Title: Back of Coin
Chapter: 4 / 4
Starring: Huang Zitao, Wu Yi Fan, Wang Darren, Zhang Yixing
Author: Annannnn
Pairing: KrisTao (main), RenTao (side pairing), KrisLay (broke up, mentioned)
Rating: NC
Genre: angst, romance, fantasy and crime AU
Disclaimer: I have a great power upon my fanfic and this story undeniably mine to post and edit. I only use their names for the sake of storyline. You have no rights to copy and change the storyline under any circumstance. Inspired by The Reason by Hoobastank.
Warning: Violence. Messed up timeline. Crude words.
Chapter 4 — Farewell
"I've found a reason for me to change who I used to be. I've found a reason to show a side of me you didn't know. A reason for all that I do. And the reason is you."
.
Rinai hujan yang mewarnai sore yang dingin membuat orang-orang mempercepat langkah mereka menjejaki jalanan yang lumayan ramai dengan lalu-lalangnya kendaraan baik roda dua, roda empat bahkan lebih. Terpaan angin berpadu dinginnya udara pagi menelusup ke balik jaket tipisnya yang tak mengantisipasi akan adanya hujan badai, terima kasih pada roommate-nya, ia tak sempat menengok perkiraan cuaca. Meremas gagang payung yang tak melindunginya dari terjangan hujan angin, pemuda itu mengerjap berusaha berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi gerombolan manusia yang tergesa menuju rumah, tempat kerja, atau mungkin tempat untuk singgah sebelum merebahkan diri di ranjang empuk.
Menyibak poninya yang sudah lepek juga basah terkena hujan, ia melihat sosok dengan blazer biru tua tengah berteduh di depan emperan sebuah toko dengan rolling door yang turun. Tangannya terlihat sibuk mengetik di layar sebuah gadget dengan wajah gelisah, sesekali matanya memandangi langit dengan lembayung senja bersama awan tipis yang setia menurunkan curahan air menjatuhi bumi dalam tempo sedang. Ia melihat sosok itu mendesah kemudian mengangkat tas kulitnya untuk menutupi rambut seterang buah chesnut di musim panas. Tanpa pikir panjang, ia menghampirinya.
"Ini," tawarnya seraya mencondongkan payung biru mudanya kepada pria yang setengah tersentak tersebut. "Gege mau pulang juga 'kan?" ia sedikit menengadah untuk memandang wajahnya.
Pemuda itu terdiam kemudian mengulas senyum lembut. Ia memang tak akan pernah bisa bersikap dingin apalagi kasar kepada pemuda yang menjadi tetangganya ini. Meski umur mereka terpaut tak terlalu jauh, tetap saja ia berpikiran bahwa pemuda ini masihlah seorang anak yang butuh bimbingan juga perlindungan dilihat dari seringkali betapa kasarnya pemuda berkulit cokelat yang entah menjadi sosok kakak ataupun kekasih itu memperlakukannya. Ada perasaan protektif tiap kali ia tak sengaja berpapasan dengan pemuda tersebut. Entah ketika hendak pergi dengan senyum dikulum dan headset terpasang sebelah dari elevator hingga berpisah karena pemuda itu turun di lobi dan ia menuju basement untuk mengambil mobilnya, sampai baru pulang dengan wajah letih serta seringkali memegang beberapa kantong belanja, mungkin untuk makan malam dan sarapan di hari berikutnya.
Kali ini, ia yang sengaja tak membawa mobil karena akan menumpang dengan temannya ke kantor yang berada di distrik sebelah pun tak sengaja bertemu dengannya. "Terima kasih, biar aku yang memegang payungnya." Matanya menangkap tampilan jaket katun pemuda berambut kelam tersebut, basah kuyup dan meneteskan air hujan dari ujung-ujungnya sementara ranselnya terbungkus plastik bening yang dilapis dua.
"Ke mari," ia menarik Tao untuk masuk ke lindungan kanopi merah tua tempatnya berteduh. Pria itu membuka blazer-nya dan menyodorkannya pada pemuda itu. "Pakailah, kau bisa sakit jika memakai pakaian basah begitu," tukasnya.
Menunduk memandangi jaketnya sendiri yang jauh dari kering, Tao mengangguk, ia menyandarkan payungnya yang sudah ditutup ke rolling door, menaruh tasnya di dekat undakan dan membuka buah bajunya kemudian melepas jaketnya. Ia menerima blazer itu dengan tangannya yang dingin tersiram air hujan. "Terima kasih, Wu-ge."
"Kris. Panggil aku Kris," ujarnya disambut anggukan dari kepala bersurai hitam legam tersebut.
