Title: Back of Coin
Chapter: 1 / 3
Starring: Huang Zitao, Wu Yi Fan, Wang Darren, Zhang Yixing
Author: Annannnn
Pairing: KrisTao (main), RenTao (side pairing), KrisLay (broke up, mentioned)
Rating: NC
Genre: angst, romance, fantasy and crime AU
Disclaimer: I have a great power upon my fanfic and this story undeniably mine to post and edit. I only use their names for the sake of storyline. You have no rights to copy and change the storyline under any circumstance. Inspired by The Reason by Hoobastank.
Warning: Violence. Messed up timeline. Crude words.
"Stop it in instance, we're part of a big parade of perfect liars beyond belief."
.
.
Menjadikan apapun sebagai barang taruhan adalah hobinya. Menenggak alkohol dan berkumpul di bar, menikmati tubuh demi tubuh yang meliuk sembari menghisap batangan nikotin yang mengepulkan asap penuh toksin di dalam ruangan berpendingin yang cukup rendah suhunya. Musik berdentam suasana remang diterangi temaram lampu berwarna biru, putih dan ungu selagi cocktail berwarna-warni mampir ke mejanya yang berada di pojok ruangan tertutupi manusia dimabuk kesenangan duniawi.
Jari telunjuk dan tengahnya menjepit batangan nikotin itu, dengan mesra mencumbui bagian filter, menghisap racunnya dalam-dalam sebelum ditiupkan keluar menyebarkan sisa asap yang sempat mampir ke dalam rongga paru-parunya. Di kanan-kirinya, teman-temannya sedang menikmati minuman mereka masing-masing, bahkan seorang sahabatnya, Kai Ko, sedang memeras potongan lemon ke lidahnya sebagai pelengkap tequila yang baru ia teguk. Mereka tertawa melihat pemuda itu mengerutkan mukanya akan rasa masam yang melebihi ekspektasinya.
"Darren," sebuah suara menghentikan aktivitas mereka. Orang yang dipanggil Darren itu mematikan puntung rokoknya di dalam asbak yang tersedia di atas meja kayu sementara teman-teman berbisik-bisik menantikan drama dimulai. "Ayo pulang," ajak sang pemanggil dengan wajah cemas kepada pemuda berjaket kulit hitam itu.
Darren berdecak, ia bangkit berdiri dan mengecup pipi Park Shin Hye, perempuan yang begitu cantik dan hanya mengenakan kemeja biru muda dengan dua kancing terbuka mempertontonkan kulit putih mulus dan sedikit belahan dadanya yang mengintip. Semua orang menahan nafas saat perempuan itu hanya tertawa dan memukul pundaknya pelan kemudian menyunggingkan senyum pada pemuda yang masih berdiri dengan kikuk memegangi Gucci web GG supreme duffle. "Bye, semuanya, rupanya aku sudah harus cuci muka dan tidur. Jangan merindukanku ya." Kalimat itu sukses membuat teman-temannya yang mengenakan pakaian dan aksesoris bermerk itu tertawa menanggapinya.
Pemuda yang menunggu di dekat meja dan dianggap orang asing bagi kelompok itu mengulas senyum manis. "Aku minta maaf," ucapnya dengan nada memelas berikut alisnya yang turun dan matanya yang memancarkan rasa penyesalan—meski tidak di dalam hatinya.
Kai Ko yang duduk di paling ujung menepuk pinggang bawahnya dengan pelan, mengusap punggung kecil hingga ke pinggang rampingnya—pemuda itu terkesiap dengan mulut menganga. "Tidak apa, dan harusnya kau tinggal di sini sebentar, kau boleh juga." Tangan itu mampir ke pahanya yang sintal.
Sebuah tangan lain menangkap pergelangan tangan Kai dan meremasnya sekuat tenaga menyebabkan sang pemilik mengaduh kesakitan. Ia membuang tangan itu hingga menampar wajah sang empunya sendiri. "Kau jangan macam-macam ya," desisnya dengan mata yang berkilat menyeramkan berupaya meremukkan tangan sahabatnya sendiri itu.
"Aku cuma bercanda kok," ia mengelus tangannya yang dihempaskan kasar kemudian berkedip pada pemuda yang sempat ia lecehkan. "Kalau kau ada waktu kosong, telpon aku," pemuda itu memamerkan senyum seduktifnya.
Darren berdiri di depan pemuda tersebut, menghalangi pandangannya, melayangkan tinjunya ke dagu Kai Ko dan membuat semua temannya yang menjadi penonton berseru kaget. "Jangan menyentuhnya sembarangan, Kai." Setelah memberikan peringatan, ia pun berlalu menarik tangan pemuda yang menenteng Gucci itu pergi. Mereka menerobos kerumunan manusia yang agaknya tak tahu konflik yang baru saja pecah, meninggalkan pemuda berkemeja marun itu memegangi dagunya yang membiru sembari bersumpah serapah.
