St. Petersburg , Moscow.

Sebuah ballroom dengan gaya klasik abad pertengahan kini mulai dipadati pengunjung. Rata-rata dari mereka adalah para bangsawan yang tengah memanjakan diri menikmati liburan mereka.

White Nights, suatu periode di musim panas di antara pertengahan bulan juni hingga awal bulan juli, di mana matahari tetap bersinar di tengah malam, tetap bersinar tepat di langit St. Petersburg.

Mariinsky Theater atau yang lebih dikenal dengan nama Kirov Theater, adalah salah satu ballroom yang digunakan untuk pertunjukan White Nights; pertunjukan balet, opera, operet dan berbagai kesenian lainnya. Seperti malam ini misalnya, malam dimana pertunjukan balet dengan kisah Swan Lake diadakan.

Pertunjukan yang mengisahkan pangeran Siegfried yang jatuh hati pada keindahan Odette; seorang putri yang disihir menjadi angsa. Menceritakan bagaimana pangeran menyelamatkan Odette saat puteri itu terkurung dalam sihir karena pangeran yang hampir jatuh terjebak dalam pesona Odille; sang Blak Swan.

Malam itu terasa begitu menabjukan, lampu-lampu hias yang digantung, ukiran-ukiran rumit tentang dewa-dewi Yunani serta tekukkan lengkungan dan liukkan kaki ballerina dan danseur yang saling membaur bersama musik orkestra yang mengiringi sepanjang cerita. Tak jarang riuhan tepuk tangan dan lontaran pujian mereka dapatkan. Koreografi yang mengagumkan, kemahiran para penari, setting latar yang begitu apik mampu membius penonton dan terhanyut dalam keindahannya.

"Kau suka?" Tanya pria dewasa yang kini mengenggam tangannya hangat.

"Tentu, aku menyukainya Ayah!" Ujar sosok enam tahun itu penuh antusias. "Aku ingin seperti mereka. Bisakah aku?" Ia menatap pria itu dengan mata jernih polos yang menggemaskan.

"Tentu!" Seru seseorang dari sampingnya; sosok wanita dengan paras indah dan pembawaan anggun yang mengagumkan. "Kau adalah bunga krisan mungil ibu, kau selalu indah dan mengagumkan. Kau seperti angsa kecil; putih, lincah, indah dan menggemaskan." Jaejoong- wanita itu menggenggam tangan Luhan dan menatapnya penuh percaya. "Maka dari itu aku percaya."

"Benarkah?" Matanya berbinar cerah dengan bias-bias cahaya di sekitarnya.

"Benar. Ibu yakin kau pasti bisa, asalkan kau mau bekerja keras dan terus belajar." Ia menatap Luhan hangat dan mengelus kepalanya gemas. "Ibu percaya."

.

.

.

.

.

Tapi sayang. Lengkungan takdir tak sehalus lengkungan keramik saat kau menyesap teh di pagi hari.

Takdir itu meliuk rumit dengan guratan pola yang tak kau mengerti dan patahan cerita yang tak mampu kau pahami.

Takdir selalu berubah.

Dan takdir tak dapat ditentukan.

.

.

.

As Sweet As Luhan

.

.

.

Genre :

Fluffy, Romance, Drama, Hurt/Comfort,

Warn :

Messing EYD, typo(s), cerita gaje, OOC, GS!

Rated :

T - M(?)

Cast :

Lu Han

Oh Sehun

Pair :

HunHan

.

.

.

.

Sometimes, it's not the people who change. It's the mask that falls off.

.

.

.

Riuhan suara penuh antusiasme tinggi bergema dan saling bersahutan di sebuah ruangan pertunjukan dengan atap tinggi berlukiskan hamparan awan yang biru membius bersama sosok cantik Aphrodite. Menggambarkan kisah Aphrodite yang bermain asmara bersama Ares walaupun telah memiliki Hefaistos sebagai suami, ia bermain cinta di belakang Hefaistos hingga melahirkan beberapa anak yakni Eros- Cupid, Anteros, Fobos, Deimos dan Harmonia. Segelumit kisah tentang Aphrodite dan kecantikannya yang membius mampu membuat sebagian dewa-dewa terpikat karenanya. Bahkan Zeus ayahnya sendiri begitu mendamba melepas hasrat bersamanya.

Para bangsawan itu mulai memasuki ruangan. Gaun mereka yang menggelembung anggun dan berdesir halus nampak berkilau di bawah tempaan lampu lentara klasik, menggantung apik dan membaur bersama pahatan maghoni yang membentuk pola-pola rumit dan memantulkan cahaya keemasan lembut.

Mereka duduk dengan punggung tegap dan pandangan penuh kedepan. Layar pertunjukan masih menutup. Panggung itu luas dan besar. Ada tirai berwarna perak dan emas diselingi hijau dan biru yang menutupinya, menyembunyikan pertunjukan yang akan segera diselenggarakan. Malam ini merupakan malam penting. Perhelatan seni akbar yang dihadiri beberapa tokoh dunia juga kritikus seni. Siapapun yang menggelar dan bermain diatas panggung ini dia jelas seseorang yang mumpuni dan keahliannya diakui.

