Tears of Us

Shiroi Kage's project

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Rate : T+ for this chapter

Pair : ItaFemNaru || SasuFemNaru

WARNING : FEMALE NARUTO, NO EYD, MISS TYPO, A LITTLE LIME, E.T.C

Thanks for my beloved Seme who gave me some review ! Love ya ~

.

.

.

"Jangan berpikir macam-macam. Aku sudah memeriksanya, anak itu benar anakmu."

.

.

.

Bab 19 [ Happy Ending ]

Flashback

Hari itu cuaca terlihat cerah. Tidak ada satupun awan hitam yang menyelimuti langit. Burung-burung berkicau dengan ringannya. Cuaca yang terlihat mendukung untuk rencana 'khusus' yang di usulkan oleh Kisame. Orang kepercayaan Itachi tersebut nampak mondar-mandir di depan pintu toko roti. Matanya bergerak gelisah, apa dia harus menggagalkan rencana yang sudah di susunnya jauh-jauh hari. Tapi kalau tidak sekarang kapan lagi? Jujur saja, Kisame geram melihat hubungan Itachi dengan istrinya yang tidak juga mengalami kemajuan hingga sekarang.

Kring

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu tuan?"

Kisame memandang pramusaji yang tersenyum ramah padanya. Surai coklat panjangnya di ikat tinggi tertutupi topi berwarna merah maron. Tubuh yang tidak mencapai bahunya. Sepasang bola mata emas yang memikat perhatian banyak orang, memandangnya malu-malu.

"Siapa namamu?"

Shit!

Kisame meruntuki mulutnya yang begitu lancang menanyakan nama seorang gadis yang baru saja di temuinya. Gadis itu sempat terkejut mendengarnya, namun kemudian tersenyum malu-malu dan mengulurkan tangannya pada Kisame. Kedua pipinya bersemu kemerahan, menggemaskan.

"Hana, Yamatsuka Hana desu."

Kisame menyambut uluran tangan gadis yang mengaku bernama Hana tersebut. Tangan yang kecil dan lembut, sangat pas dengan bentuk tangannya yang besar dan kasar. Hatinya menjerit mengatakan bahwa dia harus melindungi gadis ini dan menjadikan gadis ini miliknya, apapun yang terjadi. Konyol.

"Kisame. Haizaki Kisame desu."

Hana mengangguk. Kemudian diantarkannya Kisame untuk duduk disalah satu tempat yang kosong. Hana masih tidak berani menatap langsung kearah Kisame. Kepalanya selalu tertunduk saat Kisame dengan terang-terangan menatapnya.

"Aku pesan dua cup cake ukuran sedang. Tapi bisakah kamu melakukan sesuatu untukku?"

Kepalanya mendongak, menanti penjelasan atas bantuan seperti apa yang dibutuhkan oleh Kisame. Hana hanya berharap agar bantuannya kali ini tidak membuatnya dipecat –lagi dari pekerjaan paruh waktunya. Percayalah sangat susah mencari pekerjaan untuk anak sekolahan tingkat akhir sepertinya. Tapi disisi lain dia harus membiayai kehidupan neneknya yang sudah mengalami gejala demensia awal, jadi mau tidak mau dia harus mencari pekerjaan untuk menyambung hidup.

"Bisa kamu campurkan obat ini di dua cake yang kupesan?"

Wajah Hana memucat ketika menerima satu plastik serbuk berwarna putih dari tangan Kisame. Ketakutannya menjadi kenyataan, astaga tolong siapapun gantikan posisinya saat ini. Dia tidak mau di pecat karena ikut menjadi komplotan salah satu pelanggan yang ingin membunuh rekannya sendiri dengan mencampurkan sianida kedalam makanannya. Sial!

"Maaf aku tidak bisa, aku tidak mau membantu penjahat sepertimu!"

Kisame terbengong mendengar penuturan polos Hana, baru kali ini ada orang yang secara langsung mengejeknya penjahat. Apa dia tidak tahu bahwa Kisame bisa saja melubangi kepalanya dengan senapan laras panjang karena merasa tersinggung dengan ucapannya. Yah, walaupun Kisame tidak akan mengangkat senjatanya untuk warga sipil. Haram hukumnya.

"Aku bukan orang jahat. Ini bukan racun atau bahan apapun yang berbehaya. Ini hanya..."

Kisame merasa ragu melanjutkan ucapannya. Bibirnya juga terasa geli mendengar penuturannya sendiri yang mengatakan bahwa dia bukanlah orang jahat. Astaga, perlukah seseorang memberikan list berapa banyak nyawa yang melayang di tangannya, supaya dia ingat bahwa dia tidak sebaik yang ada di pikirannya. Jangan hanya karena bertemu dengan gadis polos seperti Hana membuat Kisame terserang amnesia mendadak, kemudian ikut menganggap bahwa dia adalah pria baik-baik.

"Obat perangsang."

What the heck!

Lihat ekspresi jijik yang di berikan Hana saat Kisame mengatakan 'obat perangsang'. Gadis manis itu bahkan secara sengaja membuat jarak aman dari Kisame dan memeluk erat list menu yang sejak tadi di bawanya. Kisame tidak menyalahkan Hana untuk memasang wajah jijiknya, tapi ini demi bos besarnya yang selalu saja membuat kepalanya mengepul setiap saat.

"Kau tidak mau?"

Hana spontan menggeleng, dia baru saja akan melangkah pergi meninggalkan Kisame. Tapi Kisame dengan gesit menarik lengannya dan memaksanya untuk duduk di salah satu kursi yang berada di sampingnya.

"Sudah kubilang aku tidak mau."

Kisame menghela nafas. Memang susah memberikan penjelasan kepada seseorang yang bahkan tidak mengenal apa itu definisi jahat sebenarnya. Tapi jangan harap Kisame akan menyerah begitu saja. Tidak akan!

"Maukah kau mendengarkan penjelasanku sebentar saja? Setelah itu putuskan apa kau akan membantuku atau tidak."

Hana terlihat ragu, tapi melihat wajah Kisame yang terlihat hopeless membuat sisi kebaikannya menang. Setidaknya mungkin penjelasan Kisame dapat diterima oleh logikanya, walaupun kemungkinannya satu berbanding seribu, tapi tidak ada yang tidak mungkin kan.

"Baiklah, jelaskan padaku!"

Kisame tersenyum senang mendengar penuturan Hana. Semoga saja gadis cantik ini mau berubah pikiran dan membantunya.