Pemuda berjaket kulit itu terus berjalan menarik pemuda yang notabene masih tanpa status yang jelas itu melewati pintu keluar dengan bouncer yang memberikan jalan dengan tatapan menyelidik—ia curiga akan sikap Darren. Pemuda yang ditarik itu terseok mengikuti jalannya dan beberapa kali hampir terjatuh dibuatnya hingga ia dihempaskan ke pintu mobil Maserati berwarna hitam. Mengaduh pelan ketika punggungnya bersinggungan dengan badan mobil yang tak bisa dikatakan empuk, ia menatap Darren dengan pancaran takut di mata beningnya.
"Darren aku—"
"Untuk apa datang ke sini?" Darren menghantamkan tangannya tepat di sebelah kepalanya, tatapannya seperti mengebor ke dalam mata—seakan siap menemukan dosamu terbesarmu. "Sudah kukatakan jangan pernah datang ke sini, harus berapa kali harus aku katakan agar hal itu masuk ke otakmu?" Ia menunjuk-nunjuk kepala pemuda itu membuatnya menunduk merasa bersalah.
"Jawab aku!" bentaknya tak sabar memepetkan diri, mengguncang bahunya kasar.
"Kau harus bangun pagi untuk presentasi besok..." mulainya lirih. "Aku sudah mengirimkan pesan singkat sampai menelponmu tapi kau tidak mengangkatnnya, jadi aku pikir sebaiknya aku menjemputmu." Jelasnya lagi sambil menatap Darren dengan matanya yang memerah, sepertinya ia yang sudah berusaha keras mengerjakan tugas milik roommate-nya ini hingga terlalu memaksakan diri.
Mendengar itu Darren terdiam kemudian bergeser menjauh. "Kau naik apa ke sini?" tanyanya lagi. Ia tahu jika pemuda itu tak memiliki lisensi mengemudi, lagipula mobil di flat mereka sudah ia bawa ke club.
"Aku jalan kaki," sahutnya pelan.
Mengernyitkan dahi, Darren tak bisa banyak berucap. "Apa?"
"Aku jalan kaki, aku tahu mobil dibawa olehmu dan dari tadi aku tidak melihat taksi jadi aku berjalan saja. Sekalian melewati convenient store, aku juga berbelanja." Ia mengangkat tas Gucci-nya yang ternyata berisikan berbagai macam makanan ringan dan juga roti sampai pada jus kemasan.
Berdecak kesal, Darren mengacak rambutnya sendiri. "Kau ini!" ia melirik arlojinya, "ini sudah jam dua pagi dan kau berkeliaran seorang diri? Sudah berkali-kali aku katakan untuk menungguku di rumah, bukannya berjalan-jalan lalu berbelanja di convenient store 24 jam!" jelasnya sedikit frustrasi.
"Habisnya kau tidak mengangkat telponku, jadi aku pikir sebaiknya aku menjemputmu," ia tak mau kalah menyahuti.
Membuka kunci mobil, ia bertitah singkat, "Masuk." Mau tak mau pemuda itu menuruti dengan bibirnya yang mencebik. "Berbahaya, Tao, di sini kota besar, apapun bisa terjadi," kembali ia menasihati dengan wajah gusar melajukan mobil ke flat-nya yang hanya berjarak tiga blok. Meski Tao, pemuda yang sudah tinggal bersamanya sejak dua bulan lalu itu bukanlah siapa-siapanya, ia tetap merasa harus memperingati situasi kota yang berbeda daripada kampong halamannya.
"Iya, aku tahu Beijing berbeda dengan Qingdao, tapi bukan berarti aku harus terus menuruti kata-katamu." Protesnya tertunda saat Darren berhenti setelah memarkirkan mobil dan keluar. Tao menghela nafas lelah, meraih tasnya dan berjalan keluar mengikuti sang pemilik mobil yang berjalan ke arah elevator kemudian menekan tombol naik.
"Kalau itu maumu, kau harusnya lebih dewasa, dan mulai berpikir lebih panjang. Kalau kau ingin dipandang dan dianggap bukan seorang anak-anak lagi, tunjukkan, bukan hanya dengan perkataan tapi juga sikapmu." Darren menasihatinya di dalam elevator yang sudah menuju lantai enam sementara Tao menggerutu di sebelahnya dengan matanya yang memandangi pola tasnya sendiri.
"Kau bukan orang yang pantas untuk menggurui, kau juga sering menelantarkan tanggung jawabmu," tukas pemuda yang lebih langsing itu dengan telak.
Skak mat.