Rusia sebagai negara yang diakui memiliki asosiasi ballet paling bergengsi dengan usia yang cukup dibilang berumur dan kemampuan yang sudah tak diragukan lagi. Pun dengan kota Moskow yang terdapat dua organisasi besar balet dunia yaitu Bolshoi dan Mariinsky atau yang lebih dikenal dengan Kirov, tentu pertunjukan balet adalah sesuatu yang paling dinanti. Pertunjukan epik yang memikat adalah sesuatu yang paling ditunggu-tunggu. Membuat gedung The Imperial of Bolshoi ini mulai padat dipenuhi.

Sementara itu di belakang panggung, nampak bersiap-siap sekelompok orang yang akan memainkan pertunjukannya. Ya, balet. Para didikan akademi Bolshoi ini akan menampilkan pertunjukan mereka. Mereka tampak gugup, latihan berbulan-bulan koreo yang di pikirkan matang-matang konsep yang epik romantik yang mereka sempurnakan telah mereka laksanakan. Mereka takut jika semuanya akan berakhir sia-sia, mereka takut jerih payah mereka tandas begitu saja. Sempurna. Ya mereka harus sempurna. Sempurna memukau para tamu dengan keindahan keluwesan dari tekukan kaki-kaki jenjang mereka

Tak jauh berbeda dengan gadis kecil ini. Gadis berumur sepuluh tahun yang tengah mengenakan gaun balet sepangkal paha, warnanya hitam legam kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Gadis itu mengatupkan kedua lengan kecilnya di depan dada, matanya terpejam seraya memanjatkan doa pada sang dewa meminta semuanya berjalan seperti apa yang ia harapkan. Dia tak mau jika kehadirannya sebagai perusak keindahan tarian angsa yang mereka mainkan.

Swan Lake umumnya dimainkan oleh empat belas peran; mulai dari Odette- White Swan, Odille- Black Swan, Prience Sieghfried, Rothbart- Evil Magician sampai Hungarian Dance dan Marzuka. Tapi kali ini mereka menambahkan sesuatu yang berbeda. Yaitu The Dreaming Of Lucifer- perwujudan sihir Sang Magician, yang dimainkan oleh Luhan.

Luhan adalah gadis yang kini menginjak usia sepuluh. Ia berperan sebagai perwujudan sihir Rothbart, ia kecil indah memukau dan kelam namun mematikan. Luhan harus bermain membayangi Rothbart berada bersama sang Black Swan memikat pangeran dan menjerat White Swan melemahkan pertahanan miliknya.

Pintu tiba-tiba terbuka seseorang masuk dan menghampiri mereka. Ya, pertunjukan akan segera ditampilkan. Dan mereka harus segera bersiap-siap.

"Kau pasti bisa. Aku percaya." Seseorang menepuk bahu Luhan dan meremasnya. Luhan mendongak, ia tersenyum pada seorang senior yang telah ia anggap seperti kakaknya sendiri. Seorang wanita berumur sekitar tujuh belas sembilan belas tahunan, berambut cokelat ikal kemerahan dengan mata berwarna hijau yang indah.

"Terimakasih." Luhan berucap seraya menunduk pelan memberi hormat.

Wanita itu tertawa. Ia lalu merangkul bahu Luhan dan melangkah bersama.

Pertunjukan telah dimulai. Bagian pertama adalah saat pangeran yang mengadakan pesta di taman istana kerjaan bersama sahabat dan rekannya hingga sang Ratu datang mengabarkan kabar perjodohan miliknya. Pangeran yang frustasi dan berniat menghibur diri dengan berburu sampai akhirnya dia bertemu dengan angsa putih di tepi danau dan terpikat akan keindahannya. Pangeran dan Odette yang saling menyukai memadu kasih di bawah guyuran cahaya lembayung senja, dan mereka pun kembali terpisah saat malam menjelang.

Pertunjukan kini telah sampai pada adegan sebuah pesta perjodohan, dimana pangeran berhak memilih salah satu diantara Madammoilse bangsawan yang telah diundang kerjaan. Inilah saatnya Luhan tampil. Luhan akan muncul saat Rothbart dan puterinya Odille datang untuk memikat sang Pangeran demi melemahkan jiwa Odette.

Luhan mulai gugup. Kini Rothbart dan Odille sudah tampil. Luhan bersiap ia menghitung satu dua dan pada sentakan yang tepat Luhan memasuki panggung. Dia menari mengelilingi Rothbart, Odille dan Pangeran.

Luhan memikat dipenuhi aura hitam pekat yang kentara. Wajah oriental dengan warisan barat yang khas menyeringai penuh menggoda. Luhan menari berputar-putar membayang-bayangi pangeran beserta Odille. Luhan berdiri tepat di depan pangeran, ia mendongak tangannya terulur menyentuh dada pangeran dan saat pangeran akan menangkapnya Luhan berlalu acuh. Dia lalu menghampiri Odille dan memegang tangan Sang Black Swan bangga. Menyeringai pada Pangeran dan membiarkan pangeran meraih tangan Odille.

Odille mulai melancarkan aksinya ia menari memikat pangeran, meliuk indah dan dipenuhi aura pekat misteri yang menggoda.