"Jadi aku punya teman, anggap saja begitu. Dia sudah menikah lama, tapi dia sama sekali tidak berniat untuk melakukan 'itu' dengan istrinya."

Hana mengedipkan matanya, mencoba mencerna penjelasan dari Kisame. Tampak menggemaskan di mata Kisame, tahan Kisame tahan. Kau tidak mau di cap senagai pedofilia bukan?

"Kenapa?"

Kisame mencoba mencari jawaban terbaik untuk pertanyaan 'kenapa?' Yang di ajukan oleh Hana. Astaga haruskah dia menjelaskan secara rinci aib permasalahan yang dialami oleh Itachi pada gadis ini?

"Karena Itachi pikir adiknya menyukai istrinya, padahal aku tahu sendiri kalau adiknya itu tidak menaruh rasa apapun pada istrinya."

Kisame memperhatikan setiap perubahan ekspresi yang di tunjukkan Hana. Semua ekspresinya dapat terbaca dengan mudah, sasaran empuk untuk tidak kejahatan. Tipe orang yang selalu berpikiran positif, sangat berbanding terbalik dengannya.

"Jadi namanya Itachi? Hm...sepertinya aku pernah mendengar nama itu, biarkan aku berpikir sebentar."

Kisame mengangguk. Apapun yang ada di pikirannya saat ini, Kisame hanya berharap agar gadis cantik ini tidak tahu kehidupan Itachi yang sebenarnya, atau semua rencanya hanya akan tinggal rencana.

"Apa maksudmu Uchiha Itachi ji-san?"

Kisame spontan mengangguk. Dalam hati dia was-was, apa mungkin gadis ini mengenal Itachi? Gawat!

"Baiklah aku akan membantumu. Tapi tidak gratis, tolong pertemukan aku dengan Itachi-jisan. Aku sangat merindukannya!"

Kisame tidak pernah memiliki perasaan yang orang sebut cinta sebelumnya. Baginya cinta hanya ada untuk orang lemah, karena itu dia tidak mau mendekati kata itu walau hanya seujung jaripun. Tapi kali ini sepertinya Kisame harus menjilat lagi ucapannya kala itu. Tentang dia yang tidak akan pernah jatuh cinta pada siapapun kecuali dirinya sendiri. Karena kali ini, sepertinya ada getaran samar yang dia rasakan saat berdekatan dengan gadis bermata emas ini.

"Itachi sudah memiliki istri kalau kau lupa."

Kisame meruntuki ucapan ketusnya. Hatinya berdesir tidak nyaman ketika Hana menyebutkan nama Itachi di hadapannya.

"Aku tahu, justru karena itu aku ingin tahu wanita seperti apa yang tahan dengan sikap dingin Itachi-jisan."

.

.

.

.

.

Ting tong!

Naruto yang sedang mencincang sayuran untuk makan malam, terpaksa harus menghentikan pekerjaannya. Wanita yang resmi menyandang nama Uchiha di belakang nama kecilnya itu berjalan menuju intercom yang ada di dekat pintu. Memeriksa siapa tamu yang berkunjung ke rumahnya di saat jam makan malam hampir tiba.

"Ah Kisame-san ada apa?"

Kisame yang berdiri di depan pintu rumahnya mengangkat dua kardus kue yang di bawanya kearah moncong kamera.

Klik

Naruto memencet tombol yang ada di intercomnya dan tidak lama pintu masukpun terbuka. Menampilkan sosok Kisame yang terlihat berbeda malam ini.

"Apa ada hal bagus yang terjadi?"

Kisame menggeleng ringan, laki-laki itu mengekori Naruto yang berjalan masuk ke dapur untuk melanjutkan acara memasaknya.

"Duduklah, aku harus menyiapkan makan malam."

Kisame tidak menyahut, dia hanya mendudukkan dirinya diatas kursi ruang makan. Memperhatikan si pirang yang terlihat asik memotong sayuran dan begitu lincah dalam memasak entah apa itu, tapi aromanya berhasil membuat perutnya mengadakan konser besar-besaran.

"Mau kocengkel kedua matamu?"

Kisame menoleh kesamping, disana berdiri Itachi yang mengenakan baju putih polos dan celana pendek selutut. Rambutnya tergerai bebas dan terlihat masih basah. Pandangan mata Itachi teralih pada Naruto yang masih sibuk dengan masakannya. Tanpa mengatakan apapun, Itachi berjalan mendekati Naruto dan melemparkan jaket yang secara kebetulan tersampir di sandaran kursi kearah Naruto.

"Cepat ganti baju!"

Naruto memperhatikan jaket yang di lemparkan Itachi padanya, kemudian dia memperhatikan pakaian yang saat ini dikenakannya. Wajahnya sontak memerah, menyadari betapa tipisnya daster yang saat ini dia kenakan. Astaga! Ini memalukan.

Plak

"Tutup matamu!"

Kisame mengaduh ketika mendapatkan jitakan sayang dari Itachi. Tapi dia tetap menutup matanya saat Naruto akan berjalan melewatinya. Dalam hati dia tersenyum senang melihat ekspresi cemburu Itachi yang terlihat menggemaskan.

"Kenapa kau kesini?"

Kisame membuka kelopak matanya dan hampir saja berteriak histeris ketika melihat Itachi membawa makanan yang di masak Naruto ke meja makan. Tidak pernah sekalipun Kisame membayangkan Itachi yang biasa memegang senjata api berbahaya, bisa terlihat keren dengan berbagai macam makanan di kedua tangannya.

"Hentikan tatapan memujamu, mengerikan asal kau tahu!"

Naruto yang baru saja datang langsung merebut piring makanan yang tadi di bawa Itachi, dia segera meletakkan makanan itu di meja makan, kemudian menggiring Itachi untuk duduk di tempatnya. Tidak peduli tatapan tajam yang di berikan Itachi padanya.

"Ah, aku membawa ini."

Kisame segera memberikan dua kotak kue kepada Naruto.

"Makanlah setelah aku pulang nanti."

Naruto mengangguk dan menggumamkan terimakasih pada Kisame. Itachi melihat dua kotak yang di berikan Kisame dengan padangan curiga. Tidak biasanya Kisame bersikap baik seperti ini. Dia pasti merencanakan sesuatu.

"Apa Kisame-san akan makan malam disini?"