Darren mendesah dan mengacak surai hitamnya sendiri. Memang susah jika berhadapan dengan orang seperti Tao, karena ia juga cerdas dalam menelaah dan menggunakan fakta untuk berbalik menusuk orang yang berani menyerangnya. Jujur, langsung ke pokok masalah, tipe yang jika kau ingin berbasa-basi barang sejenak maka akan mengeluarkan fakta paling menyelekit dalam hidupmu untuk argumennya. Tak salah, hanya saja cukup membuat orang lain merasa diserang dan tersinggung dengan mudah.
"Maaf kalau kau merasa digurui." Ia menggesekkan kartunya kemudian memasukkan password dan masuk ke dalam flat, meninggalkan Tao untuk mengunci pintu. Melirik jam berwarna silver dengan jarum panjang ke angka lima dan jarum pendek terletak di tengah-tengah angka empat dan tiga, ia tahu jika mereka masih memiliki waktu tiga jam sebelum mandi kemudian sarapan dalam kurun waktu tiga puluh menit kemudian berangkat ke kampus yang letaknya lima blok dari flat mereka.
"Tidur, jangan main LOL terus," ia menyita gadget Tao dan menaruhnya di pantry membuat pemuda itu berdecak kesal dan masuk ke kamarnya sendiri. Darren menghela nafas, kalau ia tidak kesulitan membayar flat akibat uang sakunya dipotong, ia tidak akan mau menerima pemuda itu menjadi roommate-nya. Kekanak-kanakan, terlalu rajin dan bermulut pedas, tapi di saat yang bersamaan sangat manis dan juga menyenangkan untuk diajak berbagi. Perpaduan yang cukup unik baginya yang urakan dan hidup yang terlalu bebas tak kenal aturan. Sangat bertolak belakang. Maka dari itu dirinya tak merasa tenang jika harus berlama-lama dengannya, bagai lumut yang enggan diterangi cahaya matahari—takut mengering dan kehilangan jati dirinya sebagai tumbuhan rumpun terpendek yang pernah ada, pencinta kegelapan dan kelembapan.
~†~†~†~
Mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung mencapai siku, Darren mengikat tali sepatunya dan mengambil kunci mobil sebelum sebuah tangan menariknya untuk berhenti. "Gege," panggilnya dengan suara sengaunya yang khas membuat Darren seketika malas. "Kau masih punya tugas, 'kan?" Tao menarik-narik lengannya. Ia pun melepasnya saat pemuda itu menepisnya kasar.
"Jangan ikut campur, aku harus pergi, lebih baik kau diam saja di sini. Ingat, jangan berkeliaran malam-malam apalagi pada dini hari," titahnya kemudian berlalu meninggalkan Tao yang masih berdiri di depan pintu flat mereka yang terbuka. Darren sendiri tak mempedulikan dan terus berjalan ke elevator melewati seorang berambut chestnut blonde dengan business suit yang terlihat sangat mahal—meninggalkan Tao yang masuh memandanginya dengan hati mendongkol.
Menghembuskan nafas kesal, pemuda itu menutup pintu dari luar setelah mengantongi gadget dan dompetnya. Saat keluar, ia mendengar suara ribut-ribut dari flat yang berada di seberangnya, terdengar seperti orang yang sedang bertengkar dengan teriakan dan gebrakan yang cukup keras. Tao mengunci pintunya dan mendekati pintu dengan nomor 611 tersebut, berusaha mencuri dengar.
"Kau itu masih sakit, bahkan wajahmu sangat pucat, aku khawatir dengan kesehatanmu." Sayup terdengar sebuah suara berat memulai.
"Aku benci dikurung!" sahut suara lain menantang. "Hentikan omong kosongmu!" Suara yang sama menambahkan dengan nada tinggi.
Tao merapatkan posisinya hingga menempel ke pintu dan mendengarkan percakapan mereka kurang lebih selama lima menit dengan tangan yang menyangga badannya. Suara benda menghantam sesuatu, pecah, disusul suara teriakan sebuah nama dan bantingan benda tumpul membuatnya mundur seketika.
Buru-buru ia berjalan ke arah elevator, tapi nyatanya rasa penasaran tetap singgah di hatinya, menggodanya untuk menoleh ke belakang dan menemukan seorang pemuda berambut kecokelatan dengan wajah kusut menenteng tas travel dengan yang terlihat padat. Tatapan mereka bertemu dan Tao merasa tenggorokannya kering seketika, ia pun masuk ke dalam kotak metal yang akan mengantarkannya turun ke lantai yang ia tuju sementara orang tersebut masuk. Melihat pantulan dari pintu metalik, matanya menangkap gerakan sang pemuda berambut cokelat yang ia ketahui teman spesial dari pemilik flat nomor 611 itu. Ia dapat memperhatikan jika pemuda yang ia ketahui bernama panggilan Lay itu sedang gundah dengan matanya yang memerah kurang tidur dan wajahnya lebih pucat dari biasanya, berikut tangannya yang tak bisa diam menelusuri sisi gitar yang ditentengnya di tangan kiri.
Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, untuk pertama kalinya ia menahan dirinya sendiri, menghentikannya sebelum sempat melontarkan pertanyaan untuk memancing mulainya percakapan yang ia yakini akan terdengar sangat aneh dan kurang cocok dengan situasi saat ini. Ia pun hanya berjalan ke arah café favoritnya yang berada di perempatan jalan, bersebelahan dengan restoran Italia yang terlihat otentik dan selalu menguarkan bau sedap salsa, manis gurihnya mozzarella dan pastry yang mereka panggang tiap hari. Sementara tu pemuda yang ia yakini bernama Lay itu masuk ke dalam taksi dan melaju pergi entah ke mana, meninggalkannya dengan rasa keingintahuan yang terpaksa diredam untuk sekarang ini.
Ia memasuki café yang memiliki sudut membaca dengan sofa berwarna cokelat yang empuk dan buku-buku berjajar di rak, tersusun rapi sesuai dengan indeksnya, mempermudah pencarian judul dan genre buku yang kita inginkan. Memasang senyumnya, Tao disapa oleh pelayan yang rupanya telah akrab melihat wajahnya, membiarkannya berjalan sendiri ke tempat favoritnya—sofa di sebelah meja bundar kecil berkaki panjang melengkung, saling bertautan layaknya akar dan sebuah gelas panjang tinggi dengan setangkai bunga lily di dalamnya. Ia mengambil sebuah buku ber-genre fantasi dari Christian Paolini dan memesan secangkir cokelat panas dangan marshmallow untuk mengawalinya. Membuka halaman kedua ratus enam puluh satu di mana Brom mulai membicarakan mengenai penunggang naga dengan kaum Varden dan perburuan mereka mengejar Ra'zac yang sangat berbahaya kepada Eragon.
Terlarut dengan petualangan Eragon bersama Saphira yang ditinggalkan Brom wafat dengan luka mengerikan dari para Ra'zac. Air mata sudah mengering di pipinya, tangannya sudah kebas menahan berat buku dan matanya perih membaca selama tiga jam sampai henti meski ia puas karena sudah menyelesaikan sampai halaman lima ratus dua puluh lima, tinggal sedikit lagi untuk melanjutkan ke buku kedua. Mengucek matanya dengan punggung tangan, Tao menenggak habis minumannya dan merenggangkan tubuhnya dengan cara menarik kedua tangannya ke atas sampai sendinya bergemeretak mengeluarkan bunyi. Ia mengangkat wajahnya, tersenyum pada pelayan bertubuh kecil yang memperhatikannya penuh minat.
Pelayan itu menghampirinya dengan senyum lebar dan mata yang berseri-seri. "Halo, aku Baekhyun, boleh kutahu namamu?" ia bertanya pada Tao dengan nada yang biasa dipakai jika berbicara kepada anak kecil—ramah, tak menghakimi, dan bernada ringan.
Mengerjapkan matanya yang perih, Tao menutup mulutnya yang menguap tiba-tiba, memalingkan wajahnya dari pelayan bernama Baekhyun tersebut. Ia tersenyum malu pada pelayan itu dan menjawab pelan, "Namaku Zi Tao, kau bisa memanggilku Tao."
"Oke, Tao, apa kau pelanggan baru di sini? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya," dahinya tampak digores kernyitan kecil, menandakan ia sedang mengingat-ingat wajah lain di luar dua minggu terakhir dia cuti.
Tao mengangguk, "Ya, aku pelanggan baru karena akhir-akhir ini aku butuh hiburan selain di dalam dari flat-ku sendiri," jelasnya sembari memotret halaman terakhir yang ia baca dan menaruhnya kembali ke dalam rak buku dengan posisi semula.
Baekhyun menaikkan salah satu alisnya, "Kau sendirian di rumahmu? Memangnya kau tidak memiliki teman ataupun kekasih? Maaf kalau aku lancang..." sambungnya sembari mengangkat gelas dan piring kotor milik Tao ke baki.
"Tidak apa-apa, aku kurang suka dengan keramaian. Boleh aku minta bill?" tanyanya sembari mengerling pada jam kukuk yang berbunyi sepuluh kali menandakan sebentar lagi café itu akan ditutup. "Oh, aku ingin membeli empat croissant lagi," tambahnya.
"Baiklah, tunggu sebentar ya," dan pelayan berambut cokelat tadi meluncur ke meja kasir dan berbalik ke dapur.
