[ PENGUMUMAN ]
Seluruh chapter pada cerita ini telah saya remake, dengan inti cerita yang sama. Saya hanya merapikan tulisan yang awalnya sangat berantakan untuk bisa lebih nyaman jika dibaca. Silahkan bagi yang mau membaca ulang, kalo tidak juga tidak apa-apa. Terimakasih atas dukungannya selama ini pada 17.286 orang yang telah menyempatkan diri membaca cerita ini, jujur saya sendiri kaget melihat banyaknya orang yang menyambangi cerita ini hehehehe jadi terharu. Baik yang telah meninggalkan jejak ataupun tidak. Saya sangat berterimakasih karena kesediaannya membaca cerita saya yang jauh dari kata sempurna. Sampai berjumpa lagi di fict saya yang lain minna-san.
Tears of Us
Shiroi Kage's project
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Rate : T+ for this chapter
Pair : ItaFemNaru ||SasuFemNaru
WARNING : FEMALE NARUTO, NO EYD, MISS TYPO, A LITTLE LIME, E.T.C
Thanks for my beloved Seme who gave me some review ! Love ya ~
.
.
.
"Karena kau suamiku. Aku tidak akan tidur dengan nyenyak sebelum suamiku pulang."
.
.
.
Bab 1 [ Aku Tidak Mengerti ]
Iris safir sewarna langit musim panas miliknya bergerak gusar. Menampilkam dengan jelas kecemasan yang kini melandanya. Bibir merah alami miliknya tergigit beberapa kali, mengurangi bunyi gemelutuk yang dihasilkan dari giginya yang tersusun rapi. Keningnya yang halus kini berkerut semakin dalam. Tidak berhenti dia untuk melihat jam digital yang terpasang didinding ruang tamu. Tempat dia menunggu saat ini. Tampilan angka 01.30, menyadarkannya bahwa sekarang sudah tepat pukul setengah dua dini hari. Tapi orang yang ditunggunya tidak juga datang.
'Kriet'
Hampir saja wanita bersurai pirang itu melonjak kaget, mendengar suara pintu terbuka. Dengan terburu dia berlari menuju pintu masuk, melihat siapa yang datang. Berharap dari balik pintu itu akan menampilkan seseorang yang ditunggunya. Senyumannya mengembang saat melihat bahwa memang dia adalah orang yang sedari tadi ditunggunya. Sesosok pria tampan dengan perawakan tinggi, kulitnya putih bersih, rahangnya kuat, matanya sewarna langit malam, rambutnya berwarna raven panjang yang diikat rapi, jangan lupakan dua garis tegas yang menghiasi kedua pipinya. Melihatnya berapa kalipun, si pirang akan selalu mengagumi ketampanannya, namun dia sekarang merasa ada yang kurang. Sebuah senyuman. Ya, akhir-akhir ini dia jarang sekali bahkan hampir tidak pernah melihat si raven tersenyum. Wajahnya terkesan dingin, membuatnya seperti membangun pembatas tak kasat mata untuk menutup diri.
"Okaeri."
Si pirang tersenyum ramah, dia mengambil tas jinjing yang di bawa pria itu. Tidak ada respon berati yang diberikan pria itu. Dia hanya memandang wanita pirang di hadapannya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Aku sudah menyiapkan air hangat. Mandilah dulu, aku akan menyiapkan baju tidurmu."
Wanita pirang itu berjalan mendahului. Dia melangkah masuk ke sebuah pintu yang berada dibalik bilik ruang tamu. Namun sebelum dia membuka pintu, sebuah suara berat dan dingin menyapa indra pendengarnya.
"Kenapa kau menungguku?"
Wanita itu menoleh, melihat pria yang sejak tadi ditunggunya berjalan mendekat. Dia tersenyum, untuk apa pria itu bertanya. Dia selalu akan mendapatkan jawaban yang sama.
"Karena kau suamiku. Aku tidak akan tidur dengan nyenyak sebelum suamiku pulang."