Kisame menggeleng. Padahal perutnya sudah mengadakan konser besar-besaran, tapi dia tidak bisa terus disini atau Itachi akan sadar dengan rencana yang sudah di susunnya.

"Sayang sekali, kalau begitu aku akan mengantarkanmu keluar."

Baru saja Naruto akan berjalan keluar, suara berat Itachi mengudara dan memaksa Naruto untuk berdiam ditempat.

"Aku yang akan mengantarkannya."

Kisame menelan salivanya susah payah, dalam hati dia terus berdo'a agar Itachi tidak tahu rencananya.

"Kau merencanakan sesuatu. Aku benar kan?"

Jika ada lubang hitam yang tiba-tiba muncul di hadapannya, Kisame akan dengan senang hati mau masuk kedalamnya. Itu lebih baik dibandingkan harus menghadapi Itachi saat ini.

"Aku akan mengikutinya. Rencanamu, aku akan menjalankannya. Tapi kau yang akan bertanggung jawab jika ada hal buruk yang terjadi."

Kisame memandang punggung Itachi yang terlihat tegap namun rapuh disaat bersamaan. Kisame bahkan tidak bergeming saat Itachi sudah membukakan pintu untuknya.

"Kau tidak akan menghianatiku. Karena itu aku percaya padamu."

.

.

.

.

.

END Flashback

.

.

.

.

Naruto terbangun di tengah malam. Dia memandang kondisi dirinya sendiri yang polos tanpa sehelai benangpun. Disampingnya dia melihat wajah tampan Itachi yang terlihat polos seperti anak kecil, wajah yang biasa memasang ekspresi datar terlihat lebih rileks. Wajahnya memerah mengingat desahannya saat Itachi menyentuh setiap inchi tubuhnya, selama menjadi istri Itachi baru kali ini Naruto merasakan Itachi yang memenuhi dirinya. Namun, tiba-tiba Naruto merasakan lilitan dari dalam perutnya. Berusaha tidak membangunkan Itachi, akhirnya Naruto dengan langkah perlahan turun dari tempat tidur dan membawa bungkusan selimut untuk menutupi tubuhnya, kemudian kakinya melangkah cepat menuju kamar mandi.

Itachi bergumam didalam tidurnya, hawa dingin merasuki setiap pori-pori tubuhnya. Tangannya bergerak mencari keberadaan selimut yang seingatnya masih dipakainya sebelum dia tidur bersama Naru –

"Naru!"

Kelopak mata si sulung Uchiha segera terbuka saat tidak merasakan tanda-tanda Naruto disampingnya. Onyx malamnya menyapu seluruh sudut ruangan, mencar keberadaan sang istri, namun nihil.

Hoek

Itachi menoleh kearah kamar mandi. Tanpa bersusah payah memakai kembali bajunya yan tercecer di lantai kamar rawat Naruto, Itachi segera berlari kearah kamar mandi untuk memastikan bahwa Naruto baik-baik saja. Melupakan hawa dingin yang menyelimuti setiap jengkal kulitnya yang tidak tertutupi apapun.

"Apa yang terjadi?"

Naruto menoleh kearah Itachi yang berlari menghampirinya. Tubuhnya terasa sangat lemas saat ini. Kepalanya terasa berat, bahkan sangat susah untuk sekedar membuka kelopak matanya. Bibirnya ingin mengeluarkan suara, namun tidak ada satupun suara yang dapat di keluarkannya. Hanya suara panic Itachi yang masuk kedalam gendang telinganya. Kemudian semuanya gelap.

.

.

.

.

.

Itachi menatap cemas pintu ruang UGD yang ada di hadapannya. Sudah lebih dari satu jam yang lalu Naruto masuk kedalam ruangan itu, tapi hingga sekarang dokter Tsunade belum juga keluar untuk memberikan informasi, apa yang terjadi pada istrinya. Baru saja Itachi mencoba membuka lembaran baru didalam kehidupannya, tapi kenapa harus ada lagi kemalangan yang menghampiri keluarga kecilnya. Tidakkah Itachi juga berhak untuk memperoleh kebahagiaannya.

Kriet

"Bagaimana keadaannya?"

Tsunade membuka masker yang menutupi mulut dan hidungnya. Dokter pirang itu meminta agar suster yang membantunya menangangi Naruto membawa Naruto kembali ke kamarnya. Sementara itu, kedua mata Tsunade terfokus pada sosok Itachi yang menuntut penjelasan kepadanya melalui kedua sorot matanya. Kemudian –

'Tak'

"Kenapa kau memukul kepalaku?"

Tsunade menatap tajam Itachi. Ajaibnya Itachi langsung terdiam dan tidak lagi mengajukan protes. Kepala si bungsu Uchiha justru tertunduk pasrah saat merasakan aura kemarahan yang bersumber dari Tsunade.

"Aku tahu kau merindukannya, tapi bisakah kau menahan libidomu? Setidaknya jangan melakukannya dengan kasar. Kau hampir saja membahayakan nyawa dua orang."

Itachi mengangkat kepalanya, kedua sorot matanya menuntut penjelasan yang lebih rinci dari Tsunade.

"Naruto sedang mengandung. Usia kandungannya masih sangat rentan, jadi tolong jangan menyentuhnya sampai usia kandungannya menginjak angka empat bulan."

Naruto mengandung?

Itachi menggeleng tidak percaya. Bagaimana bisa? Sementara mereka baru melakukan itu sekali. Apa mungkin Naruto berselingkuh? Tidak mungkin kan.

"Jangan berpikir macam-macam. Aku sudah memeriksanya, anak itu benar anakmu."

Tsunade melihat kekalutan yang saat ini tergambar jelas di kedua onyx Itachi. Mata yang dulu selalu terlihat dingin kini sudah bisa menunjukkan ekspresi yang manusiawi. Tsunade senang melihatnya, dia berharap agar kehidupan Itachi dapat membaik seiring berjalannya waktu. Sebagai orang yang menjadi saksi hidup atas perjalanan hidup Itachi, jujur Tsunade tidak tega. Di umur yang masih sangat belia, dia dipaksa untuk berpikiran dewasa dan terjun ke dunia yang kelam. Membentuk pribadi keras khas Uchiha yang tidak tersentuh. Beruntung dia bertemu dengan Naruto. Matahari yang kini menjadi poros kehidupannya.

"Jangan bertindak bodoh. Gunakan otak cerdasmu, awas kalau sampai kau menuduh Naru-chan selingkuh."