Tao berdiri melihat-lihat kumpulan buku tentang galaksi dan science fiction yang letaknya berdekatan dengan jendela besar di depan café. Ia memegang sebuah buku ensiklopedia anak-anak dan berhenti saat melihat sosok familiar yang berjalan bersama seorang pria. "Bukankah itu temannya Darren?" Matanya menyipit berusaha melihat mereka lebih jelas apa yang mereka lakukan, tetapi mereka sudah menghilang ke gang sempit yang ada di antara flat dan club kecil tadi di seberang sana yang buka sejak dua jam. Pemuda itu masih berdiri di posisinya, menyaksikan dua orang lain mengenakan suit dan salah seorang di antara mereka mengenakan fedora hitam ikut masuk ke gang yang sama dengan gelagatnya mencurigakan. Tak lama keempat orang tadi keluar dan masuk ke dalam club dengan tergesa membuatnya makin bertanya-tanya.
"Tao?" Sebuah suara mengagetkannya, membuatnya menarik diri dari kaca yang hanya berjarak beberapa inchi dari wajahnya, sementara lututnya sudah bertumpu di kursi tanpa sadar. Ia berbalik dan memasang senyum kikuk yang membuat pelayan itu bingung, tetapi tangannya masih mengangsurkan bill yang ia minta dalam clipboard kecil yang dilapis kulit. "Semuanya delapan puluh satu yuan," ucapnya selagi Tao mengeluarkan dompetnya dan menaruh selembar lima puluhan dan dua lembar dua puluhan.
Pemuda itu mengambil kantung kertas berisikan croissant pesanannya dan mengulas senyum simpul. "Simpan saja kembaliannya," ia membuka pintu dan keluar dari sana setelah mendapat ucapan terima kasih dari si pelayan.
Tao berjalan melintasi pertokoan yang sebagian besar sedang dalam proses penutupan, membalikkan papan bertanda 'closed'. Sebagian menurunkan rolling door, mengunci gemboknya, dan sebagian lagi yang bertanda dua puluh empat jam masih terlihat benderang dengan pelanggan yang masih sibuk bercengkrama dengan segelas wine maupun cocktail di tangan serta makanan yang setengah jalan dihabiskan. Ia masuk ke dalam flat-nya dengan tangga rendah di bagian depan, sesampainya di lobi ia tersenyum pada seorang karyawati yang seperti baru pulang kerja dengan rambut panjangnya yang diikat membentuk bun asal. Wanita dengan blazer merah hati itu itu membalasnya dengan senyum sekilas kemudian memainkan gadget-nya lagi sementara Tao memperhatikan nyala angka di layar hitam sampai elevator berdenting tanda ia telah sampai di destinasinya. Menganggukkan kepala pada wanita yang masih sibuk itu kemudian keluar ke lorong lantai enam yang sepi terlihat tak berpenghuni.
Menghela nafas, pintu sudah menjeblak terbuka saat ia mengeluarkan key card-nya. "Darren..." ucapnya lirih kepada pemuda berambut acak-acakan di hadapannya, kemejanya yang tadinya rapi kita sebagian tak terkancing, menampakkan wife beater berwarna hitam yang ia kenakan. "Aku hanya pergi sebentar," sambungnya lagi sedikit ngeri melihat wajah roommate-nya itu mengeras.
"Darren, sakit!" ia mulai menjerit saat pemuda itu mencengkram tangannya kasar dan menariknya masuk.
"Hei," sebuah suara berat dari seberang mereka terdengar. Tetangga mereka, pemuda berambut chestnut blonde dengan lebam yang sepertina baru muncul di dahinya menatap Darren curiga. "Jangan gunakan kekerasan," lanjutnya melihat pemuda berkulit kecokelatan itu tak peduli dan mendorong Tao masuk sementara ia menghampiri pemuda itu.
"Jangan ikut campur, urus saja urusanmu sendiri." Ia menyentuh dada berbalut t-shirt biru pupus itu dengan telunjuknya, wajahnya terlihat arogan dengan mata setajam rubahnya menatap pemuda itu tak suka. Ada jeda yang cukup membuat Tao sebagai penonton merasa suasana akan semakin memanas jika mereka tak segera dilerai.
Sebuah tangan melingkari lengan Darren menghentikan pemuda yang paling tinggi itu untuk tak membuka mulut membalas ucapan tersebut. "Hentikan, sudahlah Darren, maaf. Aku juga minta maaf, padamu, Wu, aku baik-baik saja," dengan senyum terpaksa, ia menyeret roommate-nya masuk dan mengunci pintu.
Di dalam sana pemuda yang lebih kekar itu menghempaskan tangan Tao dan berjalan ke dapur, memakan semangkuk salad dan bacon yang hampir membeku yang baru saja ia keluarkan sebelum pemuda itu datang. Mereka duduk dalam keheningan yang cukup membuat Tao jengah, mendesah pelan, ia beranjak berdiri sementara Darren meletakkan sendoknya setelah menghabiskan makanannya tak kurang dalam semenit.
