B ke desa Kabut."
.
ooOoo
In the Raspberry Thickets
.
Flashback
.
Naruto beserta anggota tim 7 lainnya; Sakura, Sai, dan Kapten Yamato, sedang berada dalam sebuah misi yang bertempat di desa Kabut di Negara Air.
Beberapa hari yang lalu, gulungan jutsu rahasia milik Konoha telah dicuri. Dan berdasarkan saksi mata yang masih hidup, orang yang mencurinya adalah ninja Kirigakure yang menyamar menjadi shinobi dari Konoha. Penjagaan yang ketat pada ruangan rahasia itu berhasil dibobol oleh satu orang saja, sehingga bisa dipastikan bahwa ninja itu sangatlah kuat.
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh divisi penyelidikan Konohagukure, nama ninja penyusup itu adalah Majime Reishou. Posisinya di Konoha adalah seorang ninja chuunin meskipun kemampuannya sudah menyamai jounin pada umumnya. Pada dini hari, ia mencuri gulungan itu setelah membunuh delapan shinobi yang sedang bertugas jaga saat itu. Empat gulungan jutsu berhasil diambilnya, dan semua jutsu itu adalah jutsu terlarang yang sangat rahasia; yang tidak boleh diketahui oleh orang lain kecuali dalam kondisi tertentu. Dan jika jutsu itu sampai dipraktikkan, tentu saja akan membuat banyak sekali kekacauan bahkan berpotensi membuat perang pecah antara berbagai pihak.
Dan tugas untuk tim 7 adalah menyelidiki perkara pencurian itu sekaligus membawa pulang keempat gulungan jutsu itu kembali ke Konoha—secara diam-diam.
Sudah dua hari lamanya mereka berempat memata-matai pria bernama Majime Reishou itu. Berkat sketsa wajah yang diberikan oleh Tsunade-sama, mereka bisa menemukan orang itu dengan cukup mudah. Ternyata posisi Reishou di Kirigakure lumayan tinggi, dan ia juga lihai sekali dalam melakukan penyamaran. Selain itu, pria itu juga memiliki ninjutsu yang luar biasa yang bahkan bisa membuat tim 7 kelimpungan jika berhadapan dalam sebuah pertarungan. Tak heran lagi, strategi diam-diam ini sangat penting untuk diterapkan di saat-saat seperti ini. Bagaimanapun juga, mereka harus berusaha menghindari terjadi pertarungan.
Malam ini, tim 7 kembali bergerak, mengawasi pergerakan Reishou. Pria itu akan menyerahkan keempat gulungan jutsu itu kepada Mizukage sehingga mau tidak mau mereka berempat harus mengakhiri misi pengintaian dan mulai bergerak cepat. Jika sampai jatuh ke tangan Mizukage, maka persoalan akan jadi lain lagi. Apalagi jika mereka sampai ketahuan. Misi akan berubah menjadi rank S dan nyawa mereka yang pasti akan jadi taruhannya.
Mereka berempat mengintai dari balik rimbunnya pohon, mengawasi dari jarak yang cukup dekat. Bisa terlihat dari jendela kantor Mizukage bahwa si Reishou sedang berbincang-bincang dengan Mizukage. Dan setelah beberapa saat, Reishou menyerahkan sebuah kotak kayu yang dipastikan berisi keempat gulungan jutsu rahasia itu. Mizukage menerimanya dengan senyuman, kemudian memanggil salah satu pengawalnya untuk meletakkan kotak itu di suatu tempat.
Salah satu pengawal yang berbadan paling besar langsung menjalankan perintah yang diberikan. Ia membawa kotak itu untuk diamankan ke tempat rahasia. Naruto dan ketiga rekannya mengikuti setiap gerak-gerik pengawal itu dengan seksama, memerhatikan ke mana pria itu pergi.