"Terima kasih, Kris-ge." Ia pun mengancingkan blazer yang sedikit lebih besar untuknya tersebut hingga menutupi setengah telapak tangannya. Tercium samar wangi parfumnya sendiri bercampur dengan wangi maskulin yang tertinggal di sana.
"Ayo," Kris mengulurkan tangannya dan menegakkan payung milik Tao. Mereka pun berjalan berdempetan untuk menghindari tampias hujan hingga satu blok ke depan, masuk ke lobi apartment mereka.
Di lain hari pria jangkung yang hendak ke luar membeli sesuatu itu mendapati tetangganya tengah bertengkar kecil di depan pintu masuk menuju apartment mereka sendiri, nomor 601. Ia mendengar suara Darren yang berat menimpali suara Tao yang mencoba menenangkannya.
"Aku akan pulang sebelum jam sebelas," ucap suara yang ia kenali sebagai suara Tao tersebut.
Terdengar suara hantaman benda tumpul yang membuat mata Kris melebar. "Aku tak akan membiarkanmu ke luar, lebih baik kau di rumah. Aku tak bisa pergi jika kau berkeliaran di luar," sahut suara yang terdengar lebih berat dan serius tersebut.
"Kalau begitu jangan pergi, ini giliranku," tukasnya disambut nada geram dari lawan bicaranya.
"Cukup Tao!" hardiknya.
Pada saat itu Kris membuka pintu depannya, menutupnya pelan supaya tak menganggu Lay yang baru berhasil tidur setelah semalaman mengerjakan sesuatu entah apa di notebook-nya dan berhasil mengusir Kris untuk tidur di kamar sebelah karena ia tak ingin diganggu. Mata keemasannya bertemu pandang dengan manik gelap milik Tao yang mencoba pergi namun ditarik dan dibanting oleh Darren ke dinding koridor di bawah kungkungan tangannya.
"Wang, sebaiknya kau berhenti menyakitinya," Kris memperingati membuat pemuda berkulit cokelat itu menoleh melemparkan tatapan tajam.
"Aku tidak menyakitinya, kenapa kau selalu ingin ikut campur urusan orang, Wu?" tanyanya masih menahan Tao di dinding dengan kedua tangannya.
Kris meneliti wajah Tao yang menunduk. "Sepertinya dia tak nyaman," celetuknya. "Lepaskan dia."
Darren melepas Tao kemudian menghampiri Kris dengan nafas memburu. Ketika mendekat, tercium bau minuman keras dari mulutnya. "Berisik!" ia mengayunkan kepalan tangannya hingga mendarat telak di rahang Kris yang mengeluarkan bunyi derak mengerikan. Terdengar suara Tao yang menarik Darren menjauh dan mencoba menenangkan pemuda tersebut.
"Jangan pergi!" hardiknya sekali lagi dengan mengguncangkan bahu Tao keras-keras. Darren pun beranjak pergi dari situ dengan kunci mobil di tangan membiarkan Kris yang meringis memegangi rahangnya sendiri sementara Tao menghampirinya dengan wajah cemas.
"Kau tidak apa-apa?" ia mencoba menyingkirkan tangan Kris yang menutupi dagunya sendiri, dan mengamati bekas tinju yang sedikit memerah perlahan membiru. "Aku bisa mengobatimu," tawar Tao dengan wajah bersalah.
Kris mendesah pelan. "Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Yang lebih penting, kenapa kau selalu diam tiap kali dia mengasarimu?"
Mengerjap, mimik wajah Tao terlihat enggan untuk berbicara, "Dia orang yang menjagaku, jadi aku tidak bisa menentangnya."
"Meski dia sering memperlakukanmu dengan buruk?"
Tao melemparkan tatapan yang memancarkan ketidaksetujuan. "Dia tak seburuk yang kau kira," belanya lagi.
Pria itu menggaruk belakang telinganya. "Maaf," ucapnya kikuk
Hening sejenak sebelum Tao melanjutkan lagi, "Maafkan jika kami sering menimbulkan kegaduhan." Ia membungkuk hampir sembilan puluh derajat dengan cepat sebelum kembali masuk ke rumahnya sendiri meninggalkan Kris memandangi pintu bernomor 601 itu dengan tatapan curiga. Di leher pemuda tadi ada tanda memerah yang cukup nyata.
~†~†~†~
Tao duduk di samping Kris yang kini lengannya tengah dibalut oleh Luhan dengan blazer di pangkuannya. Pemuda itu terserempet peluru yang masih sempat Lay tembakkan sebelum menyeretnya ke dalam heli bersama Tao yang pucat pasi. Pemuda dengan pullover putih itu pun membiarkan Kris meringis kesakitan di lantai heli sebelum duduk di kursi sebelah pilot dan lepas landas dari sana.