"Duduk," titahnya lagi dengan suara yang tak ingin dibantah.
Menurutinya, masih dengan rasa kesal, Tao memutar-mutar IPhone-nya di atas meja dengan malas. Darren menghela nafas, "Dengar ya, sesuai dengan kesepakatan di awal, harusnya kau tidak berkeliaran di atas jam sembilan malam, dan kalau kau ingin keluar, harusnya kau mengabariku meski aku tak membalas pesanmu. Kau masih ingat 'kan peristiwa beberapa minggu lalu?"
Bagaimana Tao bisa lupa? Ia ingat di hari Rabu malam itu, ia tidak sengaja melewati club yang ada di persimpangan dan terlibat baku hantam yang terjadi di sana akibat kesalahpahaman. Darren harus menjemputnya di kantor polisi dan membuktikan bahwa Tao tidak mungkin terlibat hal semacam itu karena ia terlalu cinta damai. Pemuda itu sebenarnya harus menginap di sel selama semalam bersama orang-orang yang tertangkap, tetapi karena Darren membayar dendanya, ia bisa pulang dengan selamat.
"Aku sudah berhati-hati. Lagipula, harusnya kau yang berhenti keluyuran di malam hari karena teman-temanmu tidak terlihat dari kalangan orang baik-baik."
PRANG. Sebuah suara mangkuk yang pecah membuatnya mundur dan menatap Darren dengan wajah horor. Pecahan beling berserakan di dekat kompor dengan salad dressing yang tersisa bermuncratan ke dinding dapur yang berlapis keramik. "Jangan berkata apapun, tentang mereka, kau tak tahu apa-apa."
Meneguk ludahnya, Tao meremat gadget-nya. Bisa ia lihat wajah Darren yang memerah dan terlihat sangat menyeramkan dengan matanya yang berkilat, bibirnya yang tak bergerak melukiskan kata bengis dengan alisnya yang hampir menyatu. "Gege... ma-maaf," ia terbata dan menahan nafas saat pemuda yang lebih tua setahun darinya itu mendekatinya kemudian mendorongnya sampai bersandar di kulkas.
"Jangan membantahku, Tao. Kau bukan siapa-siapa," ia memperingati dengan suara yang rendah, sorot matanya membuat pemuda itu tak berkutik. Menyesakkan, seperti singa yang siap menerkam mangsanya dengan kecepatan tinggi, mengoyak lehernya dan memakan juga menjilati dagingnya untuk kemudian bangkainya ditinggalkan dikerubungi lalat.
Tao mengangguk pelan dan menutup mata saat bibir itu menghantam bibirnya, menciuminya dengan kasar sementara ia meronta berusaha melepaskan dirinya sendiri. Ia ketiga kalinya Darren marah padanya dan melampiaskan dengan cara yang kurang bisa ia tolerir. Tersengal, ia mendorong dada bidang tersebut dan tak sampai sedetik kedua tangannya ditahan ke atas kepalanya sendiri dengan hanya menggunakan satu tangan, bisa ia rasakan tangan lain merambati pinggangnya, menelusup masuk ke dalam pullover miliknya.
Darren mencengkram pinggang Tao sementara giginya beradu dengan empuknya bibir bawah berwarna peach segar itu, memaksanya membuka mulut, menjejalkan lidahnya dan memagutnya dengan kasar. Bibirnya bergerak dia atas bibir Tao yang terbuka dan terlihat kepayahan mencoba menolak perlakuan itu kepada dirinya. Manis, bibir kecil itu memerah bersinggungan dengan bibirnya yang tak henti menyesap dan memotong aliran udaranya.
Pemuda itu tersengal, tangannya mengguncang berusaha melepaskan diri sementara pemuda itu terus merangsek maju, membuatnya kesulitan bernafas dengan lidah yang bergumul dengan lidahnya, menghantarkan rasa manis asam ke papilanya. Tubuhnya bergetar tatkala tangan lain merayapi punggungnya dan pinggangnya yang sempit, ia mengepalkan kedua tangannya dan meronta lebih hebat. Dengan tangan yang berhasil terlepas, ia meninju pipi Darren lumayan kencang sampai pemuda itu melepasnya dan mundur beberapa langkah. Matanya terasa panas, mulutnya terasa sakit dan pegal, belum lagi pinggangnya yang nyeri—bisa dipastikan ada bekas memerah membentuk jari di sana.
Jangan menangis. Kau akan terlihat lemah di depannya. Tidak perlu meneteskan air mata itu tidak berguna. Hanya akan membuatmu terlihat sangat menjijikkan. Ia merapalkan mantra tersebut kepada dirinya sendiri.
