Naruto © Masashi Kishimoto
Tangled Two © Aiko Megami
Mature Theme
AU
Tangled Two
Chapter 2
Do I or Do I Not?
.
.
Kelima orang di situ sudah berkumpul duduk di meja dekat jendela besar yang mengarah langsung ke arah jalanan Shibuya yang selalu ramai. Macam-macam kendaraan dan pejalan kaki di trotoar seakan tidak pernah berhenti bergerak bahkan hanya untuk mengalihkan pandangan barang sebentar.
"A-aku Hinata Hyuuga" — "Salam kenal...uhm...paman dan bibi?" Suara Hinata mengalun lembut mencoba membuka percakapan. Bingung bagaimana ia harus memanggil orang tua Sasuke.
Hinata duduk di samping Ayahnya dengan anggun, berhadapan langsung dengan Mikoto.
"No, no, Hinata, panggil saja ayah dan ibu," Mikoto menjawab dengan antusias, "Kau juga akan jadi bagian dari keluarga kami sebentar lagi, kan?"
Ia tidak melepaskan pandangannya pada Hinata, menunjukkan betapa senang dirinya akan pertemuan dengan perempuan yang akan menjadi menantunya ini.
Fugaku berdeham menarik perhatian, "Sasuke, perkenalkan dirimu." Kemudian memberi instruksi pada anak lelakinya yang sedari tadi belum angkat bicara.
"Ah..ya." — "Saya Sasuke Uchiha." Ia membuat kontak mata dengan Hiashi kemudian dengan Hinata. Menundukkan kepalanya sedikit menunjukkan rasa hormat.
Hinata membalas perkenalan Sasuke dengan senyum yang sedikit kikuk.
Sial, kenapa aku jadi grogi begini, pikir Hinata.
"Hinata, kamu benar-benar cantik. Lebih cantik daripada foto yang kemarin Ayah tunjukkan. Ya, Sasuke? " Ibu Sasuke buka suara lagi, mencoba mencairkan suasana yang sedikit kaku. Ia sempat melotot pada Sasuke yang terlihat tidak fokus pada situasi di sini.
"Hm?" Sasuke hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Saat ini hanya tubuhnya yang ada di sini. Pikirannya sedari tadi berada di kantor memikirkan proposal kerja sama dari perusahaan manufaktur di Inggris yang baru sampai kemarin.
Benar apa kata Mikoto.
"T-terima kasih." Hinata membalas dengan malu-malu. Senyum tersungging di bibirnya yang dipoles lipstick dengan warna senada bibir aslinya. Nyonya besar Uchiha juga berhasil menambah rona merah di pipinya.
"Jadi...Kalian sudah tahu, kan, tujuan dari pertemuan ini?" Hiashi akhirnya membuka pembicaraan mengenai pernikahan, "Sasuke, Hinata, pernikahan kalian ini...mungkin tidak sampai dua bulan lagi? Nanti kami yang akan mengurusnya, segala keperluan dan persiapan untuk resepsi juga adat, jika kalian mau." Lanjutnya lagi sambil ia menyesap kopi yang sudah mulai dingin.
"Kalian ingin apa untuk pernikahan kalian? Ada request khusus? Ibu akan coba untuk membuat pernikahan ini yang paling megah dan mewah di tahun ini." Mikoto menambahkan dengan senyum yang sedari tadi tidak juga hilang dari wajahnya.
Memang impian setiap ibu, melihat anaknya naik ke pelaminan.
"Bagaimana dengan bulan madu? Kalian mau ke mana?" Ia mengerling sedikit pada Sasuke dan Hinata.
Sasuke berjengit karena tingkah ibunya. Dia yang mau menikah tapi malah Ibunya ini yang kesengsem seperti ia yang akan menikah lagi.
"Bu, tidak usahlah bulan madu segala. Aku tidak bisa meninggalkan kantor begitu saja."
Sasuke dengan jelas menolak usulan Ibunya. Kentara sekali dari raut wajahnya yang menampakkan kerutan di dahi karena mengernyit.
Hinata masih diam saja, ia butuh waktu untuk memproses semua ini.
"Hush. Sudah. Nanti, kan, bisa Ayah ngantor dulu. Lagi pula, kamu dan Hinata itu butuh mengenal satu sama lain. Jadilah pasangan newlywed yang mesra seperti orang kebanyakan, ya?" Ibu menyikut sedikit tangan Sasuke sembari tersenyum penuh makna.