Tak sampai lima belas menit mereka sampai di sebuah rumah menyerupai kastil yang dikelilingi rimbunnya pohon oak dan semak mawar. Mata Tao mengerjap memanggil memori mengenai kediaman yang pernah didatanginya bersama ayahnya beberapa tahun yang lalu ketika ia masih mengenakan seragam sekolahnya dulu. Menangkap pintu kayu dengan pegangan beruang yang menganga lebar di depannya, ia menengadah menatap lengkungnya.
Pemuda itu merapatkan diri pada Kris yang kini dianggap sebagai sekutunya, ia berbisik, "Aku pernah ke sini sebelumnya." Matanya memandangi koridor dengan wallpaper putih keabu-abuan yang terlihat begitu bersih dari pigura maupun pajangan lainnya.
"Siapa pemilik tempat ini?" tanyanya pelan sedikit melambatkan langkah untuk mempelebar jarak antara mereka dan keempat orang lain di depannya.
"Aku rasa rekan ayahku, aku juga kurang tahu," jawabnya lirih. Mereka berhenti di ruang tamu yang terdiri dari sofa berwarna kelabu muda mengelilingi meja kaca rendah dengan cangkir dan cake stand berisi berbagai macam potongan kue yang sudah tersedia seakan jamuan ini sudah direncanakan sebelumnya.
Saat Tao masih mengamati shortcake dengan glazier berwarna cokelat pekat dan mousse juga potongan buah sebagai penghiasnya, sebuah suara membuatnya menengadah. "Selamat malam, kalian pasti lelah, silakan menikmati hidangannya."
"Aku tak suka makanan manis," celetuk Darren pelan.
Mata pria dengan kemeja hitam itu jatuh pada wajah Darren yang tak menunjukkan ekspresi berarti. "Sayangnya Tao suka," ucapnya membuat pemuda yang disebut namanya itu menatapnya kurang yakin.
"Junma Hao?" tanyanya. Mata semua orang tertuju pada Tao yang masih memandangi orang yang baru tiba itu lekat-lekat.
"Duduklah Tao, silakan." Ia membimbing mereka semua untuk duduk mengelilingi meja, dan menuangkan teh untuk pemuda berambut kelam tersebut. "Minumlah, kau pasti haus." Suruhnya pada Tao yang mengangguk pelan dan menurutinya untuk meneguk tehnya, di sisinya Kris memberikan tatapan aneh pada pria yang kini tengah mengusap puncak kepala pemuda itu.
Luhan membuka suara, "Kurasa Jaycee sudah tumbang, aku meninggalkannya dengan pendarahan hebat di sekujur tubuhnya. Chanyeol tak sadarkan diri berkat Shin Hye, dan Kai Ko pingsan oleh Darren," jelasnya cepat.
Pria itu mengangguk mengerti dan membiarkan Lay melanjutkan selagi ia mengambilkan shortcake untuk Tao yang terlihat berseri-seri untuk segera melahapnya. "The moon, secret agent yang kami kirimkan untuk menginfiltrasi jalur penjualan narkoba oleh Li Chen telah berjalan dan sekarang seluruh data-datanya telah terkirim kepada Interpol yang bermarkas di Shanghai untuk meringkus mereka. Terlalu banyak resiko untuk membiarkan Tao seorang diri, maka dari itu merupakan keputusan yang tepat untuk membawanya ke sini, terima kasih, Darren."
Darren mengangguk pelan. "Aku dengar Jaycee dan Kai Ko merupakan tangan kanannya. Aku mengetahui beberapa night club yang menjadi pusat jual beli mereka, salah satunya Poirot."
"Poirot sedang dalam proses ditutup dan digeledah sekarang, mereka mungkin akan menemukan marijuana senilai enam milyar dan sebagian besar barang kiriman yang baru tiba di London ditahan oleh kepolisian lokal," sambung pria berkemeja hitam tersebut dengan tenang.
"Maaf, boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?" tanya Kris merasa sebagai satu-satunya manusia yang tersisih dan berada di tempat yang gelap.
Pria itu mengerling padanya, matanya menajam meski senyumnya terlihat terukir di wajah tampannya. "Suho, aku bekerja sama dengan ayah Tao untuk membongkar sindikat narkoba yang selalu menghentikan langkah kami untuk berkembang."
"Suho? Maksudmu dengan kata berkembang itu apa?" tanyanya lagi masih belum puas.