Luhan menyeringai senang. Ia mengerling penuh makna pada Rothbart. Menghampiri pria itu dan kembali menari-nari. Luhan lalu melihat pangeran yang kini sudah benar-benar masuk dalam perangkap sihir dan pesona Odille.

Luhan tetap menari, mimik dengan mimik muka dingin. Terkadang dia menyeringai licik, terkadang dia tersenyum puas. Tak ada yang tak melewatkan apa yang Luhan tampilkan. Semua terbius dan terhanyut dalam cerita yang disuguhkan, juga semua terpukau akan permainan yang Luhan mainkan.

Kini tiba saatnya, pada saat hari pernikahan, di saat mereka akan benar-benar bersama tiba-tiba pangeran sadar bahwa ia di jebak oleh Rothbart. Kini Odette melemah karena pangeran cinta sejatinya telah memghianatinya. Dan pangeran dengan cepat pergi ke danau untuk menemui Odette.

Luhan tampil sekali lagi. Ia harus menari sebagai perwujudan sihir Rothbart yang semakin kuat. Ia harus membelenggu Odette.

Odette terkapar lemah dikelilingi angsa-angsa putih yang indah. Semua angsa putih itu nampak layu dan hanya manari-nari mengelilingi Odette. Luhan berada diantara mereka tepat di tengah-tengah berhadapan bersama Odette. Ia menari beberapa kali tubuhnya membungkuk membelenggu Odette. Ia menari dengan sepenuh hati karena semakin indah tariannya semakin kuat sihirnya juga semakin lemah musuhnya. Itulah konsep utamanya.

Luhan masih menari diantara angsa-angsa putih yang melayu. Tubuhnya bergerak halus, keadaan nampak redup dan dengan lampu berwarna putih menyorot padanya. Ia benar-benar menuangkan keindahan itu, bentuk tubuh gerakan halus dan mimik muka menciptakan penampilan epik yang memukau. Selanjutnya pangeran datang, menyelamatkan Odette. Melawan Rothbart bersama-sama dengan Odette. Dan berhasil kekuatan keduanya berhasil melumpuhkan Rothbart dan membuat Luhan melayu dan akhirnya menguncup menelungkup.

..

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Luhan selamat. Kau memukau malam ini. Oppa bangga padamu." Sehun muncul dan menghampiri Luhan yang masih duduk menunggu di back stage. Luhan menoleh dan tersenyum kecil. Matanya menelisik mencari-cari seseorang. "Oppa, ayah dan ibu mana, kenapa mereka tidak kemari? Saat di panggung pun aku tidak melihatnya."

"Maaf Luhan, ayah dan ibu mu tidak bisa hadir. Maafkan Oppa." Sehun berjongkok dan memegang bahu Luhan.

"Tapi kenapa?" Luhan menatap Sehun sedih. Mata bulannya kini sudah berkaca-kaca. Susah payah ia berjuang hingga tampil di panggung ini. Berlatih siang dan malam, menekuk kaki kecilnya hingga keram dan tak bisa digerakkan. Terus menari seminggu penuh hanya untuk mendapat pengakuan pelatih dan mau mengajaknya tampil walau hanya di pentas kecil sekolah. Bertahun-tahun ia bekerja keras melupakan bagaimana menyenangkannya bermain bersama anak-anak sebayanya, mengoleksi berbagai macam boneka, bermain putri raja dan tertawa bersama-sama. Empat tahun hidupnya ia habiskan hanya untuk balet, balet dan balet. Ia ingin membuat bangga kedua orang tuanya. Tapi di saat ia sudah sampai di panggung besar, dan bisa bermain dengan ballerina dan danseur hebat. Mereka malah tak ada. Tidak, mereka selalu tidak ada di saat ia tampil. Baik itu hanya tampil untuk pentas seni sekolah, ataupun tampil untuk memenuhi undangan di beberapa panggung di kota ini.

"Tapi aku sudah memberikan tiket pertunjukan ini sebagai hadiah pernikahannya. Mengapa ayah dan ibu tidak datang? Aku hanya ingin menunjukan usaha ku pada ayah dan ibu. Tapi ayah dan ibu sama saja, ayah dan ibu bahkan tak pernah sekalipun melihat pertunjukan yang aku mainkan." Luhan menunduk dan terisak pelan. Oh ia hanyalah anak kecil yang ingin di banggakan oleh ayahnya dan di puji oleh ibunya. Tapi apa, mereka bahkan tak pernah mau melihatnya tampil.

"Luhan lihat Oppa." Pria delapan belas tahun itu menangkup pipi Luhan lembut. "Ayah dan ibu mu terlalu sibuk. Luhan anak baik bukan?" Luhan mengangguk kecil. "Jika Luhan anak baik, mengertilah. Ayah dan ibu Luhan bekerja keras untuk Luhan. Demi Luhan, demi masa depan Luhan. Jangan menangis lagi ne, atau Oppa takan lagi memberikan mu boneka bambi."

Luhan dengan cepat menyeka air matanya. Ia lalu menatap Sehun berbinar dan tersenyum hangat. "Oppa! Aku sayang Sehunnie Oppa." Luhan segera menghambur pada pelukan Sehun. Sebenarnya Sehun adalah putera dari teman sahabat ayahnya. Ia dan Sehun bertemu dua tahun lalu, dan ya. Yang menemani Luhan dan melihat pertunjukan balet Luhan hanyalah Sehun. Tidak ibunya, tidak juga ayahnya.