Pria itu menuju ke salah satu bangunan kecil jauh di belakang gedung Mizukage. Di bagian pintunya, ada jutsu penyegel yang melindungi keseluruhan bangunan. Tapi beruntung sekali itu bukanlah jutsu segel yang rumit. Dengan kondisi seperti ini, Sai dan Yamato bisa melepas jutsu itu dengan mudah. Yang menjadi masalahnya sekarang adalah, bagaimana caranya masuk dan mengambil kotak itu tanpa diketahui oleh orang lain.
Yamato memutuskan untuk membagi kelompok menjadi dua; dirinya bersama dengan Sai, dan Naruto dengan Sakura. Sai dan Yamato bertugas untuk mengambil kotak berisi gulungan jutsu itu karena yang bisa membuka segel itu adalah mereka, sedangkan Sakura dan Naruto bertugas untuk mengawasi dari luar. Mereka berdua harus memastikan tidak ada saksi yang melihat.
Setelah dilihat dari kejauhan si pengawal sudah meninggalkan bangunan itu, mereka berempat berpisah. Yamato dan Sai langsung menuju ke arah samping kanan bangunan, memerhatikan dengan saksama setiap pergerakannya agar tidak menimbulkan terlalu banyak bunyi. Sedangkan Sakura dan Naruto tetap di tempat. Mengawasi sekeliling sekaligus bersiap untuk melakukan serangan diam-diam jika diperlukan.
Aneh sekali. Untuk sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-barang rahasia, sama sekali tidak ada siapa pun yang mengawalnya. Dan meskipun hari sudah semakin larut, seharusnya pengawasan semakin diperketat. Tapi tidak ada siapa pun di sini. Sepi, dan lengang.
Merasa ada yang tidak beres, Sakura memberi isyarat kepada Naruto untuk turun dari pohon. Keduanya memutuskan untuk berpencar untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Tempat ini terlalu aneh. Bahkan di daerah pusat ini ada banyak sekali pepohonan sehingga lebih mirip hutan. Selain itu, bangunan Mizukage ini juga terletak berjauhan dengan daerah pemukiman warga.
Naruto memutuskan berjalan ke arah utara, mengitari bangunan tempat Yamato dan Sai tuju. Sedangkan Sakura berjalan ke sisi lain, menyelidiki daerah sekitar. Jauh ke dalam pelosok hutan.
Bulan sabit menggantung miring di ujung langit, membuat malam musim gugur yang dingin ini menjadi semakin dingin. Terlalu gelap, tidak ada cahaya bulan yang menimpa daerah ini. Langkah kaki Sakura terseret-seret, seakan tersihir. Ada satu tempat jauh di dalam hutan yang bersinar, yang membuat pikirannya hanya tertuju ke satu titik. Satu titik paling terang di antara rimbunan pepohonan yang menghalau masuknya cahaya hangat dari luar sana…
Tapi tempat itu kelihatan begitu hangat, begitu tenang, begitu damai. Seakan-akan Sakura bisa menemukan kedamaian yang sejati jika ia berada di sana…
Ini genjutsu, ia tahu itu. Seperti hipnotis. Kakinya terus-terusan memaksa untuk menuju ke sana, tepat di atas batu besar yang berada di tengah hutan. Tepat di mana sinar hangat itu berpusat.
Sakura tidak berdaya dalam genjutsu ini. Biasanya ia dengan mudah bisa mematahkan nyaris semua jenis genjutsu, tapi kali ini sangat kuat. Pikirannya tak bisa terhalau. Yang bisa ia lakukan sekarang ini hanyalah berharap ada salah satu rekannya yang menolongnya, yang mampu melepaskan genjutsu ini dari dirinya…
Tapi Naruto sudah berada di sisi lain. Beserta juga Kapten Yamato dan Sai. Mereka berada di tempat yang terang… sedangkan di sini sangat gelap.