"Berkembang dengan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi semua orang dengan lingkungan yang lebih sehat dan bebas dari limbah. Penanaman ganja di tepi sungai Yangtze berakibat pada ekosistemnya serta menjadikan warga desa sebagai pecandu yang selalu mengikuti kata-kata Li Chen bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya. Benar-benar menyedihkan. Selagi ia dan banyak triliyuner lain bergelimang harga berpesta-pora dengan narkoba serta segala kenikmatan dunia, banyak orang tersiksa yang tak pernah ia hiraukan." Deklamasi Suho dengan wajah seriusnya.
"Dengan mematikan satu jalur, setidaknya ini akan menekan perusakan sumber daya manusia yang sempat meningkat," ujarnya lagi.
Kris mengernyitkan dahi mencerna semua perkataan itu tak menghiraukan Lay yang kini mencoba menjelaskan pada Luhan dan Sehun dengan seksama mengenai tugas mereka selanjutnya untuk melindungi Tao sementara Darren mendapat tatapan menusuk darinya. "Lalu, apa hubungannya denganku?"
"Kau Li Jiaheng 'kan? Anak dari Li Xiaodong yang meninggal secara tragis dengan luka tembak di perutnya," ucapnya tenang, begitu tenang dengan kilatan aneh di matanya.
Kris langsung berdiri, membuat Tao yang tengah mendengarkan pembicaraan mereka sembari menyuapkan potongan shortcake itu terkesiap. "Kau, dari mana kau tahu?" Kris menatapnya berang sementara Suho tetap terlihat tak tergugah untuk menaikkan nada suaranya barang sedikit pun.
"Aku tahu bahwa kau memakai nama marga ibumu dan berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa kau memiliki asosiasi dengannya. Semuanya sudah aku ketahui, bahkan sampai pada kenyataan bahwa kau melarikan diri dari ayahmu yang abusive hingga harus menghindar dari adiknya yang tak kalah kejam untuk menyiksamu dan ibumu."
Kris menerjang Suho, mencengkram kerah kemejanya dan memaksanya berdiri. "Jangan seenaknya mengungkit masa lalu orang lain dengan wajah setenang itu," desisnya, baik wajah dan telinganya memerah menahan amarah.
Tao beranjak dari duduknya dan berusaha menariknya menjauh. "Kris-ge tenanglah," ucapnya pelan.
"Jangan ikut campur!" hardiknya pada Tao yang langsung menampakkan mimik takut membuat hati Kris mencelos. "Maaf," ia berujar pelan pada pemuda itu setelah melepaskan Suho.
Suho mengedikkan kepala pada Lay, Sehun dan Luhan yang sudah bersiaga dengan senjata masing-masing di tangan mereka, menyuruh ketiga orang itu untuk memasukkan kembali senjatanya. Mereka memperhatikan interaksi Kris dengan Tao yang terlihat lebih intim dengan litani permintaan maaf dan kata-kata manis dari Kris sementara Darren menatapnya jengah. Ada perasaan kesal di hatinya saat melihat Tao perlahan terlihat lebih nyaman bersama Kris daripada dirinya.
~†~†~†~
Kris menghampiri Lay yang terlihat sibuk dengan notebook-nya dan berhenti beberapa langkah dari kursi tempatnya berada. "Jadi semuanya palsu?" tanyanya datar membuat pemuda berambut cokelat itu menoleh padanya.
Menghela napas, Lay menggoreskan senyum setengah mengejek. "Tentu saja," jawabnya dengan nada ringan. "Semua yang pernah aku katakan dan lakukan padamu itu palsu."
Kesunyian yang mencekik itu kembali sampai pria yang kini memakai kemeja abu-abu itu memotongnya lagi. "Bahkan untuk hobimu menggubah lagu juga kelainan darahmu?" lanjutnya lagi membuat Lay benar-benar menghentikan tarian jemarinya di atas keyboard.
"Tidak. Untuk itu, aku tidak berbohong."
Manik mata Lay melihat sebuah foto yang diletakkan di atas meja oleh Kris. "Aku menemukan ini dua bulan setelah kau masuk ke apartment-ku," jelasnya. Pupil matanya tampak menggelap sejenak dari warna keemasaannya yang biasa. "The tower," ia membalik tulisan tersebut dan menunjukkan sosok Tao yang tengah membaca di sebuah perpustakaan umum dengan notebook yang terbuka di hadapannya, sepertinya ia sedang mengerjakan tugas.
"Aku mencoba menerka apa yang dimaksudkan oleh tulisan ini sampai aku tak sengaja menemukan peramal jalanan beberapa minggu kemudian." Kris menatap Lay yang membalasnya dengan tatapan bertanya.