Itachi sama sekali tidak bergeming saat Tsunade menepuk pundaknya dan pergi meninggalkannya sendiri. Otaknya masih berusaha keras menemukan sisa ingatan pertama kali mereka melakukannya. Menghiraukan langkah kaki yang berjalan mendekat kearahnya.

"Mau cake?"

Itachi memandang cake yang disodorkan kepadanya. Pelakunya tidak lain adalah Kisame –si pemilik suara langkah kaki, salah satu orang kepercayaannya. Tunggu, sepertinya Itachi mengingat sesuatu!

"Kisame."

Suara Itachi berubah berat. Onyxnya berkilat tajam memandang sosok Kisame yang kini berkeringat dingin dan perlahan mundur menghindari amukan Itachi.

"Apa yang kau campurkan di cake yang kau bawa saat itu?"

Kisame menelan salivanya susah payah. Sial, kenapa Itachi harus membahas masalah itu sekarang. Kisame belum menyiapkan metode penyelamatan diri di kasus ini.

"O-obat perangsang."

Bruk

Loh? Kisame mengerjapkan matanya beberapa kali ketika melihat Itachi terduduk di salah satu kursi tunggu. Semakin lama bibirnya membentuk lengkungan mengerikan yang mungkin sedikit bisa dikategorikan senyuman. What! Itachi tersenyum?

"Kau baik-baik saja? Apa perlu kupanggilkan psikiater?"

Itachi semakin memperlebar senyumannya. Sulung Uchiha itu tertawa terpingkal-pingkal. Kisame semakin khawatir, apa yang terjadi sebenarnya. Itachi tidak sedang mengalami gejala awal gangguan kejiwaab kan.

"Hahahahaha aku akan jadi ayah!"

Kisame mematung. Masih tidak percaya dengan apa yang kali ini di dengarnya keluar dari mulut Itachi.

"Kau bercanda kan?"

Itachi menggeleng, aura kebahagiaan tidak luntur dari mimik mukanya. Wajah yang biasa terlihat tegas dan dingin itu kini memancarkan semburat tipis dikedua pipinya. Manis sekali.

"Naruto sedang mengandung, sebentar lagi aku akan menjadi ayah!"

Kisame ikut tersenyum bahagia. Tidak sia-sia dia memaksa Hana saat itu.

"Berati aku akan jadi paman?"

Tawa Itachi berhenti. Dia memandang Kisame tidak suka. Onyx nya kembali menajam.

"Aku tidak mau anakku punya paman sepertimu. Dan jangan pikir aku sudah memaafkanmu Haizaki Kisame."

Saat itu juga Kisame tahu, Itachi tidak berubah sama sekali. Dia masih Itachi yang di kenalnya. Pandai mengintimidasi.

.

.

.

.

.

5 tahun kemudian

.

.

.

.

.

Naruto menggelung rambutnya tinggi. Wajahnya terlihat semakin dewasa, sapuan blush on di kedua pipinya membuat sang nyonya Uchiha terlihat semakin menawan. Sepasang anting berbentuk kipas khas lambang keluarga Uchiha tergantung di kedua telinganya. Sudah lima tahun lamanya dia secara lahir batin menjadi istri dari Itachi Uchiha dan menjadi ibu dari sepasang anak kembar yang menambah kehangatan keluarga kecilnya.

"Siapa yang mengizinkanmu memakai pakaian seperti itu?"

Naruto mengangkat bahu acuh saat di belakangnya Itachi mulai mengomel tidak terima. Si pirang hanya melirik sang suami yang kini membuka lemari pakaian dan sibuk memilih pakaian yang akan dikenakannya.

"Pakai ini saja."

Naruto menerima sebuah yukata hitam berukuran besar. Di belakang yukata itu lagi-lagi ada lambang Uchiha yang cukup mencolok.

"Ini terlalu besar. Kau tidak lihat badanku semakin mengecil setelah melahirkan?"

Itachi menaikkan bahu acuh. Sulung Uchiha itu justru beralih ke lemari khusus yang menyimpan koleksi jam tangannya.

"Kau mau bajuku terbuka saat disana?"

Prang

Itachi memandang horor jam tangan kesayangannya yang jatuh membentur lantai.

"Akan kucongkel mata orang yang berani melihatmu saat baju itu terbuka."

Naruto menghela nafas lelah. Selalu seperti ini, Itachi dan sifat protektifnya yang kadang membuat Naruto heran. Benarkah Itachi yang sekarang adalah Itachi yang dulu menjadi cinta pertamanya? Dengan tidak ikhlas akhirnya Naruto membuka lagi pakaian yang sudah dia kenakan dan memakai yukata yang dipilihkan Itachi. Menuruti kemauan Suami tercinta tidak ada salahnya juga.

"Bagaimana penampilanku?"

Itachi memandang Naruto dari atas ke bawah lalu keatas lagi. Memang benar jika baju itu lebih besar dari tubuh Naruto. Tapi entah bagaimana caranya baju itu sekarang terlihat pas dan sukses menutupi lekukan tubuh sang istri.

"Cantik. Gunakan saja baju itu."

Naruto mengangguk paham, ibu dua orang anak itu kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamar, namun –

Sret

"Apa la-"

Cup

"Aku hanya menagih ciuman selamat siangku."

.

.

.

Saat sudah tiba di ruang tamu, Naruto melihat kedua anaknya yang sedang kesulitan memasang dasi kupu-kupu yang mereka pilih sendiri dari lemari pakaian.

"Mau kaa-san pasangkan?"

Kedua anak itu mengangguk semangat. Naruto kemudian berjongkok di hadapan kedua putranya, memasangkan dasi kupu-kupu yang terlihat menggemaskan untuk kedua anaknya.

"Anak-anak kaa-san sangat tampan ternyata."

Keduanya kembar, Kisechi dan Kurochi namanya. Jika Kisechi memiliki surai hitam dengan bola mata berwarna langit musim panas menurun sebagian besar sifatnya yang periang, maka Kurochi bersurai pirang dengan bola mata sewarna langit malam lebih menurun sifat ayahnya yang pendiam dan serius. Walaupun bertolak belakang, keduanya cukup rukun dan saling membantu satu sama lainnya.

"Apa kalian sudah siap?"