Kakinya menapak di atas batu, membuatnya langsung diterangi oleh cahaya yang berpendar-pendar. Tapi begitu kedua kakinya menapak di atas permukaan batu itu, bongkahan batu hitam itu langsung lenyap. Berganti dengan kubangan lumpur pekat yang ditumbuhi oleh sulur-sulur belukar yang bergerak menjerat tubuhnya. Sulur-sulur penuh duri itu mencengkeram berbagai anggota tubuhnya, tangan, kaki, leher… hingga Sakura tercekik, kehabisan napas. Namun dengan sisa-sisa tenaganya, ia bisa mengoyak sulur yang menjerat lehernya.
Tapi lumpur itu menenggelamkannya. Seperti lumpur isap. Tubuhnya perlahan tersedot ke dalam kubangan penuh chakra itu. Tiba-tiba di bawahnya, tanah seperti ambles. Lubang lingkaran penuh lumpur langsung terbentuk dan Sakura langsung tercebur ke atas lubang itu, muncul semacam selubung dari chakra yang sangat kuat seperti kaca yang tidak bisa ditembus dengan mudah, bahkan oleh tendangan kuat yang dilancarkan oleh kaki Sakura. Sulur-sulur itu kemudian menyemburkan gas beracun, membuat Sakura mau tidak mau harus menahan napasnya agar gas itu tidak terhirup. Gas itu sangat beracun. Terbukti dengan mata Sakura yang langsung memanas pedih begitu tersentuh gas.
Sakura meronta dan terus meronta. Memberontak dan terus memberontak. Napasnya semakin habis, ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Hingga akhirnya ia terlanjur menghirup gas itu. Napasnya langsung tercekik. Dan dengan sisa napasnya yang tersisa, ia berteriak!
Tapi tidak ada yang datang. Membuat Sakura mengira bahwa ini adalah akhir baginya.
"Sakura-chan!"
Suara Naruto terdengar samar-samar karena terhalang selubung chakra. Mata Sakura yang sempat menutup kini langsung terbuka lebar. Naruto berdiri di atas tanah, menatap horror pada lubang di bawahnya. Di tempat Sakura sedang sekarat.
Naruto mencoba menendang selubung itu kuat-kuat, tapi tetap tidak berdampak apa-apa. Hingga akhirnya ia membuat Rasengan atas bantuan satu bunshinnya. Ia melancarkan Rasengan-nya itu ke selubung dan bisa membuat satu retakan di permukaannya. Retakan itu luruh berubah menjadi celah sehingga Naruto bisa memasukkan tangannya ke dalam lubang untuk menarik keluar tubuh Sakura.
Tapi begitu ia menarik tangan Sakura, sulur itu langsung mengeratkan jeratannya, menarik kembali Sakura ke dalam kubangan lumpur itu.
Tapi Naruto tidak menyerah. Ia menarik tubuh Sakura dengan sekuat tenaga, bahkan hingga membuat otot-otot tangannya mencuat. Sulur itu akhirnya bisa terlepas dari tubuh Sakura sehingga gadis itu bisa dikeluarkan dari tempat itu. Sakura terbatuk-batuk karena masih terpengaruh oleh gas beracun yang sempat ia hirup tadi. Tubuhnya langsung melemah seketika.
Tapi tepat setelah tubuh Sakura mendarat di atas tanah yang aman, Naruto tergelincir. Kakinya terjerat oleh sulur belukar yang menjalar keluar sehingga membuatnya jatuh terjerembap ke dalam lubang penuh lumpur itu. Selubung yang sebelumnya retak itu kembali seperti semula. Tanpa celah. Bahkan kini dua kali lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Naruto terjebak di dalam lubang itu, sekujur tubuh terjerat oleh sulur berduri yang kembali mengeluarkan gas beracun yang lebih pekat, lebih mematikan.