Tuhan, apa-apaan ibu ini. Tidak malu apa sama besan dan calon menantunya yang sekarang wajahnya sudah memerah, Sasuke gemas dalam hati.
"Tapi— " Hinata langsung menghentikan mulutnya sebelum bicara lebih jauh.
Tapi, kan, kami bukan orang kebanyakan. Orang kebanyakan tidak harus menikah dengan orang asing hanya karena bisnis, Hinata hampir saja keceplosan menyuarakan apa yang sebenarnya ia pikirkan. Bisa gawat.
"Ada apa, Nak?" Hiashi menoleh ke arah Hinata yang terlihat gamang.
Hinata mencoba mengalihkan perhatian dengan berpura-pura memilih aneka makanan yang tersedia di depannya, "T-tidak, Ayah."
Membiarkan para orang tua melanjutkan percakapan mereka.
.
Pertemuan mereka siang itu dilanjutkan dengan uraian perbincangan perihal resepsi pernikahan Sasuke dan Hinata. Gedung, wedding organizer, tema dekorasi, fotografer, dan vendor-vendor pendukung lainnya.
Ballroom hotel The Peninsula Tokyo yang terletak di Marunouchi telah diputuskan sebagai venue di mana pernikahan akan dilangsungkan. Desain interior ballroom yang modern dan kontemporer akan dipadu padankan bersama tema yang elegan juga mewah dengan skema warna; putih, silver, dan gold.
Lots of flowers, lots of hanging lights, and lots of money spent, obviously.
Mereka menggaet Yuki Hashimoto, wedding planner yang reputasinya sudah tidak perlu disangsikan lagi. Pernikahan selebriti, seniman, sampai anak-anak pimpinan negeri. Kali ini proyeknya adalah selebrasi bersatunya dua keluarga berpengaruh di Jepang lewat pernikahan heir dan heiress Uchiha dan Hyuuga.
Tadinya, orang tua Hinata dan Sasuke ingin pernikahan ini lebih mengangkat suasana tradisional, tapi akhirnya tema yang kontemporer dirasa akan lebih selaras mengingat akan banyaknya tamu dari luar negeri. Para petinggi perusahaan dan pejabat pemerintahan Jepang maupun perdana menteri mancanegara termasuk dalam deretan tamu yang akan diundang. Pantas saja tuturan Ibu Sasuke tentang pernikahan ini merupakan yang terbesar tidak jadi hiperbola.
A (sort of) royal wedding it is.
.
Pukul satu siang mereka selesai.
Tepat setelah Fugaku dan Mikoto berpamitan dengan Hiashi dan Hinata, sebelum mereka berpisah menuju kendaraan masing-masing, Mikoto mengusulkan ide yang sangat cemerlang (bagi para orang tua, at least).
Tapi bagi Hinata dan Sasuke, mendengar itu, mereka ingin ditelan bumi.
Kurang gamblangkah ketidaknyamanan yang sejak tadi memayungi mereka?
.
.
Tangled Two © Aiko Megami
.
.
Hening.
Sinar matahari merayap di luar mencoba tembus lewat celah-celah lajur mobil yang padat di tol dalam kota.
Sasuke fokus pada jalanan yang macet dengan Hinata di kursi penumpang. Terima kasih atas usul Ibu Sasuke tadi; sekarang mereka terjebak berdua di mobil dengan kesenyapan yang memekakkan.
Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang ingin mulai bicara.
Sejak tadi Hinata diam membiarkan matanya menoleh ke sana kemari mengamati seisi mobil ini.
Interiornya serba hitam dengan jok kulit yang lembut. Cerutu disusun dengan rapi dipampang dekat dashboard agar mudah diambil. Terdapat beberapa berkas kantor yang ditaruh di kursi belakang. Juga kemeja putih dan jas hitam yang disampirkan di balik kursi tempat Hinata duduk.
Wanginya pun seperti wangi Sasuke. Sepantun esens kayu oak atau sandalwood. Klasik.
Hinata hampir bisa melihat kepribadian Sasuke hanya dari mobilnya.