Sehun hanya tersenyum tipis. Dengan gemas ia menepuk-nepuk kepala Luhan. "Dasar gadis manja." Ucapnya geli. "Nah mari kita pulang. Tapi sebelum itu, siapa yang mau Oppa traktir es krim dan Oppa belikan boneka bambi?"

Luhan segera berseru heboh. Dan mengangkat tangannya tinggi sambil berteriak aku! Aku!.

"Baiklah, kita berangkat." Sehun mengacak rambut Luhan gemas.

.

.

.

.

Saat di mobil Luhan diam memperhatikan, kepalanya melihat keadaan luar dengan penuh semangat. Ia dan Sehun kini berada di jok belakang. Mereka berdua diantar supir dari ayah Luhan.

Luhan memainkan kaki kecilnya, ia sesekali menatap Sehun yang hanya memejamkan matanya. Terkikik pelan dan dengan jail Luhan menusuk-nusuk pipi Sehun.

"Sehun." Ucapnya pelan. "Sehunnie Oppa~~" Luhan terkikik geli dan memainkan pipi Sehun. Menaik-turunkan pipi tirus itu dengan jari kecilnya. "Oppa, Oppa lucu sekali kkk. Oppa seperti kucing gendut ku."

Sehun membuka matanya dan menatap Luhan malas. "Gadis nakal. Kau sengaja mengganggu Oppa kan, kau tau kan apa yang terjadi jika Luhan mengganggu Oppa."

Luhan menggeleng pelan. "Oppa akan memberikan ku boneka hello kitty?"

"Tidak."

"Lalu apa?"

"Oppa akan memakanmu!" Dan dengan cepat Sehun menangkap Luhan dan menggelitikinya. Luhan memekik kaget lalu berteriak heboh kemudian tertawa lepas.

"Hahaha, Oppa. Lepaskan aku! Oppa jail sekali! Oppa, hahaha Oppa!"

"Oppa. Oppa ini kenapa jail sekali padaku? Oppa menyebalkan!" Setelah terlepas Luhan melemparkan protesnya dan menekuk wajahnya.

Sehun terkekeh pelan. Dan menepuk kepala Luhan gemas. "Cepatlah besar, agar Oppa tak menjahilimu lagi."

Luhan memalingkan wajahnya. "Oppa menyebalkan." Ketusnya. Sehun hanya tersenyum tipis. Tangannya meraih bahu Luhan dan mengelusnya pelan. "Kau gadis nakal kebanggaan Oppa."

"Oppa menyayangimu."

Luhan mendongak menatap Sehun. Mata polosnya mengerjap-ngerjap pelan. Sedetik kemudian ia tersenyum hangat bangkit mensejajarkan tubuhnya dengan kepala Sehun lalu mengecup pipi Sehun cepat.

"Aku juga menyayangi Oppa." Dan kemudian memeluk leher Sehun.

Sehun tertawa hangat, tangannya mengusap-ngusap punggung Luhan. Luhan kembali duduk dan menyandarkan tubuh kecilnya pada badan besar Sehun.

"Dasar manja." Dengus Sehun. Luhan tak ambil peduli. Ia kembali menatap jalanan dengan senang. Sesaat kemudian Luhan menaikan alisnya saat melihat tumpukan kertas. Tangan kecilnya meraih kertas-kertas itu dan membacanya.

Tak ada yang aneh, hanya kertas-kertas yang berisi tulisan yang tak Luhan mengerti apa maksudnya. Tapi saat ia melihat amplop putih dan membaca apa yang ada di sana. Luhan mengerjap. Luhan memang masih kecil dan belum banyak yang ia tahu. Tapi ia tahu apa yang dimaksud dengan ini.

Luhan tiba-tiba mencelos. Jadi ini alasan ayah dan ibunya tidak datang pada pertunjukan miliknya. Jadi ini. Rapalnya dalam hati. Luhan kembali menatap kertas itu. Itu adalah undangan persidangan perceraian antara ibu dan ayahnya.

Kerja kerasnya usahanya untuk bisa tampil di ballroom Imperial dan membuat bangga ayah dan ibunya sia-sia karena mereka lebih mementingkan ego mereka. Luhan seketika itu marah. Ia cukup kecewa ayah dan ibunya tidak datang dan ia kembali kecewa karena alasan mereka tidak datang adalah karena sidang perceraian mereka. Karena ego mereka.

"Paman hentikan mobilnya!" Jerit Luhan tiba-tiba. Ia harus menemui ayah dan ibunya.

"Tapi nona, anda mau kemana?" Tanya pria paruh baya itu.

"Hentikan mobilnya, atau aku melompat."

"Luhan kau mau kemana?" Sehun bertanya pada Luhan dan menahan lengan gadis kecil itu.

"Lepaskan!" Ucapnya keras. Matanya sudah memerah dan bahunya bergetar. "Oppa! Kenapa Oppa tidak bilang padaku dengan jujur. Oppa tau kan ayah dan ibu tidak sibuk! Oppa tau kan ayah dan ibu mau bercerai! Oppa tau kan hari ini ayah dan ibu melakukan sidang! Oppa tau, tapi kenapa Oppa tak bilang padaku!" Luhan menjerit keras.