Kris yang baru pulang dari kantor dan memarkirkan mobilnya di pelataran parkir salah satu pusat perbelanjaan tak sengaja melewati sebuah booth yang berjajar di area bazaar dengan parkiran tersebut. Ia menangkap sosok seorang wanita tua dengan gaun berwarna cokelat dan syal tipis yang cukup menarik perhatiannya. Sebuah banner bertulisan tarot reader membuat langkahnya mendekat secara tak sadar.
"Anak muda," suara wanita paruh baya itu menghentikan Kris yang tadinya hanya ingin melewatinya setelah dapat membaca apa yang ia tawarkan. "Nyawamu sepertinya terancam," sambungnya lagi membuat perhatian Kris benar-benar memusatkan perhatian padanya.
Berdiri di depan booth itu, sang wanita mengocok kartu tarotnya dan mengambil tiga kartu secara acak dengan sesekali melirik wajahnya yang dingin. "Ah, dirimu akan berada di posisi yang sulit." Ia berhenti, memperlihatkan sebuah kartu dengan seorang pria yang digantung terbalik di dahan pohon dengan sulurnya. "Kau harus membuat pilihan yang mungkin bisa mengubah garis hidupmu secara drastis. Kemudian ini," ia mengeluarkan sebuah kartu dengan gambar yang ia interpretasikan sebagai Adam dan Hawa. "Sepertinya urusan percintaanmu akan menjadi kunci untuk membuka pintu yang lain. Berhati-hatilah," ujarnya selagi Kris menyodorkan selembar dua puluh yuan kepadanya.
"Bagaimana dengan kartu itu? The tower?" ia menunjuk dengan dagunya kepada satu kartu bergambar menara yang tersambar petir dengan orang yang terlihat berteriak panik di dalamnya.
Wanita itu terkekeh, "Inilah mengapa aku mengatakan nyawamu terancam. Ada peristiwa besar yang akan terjadi, dan mungkin nyawamu dapat melayang. Jaga dirimu baik-baik anak muda, tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput."
"Jadi aku pikir, the tower yang kau maksudkan sebagai Tao ini adalah pengancam nyawaku? Kau berusaha menyelamatkanku darinya? Atau itu adalah kebalikannya?" suaranya terdengar penuh ketidakyakinan, sangsi akan pemikiran pendeknya sendiri yang juga berhasil mengulaskan senyum mencemooh di bibir pucat Lay.
"Misiku adalah menjauhkan Tao darimu, kau orang yang dapat merusak segalanya," tukas Lay kejam seakan tak pernah menganggap pria itu sebagai manusia seutuhnya.
Kris terdiam dan menatap Lay, ia naik pitam. Menggebrak meja, ia berteriak lantang di ruangan serba putih itu. "Kau selama ini memanfaatku dan membiarkan sebuah nyawa hampir melayang! Apa kau gila?"
Mengerjap, Lay berdiri dengan tiba-tiba menyebabkan kursinya tergeser. "Jangan mengatakan hal itu padaku, aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menjauhkanmu yang sepelemparan batu dari Tao. Kau pikir ini mudah? Harusnya kau sadar Kris, hanya dengan kegoyahanmu barang sedikit saja, nyawa orang yang tak berdosa dapat melayang. Harusnya kau menjauhi Tao sejak awal, semua hal yang terjadi malam ini adalah karena dirimu," ujarnya geram dengan posisi tubuh waspada, tangannya meraih saku celana kanannya di mana revolver-nya bertengger di pinggangnya.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak menyingkirkanku sesuai misimu sejak dulu?" matanya nyalang menatap orang yang dulu dikiranya pernah ia cintai tapi nyatanya hanyalah bayang semu perasaan nyaman untuk berbagi di kala sepi menerjang.
"...dan membuat Tao mencurigaiku? Yang benar saja. Pakai otakmu, Kris," cecar Lay setengah jengkel. "Tao menganggapmu sebagai penyelamatnya, ia hanyalah anak yang mengagumimu sejak dua bulan yang lalu kalian bertemu sedangkan aku butuh waktu lebih dari dua bulan untuk menyelidikimu dan sindikat yang ayah serta pamanmu bangun. Jangan tanya betapa menyesalnya diriku yang tak mematuhi Suho untuk membunuhmu lebih cepat karena masih diliputi rasa iba."
Kris meneguk salivanya menatap manik kecokelatan itu yang membalasnya sengit. "Ingatlah Kris, kau masih hidup karena belas kasihan dariku. Aku tak tega melihat Tao kecewa orang yang ia kagumi mati di depan matanya. Bersyukurlah aku keluar dari apartment-mu, Kris." Lay tampaknya siap untuk mencabut pistolnya dan melancarkan tembakan tepat di dahinya yang tak tertutup rambut chesnut blonde-nya.