Kisechi yang melihat sang ayah turun dari tangga langsung berlari menyusul, kedua tangan mungilnya terangkat. Itachi mengacak pucat rambut hitam Kisechi gemas, kemudian mengangkat dan menggendongnya dengan tangan kirinya. Satu hal lagi, Kisechi sangat manja pada ayahnya. Sementara Kurochi lebih dekat dengan ibunya, walaupun tertutupi dengan sifat pendiam dan tsundere yang dimilikinya, tapi Naruto dapat membaca dengan jelas apa keinginan Kurochi dengan mudah.

"Kurochi mau kaa-san gendong juga?"

Kurochi menundukkan kepalanya, kemudian mengangguk kecil. Naruto terkikik geli melihat semburat kemerahan di kedua pipi Kurochi. Kemudian Kurochi bisa merasakan tubuhnya melayang di gendongan sang ibu.

"Kita berangkat sekarang?"

.

.

.

.

.

.

"Kurochiiiii, Kisechiiiii, ayo peluk paman!"

Itachi segera menyembunyikan kedua anaknya di balik tubuhnya saat Kisame dengan baju pengantinnya datang menghampiri. Sementara itu, Naruto hanya tersenyum kaku saat mempelai perempuan yang berjalan di belakang Kisame menatap bingung kearah Kisame dan Itachi. Tidakkah mereka tahu kalau mereka terlalu tua untuk tetap bertengkar seperti sekarang. Walaupun begitu mereka adalah sahabat baik yang saling membantu saat salah satu dari mereka dilanda kesusahan.

"Sejak kapan anak-anakku punya paman sepertimu?"

Kisame memutar bola matanya bosan. Selalu saja seperti itu. Padahal dua anak Itachi saja sudah mengakui Kisame sebagai paman mereka.

"Tou-san Kisechi mau bertemu Kisame-jisan."

Doeng!

Naruto berusaha menahan tawa saat melihat wajah terpuruk Itachi dan ekspresi kemenangan Kisame. Mereka memang sahabat baik, tapi tidak tahu kenapa mereka tidak pernah akur jika bertemu. Yah, mungkin memang begitulah gaya pertemanan mereka. Unik.

"Paman Itachi."

Itachi menoleh, onyxnya membola melihat gadis bersurai coklat dan berpupil emas yang saat ini mengenakan baju pengantin. Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada Kisame. Otaknya mencoba memutar lagi memori lamanya, kemudian Itachi ingin mengutuk dirinya sendiri yang tidak membaca undangan Kisame secara seksama. Jika begitu, mungkin Itachi masih bisa melakukan tindakan pencegahan Kisame untuk menikahi Hana, keponakan kesayangannya.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Hana tersenyum malu-malu kemudian menunjukkan cincin pernikahannya pada Itachi. Cincin yang sama dengan cincin yang di pakai Kisame. Walaupun Itachi sudah menduganya, tapi tetap saja kemarahannya tidak bisa teredam begitu saja.

"Kubunuh kau Kisame!"

Naruto segera menahan Itachi yang mulai kehilangan kontrol. Sementara itu Kisame hanya tertawa canggung sambil menggandeng erat tangan Hana. Sama sekali tidak khawatir dengan ancaman Itachi. Karena Kisame tahu, Itachi tidak akan mengatakannya dengan serius. Walaupun sebenarnya memang sedikit banyak dia takut jika memang Itachi serius kali ini. Mengingat Hana adalah keponakan yang selama ini sangat di lindungi oleh Itachi –menurut penuturan Hana.

"Hahaha maafkan suamiku ya etto..."

Naruto bingung harus memanggil si surai coklat, karena jujur saja ini adalah pertama kalinya dia bertemu dengannya.

"Hana desu, Naruto-neechan. Aku keponakan angkatnya Itachi-jisan."

Naruto mengangguk, pantas saja Itachi sampai kehilangan kontrol. Kisame sudah berani menikahi keponakannya tanpa meminta restu padanya terlebih dahulu.

"Kurochi-niisan!"

Kurochi yang merasa namanya di panggil mencari sumber suara. Hingga manik hitamnya menemukan sosok gadis kecil yang berusia satu tahun lebih muda darinya sedang berlari kearahnya.

"Keno-chan!"

Itu suara Kisechi yang melambaikan tangannya pada gadis kecil bersurai pirang. Tapi si gadis kecil justru berlari melewatinya dan –

"Huaaa aku merindukanmu Kurochi-nii!"

Kurochi terhuyung kebelakang saat Keno-chan langsung menghadiahinya pelukan maut. Di belakangnya Kisechi terlihat kesal karena merasa diacuhkan.

"Jadi Keno-chan tidak merindukanku? Hiks kaa-san Kenochi jahaaat."

Naruto menggeleng tidak percaya dengan tingkah absurd Kisechi yang jujur saja sangat mirip dengannya. Periang dan sedikit berlebihan.

"Keno-chan juga pasti merindukan Kisechi. Iya kan Keno-chan?"

Keno-chan menggeleng polos, kedua tangannya masih merangkul Kurochi dan menempelinya seperti moluska –siput.

"Keno cuma kangen sama Kurochi-nii, kan saudara kembar Keno Kurochi-nii."

Glek

Naruto melirik kearah Kisechi yang sudah bersiap akan menangis, tapi tepukan di puncak rambut Kisechi membuat anaknya spontan berhenti menangis.

"Ah Kino-chan!"

Huft, Naruto bersyukur Kino-chan datang tepat waktu. Jika tidak mereka pasti akan menjadi bahan tontonan banyak orang.

"Naru-nee apa kabar?"

Naruto melihat Sasuke dan Ino berjalan mendekat kearahnya. Keduanya sudah resmi menikah sejak lima tahun yang lalu. Setelah operasi yang di jalani Sasuke berhasil, tidak lama kemudian merekapun melangsungkan pernikahan. Saat ini mereka juga di karuniai sepasang anak kembar yang berbeda satu tahun dari kedua anak Naruto-Itachi. Kenosuke Uchiha dan Kinosuke Uchiha. Dua anak yang bertolak belakang, sama seperti kedua anak kembarnya. Jika Keno-chan terlihat sangat ceria, maka Kino-chan justru menurun seluruh sifat ayahnya. Karena itulah Keno-chan lebih suka bermain dengan kurochi yang memiliki karateristik fisik yang sama dengannya, bersurai pirang dan bermata hitam, walaupun sifat keduanya sangat bertolak belakang. Begitupun dengan kino-chan yang lebih suka bermain dengan Kisechi yang memiliki karateristik fisik yang serupa dengannya, bersurai raven dengan mata berwarna biru sapphire.