Sekali-kali juga ia biarkan pandangannya jatuh pada laki-laki di bangku kanan yang sejak tadi tidak mengubah posisinya. Tangan kiri di gear shift knob dan tangan kanannya di kemudi dengan postur tubuh yang (terlalu) tegang.
Hinata rasanya ingin berkata, breath, Sasuke, breath. Memangnya aku menyeramkan?
Bohong jika Hinata bilang ia tidak sedikit saja tertambat pada Sasuke meski hanya beberapa saat.
Selain dari realitas bahwa Sasuke tampak tidak peduli pada pernikahan ini, impresi pertama Sasuke pada Hinata tidak begitu buruk.
Yang terlintas di kepala Hinata saat pertama kali matanya menangkap figur Sasuke di restoran tadi?
Sasuke. Sangat. Tampan.
Demi Tuhan.
Profil samping Sasuke sedikit banyak mirip dengan Sean O'Pry. Seorang Supermodel dari Georgia yang berjalan di NYFW Mei kemarin.
Tubuhnya tinggi. Bahkan dengan heels hampir 10 cm yang Hinata pakai, ia hanya sampai di bibirnya. Struktur wajahnya seperti dipahat. Diukir dengan teliti memastikan wujud yang ideal. Iris hitam matanya melekakan, memaksa apa-apa yang luruh pada gelapnya untuk diam dan terpesona.
"Kau ingin ke mana?"
Suara berat lelaki yang sedang memenuhi isi kepala Hinata membuyarkan lamunannya.
Sasuke akhirnya mencoba membuka percakapan. Tidak betah dengan keheningan yang tidak juga kabur sejak tadi.
"A-apa?"
Ia mengajakku berbicara!
"Kau ingin ke mana?" tegas Sasuke sekali lagi.
"Uhm.." Hinata membiarkan dirinya berpikir sebentar. Mall, bioskop, dover street market, taman kota?
"Sasuke ingin ke mana?" Balas Hinata akhirnya seraya menolehkan kepalanya ke kanan dan mendongak ke wajah Sasuke.
"Aku harus segera kembali ke kantor." Sasuke tidak acuh. Matanya tetap fokus pada jalanan di depan.
"Tapi, kan...ini hari Sabtu?" Mana ada kantor buka saat weekend?
"Begini, Hinata," — "Aku sangat sibuk. Aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal tidak penting selain pekerjaanku."
Shit. Mungkin itu terlalu kasar, Sasuke merutuki dirinya.
Sasuke mengubah pandangannya ke kiri. Menatap wajah Hinata. Mencoba menafsirkan apa arti dibalik ekspresi perempuan indigo itu. Dahinya berkerut sedikit dan bibirnya terbuka karena helaan nafas. Ia seperti ingin bicara sesuatu tapi segan.
"Tapi untuk sekarang aku akan mengalah, untuk orang tua kita yang sepertinya menaruh terlalu banyak kepercayaan pada pernikahan ini." Sasuke berusaha melakukan damage control karena tidak adanya respon dari Hinata. Mungkin memang cara ia menyampaikan kalimat tadi terlalu ceroboh.
Meski sepertinya kalimat yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan itu juga tidak membantu sama sekali. Memang dasarnya Sasuke sudah begitu dalam bertutur. Tidak ada basa-basi.
"Jadi, kau ingin ke mana?" Lanjut Sasuke sambil menghela napasnya.
Hinata membiarkan kesunyian meliputi mereka lagi sebelum menjawab. Kata-kata Sasuke tadi berhasil membuatnya diam dan termenung.
Dan sebelum Hinata sadar, ia sudah menyahut pada Sasuke. Kata-kata yang jujur sedari tadi terbentuk dan lalu lalang di dalam otaknya.
"Kau sangat tidak peduli dengan pernikahan ini, ya?"
"..."
"..."
"..."
Pertanyaan dari Hinata membuat napas Sasuke sedikit tertahan. Ia tidak menduga Hinata akan menanggapi seperti itu. Sasuke meneguhkan pandangannya pada mata Hinata yang ternyata juga terpaku pada dirinya. Melepaskan genggamannya pada kemudi dan memalingkan arah tubuhnya ke Hinata untuk menunjukkan gestur yang lebih serius.
"Maksudku—" Sasuke cepat-cepat buka suara berupaya untuk menjelaskan perkataannya tadi pada Hinata. Bisa gawat jika ia menangis lalu lapor pada Ayahnya.