"Luhan, dengarkan Oppa. Oppa tak bermaksud membohongi mu, Oppa hanya- "

"Bohong! Oppa sama saja! Oppa bohong!" Luhan menatap Sehun marah. "Lepaskan!" Pekiknya lagi. Luhan meronta kuat, ia lalu menggigit tangan Sehun keras.

Luhan dengan cepat membuka pintu dan berlari. Sehun mengejarnya dan berteriak padanya tapi Luhan tak mempedulikan. Ia terus berlari dengan cepat sambil menangis terisak.

Sehun mengejar Luhan. Sehun tahu Luhan adalah tipe orang yang nekat. Dan Luhan jika sedang marah ia melupakan semuanya, pikirannya hanya terpusat pada kemarahannya. Dan ini jelas tidak baik.

"Paman bantu aku! Bantu aku menangkap Luhan." Sehun berteriak pada paman Kim- supir Luhan, untuk membantu dirinya. Sehun berlari agak terpincang. Rupanya cidera kaki yang ia dapatkan minggu lalu saat bertanding basket belum sembuh benar dan terkadang berdenyut nyeri. Sehun masih berlari, ia melihat Luhan sedang menyebrang jalan gadis itu berlari tanpa peduli bahwa mobil-mobil di sana hampir menabraknya.

Sehun bernafas lega melihat Luhan yang sudah sampai di seberang jalan. Paman Kim mengikutinya dan sedikit lagi akan menangkap Luhan. Tapi sebelum hal itu terjadi tiba-tiba dari arah selatan datang sebuah truk yang hilang kendali dan berniat menabrakkan diri pada lampu tiang pembatas jalan.

Sehun menatap horor. Tidak! Jangan! Luhannya! Luhan kecilnya! Dengan cepat Sehun berlari mencoba menghampiri Luhan. Tapi tetap, ia tak mampu berlari kencang. Bahkan Sehun beberapa kali terjatuh.

Paman Kim tahu apa yang akan terjadi, ia mencoba menangkap nonanya. Ia memang berhasil menangkap Luhan. Tapi sayang, belum sempat ia beranjak, truk itu sudah menghantam keduanya. Ia dan nonanya sama-sama terlempar. Dirinya terlempar menuju seberang jalan dan kepalanya membentur tepi trotoar dengan keras. Membuat dia seketika kehilangan kesadarannya. Sementara Luhan. Gadis itu terlempar terpelanting keras dan berguling-guling pada sisian jalan.

Sehun lemas, menyaksikan apa yang ia lihat. Ini seperti mimpi. Mimpi buruknya. Sehun berjalan tertatih menghampiri Luhan. Ia tak sadar orang-orang kembali memekik keras. Dan ternyata lampu yang di tabrak oleh truk itu berderit keras sebelum akhirnya roboh. Sehun melotot. Tidak! Tidak! Lampu itu roboh. Dan tepat jatuh pada tubuh tak berdaya Luhan. Menghantamnya keras. Menghantam tepat pada kedua kakinya. Kaki Luhan. Kaki balerina miliknya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dan sejak saat itulah semua mimpi yang ia susun secara hati-hati yang ia bangun dengan penuh kasih, sebuah mimpi yang pernah ia perjuangkan. Harus berakhir sia-sia.

Kini cerita dia dan mimpinya telah berakhir sudah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sehun seorang pria mapan nan tampan berumur dua puluh enam tahun kini sedang menatap datar bangunan yang berada di hadapannya. Satu tangannya membenarkan letak sun glasses miliknya, sementara tangan lainnya ia masukan dalam saku celana.

Bisik-bisik samar terdengar masuk ke dalam telinganya, seperti 'siapa pria tampan itu' 'untuk apa mahluk sempurna seperti dirinya berada disini' 'atau 'Oh god! You must be kidding me, ia sungguh sempurna seperti dewa nirwana' 'Oh aku menegang karenanya' dan 'aku bersumpah akan menikahinya'. Berlalu acuh dengan wajah datar miliknya; oh ia cukup terbiasa mendengar puja-puji tentangnya, terlampau terbiasa apalagi ini yang berucap hanya sekumpulan remaja labil dengan seragam ketat yang hanya bisa menjerit-jerit gila melihat mahluk seperti dirinya. Jadi intinya, abaikan saja.

Menyisir rambut kalem dengan tangannya lalu melenggang masuk tanpa memperdulikan belasan remaja wanita yang hampir pingsan dan goyah iman karena pesona miliknya.

Sehun berjalan dengan langkah lebar, jas miliknya telah ia tanggalkan di mobil sana menyisakan ia dengan kemeja putih panjang yang memperlihatkan proporsi sempurna miliknya; dada bidang, bahu tegap, punggung lebar dan perut kotak-kotak. Berjalan diantara puluhan pasang mata yang menatap penuh atensi padanya. Sehun acuh, hanya berjalan dan sesekali tersenyum pada sekumpulan gadis yang entah sejak kapan mengerubungi dirinya. Berjalan hingga ia keluar dari koridor yang sesak dan penuh oleh siswa-siswi penghuni sekolah.