"Itachi-nii kenapa nee-san?"

Naruto tertawa renyah, dia kemudian mencubit pinggang sang suami agar si sulung Uchiha tidak lagi menatap tajam kearah sepasang pengantin baru yang menjadi tuan rumah acara resepsi ini.

"Aku harus memberikan dia pelajaran."

Desis Itachi dengan suara rendah. Tidak terpengaruh dengan cubitan sayang istrinya.

"Kalau kau berani melakukan itu, aku akan tidur di kamar tamu malam ini."

Balas Naruto dengan suara berbisik, tapi Itachi dapat mendengarnya dengan jelas. Dengan sangat terpaksa akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk menghancurkan acara pernikahan Kisame dan Hana.

"Baiklah kau menang."

Naruto tersenyum penuh arti.

"Itachi-nii apa kabar?"

Sapa Ino ramah, Itachi ikut tersenyum tipis kemudian mengulurkan tangannya kearah Ino.

"Baik, bagaimana keadaanmu? Adikku tidak membuatmu repot kan? Seperti tidak bisa berjalan beberapa hari mi- Ittai kenapa kau menginjak kakiku?"

"Kau membuat Ino malu, baka Aniki!"

Suara berat Sasuke terdengar tidak suka. Memang seiring berjalannya waktu, sifat Itachi menjadi lebih overprotektif terhadap istrinya dan juga sering melontarkan pertanyaan frontal yang sebenarnya itu tidak perlu ditanyakan. Keadaan Sasuke juga lebih hidup sejak dia meminang Ino sebagai istrinya. Semua kenangan buruknya di masa lalu terkubur bersama awal baru yang mereka susun ulang dari awal. Bukan untuk melupakan kenangan buruk itu, hanya untuk tidak lagi mengungkit luka lama dan terus melanjutkan kehidupan mereka yang sempat terhenti di titik terbawah. Ini bukanlah akhir, hanya lembaran baru yang mereka mulai untuk menghadapi masa depan yang lebih cerah.

Jangan menyalahkan masa lalu. Ingatlah bahwa orang hebat tidak akan melalui jalan yang mudah. Mereka di tempa dengan ujian berat di dalam kehidupannya dan mereka mampu bertahan walaupun pilihan untuk menyerah itu ada. Mereka bukan orang yang tidak pernah menangis, mereka hanya tidak mau menangis untuk alasan yang sama. Intinya jangan menyerah, karena sekalipun menghadapi ujian yang sulit semua akan baik-baik saja jika kamu masih percaya bahwa kamu bisa melaluinya, tapi jika kamu menyerah, maka semuanya berakhir saat itu juga.

-END-

Omake Pertemuan Pertama Itachi dan Hana

Suasana malam yang mencekam menjadi saksi bisu jeritan seorang gadis bersurai coklat yang tersudutkan di antara lima orang laki-laki dewasa yang mengurungnya di gang kecil di pinggiran jalan raya. Gadis kecil itu menggigil ketakutan saat suara tawa menjijikkan itu mampir di kedua telinganya. Kerongkongannya terasa sakit karena terlalu banyak berteriak. Matanya yang sewarna emas terselimuti kabut air mata. Sorot matanya meredup saat salah satu dari kelima laki-laki dewsa itu berjalan mendekat kearahnya. Percuma saja menghindar, perbedaan kekuatan diantara mereka terlalu besar. Dan lagi tidak mungkin ada orang yang membantunya kali ini, jalanan sudah sangat sepi. Gadis itu hanya berharap, ada satu saja keajaiban yang membawanya keluar dari situasi ini. Dia hanya berusaha untuk menjadi cucu yang berbakti dengan bekerja paruh waktu selesai dia sekolah untuk membantu meringankan beban neneknya yang sudah tidak lagi kuat menanggung semuanya sendiri. Karena itulah dia pulang telat hari ini, siapa sangka ada beberapa laki-laki yang menyeretnya paksa menuju gang kecil dan memojokkannya seperti sekarang.

Brak

Gadis itu menjerit ketakutan saat melihat salah satu laki-laki yang mengurungnya terjatuh ke aspal dengan darah menghiasi keningnya. Laki-laki itu tidak bergerak. Di belakangnya seorang laki-laki bersurai hitam panjang menatapnya tanpa ekspresi.

"Dare ka teme wa?"

Laki-laki yang tadi berjalan mendekatinya kini berbalik untuk menantang laki-laki bersurai raven panjang. Ekspresi marah terlihat jelas di wajahnya. Tangan kanannya terkepal erat dan bersiap untuk melayangkan pukulan kearah laki-laki bersurai raven panjang. Namun laki-laki bersurai panjang itu justru tersenyum miring, sama sekali tidak takut dengan ancaman yang diberikan padanya. Kedua tangannya terangkat keatas, seolah menyerah. Namun saat kepalan tangan itu hampir menyentuh kulit wajahnya, laki-laki itu segera menghindar dan segera menendang keras perut laki-laki brengsek yang mengurung gadis kecil bersurai coklat hingga jatuh ke aspal dan kehilangan kesadarannya.

"Bisa kau belikan aku kopi di kedai itu."

Si pemilik surai coklat mengangkap lemparan tas kerja yang dilemparkan oleh laki-laki bersurai raven panjang kepadanya. Manik emasnya memandang sepasang bola hitam itu tidak mengerti.

"Jangan kembali kemari, tunggu aku menjemputmu disana. Kau mengerti?"

Gadis itu kemudian mengangguk ragu, kaki jenjangnya bergerak menjauh dari tempat kejadian. Berlari secepat yang dia bisa. Hingga dia menemukan sebuah swalayan yang buka 24 jam. Dibukanya tas yang tadi diberikan laki-laki bersurai hitam panjang kepadanya dan mengambil dompet yang ada di dalamnya. Didalam dompet itu dia melihat kartu tanda pengenal dan membacanya dengan suara berbisik.

"Uchiha Itachi."

Sebuah senyuman lebar terlukis di wajah manisnya. Kakinya kemudian melangkah ringan memasuki swalayan untuk membelikan pesanan laki-laki yang dia tahu bernama Uchiha Itachi.