"Naruto!" Suara teriakan Sakura terhalang oleh pekatnya hutan. Ia dengan tangan lemahnya berusaha memukul-mukul selubung itu agar Naruto bisa keluar. Tapi sia-sia saja. Itu hanya membuat tenaga Sakura semakin terkuras. Tubuhnya makin lemas, dan kesadarannya berangsur-angsur mulai lenyap. Di bawah sana, Naruto masih berteriak-teriak memberontak. Tapi tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Gas itu semakin pekat dan semakin terhirup oleh Naruto.
Sakura tidak bisa mempertahankan kesadarannya. Efek gas itu merenggut pikirannya sehingga membuatnya jatuh pingsan.
.
Sakura terbangun oleh teriakan Kapten Yamato yang begitu mendesak. Dan begitu kesadaran Sakura sudah pulih, ia bisa melihat Kapten Yamato dan Sai sudah berada di dekatnya, beserta kotak tempat gulungan jutsu rahasia itu berada.
Dan seketika pikiran Sakura langsung menuju ke Naruto, ia langsung berteriak. Gadis ini memohon-mohon kepada mereka berdua agar secepatnya menyelamatkan Naruto yang berada di dalam lubang jebakan itu. Ia juga mengatakan bahwa di dalam sana ada gas beracun yang bisa membunuh Naruto jika tidak secepatnya ditolong. Tanpa menunggu aba-aba lagi, Kapten Yamato dan Sai langsung bergerak. Mereka langsung berusaha menghancurkan selubung itu dengan sekuat itu benar-benar sulit. Selubung itu sangat susah untuk dihancurkan.
Mokuton Yamato akhirnya berhasil membuat celah, dan Sai dengan kunai-nya langsung memotong sulur-sulur yang menjerat tubuh Naruto dengan gesit dan langsung mengeluarkan tubuh pemuda pirang itu keluar dari sana.
Sekujur tubuh Naruto berwarna kebiruan, efek dari gas beracun yang terhirup oleh bocah itu dalam waktu yang cukup lama. Sakura dengan tangan gemetaran langsung memeriksa kondisinya, mengejang panik begitu menyadari bahwa Naruto tidak bernapas. Ia langsung melakukan jutsu penyembuhan miliknya. Sebelum jantung Naruto berhenti berfungsi.
Tapi chakranya tidak cukup. Ia tidak bisa lagi mengeluarkan chakra. Titik-titik chakra di tubuhnya seperti ditekan sesuatu, sehingga ia tidak bisa lagi menggunakan jutsu penyembuhan. Tapi ia berusaha melakukan CPR. Ia berusaha membuat paru-paru Naruto kembali bekerja. Tapi sia-sia saja, tubuh Naruto menolak rangsangan CPR yang sudah diberikan Sakura. Denyut jantung Naruto pun sudah semakin melemah…
Air mata Sakura mengalir deras, menyadari bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa pun yang berguna saat ini. Jika Naruto tidak cepat ditolong… ia bisa mati.
Kemudian ia beralih ke Kapten Yamato dan Sai dan meminta mereka berempat untuk segera kembali ke Konoha secepatnya, sebelum jantung Naruto benar-benar berhenti berdetak.
Tanpa bicara lagi, Sai mulai membuat segel untuk mengeluarkan jurusnya. Dan dalam beberapa detik, mereka sudah terbang dengan kecepatan penuh menuju ke Konoha, berharap Tsunade masih berada di rumah sakit agar pertolongan bisa secepatnya diberikan begitu mereka sampai.
Tapi perjalanan dari Kirigakure ke Konoha bukanlah perjalanan yang singkat. Butuh setidaknya beberapa jam hingga sampai meskipun kini mereka terbang dengan kecepatan penuh.
Dan kondisi Naruto juga semakin kritis. Seiring dengan berjalannya waktu, tubuh Naruto semakin memberontak dari pertolongan yang diberikan oleh Sakura. Napasnya belum kembali, dan detak jantungnya juga semakin melemah. Di tengah kekacauan itu, Sakura hanya mampu berharap bahwa mereka bisa sedikit lebih cepat lagi sampai di Konoha.