Tapi baru mulai Sasuke bicara, Hinata sudah memotongnya.
"No, Sasuke. Tidak apa." Hinata diam sebentar, "Aku mengerti, kok. Kita juga baru bertemu 4 jam lalu."
Garis-garis di wajah Sasuke melunak. Ia kira tadi Hinata akan menangis.
Hinata melanjutkan dengan senyum yang sedikit dipaksakan, "Malah aneh jika kamu terlalu antusias."
Mungkin sebenarnya perempuan ini juga berada pada perahu yang sama dengan dia. Mungkin calon istrinya ini juga tidak begitu peduli pada pernikahan ini seperti dirinya. Sasuke cukup lega mengetahui (hal yang menurutnya) fakta ini.
"Baguslah. No hard feelings, right?" Sasuke mengembalikan pandangannya ke depan. Tangan kembali di kemudi. Pedal gas diinjak setelah akhirnya mobil di depan mereka jalan juga di tengah kemacetan ini.
Hinata hanya mengangguk dengan senyum kecil di bibirnya. Ia sudah tidak ada niatan untuk melanjutkan percakapan dengan Sasuke. Matanya fokus melihat ke jalan di depan.
"Setelah pernikahan nanti, aku harap kita juga bisa mengondisikannya dengan pantas." Sasuke melanjutkan lagi. Tidak menaruh atensi pada Hinata yang memainkan jarinya menunjukkan ketidaknyamanan.
Sudah, aku tidak mau mendengarmu bicara lagi, Sasuke.
"Kita lakukan saja semuanya seperti biasa." — " Tentu sebagai suami, segala kebutuhan finansialmu menjadi tanggung jawabku." Sasuke berhenti bicara sejenak sambil membelokkan setir ke kiri. Mereka pindah jalur untuk keluar di gerbang tol selanjutnya.
Kemudian Sasuke melanjutkan dengan enteng, "Tapi selain itu, aku tidak akan ikut campur dalam hidupmu dan aku harap kau juga begitu."
Hinata terdiam sembari menundukkan kepalanya ke bawah. Sasuke masih acuh pada jalanan di muka. Mendadak semuanya menjadi rumit bagi Hinata. Terlalu kompleks untuk dicerna bersamaan.
Sekarang Hinata tahu tujuan mereka.
Dengan suara yang sedikit bergetar, Hinata buka suara, "A-aku ingin pulang."
Meski agak bingung, Sasuke langsung setuju untuk mengantar Hinata ke rumahnya. Tidak menyadari air yang hampir menitik di ujung mata perempuan di bangku kirinya.
Mengapa Sasuke begitu...jahat?
.
.
Tangled Two © Aiko Megami
.
.
Ini yang Hinata butuhkan setelah tadi melalui hari yang buruk. Berendam dengan bubble bath soap favoritnya dari Victoria's Secret serta ditemani aroma terapi chamomile pemberian Ino dari liburannya bulan lalu ke London. Tidak lupa playlist dari Spice Girls yang meski kata orang-orang di sekitar Hinata sudah kuno, tetap menjadi salah satu kesukaannya.
Ya, sudah resmi Hinata deklarasikan bahwa hari ini kacau. Tadi sore ketika mobil Sasuke sampai mengantarnya di depan rumah, ia pamit pada Sasuke hanya dengan senyum simpul serta ucapan terima kasih, lalu langsung keluar mobil dan masuk gerbang rumahnya. Tidak ada yang lainnya. Tidak juga ia menunggu Sasuke menanggapi. Lagi pula, Sasuke pun langsung juga pergi lagi. Tidak menunjukkan kepedulian sedikit pun, apalagi bertanya pada Hinata dirinya kenapa.
"Laki-laki seperti itu yang akan jadi suamiku.." Hinata menggumam sendiri mengingat-ingat kejadian di mobil tadi. Lantas menenggelamkan kepalanya dalam air berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran tentang Sasuke.
Bagi Hinata, Sasuke telah berhasil menghancurkan segala fantasinya mengenai sebuah pernikahan yang bahagia. Seperti yang sering ia lihat di majalah dan novel yang sering ia baca. Macam suami yang akan head over heels pada istrinya. Macam suami yang tidak akan menyuruh calon istrinya untuk tidak mencampuri hidupnya. Sepertinya itu semua tinggal mimpi.