Sampai di suatu tempat yang sepi, ia mengedarkan pandangannya melihat-lihat- entah mencari, sesuatu ke segala penjuru arah. Matanya kemudia memincing tajam, melihat pada satu objek. Tangannya membuka kacamata hitam miliknya sementara alisnya tertaut heran melihat apa yang tertangkap oleh netra kelam miliknya.

Seorang gadis- siswi, berpenampilan urakan dengan baju berantakan, lengan baju yang dilipat sampai atas, dua kancing atas yang terbuka dan dasi yang menghilang entah kemana. Blazer miliknya hanya ditenteng ringan diatas bahunya, tubuhnya kerempeng dengan rambut pendek sebatas tengkuk. Matanya berwarna coklat jernih dengan hiasan eyeliner tebal mengelilinginya.

Gadis itu berdiri melipat kedua tangan di depan dada dengan angkuh. Berdiri menantang empat pria besar berwajah garang yang menjulang tinggi di depan tubuh pendeknya. Dagunya terangkat sementara tangannya sudah bersiap-siap melemparkan satu tinju yang Sehun sendiri sedikit meragukannya; oh ayolah perumpamaan mereka saat ini seperti lidi tipis yang akan patah melawan empat pagar besi dengan beton kuat dan dipenuhi duri tajam.

Sehun menghela nafas lelah, tangannya memijat pangkal hidung untuk menghilangkan sakit kepala yang tiba-tiba mendera melihat kelakuan gadis badung itu.

Gadis itu berdiri dengan mata memincing tak suka pada arah empat siswa dengan badan tinggi besar rambut berantakan dan di cat serta tindik di telinganya. Gadis itu memandang sengit, ia sudah bersiap melemparkan tinjuan; tangannya sudah mengepal, kakinya sudah memasang kuda-kuda. Tapi sebelum tinjuan itu mendarat sebuah tangan besar tiba-tiba menggenggam tangannya, punggung kecilnya bertubrukakkan dengan bidangnya dada dan pinggangnya direngkuh dari belakang.

"Kita sudah membicarakan ini nona Lu." Satu suara berat bernada datar menyapa indra pendengarannya satu nafas hangat menyapu tengkuk miliknya, membuat dia seketika berdiam diri kaku dengan tubuh merinding beku.

Gadis itu mengerjap pelan dan tersadar, lalu memberontak sekuat tenaga meminta untuk dilepaskan.

"Yak, lepaskan!" Jeritnya keras, kakinya menendang-nendang tak tentu arah sementara lengannya sibuk meronta. "Lepaskan aku! Aku sungguh akan mematahkan tulangmu seperti yang akan aku lakukan pada mereka, jika kau tak mau melepaskan aku!"

"Tidak." Balas suara berat itu datar. "Aku akan sungguh menciummu dan menghabisimu disini jika kau tak mau berhenti berulah." Sehun berbisik samar tepat di telinga gadis itu kemudian mengecup telinganya lembut.

"Yak, jangan seenaknya! Cepat lepaskan aku!" Teriaknya lagi dengan suara melengking tinggi. Bukannya menjawab, pria itu malah menarik tubuhnya dan membawanya berjongkok. Satu tangan kekarnya dengan cepat merengkuh bahu gadis itu sementara tangan lainnya menangkis kepalan tangan dari beberapa orang yang berada di hadapannya. Dengan cepat dia bangkit, tubuhnya bergerak lincah menghindari pukulan yang terarah pada mereka. Satu tangannya menangkap tangan salah satu lelaki besar itu lalu membalik tubuhnya dan dengan segera menguncinya.

"Jangan mengganggu kami pak tua!" Teriak namja itu dengan nafas yang memburu. "Aku ingin sekali menguliti gadis ini dan menghajarnya! Jangan menghalangi!"

"Aku tidak ingin membuat masalah disini." Balas Sehun tenang. "Pergilah, anak ini biar aku yang urus."

"Tidak! Aku ingin menghajar wajahnya dengan tanganku, pak tua! Kau yang seperti itu tahu apa tentang kekesalan kami."

"Pergi, atau kau takan kembali lagi." Sehun berdesis pelan dengan wajah menggelap dan aura suram yang mengelilingi. Keempat remaja pria itu berdecih tak suka, kemudian pergi melangkah.

"Awas kau gadis bodoh, lain kali aku akan menendang kakimu dan menginjak wajahmu!" Teriaknya keras sebelum akhirnya pergi menghilang di belokan koridor.

"Dan kau ikut aku." Titah Sehun mutlak sambil menyeret si gadis.

"Yak lepaskan!" Ia meronta kuat, "lepaskan aku! Oh Sehun lepaskan aku!" Jeritnya kencang, Sehun masih sama berwajah datar tak peduli. "LEPASKAN AKU SIALAN!"

Sehun berhenti melangkah, suasana langsung hening seketika. Ia berbalik menghadap gadis itu yang kini terdiam bungkam.

"Tolong ulangi." Ucap Sehun. "Tadi kau berkata apa hem?" Ulangnya dengan begitu tenang.