Sementara itu Itachi sudah bersiap memasukkan kembali senjata api yang di bawanya kedalam saku jas yang di kenakannya. Onyx kelamnya memandang tanpa minat onggokan mayat yang masih membuka matanya. Tangan kirinya terangkat untuk memeriksa pukul berapa saat ini. Keningnya berkerut dalam saat melihat kedua jarum jam menunjuk ke angka yang sama, yaitu angka 12. Artinya sudah memasuki tengah malam, dia akan pulang terlambat lagi hari ini.

Saat kakinya akan berjalan menjauh, sebuah tarikan menghentikan pergerakannya. Itachi melirik kebawah, dimana salah seorang dari laki-laki brengsek yang akan melakukan 'sesuatu' pada gadis bersurai coklat menahan kaki kirinya dengan kedua tangannya.

"S-selamatkan aku."

Helaan nafas terdengar keluar dari bibir Itachi. Di keluarkannya lagi pistol yang di bawanya dan mengarahkan moncol pistolnya tepat kearah kepala laki-laki itu.

"Katakan itu pada orang lain, aku tidak sudi membantu orang sepertimu. Jaa, sayonara."

Dor

Satu nyawa terakhir melayang di tangannya malam itu. Itachi tidak memperdulikan wajahnya yang masih dipenuhi bercak darah, dimasukkan lagi pistolnya kedalam jas. Kemudian kakinya melangkah ringan meninggalkan para korban yang tergeletak di atas aspal.

Si gadis bersurai coklat memandang keluar swalayan untuk melihat, apakah Itachi benar akan datang menjemputnya. Wajahnya terlihat pucat pasi memikirkan keadaan Itachi yang mungkin akan terluka akibat menolong gadis lemah sepertinya.

Sret

Gadis bermata emas itu terkejut saat ada tangan berwarna pucat yang tiba-tiba mengambil kaleng kopi yang ada di mejanya. Saat pandangannya beralih keatas, dia melihat sosok Itachi yang sedang menengguk kaleng kopi yang dipesannya dalam sekali tegukan.

"Apa Itachi-san baik-baik saja?"

Itachi membuang kaleng kopi yang baru saja diminumnya dan memandang si gadis bersurai coklat dengan alis terangkat. Seolah mengatakan, 'darimana kau tahu namaku?'.

"Ah, aku tadi tidak sengaja membaca tanda pengenalmu didalam dompet."

Si gadis bersurai coklat memberikan kembali tas kerja milik Itachi. Degup jantungnya berpacu saat merasakan pandangan Itachi yang masih terfokus padanya. Gadis itu juga bingung, kenapa Itachi tidak juga mengambil kembali tas kerjanya.

"Kenapa kau pulang selarut ini, nenekmu pasti khawatir."

Itachi kemudian mengambil kembali tas kerja miliknya kemudian mengeluarkan dompet dan mengeluarkan semua uang yang ada di dalam dompetnya, sebelum menyimpan dompet itu kedalam tas kerjanya. Sulung Uchiha itu meraih tangan kanan si gadis bersurai coklat dan memberikan semua uangnya kepada gadis itu.

"Gunakan untuk keperluanmu sehari-hari. Dan jangan mau bekerja lembur lagi, masa depanmu masih panjang, setidaknya jaga dirimu supaya nenekmu tidak khawatir."

Gadis bersurai coklat itu mengedipkan matanya. Bingung dengan penuturan Itachi yang tepat sasaran. Padahal seingatnya ini adalah kali pertama dia bertemu dengan laki-laki ini.

"Darimana kau tahu?"

Itachi tersenyum tipis, tangan besarnya mengacak gemas puncak rambut si surai coklat.

"Kau masih mengenakan seragam kerjamu di balik jaket yang kau kenakan, aku juga melihat ada seragam sekolah di dalam tas yang kau tinggalkan, dan obat-obatan untuk penderita demensia ini pasti milik nenekmu kan?"

Itachi menyerahkan tas dan kantong berisi obat-obatan kepada si gadis bersurai coklat.

"Rapikan menampilanmu, aku akan mengantarmu pulang."

Sret

Itachi menoleh kebelakang. Meminta penjelasan kenapa gadis ini menahan pegerakannya. Kemudian dia melihat tangan si gadis yang memberikan sapu tangan berwarna putih kepadanya.

"Sebaiknya Itachi-san juga menghapus bekas noda darah yang ada diwajahmu."

Itachi dan gadis bersurai coklat itu berjalan beriringan. Hari ini Itachi memang sengaja tidak membawa mobil miliknya. Dia meninggalkannya di kediaman Kisame yang tidak begitu jauh dari rumahnya, berasalan akan menghirup udara malam, akhirnya Kisame hanya bisa pasrah saat mobil Itachi terpaksa terparkir di garasi rumahnya. Membuat mobilnya sendiri harus mengalah untuk terparkir di halaman rumahnya.

"Koko de ii."

Itachi memandang rumah sederhana yang ada di belakang si gadis bersurai coklat. Rumah yang jauh lebih kecil dibandingkan kediaman keluarga Uchiha. Tapi entah kenapa Itachi bisa merasakan kehangatan yang berasal dari rumah itu.

"Masuklah."

Gadis bersurai coklat itu mengangguk kecil. Namun, saat akan membuka pintu gerbang rumahnya, gadis bersurai coklat itu kembali berbalik dan berlari menghampiri Itachi.

"Etto, Yamatsuka Hana desu. Itachi-san bisa memanggilku Hana. Yoroshiku onegaishimasu."

Itachi menyambut uluran tangan gadis yang mengaku bernama Hana tersebut. Onyx hitamnya bisa melihat dengan jelas semburat kemerahan yang terlukis di kedua pipi Hana. Tapi Itachi tidak akan membahasnya.

"Uchiha Itachi desu. Domo Yoroshiku."

Hana tersenyum lebar saat mendengar lagi suara Itachi yang terdengar maskulin di telinganya. Menyalurkan desiran aneh yang memenuhi rongga dadanya. Anehnya, Hana menyukai sensasi ini.

"Ano… apa Itachi-san sudah memiliki kekasih?"

Itachi terdiam. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar membalas pertanyaan Hana. Pikirannya tanpa sadar justru membayangkan sosok perempuan bersurai pirang yang mungkin saat ini sedang menunggunya di ruang tamu hingga jatuh tertidur.

"Ah, maaf kalo saya lancang. Tidak perlu menja –"

"Aku sudah memiliki istri."