"Aargh!" Hinata mengangkat kepalanya kembali ke permukaan dengan menjerit. Upaya untuk sedikit melepas stresnya.
Hinata edarkan pandangannya pada seluruh penjuru kamar mandi. Ruangan ini di desain khusus dengan permintaan Hinata. Bernuansa putih dengan lantai kayu. Konter wastafel sekaligus meja vanity juga berwarna putih dengan aksen perak. Hampir seluruh dinding di atas konter dilapisi kaca dengan rak-rak di kanan kirinya. Berisi segala macam toiletries, parfum, make up, dan produk perawatan wajah milik Hinata.
Lalu mata Hinata sampai ke tubuhnya yang berada dalam air. Ia telusuri tangan dan kaki jenjangnya. Ia sentuh juga leher, dada, sampai perutnya.
Nanti, bisa saja aku sedang mandi kemudian Sasuke tiba-tiba masuk dan itu tidak akan menjadi tabu...karena aku sudah jadi istrinya. Pasti ia sudah lihat semuanya, kan?
Tanpa sadar Hinata membiarkan pikirannya berkelana terlalu jauh. Terlalu liar.
"Astaga!" Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya, "Apa yang aku pikirkan!"
Buru-buru ia bangkit dari bath tub, mengambil handuk yang tersampir di handle yang menempel pada dinding. Mengeringkan tubuhnya asal-asalan dan melilitkan handuk menutupi tubuhnya. Kemudian segera berlari keluar dari kamar mandi.
Hinata benar-benar butuh pengalih perhatian. Sembari memilih-milih baju di kamarnya, segera ia telepon Ino untuk menjemputnya di rumah.
Ino, temanmu ada yang punya event opening night bar baru di Ginza, kan? Ayo ke sana! begitu ucap Hinata.
Kalau sudah begini, Ino tahu pasti ada sesuatu. Jarang Hinata menjadi yang mengajak Ino untuk pergi ke tempat seperti itu. Karena itu, langsung Ino iyakan ajakan Hinata yang tidak terdengar seperti Hinata yang biasanya.
.
Mungkin saja, barangkali, di hati terdalamnya, Hinata sebenarnya tidak benar-benar keberatan dengan pernikahan ini. Setelah pertemuan tadi, malah ia tidak benar-benar ingin pernikahan ini tidak terjadi.
Siapa yang tahu?
Tangled Two
.
to be continued
.
A/N:
Ya aku lah yang tahu! #EH hahahahahahaha
First of all, aku mau bilang terima kasih dulu sama kalian semua yang sudah memberi aku segala macam feedback di kolom review! Terima kasih banyak banyak! seneng banget aku ternyata lumayan juga yang tertarik sama cerita ini ehehehehe
Lalu, aku juga ingin bales beberapa review nih;
1. Untuk penggunaan bahasa inggris dalam fic ini, sepertinya akan terus seperti ini deh, tentu saja akan tetap aku pastikan supaya gak banyak2 banget juga
Tapi memang dalam penulisanku, seringkali ada beberapa hal atau ungkapan2 atau istilah yang menurutku lebih baik ditulis dalam bahasa inggris, kalo di translate malah jadi aneh (buatku)
2. Penggunaan kata (sih) itu setahuku hanyalah kata tambahan atau penegas, it doesnt really have a distinct meaning, kalo di kbbi sih ditulis; memang/sebenarnya, untuk menyatakan kebimbangan, dll
disini aku menggunakan (sih) biar ngga terlalu kaku aja hehe
3. Italic di fic ini digunakan untuk penggunaan bahasa asing, pemikiran2 tokoh, dan pemberian emphasis, maaf jika rancu ya, aku lupa ngasih tau he
Oh iya poin 2 dan 3 itu untuk yuki ryota, terima kasih atas review kamu yang mendetail, ya!
.
Anyway, ini chapter 2 untuk kalian semua!
Sekali lagi, terima kasih banyak untuk kalian-kalian yang sudah ngasih reviews, favorites, and follows! All are appreciated!
.
Tell me whatever you think! Tebak-tebak juga dong kira-kira mereka ini nantinya akan gimana ;p
Thanks for reading! Jangan lupa review lagi untuk chapter ini, ya!