"Lepaskan aku." Cicit gadis itu. "Aku sudah mengatakannya berkali-kali, tapi kau tak mau mendengar."

Menghela nafas sejenak, lalu kembali beralih menatap gadis itu. "Luhan dengar, kita sudah membicarakan ini berapa kali. Tak ada perkelahian, tak ada acara menantang dan unjuk kekuatan."

"Tapi mereka yang memulainya, aku akan pergi jika mereka tak berbuat ulah." Adunya dengan suara kecil miliknya.

"Tetap saja. Bisakah kau sedikit saja kontrol emosimu? Kalian takan mungkin berkelahi jika kalian tidak keras kepala." Sehun kembali menatap wajah Luhan. "Dan sekarang ikut aku. Jangan membantah."

"Aku tidak mau." Balasnya tak peduli.

"Ikut aku, Luhan. Atau kau tau sendiri akibatnya."

"Tidak mau." Balasnya kekeh.

"Ikut aku, kita akan menemui kepala sekolah."

"Tidak. Untuk apa, kau saja. Aku malas melihat kepala botaknya."

"Luhan." Desis Sehun dingin.

"Yak! Aku tidak mau! Kau saja pergi sendiri, aku tak sudi berada disana. Lagipula untuk apa kau memaksaku pergi, pergi saja sendiri. Kau kan sudah dewasa."

"Ini." Tunjuk Sehun pada sebuah kertas amplop yang sudah menyedihkan, kumal dan basah. "Kita pergi untuk masalah ini."

Luhan menganga, matanya tak mengedip melihat surat yang Sehun pegang. "B.. bagaimana bisa?" Gagapnya, "yak! Kau menguntitku kan!" Teriaknya keras. Luhan takan mungkin lupa, itu adalah kertas panggilan orang tua yang ia sembunyikan sebaik mungkin dan terakhir kali ia melihatnya saat ia membuang surat itu jauh-jauh.

"Hm?" Alis Sehun terangkat satu, dengan seringai kecil ia menatap Luhan. "Aku tau tentangmu, kau lihat." Tunjuknya pada jari manis yang kini dilingkari sebuah cincin emas putih pengikat. "Aku tau semuanya, jadi jangan berpikir untuk menyembunyikan sesuatu padaku. Luhannie..." terangnya bangga dan diakhiri bisikan seduktif di telinga sang gadis.

"Arrrghh sialan!" Jerit Luhan.

"Jangan mengumpat baby, atau aku cium."

"Terserah!" Pekiknya keras. "Aku tak peduli!" Berjalan menghentakkan kaki kesal dan meninggalkan Oh Sehun dengan derai tawanya.

.

.

.

.

.

Mereka berdua kini duduk menghadap pria tua dengan kepala botak, kumis tebal dan perut buncit. Sosok pria tua itu menatap penuh selidik pada Sehun dan Luhan.

"Jadi, kau ini.."

"Saya disini sebagai wali Luhan." Terang Sehun.

"Kau tau, apa yang gadis delapan belas tahun ini lakukan?"

Sehun menggeleng. "Saya disini untuk alasan itu."

"Dia berkelahi dengan siswa sekolah lain. Salah satu diantara mereka ada yang cedera, dan harus dilarikan kerumah sakit karena tulang bahunya yang bergeser."

"Pihak kami dituntut tentu saja, tapi semuanya telah selesai dengan dibicarakan secara baik-baik. Dan anak ini kembali berulah, ia kembali menantang beberapa siswa dan hampir memukul wajah salah satu siswa mereka. Beruntung hal ini tak menimbulkan masalah, tapi tetap saja. Sikapnya jelas tak mencerminkan sikap sebagai seorang 'siswi' yang baik."

Sehun mendesah pelan, sebenarnya apa yang gadis kurus itu lakukan, terkadang Sehun tak mengerti dengan jalan pikiran satu mahluk ini. Bisa-bisanya dia berbuat seperti ini.

"Saya mohon maafkan saya. Saya akan mencoba mendidiknya dengan baik. Luhan, dia hanya perlu tuntunan. Dan saya akan membimbingnya lagi. Saya coba usahakan."

"Ini adalah peringatan terakhir, jika dia kembali berbuat ulah lagi. Aku tak peduli dengan statusnya yang kini di tingkat akhir, aku takan segan mengeluarkannya."

"Terimakasih sebelumnya atas pengertian bapak." Ucap Sehun sopan. "Saya akan mencoba berbicara padanya dengan sebaik mungkin agar dia bisa mengerti."

Sehun bangkit berdiri lalu membungkuk hormat.

"Saya undur diri."

.

.

.

"Yak lepaskan! Kenapa kau kasar sekali padaku?" Teriak Luhan sambil menghempas tangannya.

"Kau tau apa kesalahan mu, nona."

Luhan acuh tak peduli, ia malah memalingkan wajahnya.

"Demi tuhan Luhan, kau adalah perempuan. Bisakah kau tak sering berbuat ulah? Kau dengar, kau bisa saja dikeluarkan. Kau mau dikeluarkan menjelang ujian akhir? Kau mau mengulangi masa-masa tingkat atas mu sekali lagi?"

Luhan masih acuh tak peduli. "Sekarang pulang. Aku akan mengantarmu."