Menatap Darren dengan mata yang berkilauan berkaca-kaca, Tao berujar lirih, "Aku benci, gege." Kemudian ia berlari ke kamar dengan air mata yang sempat lolos dari pelupuk meninggalkan pemuda itu terdiam di dapur memperhatikan tetesan saus yang mengalir mengotori meja dan kompor yang terlihat lesu dalam kebisuannya. Ia mengabaikan suara pintu dibanting berikut kunci yang diputar kemudian menelungkupkan wajahnya ke meja makan yang terasa dingin.
~†~†~†~
Penghuni 611 itu masih merenung memandangi seisi rumahnya yang kini sudah bersih dan rapi. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan keadaan beberapa jam yang lalu di mana banyak barang berserakan dan buku-bukunya tak pada tempatnya, menimpa vas belingnya yang menggelinding dan pecah ke lantai membasahi sebagian besar buku dan majalah yang sudah mendarat di sana lebih dulu. Ia menyisiri rambutnya yang terasa basah sehabis mandi tadi. Mengingat kembali saat pemuda berkulit seputih susu itu menenteng travel bag-nya dengan wajah memerah larut dalam amarahnya dan tempat gitarnya yang bertengger di pundaknya sehabis mereka bertengkar hebat.
Hancur, sudah pasti kali ini hubungan mereka hancur dengan adanya konflik sebesar itu. Di mana salah satu pihak dari pasangan yang terjalin dan seakan terjebak dengan hubungan tanpa ujung itu merasa tak puas, merasa kurnag diperhatikan, merasa waktu sang pasangan tersita untuk hal lain selain dirinya. Ketika ego adalah sifat dasar manusia yang tak bisa disangkal dan ditinggalkan. Ketika pikiran yang tak mungkin murni dengan begitu bayak faktor luar yang datang dan mengisi ruang kosong dengan mengakumulasi, mengasosiasi, menciptakan pemahaman yang tak bisa dibantah lagi menerapkan satu pemikiran yang selalu mempengaruhi tindakan dan perilaku di masa depan.
"Kita sudahi saja." Suara bernada halus yang berhasil menghujamnya panah sekaligus pisau ke jantungnya yang seakan akan jatuh, copot dari rongga rusuknnya.
"Tapi kenapa?" Ia terasa hilang arah bertanya seperti itu kepada teman yang sudah dianggap spesial selama lima bulan terakhir tersebut. "Aku sudah pulang lebih cepat seperti yang kau minta, aku juga sudah membelikan jaket yang kau inginkan kemarin," bela dirinya dengan wajah yang kosong dan tetap tak mengerti.
Pemuda yang masih memangku gitarnya itu menatapnya tak percaya, sorot mata menuduh sekaligus heran terpancar jelas. "Kau mengatakan itu seakan aku tak bisa membelinya sendiri. Lagipula kau kuminta pulang cepat untuk mengatakan hal ini." Ia bangkit berdiri dari sofa tempatnya duduk, jelas ia kecewa dengan tangannya yang mengangkat travel bag yang sudah ia siapkan di dekat kakinya.
"Apa salahku?" tanyanya tak mengerti, suit yang ia kenakan masih terlihat licin dengan dasinya yang rapi dan tas kulitnya yang tergeletak di meja ruang tamu. "Lay, jelaskan padaku. Aku tak mengerti."
"Jelas saja kau tak mengerti. Kau hanya mementingkan pekerjaanmu," pemuda yang dipanggil Lay itu menaruh tasnya dan maju menarik dasi pemuda yang lebih tinggi darinya itu hingga menunduk menyamai tingginya. "Merpati akan selalu benci dikurung dalam sahgkar," ia melepaskan genggamannya dan menendang perut pemuda itu dengan keras sampai menghantam rak di belakangnya, menyebabkannya berguncang dan sebagian besar bukunya runtuh menghiasi lantai.
"Aku hanya tak ingin kau terluka lagi, Lay. Kau itu masih sakit, bahkan wajahmu sangat pucat, aku khawatir dengan kesehatanmu." Wajahnya terlihat memelas memegangi sebagian besar buku dengan sampul berwarna-warni di tangannya, pedih menyaksikan orang yang dicintainya menangis karena dirinya. Tanpa isakan, hanya mata yang memerah dengan air mata deras mengalir dan bibirnya bergetar.
"Aku benci dikurung, Kris," ia menaikkan nada suaranya dan mengambil buku-buku di meja tamu, melemparinya ke arah Kris yang membungkuk berusaha menutupi wajahnya dan melindungi dirinya. "Hentikan omong kosongmu!" Lay melempar sebuah kamus sekuat tenaga ke wajah Kris yang terlihat pucat dan panik.
"Ugh!" Tak bisa dihindari, buku itu mengenai dahinya sebelum melesat ke arah vas bunga dengan bunga segar yang selalu Kris antar tiap hari untuk Lay dari kantornya. Hari ini cosmos dan mawar putih itu jatuh ke lantai dingin dengan air yang menggenang. Tergeletak layu tanpa asupan, menunggu saatnya mereka mati mengering, membusuk di keranjang sampah bersama bunga-bunga sebelumnya. Sama seperti nasib Kris sebentar lagi hingga mungkin sampai beberapa minggu ke depan.