Kretek

Hana tersenyum kaku mendengarnya. Inikah rasanya patah hati. Rasanya sakit sekali, hingga Hana sendiri tidak mampu berkata-kata. Kepalanya terasa kosong saat mendengar bahwa laki-laki yang berhasil merebut posisi cinta pertama untuknya mengatakan bahwa dia telah memiliki seorang istri. Bahkan Hana belum sempat berjuang untuk mendapatkan Itachi, tapi sejak awal harapan itu tidak pernah ada untuknya.

"Istriku mungkin sedang menunggu di rumah. Aku akan pergi sekarang. Sampaikan salamku untuk nenekmu."

Itachi mengacak lagi surai coklat Hana sebelum berbalik pergi meninggalkan kediaman Hana. Tapi belum ada sepuluh langkah Itachi pergi, suara Hana berhasil menghentikan pergerakannya.

"Bolehkah aku menganggapmu sebagai pamanku?"

Itachi membalikkan badannya. Kepalanya mengangguk, mengizinkan untuk Hana menganggapnya sebagai paman. Lagi pula Hana adalah gadis yang polos dan baik. Itachi rasa dia mungkin akan bisa menemani Naruto –istrinya saat Itachi harus menjalankan misi berbahaya nanti.

"Jaa, matta ne Itachi-jisan."

Hana berusaha tetap tersenyum lebar. Meskipun hatinya masih terasa sakit, tapi dia tidak boleh menunjukkannya pada Itachi. Setidaknya, hanya menjadi keponakan angkatnya sudah sedikit mengobati sakit hatinya. Dia harap, perasaannya akan menghilang seiring berjalannya waktu. Cinta pertamanya yang harus kandas bahkan sebelum dia memperjuangkannya.

Iris safir sewarna langit musim panas miliknya begerak gusar. Menampilkan dengan jelas kecemasan yang kini melandanya. Bibir merah alami miliknya tergigit beberapa kali, mengurangi bunyi gemelutuk yang di hasilkan dari giginya yang tersusun rapi. Keningnya yang halus kini berkerut semakin dalam. Tidak berhenti dia untuk melihat jam digital yang terpasang di dinding ruang tamu. Tempat dia menunggu saat ini. Tampilan angka 01.30, menyadarkannya bahwa sekarang sudah tepat pukul setengah dua dini hari. Tapi orang yang ditunggunya tidak juga datang.

'kriet'

Hampir saja wanita bersurai pirang itu melonjak kaget, mendengar suara pintu terbuka. Dengan terburu dia berlari pintu masuk, melihat siapa yang datang. Berharap dari balik pintu itu akan menampilkan seseorang yang ditunggunya.

Senyumannya mengembang saat melihat bahwa memang dia adalah orang yang sedari tadi ditunggunnya. Sesosok pria tampan dengan perawakan tinggi, kulitnya putih bersih, rahangnya yang kuat, matanya sewarna langit malam, rambutnya berwarna raven panjang yang diikat rapi, jangan lupakan dua garis tegas yang menghiasi kedua pipinya. Melihatnya berapa kalipun, si pirang akan selalu mengagumi ketampannnya, namun dia skearang merasa ada yang kurang.

Sebuah senyuman. Ya, akhir-akhir ini dia jarang sekali bahkan hampir tidak pernah melihat si raven tersenyum. Wajahnya terkesan dingin, membuatnya seperti membangun pembatas tak kasat mata untuk menutup diri.

"Okaeri."

Si pirang tersenyum ramah, dia mengambil tas jinjing yang di bawa pria itu. Tidak ada respon berate yang diberikan pria itu. Dia hanya memandang wanita pirang di hadapannya dengan pandangan sulit diartikan.

"Aku sudah menyiapkan air hangat. Mandilah dulu, aku akan menyiapkan baju tidurmu."

Wanita pirang itu berjalan mendahului. Dia melangkah masuk ke sebuah pintu yang berada dibalik bilik ruang tamu. Namun sebelum dia membuka pintu, sebuah suara berat dan dingin menyapa indra pendengarnya.

"Kenapa kau menungguku?"

Wanita itu menoleh, melihat pria yang sejak tadi ditunggunya berjalan mendekat. Dia tersenyum, untuk apa pria itu bertanya. Dia selalu akan mendapatkan jawaban yang sama.

"Karena kau suamiku. Aku tidak akan tidur dengan nyenyak sebelum suamiku pulang."

Langkah kaki pria yang menjadi suaminya beberapa bulan yang lalu berhenti. Sejenak dia bisa melihat ekspresi bersalah yang menghiasi wajah datar suaminya. Namun hanya sekejab, sebelum ekspresinya kembali seperti semula –datar.

"Bodoh."

Si pirang tertawa, menampilkan barisan giginya yang rapi. Sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan suaminya. Membuat pria raven tersebut mengerutkan kening, heran melihat tingkah ajaib istrinya yang tidak terduga itu.

"Apa yang kau tertawakan?"

Si pirang tidak juga berhenti tertawa. Padahal perutnya sudah sangat sakit karena terlalu banyak tertawa.

"Hahaha maaf aku hanya berpikir itu lu – eh?"

Si pirang terkejut saat tiba-tiba suaminya menguncinya diantara pintu dan tubuh suaminya sendiri. Sepasang safirnya menatap sepasang onyx milik suaminya tanpa berkedip. Menebak kira-kira apa yang dipikirkannya saat ini.

Tiba-tiba dia tersentak, wajahnya berubah cemas. Melihat ada sudut bibir suaminya yang robek, apa yang terjadi. Kenapa dia tidak menyadarinya. Tanpa sadar tangan kanannya terulur untuk menyentuh luka tersebut, mengelusnya dengan pelan.

"Naruto."

Si pirang tersadar, buru-buru dia menurunkan tangan kanannya. Dia memandang kearah lain, menyembunyikan wajahnya yang memerah tanpa di komando. Uh, memalukan.

"Jangan lakukan lagi."

Suara suaminya terdengar putus asa. Eh, apa si pirang –Naruto tidak salah dengar. Mungkin sjaa itu imaginasinya.

"Itachi."

Naruto memanggil nama sang suami dengan nada mencicit. Takut di pemilik nama mendengar apa yang diucapkannya.

"Tidurlah."

Setelah mengatakan itu, Itachi berjalan menjauh menuju kamar mandi. Meninggalkan Naruto yang masih terpaku di tempat dengan degup jantung tidak beraturan.

-REALLY END-