Langkah kaki pria yang menjadi suaminya beberapa bulan yang lalu berhenti. Sejenak dia bisa melihat ekspresi bersalah yang menghiasi wajah datar suaminya. Namun hanya sekejab, sebelum ekspresinya kembali seperti semula –datar.
"Bodoh."
Si pirang tertawa, menampilkan barisan giginya yang rapi. Sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan suaminya. Membuat pria raven tersebut mengerutkan kening, heran melihat tingkah ajaib istrinya yang tidak terduga itu.
"Apa yang kau tertawakan?"
Si pirang tidak juga berhenti tertawa. Padahal perutnya sudah sangat sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Hahaha maaf aku hanya berpikir itu lu – eh?"
Si pirang teekejut saat tiba-tiba suaminya menguncinya diantara pintu dan tubuh suaminya sendiri. Sepasang sapphirenya menatap sepasang onyx milik suaminya tanpa berkedip. Menebak kira-kira apa yang di pikirkannya saat ini.
Tiba-tiba dia tersentak, wajahnya berubah cemas. Melihat ada sudut bibir suaminya robek, apa yang terjadi. Kenapa dia tidak menyadarinya. Tanpa sadar tangan kanannya terulur untuk menyentuh luka tersebut, mengelusnya dengan pelan.
"Naruto."
Si pirang tersadar, buru-buru dia menurunkan tangan kanannya. Dia memandang kearah lain, menyembunyikan wajahnya yang memerah tanpa di komando. Uh, memalukan.
"Jangan lakukan lagi."
Suara suaminya terdengar putus asa. Eh, apa si pirang –Naruto tidak salah mendengar. Mungkin saja itu imaginasinya.
"Itachi."
Naruto memanggil nama sang suami dengan nada mencicit. Takut si pemilik nama mendengar apa yang diucapkannya.
"Tidurlah."
Setelah mengatakan itu, Itachi berjalan menjauh menuju kamar mandi. Meninggalkan Naruto yang masih terpaku ditempat dengan degup jantung tidak beraturan.
.
.
.
.
.
Saat Itachi masuk kedalam kamar, dia tidak melihat sosok pirang didalam. Itachi heran, kemana perginya Naruto. Tapi piyamanya sudah ada diatas kasur, mungkin dia sedang mengambil air di dapur. Tanpa pikir panjang, Itachi langsung mengenakan piyamanya, hawa dingin langsung menyerangnya saat dia hanya mengenakan handuk yang melilit menutupi tubuh bagian bawahnya, dengan bagian atas tubuhnya yang toples. Itachi naik ke kasur, memposisikan dirinya di ujung kasur sebelah kiri, karena sebelah kanan adalah daerah istrinya. Itachi tidak bisa langsung tidur, pikirannya masih melayang kemana-mana. Kebiasaannya untuk menyimpan masalah untuk dirinya sendiri, membuat sulung Uchiha itu kesulitan. Dia ingin membagi bebannya, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Percuma otaknya encer jika memahami diri sendiri saja dia tidak bisa.
'Kriet'
Suara pintu terbuka, Itachi langsung menutup mata –pura tidur, samar-samar dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Mungkin Naruto sedang berjalan sambil menjinjit, takut jika Itachi terganggu dengan derap langkahnya. Konyol. Itachi menarik tipis sudut bibirnya. Istrinya benar-benar polos. Kini Naruto sedang duduk di samping Itachi yang kebetulan menghadap kearahnya. Terdengar bunyi kotak dibuka, dan kocokan air yang entah jenis apa. Itachi menebak-nebak apa yang dilakukan Naruto sekarang. Tapi dia tetap saja berpura-pura tidur.