Dehaman dari ujung ruangan yang tadinya ia kira kosong membuatnya terperanjat saat Suho berjalan menghampirinya. Wajahnya yang seperti malaikat berbanding terbalik dengan kata-katanya. "Pergilah sebelum kesabaranku habis, Kris." Tangannya melingkari pinggang Lay yang tampak acuh tak acuh membuat Kris mundur dan menuju kamar yang diberikan oleh Suho kepadanya setengah jam yang lalu.
~†~†~†~
Darren duduk di sebelah Tao yang terpekur dengan sebuah buku terbuka di pahanya. "Hei, Tao-er," panggilnya lembut mengusap kepala bermahkotakan surai hitam legam tersebut.
"Gege," ucapnya sembari berusaha menjauh saat Darren mendekat ke lehernya dan meninggalkan kecupan ringan di sana. "Sebaiknya gege tak melakukan hal ini lagi padaku," pinta Tao mendorong bahu Darren dan menegakkan diri untuk beranjak dari ruang baca yang sempat ia sambangi.
Mata Darren menelusuri wajah Tao yang terlihat berbinar alami setelah membersihkan diri dengan helaian rambut yang terlihat masih basah dan pullover krem hingga sweat pants putihnya yang diberikan oleh Lay. "Kenapa? Kita sering melakukannya." Dia mendekati Tao dan menggamit pinggang ramping itu. "Aku sedang letih, Tao, aku butuh dirimu," ia membenamkan wajahnya di perpotongan leher dan bahunya, menghirup wangi lembut sabun yang ia gunakan tadi.
"Tapi, kita ini sepupu. Kita harus menghentikannya." Tao kembali mendorong Darren yang tak bergeming dan malah menangkap tangannya sebelum mengeratkan pegangannya di pinggang Tao.
"Berhenti."
Darren dan Tao menoleh ke arah pintu di mana Kris menatapnya tajam. "Ia tidak menginginkannya, sebaiknya kau mundur," perintahnya membuat pemuda berkulit tan itu berdecak.
"Apa urusanmu di sini?" tanya Darren jengkel setelah melepaskan Tao yang beringsut menjauh dan menghindar ke sisi Tao.
"Aku sudah berjanji pada Tao untuk melindunginya, termasuk dari manusia sepertimu." Ekor matanya mengangkap figur Tao yang berusaha menyembunyikan diri di balik tubuhnya yang lebih tinggi. Ada perasaan senang yang merekah di dadanya.
"Apanya yang manusia sepertiku?" tantangnya
"Kau kakak sepupuku, gege. Apa yang kita lakukan ini tak pantas."
Mata Kris membulat sempurna mendengarkan penuturan pemuda yang terpaut dua inchi dengannya itu. Ini masih dapat masuk ke dalam kategori incest, sesuatu yang begitu terlarang melihat dari betapa tertariknya Darren pada Tao. "Kau menyalahgunakan posisimu," ujarnya setengah tak percaya dan jijik pada pemuda tersebut. "Dia adik sepupumu sendiri, kau berani melakukan hal itu dengan orang yang masih sedarah denganmu?" Kris masih tak bisa mempercayai apa yang didengarnya mengingat Darren yang seringkali memperlakukan Tao selayaknya kekasihnya terlebih pada afeksi yang selalu dilancarkannya.
Wajah Tao bersemu mengingat dirinya membiarkan Darren berlaku semena-mena padanya. Pemuda yang paling pendek itu menatap Kris jengkel. "Itu bukan urusanmu," sergahnya lagi.
Tanpa banyak bicara Kris menarik Tao menjauh dari sana, dan mengantarnya ke kamarnya yang berada tepat di sisinya. Meninggalkan Darren di ruang baca itu seorang diri sebelum Sehun memasukinya dengan kernyitan di dahi dan tokarev di tangannya. Ia sempat berpapasan dengan Kris dan Tao yang hanya mengerling padanya.
"Darren, aku sudah memeriksa rekaman CCTV-mu. Apa yang perbuat pada Zi Tao itu membuat kami menimbang-nimbang keputusan kami lagi." Sehun berhenti sejenak dan mengokang tokarev-nya yang berperedam. "Kau tak bisa menjadi bagian dari kami, tapi kami tak bisa membiarkanmu hidup." Ia menodongkan senjatanya pada Darren yang sudah mengangkat tangan dengan sebulir keringat yang mengalir di pelipisnya.
Pemuda itu mundur perlahan. "Kalau aku mati, Tao akan membenci kalian."