.
Flashback ends.
.
ooOoo
In the Raspberry Thickets
.
.
"Mereka sampai di rumah sakit bertepatan denganku yang sedang keluar ingin kembali ke gedung Hokage," Tsunade melanjutkan. Nada suaranya muram dan sedih. Kedua tangannya masih dijadikan penopang untuk menyangga dagunya. "Kondisi Naruto saat itu sudah sangat kritis. Jika saja mereka terlambat hanya lima menit, nyawa Naruto tidak akan tertolong. Aku langsung memberikan penanganan di ruang gawat darurat, berusaha mengembalikan napasnya dan mengeluarkan racun itu dari tubuhnya."
Kakashi masih mendengarkan, berdiri diam di tengah ruangan dengan wajah mengeras. Kerutan di wajahnya tampak jelas meskipun terhalang oleh maskernya.
"Tubuhnya sangat biru, jauh lebih parah dari yang kau lihat tadi. Bahkan setelah beberapa jam lamanya, yang bisa kulakukan hanyalah mengembalikan napasnya. Itupun hanya napas yang tersengal-sengal. Detak jantungnya masih lemah. Awalnya tubuh Naruto menolak keras jutsu medis khusus yang kugunakan padanya. Tubuhnya malah kejang-kejang dan semakin membiru. Tapi begitu aku menyuntikkan obat khusus padanya, ia berhenti mengejang dan tubuhnya mulai bisa menerima sedikit jutsu medisku.
"Aku dibantu Shizune dan ninja-ninja medis terbaik saat itu. Kami semua sudah mengerahkan seluruh kemampuan kami, bahkan aku sudah menggunakan jutsu medis terbaikku untuk menolongnya, tapi tetap saja… racun itu tidak bisa dikeluarkan.
"Operasi itu berlangsung hingga pagi. Dan baru pukul sembilan pagi tadi, kondisi Naruto mulai berangsur normal. Tch, bukan normal sebenarnya. Hanya jantung dan napasnya lah yang sudah kembali normal. Kulitnya juga berangsur-angsur kembali ke warna normalnya. Tapi racun itu masih ada, terlanjur terserap oleh paru-parunya. Dan dengan kecepatan yang mengerikan, racun itu membunuh setiap sel di dekat paru-parunya. Dan aku harus mengorbankan banyak sekali chakra-ku untuk membentuk jutsu penahan agar racun itu tidak menyebar dengan terlalu cepat.
"Paru-paru Naruto sekarang sudah benar-benar rusak. Aku tidak bisa mengobatinya lagi, tak peduli seberapa hebat jutsu medisku ini. Tinggal masalah waktu, sampai paru-paru Naruto berhenti berfungsi secara total."
Tsunade mengakhiri penjelasannya dengan menenggelamkan wajahnya ke telapak tangan. Ia merasa tidak mampu. Untuk kesekian kali dalam hidupnya, ia merasa tak berdaya untuk menyelamatkan orang yang dicintainya. Ia pernah mengalami ini dulu pada Dan, dan sekarang ia sama sekali tidak ingin mengulangi hal yang sama pada Naruto.
Jounin bermasker di depannya membeku. Tak memercayai apa yang baru saja ia dengar dari Tsunade. Tidak mungkin Naruto sekarat. Bocah itu tidak pernah sakit, tidak pernah terlihat selemah itu… Dan racun itu, bagaimana mungkin bisa membuat kondisi Naruto menjadi seburuk ini?
"Bukankah Naruto punya chakra Kyuubi yang bisa menyembuhkannya?" tanya Kakashi. Suaranya kecil.
Tsunade menggeleng frustasi. "Semua titik chakra dalam tubuh Naruto menutup, ditekan oleh racun itu sehingga chakra dari Kyuubi juga tidak bisa berfungsi. Tak peduli seberapa besar chakra Kyuubi yang mengalir dalam tubuhnya, tetap tidak akan bisa menyembuhkan Naruto. Itulah sebabnya Naruto sudah tidak bisa menjadi ninja lagi."