"HENTIKAN!" Lay berteriak dan mengisak, mengusap air matanya dengan ujung bajunya sendiri membuat jantung Kris mencelos. Ia paling tak bisa melihat orang menangis, itu berkebalikan dengan nilai moral yang selalu ia terapkan berkat ibunya yang menanamkannya sedari kecil. Karena semua orang berhak bahagia, dan air mata yang harusnya diperlihatkan adalah ketika seseorang terharu akan keindahan dunia, kebaikan uluran tangan hangat seseorang, serta mencapai puncak berkat semua tumpang tindih pertolongan yang diberikan.
Kris merasa berdosa.
"Lay, aku mohon jangan begini, biarkan aku merawatmu. Aku menyayangimu." Ia mengulurkan tangan besar untuk memeluk bahu Lay yang masih bergetar hebat. Hatinya terasa nyeri melihat pemuda yang terlihat rapuh dan selalu terlihat bagaikan malaikat itu ringkih dalam isakan dan teriakan minta tolong yang terdengar dari figurnya yang setengah menunduk dengan tangan menutupi kedua mata beningnya.
"Jangan mendekat, Kris! Yang kau rasakan itu bukan cinta, itu iba," Ia menepis tangan itu dan mundur, air mata telah mengering dari pipinya, meninggalkan kulitnya terlihat lembap dan matanya yang merah, rambutnya sedikit berantakan dengan tangannya yang menyisiri asal.
Kris berhenti, berdiri kaku sementara matanya nyalang memandangi Lay yang mengambil travel bag dan membawa tempat gitarnya. "Kau mau ke mana? Biarkan aku yang mengantarmu," ia berusaha mencegah Lay pergi sendirian karena keadaannya yang sempat kritis seminggu yang lalu membuat ia semakin protektif tak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi padanya.
Lay menahannya dengan tatapan yang sangat tajam untuk ukuran manusia selembut dirinya. "Jangan Kris, kita sudahi semuanya sampai di sini, sudah cukup. Kau tidak perlu mencariku lagi." Jika rasa jenuh cukup membuat manusia melakukan perbuatan nekad seperti menyayat urat nadinya sendiri ataupun melompat dari lantai dua puluh lima hingga anggota tubuhnya terlepas dari sendinya dan organnya meloncat dari tempatnya—rasa itu sangatlah cukup untuk menghancurkan sebuah hubungan yang masih begitu baru.
Pemuda bersurai pirang itu mengekori Lay dengan wajah bagaikan anak anjing yang diusir dari rumah tuannya, tersesat, kosong, memelas. "Kau tak ingin memikirkannya lagi?"
"KRIS!" Lay berteriak sembari tak sengaja menghantamkan gitarnya pada pintu karena berbalik dengan sangat cepat. Berbalik hanya untuk menatap Kris jengah.
Pemuda itu menutup mulutnya, menyaksikan orang yang ia sayangi membuka pintu dan membantingnya kasar. Tak ada ucapan selamat tinggal. Untuk apa memperjelas fakta yang masih hangat di depan mata kepalanya sendiri?
Kris memejamkan matanya, menghela nafas berat. Ia meneguk ludahnya yang terasa pahit, tangannya mengusap matanya yang terasa perih berikut lehernya yang pegal. Untuk sekali saja, ia ingin bisa menangis tanpa dicap lemah. Untuk sekali ini saja ia ingin memperbaiki hal yang selalu ia kerjakan dengan sempurna. Sayangnya sifat perfeksionisnya tidak berlaku untuk kehidupan cinta yang nyatanya lebih rumit dari strategi bisnis makro dan pengembangan manajemen yang ia lakukan dari hari ke hari. Sekali lagi ia membuktikan, manusia memang tak bisa diprediksi.
.
.
.
Author's note: Hai, akhirnya saya kembali dan berniat ikut #CagarBudayaKT. Bagi yang merasa saya tega dengan memasukkan Lay ke cerita, dia memiliki fungsi penting di dua chapter ke depan, ya, fanfic ini hanya akan menjadi 3 chapter dan niatnya selesai minggu ini juga. Maafkanlah saya yang tidak bisa membuat romance, saya hanya mampu membuat crime dan angst, maka dari itu silakan nikmatilah. Karena saya masih ada dua ide cerita lagi, semuanya akan saya buat dan post sebelum tanggal 1 Oktober sesuai persyaratan lomba; maksimal 3 cerita dan deadline pada 30 September. Terima kasih sudah membaca. Don't plagiarize, keep writing. Don't bash, keep moving. : )