'Nyut'
Itachi hampir saja membuka matanya saat sesuatu yang lembut dan dingin menyentuh ujung bibirnya. Untung dia dapat mengendalikan diri. Akhirnya dia tahu, Naruto sedang mengobati luka di sudut bibirnya yang sobek. Rasa nyeri begitu terasa saat Naruto menempelkan kapas yang disiram alkohol ke lukanya, mencegah adanya infeksi. Lalu Naruto menempelkan sebuah plaster kecil di atas luka tersebut. Setelah itu Itachi tidak tahu lagi. Karena Naruto terdiam ditempat, lebih tepatnya dia diam mengamati wajah damai Itachi yang sedang –berpura-pura tidur.
"Apa salahku?"
Naruto mulai bersuara, dengan nada bergetar.
"Harusnya kau menolak pernikahan ini kalau akhirnya kau harus berubah dingin seperti ini."
Suara isakan mulai terdengar dari Naruto. Dada Itachi sakit mendengarnya tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Dia terlalu pengecut. Melarikan diri seperti seorang pecundang. Ya, begitulah penggambaran dia sekarang.
"Sampai kapanpun, aku tetap mencintaimu. Itachi-senpai."
Naruto mendekatkan wajahnya, Itachi bisa merasakan wangi jeruk segar menguar dari hembusan nafas Naruto.
Cup
Naruto mencium kelopak mata Itachi begantian. Dia lalu membelai surai raven panjang Itachi dengan penuh perasaan. Sebelum akhirnya dia ikut berbaring disamping Itachi. Tidak seperti Itachi yang memunggunginya. Naruto tidur dengan menghadap punggung Itachi yang lebar. Hanya dengan melihat punggungnya, Naruto seakan bisa merasakan beban berat yang dipikulnya. Walaupun dia tidak tahu apa itu. Tidak begitu lama, akhirnya Naruto memejamkan matanya. Kantuk di matanya sudah tidak tertahan lagi.
.
.
.
.
Itachi membuka matanya. Merenungi setiap kata yang diucapkan oleh Naruto. Rasa sesak menghampirinya. Bohong jika dia berkata bahwa dia tidak menyukai Naruto. Dia menyayanginya, tidak dia bahkan mencintainya. Tapi dia merasa tidak berhak untuk itu. Itachi berbalik, iris hitamnya memandang wajah polos Naruto saat terlelap. Dia tersenyum. Hal yang sangat jarang dia tunjukkan akhir-akhir ini. Dengan perlahan dia mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan helai pirang Naruto yang menutupi wajahnya. Tangannya beralih untuk membelai wajah Naruto, mulai dari mata, hidung, pipi, hingga bibir merah Naruto tidak lepas dari belaiannya. Tangannya terhenti di bibir Naruto. Bagaimanakah rasanya. Apakah masih tetap manis seperti saat dia menciumnya di upacara pernikahan mereka. Itachi mengabaikan logikanya yang menjerit tidak terima. Perlahan dia mulai mendekatkan wajahnya, hingga jarak wajah mereka hanya sepersekian sentimeter saja.
Cup
Itachi mencium singkat bibir Naruto. Bukan mencium, hanya sekedar mengecup.
"Maafkan aku."
Bisiknya dengan nada penuh penyesalan. Wanita itu, Namikaze Naruto. Sudah lebih dari setengah tahun ini menjadi istrinya. Merubah nama belakangnya menjadi Uchiha Naruto. Tapi tidak ada hal yang mereka lakukan. Bahkan mereka tidak melakukan ritual malam pertama, hal yang wajar dilakukan pengantin baru. Setelah resepsi selesai, mereka langsung tertidur tanpa melakukan apapun. Esoknya Itachi sudah berangkat kerja seperti saat ini, Itachi lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor daripada dirumah. Tapi Naruto sama sekali tidak mengeluh. Dia tetap menjalankan peran istri yang baik untuk suaminya.
"Aku mencintaimu. Uchiha Naruto."
Hati Itachi berdesir bahagia saat berhasil mengatakannya. Uchiha Naruto. Well, nama yang indah. Itachi tersenyum lagi. Dia mencium dahi Naruto dan mulai menutup matanya.
.
.
.
.
Tbc