"Jadi… hidup Naruto akan segera berakhir?" Suara Kakashi begitu muram, begitu pedih. Membayangkan murid kesayangannya itu kaku tak bergerak dan tak bernapas di dalam peti mati, membuat dada Kakashi berdenyut nyeri.
Tsunade tampak sangat sedih. "Benar."
Suasana seketika hening. Tidak ada belah pihak yang mengeluarkan suara. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikirannya sendiri, sama-sama berkabung.
"Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja." Tsunade akhirnya memecah kesunyian. Keningnya berkerut, kedua mata cokelat memancarkan keyakinan yang begitu kuat. "Aku akan mencari jalan keluar dari semua ini. Aku akan menemukan penawarnya, meskipun harus mengeluarkan biaya besar. Tidak akan kubiarkan satu orang lagi yang paling kucintai mati karena ketidakmampuanku…"
Kedua mata Tsunade berkilat basah, mengenang kedua orang yang sudah mendahuluinya. Nawaki, Dan… mereka berdua sudah lebih dulu meninggalkannya. Dan ia tidak akan membiarkan Naruto memiliki nasib seperti mereka. Ia tidak akan membiarkan kutukan kalung itu terulang lagi.
"Tsunade-sama," panggil Kakashi, dan wanita itu langsung menoleh padanya. "Apakah ada kemungkinan kita harus mencari Jinchuuriki Kyuubi selanjutnya?"
Benar juga. Tsunade bahkan belum berpikir sampai sejauh itu. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara ia menyembuhkan Naruto secara total, tapi sama sekali tidak memikirkan tentang kemungkinan terburuknya.
"Aku belum memikirkan itu," akunya muram. Kerutan di keningnya semakin dalam. "Bisa kupastikan seiring dengan kondisi Naruto saat ini, keadaan Kyuubi juga ikut terancam. Tapi aku tidak tahu lagi bagaimana kelanjutannya. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menahan racun itu agar tidak menyebar terlalu cepat. Dan aku juga harus mulai menyusun rencana pengobatan dan terapi yang harus Naruto jalani mulai besok."
Semuanya tidak akan berjalan dengan mudah. Hanya keajaibanlah yang bisa membuat Naruto masih berada di sini. Di dunia ini.
.
.
ooOoo
In the Raspberry Thickets
.
.
Kakashi berjalan gontai sepanjang lorong rumah sakit. Matanya menerawang dan nanar. Setelah apa yang ia dengarkan dari Godaime, semuanya terasa seperti mimpi. Tidak nyata. Rasanya baru kemarin ia melihat Naruto menjahilinya di tempat latihan. Rasanya baru kemarin Naruto menggodanya soal buku-buku mesumnya. Dan sekarang, bocah itu harus terbaring tak berdaya di atas kasur rumah sakit yang berbau obat.
Ia membuka pintu kamar Naruto, mengabaikan larangan perawat yang sebelumnya memberitahunya bahwa jam besuk sudah lama berakhir. Ia tidak peduli, dan menjawab bahwa dia diperintahkan oleh Godaime untuk menjaga Naruto malam ini. Kakashi sama sekali tidak peduli bahwa ia telah berbohong bahkan menyertakan Godaime dalam dustanya ini. Semuanya terasa tidak nyata.
Dan begitu ia masuk ke dalam, ia langsung disambut oleh sepasang mata biru safir cerah yang menatapnya lekat-lekat.
"Naruto?" ucapnya. "Kau belum tidur?"
Naruto menggeleng lemah, secercah senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku tidak bisa tidur."
Kakashi mengerutkan keningnya, tapi tidak berkomentar apa-apa.
"Sakura sudah pulang?" tanya Kakashi, menyadari bahwa Naruto kini seorang diri di kamarnya.