Menyunggingkan senyum miringnya, Sehun berujar, "Siapa yang mengatakan aku akan membunuhmu?" bunyi salakan tokarev-nya membuat Darren limbung. Sehun sudah siaga menangkap tubuhnya, memapahnya keluar dengan menyeret sebelah kaki akibat peluru yang bersarang di sana.
"AKH!" ia mengerang, berjengit merasakan terbakar dan perih di kakinya yang mengucurkan darah segar.
"Kau hanya akan diminta beristirahat dan nantinya dihadapkan pada tuan Huang untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu," jelasnya dengan nada monoton yang sama. Mereka menyusuri koridor perlahan dengan tubuh Darren setengah bersandar padanya.
"Tak perlu peluru untuk membuatku beristirahat," celotehnya tak terima. Ia meringis merasakan darah menetesi marmer putih tempatnya berjalan tertatih.
"Maaf, itu perintah dari Suho-hyung supaya kau tak bisa mendekati Tao seenaknya." Mereka pun sampai di kamar di mana Luhan sudah menunggu dengan peralatan medis yang sudah disiapkan.
"Kalian sudah merencanakan ini," ia mendesis ketika Sehun merebahkan dirinya di atas ranjang besi dengan tiang infus yang sudah tersedia di sisinya dan bau alkhohol yang samar tercium.
"Tentu saja." Dengan kejam Luhan menekan bagian bawah luka Darren membuatnya berteriak keras. "Aku akan mencabutnya dengan bius lokal." Luhan telah mengenakan sarung tangan karetnya, menyuntiknya obat bius ke bagian persambungan lengan pemuda itu. Menyaksikannya perlahan mulai rileks mempermudah jalannya operasi.
~†~†~†~
"Selamat malam," ucap Kris pada Tao yang masih berdiri di ambang pintu. Langkahnya terhenti dengan tarikan di ujung kemejanya. Ia berbalik dengan tatapan bertanya.
"Aku tak ingin bermimpi buruk." Ia berhenti sejenak kemudian memberanikan diri menubrukkan manik mata hitamnya dengan manik keemasan milik Kris. "Temani aku, hanya kau yang terlihat normal di antara mereka, gege."
Kris mengulas senyum lembut, menepuk bahu yang terasa begitu kecil di bawah tangannya yang besar, ia mengangguk mengiyakan. "Aku akan menemanimu."
Tao membimbing pria bersurai chesnut blonde itu untuk masuk ke kamarnya dengan pintu yang mengayun menutup pelan. "Apa itu benar?" tanyanya setelah mereka duduk di pinggir ranjang.
"Soal apa?" tanya Kris dalam hati sudah menduga ke mana pembicaraan ini mengarah?
Menggigit bibirnya ragu, ia pun melanjutkan, "Tentang ayahmu? Juga ketika kita di atap, kenapa kau menyebut dirimu bukan monster?"
Kris mengepalkan tangannya, suaranya terdengar begitu berat. "Ya, aku yang menembaknya, aku yang membunuhnya. Tapi aku bukanlah monster, dia yang selalu memulai dengan makian, pukulan, tendangan dan tamparan yang selalu datang bertubi-tubi. Dia yang selalu melakukannya dengan wajah penuh amarah seakan semua ini adalah salah kami."
"Kami?" ia tampang sedikit bingung.
"Aku dan ibuku." Mereka saling berpandangan hingga akhirnya Tao mendekat.
"Kau bukan monster, kau jauh dari sesosok monster." Memeluknya erat, Tao mengusap punggung lebar milik Kris. "Jangan bersedih lagi," bujuk pemuda itu, suaranya begitu halus dan menggelitik sanubarinya. Kris merasakan wajahnya memanas, ia membalas pelukan pemuda itu sebelum mereka membaringkan diri di atas ranjang.
Tao berhasil tertidur dengan damai di dalam pelukan Kris. Pria itu mengecup dahinya penuh keraguan yang tercermin jelas pada prilakunya, meninabobokannya dengan usapan dengan usapan lembut pada kepalanya. Memandangi wajah Tao yang sudah terlelap, bulu matanya menempel ke pipinya, bibir kemerahannya setengah terbuka dengan deru napas teratur, Kris pun menyusul untuk memejamkan matanya—membiarkan pemuda yang lebih muda tiga tahun darinya itu meringkuk menggenggam bagian depan kemejanya.