Pemuda pirang itu mengangguk. "Aku tadi menyuruhnya pulang. Tadi dia bersikeras ingin tinggal di sini sampai pagi, tapi aku tolak. Aku bilang karena sudah terlalu malam dan bagaimanapun juga Sakura itu perempuan. Syukurlah dia mau menurut."
Kakashi mengangguk-angguk mengerti. Ia menarik kursi di samping meja dan mendudukinya.
"Kapten Yamato dan Sai tadi ke sini untuk memastikan keadaanku, tapi langsung diusir oleh perawat. Mereka bilang jam besuk sudah habis."
Kakashi menelengkan kepalanya. "Benarkah?"
"Benar. Jadi bagaimana sensei bisa masuk ke sini?"
"Aku tidak akan memberitahumu. Jika kuberitahu, kau pasti akan menggunakan alasanku untuk mengunjungi orang sakit malam-malam begini."
Naruto tertawa ringan, sebelum akhirnya terjadi perubahan ekspresi di wajahnya. "Itu tidak mungkin terjadi, Kakashi-sensei. Karena aku akan selalu menjadi pasien di sini." Naruto mengakhiri ucapannya dengan nada muram.
Kakashi membeku mendengar jawaban Naruto, kemudian dengan pandangan marah ia menegur bocah itu. "Jangan bicara seperti itu!"
Naruto hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum malu.
Kakashi berusaha mengalihkan pembicaraan. "Apa yang akan kaulakukan selanjutnya, Naruto?" tanyanya berbasa-basi.
Kepala Naruto menunduk. Poni pendeknya menutup sebagian mata. "Aku tidak tahu lagi. Yang pasti aku sudah tidak bisa menjadi ninja, jadi menjadi Hokage juga mustahil."
Dan kini Kakashi benar-benar menyesal sudah mengalihkan pembicaraan ke topik ini. Ini adalah topik yang seharusnya ia hindari. Ia benar-benar tidak ingin membuat kondisi Naruto memburuk karena perasaan tertekan. Seharusnya ia bisa lebih cermat dalam memilih bahan pembicaraan!
Tapi semuanya sudah terlanjur ia ucapkan.
"Mungkin aku hanya akan menghabiskan sisa hidupku di sini. Aku tidak tahu kapan waktuku akan berakhir, tapi aku ingin sekali dikelilingi oleh orang-orang yang berharga buatku. Mungkin ini terdengar agak berlebihan, tapi tetap saja…"
Cengiran di wajah Naruto kembali. Senyum lebar menghiasi wajah pucat bocah itu yang ternoda oleh bercak-bercak kebiruan yang masih belum menghilang.
"Kau akan berhenti jadi ninja?" tanya Kakashi hati-hati, berusaha tidak melukai perasaan Naruto. Ia tahu, bahwa di balik cengiran cerah itu, tersimpan kesedihan yang begitu dalam.
Naruto mengangkat bahunya, berakting seolah tidak peduli. "Bukan berarti aku bisa tetap jadi ninja, kan?" jawabnya enteng. "Aku tidak bisa memaksa Baa-chan untuk tetap menjadikanku seorang ninja. Dia bisa membunuhku."
Kakashi tidak menjawab candaan Naruto. Ia hanya memandangi bocah itu yang berusaha bertingkah enteng, seolah-olah ini bukanlah hal yang penting, bukan hal yang besar. Tapi sayang sekali, sandiwara itu sama sekali tidak bisa menipunya. Jauh di dalam lubuk hati Naruto, ia yakin bocah itu sedang sangat tersiksa saat ini.
"Naruto."
Suara Kakashi serius. Dalam dan menekan. Ekspresi Naruto seketika berubah. Cengiran itu telah menghilang dari wajahnya.
Kakashi memandanginya dengan tatapan menegur. "Jangan bicara seolah-olah kau hanya akan hidup sampai besok."
Naruto membuka mulutnya, bersiap-siap untuk menjawab. Tapi dengan cepat langsung dipotong oleh Kakashi.
"Dan jangan membantah. Tsunade-sama tidak akan menyukai tingkahmu yang seperti ini," Kakashi menjelaskan. "Godaime-sama sedang kebingungan mencari penawar untukmu, semuanya agar kau bisa sembuh dan terbebas dari efek racun itu. Jangan bertingkah seolah kau tidak menghargai semua usahanya."
Kepala Naruto tertunduk. Ekspresi sedih kembali muncul di wajahnya.
"Jadi Baa-chan sudah memberitahu sensei?" bisik Naruto, sedikit terguncang.
Kakashi tidak menjawab. Pertanyaan retorik Naruto itu memang tidak perlu ia jawab karena jawabannya sudah diketahui jelas dari apa yang ia katakan tadi. Tapi bagaimanapun, ia tidak ingin membuat Naruto semakin kalut.
"Tidak masalah jika dia sudah memberitahuku. Yang terpenting sekarang adalah kau tidak boleh menyerah. Teruslah kuat, dan teruslah berjuang untuk tetap hidup. Ada banyak orang yang menyayangimu, yang tidak ingin kau menjadi seperti ini. Termasuk aku. Jadi jangan buat kami kecewa. Teruslah berjuang hidup sampai akhir, jangan sampai kalah oleh hal seremeh ini. Kau mengerti?"
Tatapan mata Kakashi menghujam lurus ke arah kedua orbs safir Naruto, menatapnya serius. Dan Naruto, dengan serpihan kepercayaan yang sempat tercerai berai berantakan kini mulai terkumpul kembali. Perlahan-lahan.
"Aku mengerti."
"Berjanjilah padaku," perintah Kakashi dengan nada serius dan sungguh-sungguh. Ia meletakkan tangannya ke atas bahu Naruto, menuntut agar pemuda pirang itu juga bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Kali ini nada bicara Naruto sama sekali tidak main-main. "Aku janji."
Hari ini, Naruto sudah berjanji kepada dua orang yang sangat berharga buatnya; Tsunade Baa-chan dan Kakashi sensei. Kedua orang itu berbeda, tapi janji yang ia ucapkan sama. Intinya adalah agar Naruto tidak menyerah dengan penyakitnya. Agar ia bisa terus berjuang mempertahankan hidup meskipun nantinya akan terasa sulit. Agar kelak ia akan dikenang menjadi pemuda kuat yang tidak mudah dikalahkan oleh penyakit remeh seperti ini.
Kakashi tersenyum lembut dari balik maskernya.
"Sekarang istirahatlah. Begadang tidak bagus untuk kesehatanmu," ujar Kakashi dengan nada menenangkan. "Aku akan berjaga di sini."
Naruto tersenyum cerah. Kali ini sama sekali tidak tersirat kesedihan di dalamnya. Untuk sementara ini, pikirannya bisa ditenangkan. Untuk sementara ini, beban itu berhasil diangkat. Dan untuk sementara ini, ia bisa melupakan perasaan berat yang menggelayuti hatinya. Ia hanya ingin istirahat, ingin mereset pikirannya dari apa yang ia alami hari ini. Agar esok pagi ia bisa kembali menghadapi semua persoalan ini dengan pikiran yang lebih tenang, dengan hati yang lebih tegar, dan dengan semangat hidup yang lebih baru.
.
.
ooOoo
In the Raspberry Thickets
TO BE CONTINUED
.
.
a/n:
Saya yakin ada yang merasa pernah baca FF ini.
Yak benar. FF ini pernah dipublish di FFN dengan username yang beda. Tapi kemudian saya hapus karena beberapa alasan.
Tapi karena ada beberapa dorongan temen-temen buat repost FF ini, saya nurut aja. Tapi saya nggak yakin readers bakal suka T_T
Makasih udah baca! Silakan tinggalin review kalau berkenan.