Mereka terbuai dengan kehangatan tubuh satu sama lain di malam yang cukup dingin. Segala keletihan, perasaan ragu, bingung, marah, juga kecemasan sejenak dapat mereka lupakan sesaat setelah mereka membaringkan diri di atas ranjang empuk, di bawah selimut tebal yang menghalau dinginnya angin yang dihembuskan pendingin ruangan. Dalam tidur, terbuai mimpi yang memperlihatkan kenyamanan semu yang sangat mungkin tak akan bertahan lama tapi nyatanya tak menyurutkan diri mereka untuk melepaskan kegelisahan mereka barang sejenak. Karena hanya dalam tidurlah orang dapat memasuki dunia miliknya sendiri tanpa perlu bergantung pada orang lain, tanpa perlu merasakan kesulitan yang membayangi hari-harinya.
Lay menguap menyaksikan kedua orang berbeda tinggi itu kini telah terlelap dalam posisi dekat dan lekat dari layar notebook-nya yang disambungkan pada hidden camera terpasang di poros jam yang mengarah ke arah ranjang tempat Kris dan Tao tengah terlelap dalam. "Ini 'kan yang kau inginkan?" tanyanya pada Suho yang tersenyum puas.
"Tentu saja, dengan begini Li Chen tak akan memiliki penerus. Kau pasti tahu bukan, jika bankir seperti Kris dapat mudah ke luar negeri untuk urusan bisnis dan mengumpulkan berbagai macam informasi dengan kedok sempurna? Sepertinya aku harus berterima kasih pada tuan Huang karena telah mengizinkan kita untuk memakai anaknya sebagai pion. Ternyata membuatnya bertekuk lutut itu mudah sekali." Suho menuangkan wine ke gelas tinggi yang Lay pegang kemudian ke gelasnya sendiri.
"Bersulang." Mereka mendentingkan kedua gelas yang dipegang dan menghirup cairan merah manis masam membakar itu perlahan. "Kau anak pintar," Suho menepuk puncak kepala pemuda berambut cokelat tersebut.
"Untukmu, aku akan melakukan apapun," jawabnya dengan nada semanis madu.
~†~†~†~
"Maafkan aku, aku tak bermaksud melepaskan mereka. Aku hampir menemukannya jika saja aku tak terhalang kecelakaan beruntun di persimpangan jalan lima blok dari sana," Victoria bersimpuh di kaki Li Chen sementara di sebelahnya Chanyeol berdiri dengan revolver di tangannya dan Kai Ko terlihat berusaha berdiri dengan wajah kaku.
"Kau telah mengecewakanku, Vic," ia meraih revolver milik Chanyeol dan mengarahkannya pada kepala Victoria yang meneguk salivanya kasar berikut wajahnya yang menyiratkan ketakutan begitu dalam.
BRAK.
"Angkat tangan!" suara berat dari seorang pria dengan jaket kulitnya beserta lima ornag lain yang berhasil masuk dengan pakaian kasual mengejutkan mereka. Menerobos melumpuhkan sebagian besar bouncer yang tak berkutik dengan todongan pistol dan surat penggeledahan berikut penangkapan yang masih hangat baru dicetak.
Perlahan Li Chen membuang pistolnya dan mengangkat tangannya bersama dengan Chanyeol, Kai Ko dan dua orang ajudannya yang lain. Seorang polisi berpakaian kasual itu membantu Victoria berdiri dan membawanya keluar bersama yang lain. Malam itu Poirot club dibekukan dan disisir oleh anjing-anjing K-9 yang mengendusi tiap sudutnya. Dugaan Lay salah, ada sepuluh milyar marijuana dan pil ekstasi yang ditemukan di sana ditambah beberapa jaringan penjualan barang antik yang sempat masuk ke London yang ternyata berisikan narkoba dengan wujud guci berukir.
Malam itu bulan bersinar temaram menerangi bumi bersama gelayut sirostartus yang setia menemani di se kelilingnya. Bulan yang terlihat tak bergeming menyaksikan kedua sejoli yang tengah terlelap di sudut kamar sana, kekacauan akibat penangkapan besar-besaran di tengah malam yang membuat sebagian besar manusia berpakaian minim dan kaum borjuis keluar dari sebuah bangunan besar di sudut jalan sana. Perlahan angin dingin berhembus, membuat semua orang tergesa masuk ke dalam van hitam yang berjajar di depannya, juga kepada dua sejoli yang mengeratkan pelukannya. Di langit sana, bulan tetap tak bergeming menyirami bumi dengan sinar perak lembutnya.
.
.
.
FIN
.
.
Author's note: Kai Ko yang merupakan sahabat dekat asli Darren memang terlibat penjualan narkoba bersama Jaycee Chan, anak dari Jackie Chan dan sekarang berada di bui. One of my #CagarBudayaKT has been finished. Good bye for now, see you next fic. : )