"Tak mau. Aku akan pulang sendiri."

"Masuk." Titah Sehun dingin.

"Tidak!"

"Masuk." Desisnya.

"Tidak! Berhenti mengaturku, aku akan pulang sendiri menaiki bus. Jangan memaksaku!"

"Luhan..." panggil Sehun dengan nada rendah miliknya.

"Aku tidak mau! Pulang sendiri saja sana, jangan ajak aku. Aku sudah dewasa untuk pulang sendirian."

"Aku tau kau akan menemui teman geng mu lagi," Sehun melipat kedua tangannya. "Sekarang masuk, kita pulang."

"Tidak mau!" Kekeh Luhan, ia menundukkan kepalanya saat melihat tatapan tajam Sehun.

"Luhan!" Desis Sehun dingin dan penuh penekanan.

"Aku tidak mau pulang." Cicitnya pelan dengan kepala yang masih menunduk dan tangan yang saling meremas. "Kau marah padaku."

Sehun menghela nafas. Satu sudut bibirnya naik beberapa derajat membentuk lengkungan. "Luhan," panggil Sehun lembut. "Aku tak marah padamu. Hanya saja jangan ulangi lagi, ne?"

"Luhan tatap aku." Sehun menarik bahu Luhan dan membiarkan mereka berhadapan dengan jarak dekat. "Sekarang pulang, nde? Pulang bersama ku. Aku akan mentraktirmu bubble tea jika kau menurut padaku." Sehun mengelus helai madu itu lembut. "Sekarang pulang."

Luhan dengan enggan mengangguk dan mengikuti Sehun masuk kedalam mobil.

Sehun duduk diam sambil memasang seat belt miliknya, ia melihat kearah Luhan. Poni itu sudah panjang hampir menutupi mata.

"Rambut mu sudah panjang Lu."

"Hm, akhir pekan aku akan memangkasnya."

"Jangan. Jangan dipotong. Biarkan ia tumbuh."

"Aku tak suka. Mereka menghalangi." Sehun tak menjawab, ia meraih kepala Luhan dan mengusapnya pelan.

"Jangan, Luhan. Aku ingin melihat surai indah lebat darimu lagi. Mengapa kau selalu memangkasnya, aku paling tau Luhan yang manis paling tak suka rambut pendek jeleknya."

Luhan tak menjawab. Ia malah terdiam.

"Luhan..." panggil Sehun lagi. Ia menatap miris pada memar-memar di wajah Luhan.

"Aku tak suka ini." Sehun menunjuk memar kebiruan yang berada beberapa centi di bawah mata, Sehun lalu menekannya pelan membuat ringisan pelan meluncur dari bibir gadisnya.

"Berhenti membuat ini Luhan. Aku tak suka."

"Demi tuhan tuan Oh, ini hanya memar biasa. Jangan berlebihan. Ini hanya memar kecil, dua hari juga sudah menghilang."

"Lalu setelahnya?" Tanya Sehun. "Kau lihat ini." Sehun menunjuk pelipis Luhan yang terdapat memar berwarna ungu yang cukup lebar. "Ini." Tunjuknya pada rahang Luhan. "Ini." Ia menyentuh bibir Luhan yang robek dan setengah mengering. "Lalu ini," menekan tulang selangka Luhan kuat-kuat yang segera disusul pekikakan keras Luhan, "dan ini." Sehun mengangkat tangan Luhan yang pergelangan tangannya sedikit di bebat akibat retak pada tulangnya.

"Kau takkan berhenti berulah sampai semua tubuhmu berubah menjadi biru." Sehun menatap Luhan.

Sehun mengusap kepala Luhan. "Luhan dengar, pikirkan perasaanku. Setidaknya jagalah tubuhmu dengan benar. Jangan menyusahkan orang lain. Dan yang paling penting, jangan membuat marah orang lain."

Sehun menepuk-nepuk kepala itu gemas. "Tunggu, Luhan mana cincin kita? Kau tak memakainya?"

"Ada." Jawab Luhan, "aku selalu memakainya hampir setiap saat. Kau tau Sehunnie, cincin itu keberuntunganku."

"Lalu mana?" Sehun mengangkat tangan Luhan dan membolak-balik lengan mungil itu.

"Ah ini!" Serunya senang, sambil mengeluarkan satu kalung berbandul cincin yang melingkari lehernya. "Aku hampir membuat ini rusak, jadi aku kalungkan saja. Kau taukan bagaimana keahlian tangan ku ini." Tanya Luhan sambil menaik turunkan alisnya.

"Dasar." Sehun mendengus pelan. Ia tersenyum geli melihat kelakuan gadisnya.

"Nah sekarang kita pulang. Kau mau kemana, kerumah Umma atau kerumah mu?"

"Aku ikut Sehunnie saja." Sehun menaikan alisnya. "Ish! Aku bosan dirumah, rumah ku sepi, tak ada siapapun disana."

"Ne..ne.. ne.. jadi Hannie-ya ingin ikut Hunnie?" Luhan mengangguk antusias. "Yakin?" Tanya Sehun lagi.

"Tentu, atau aku pergi bermain saja."

"Jangan! Jangan berbuat ulah lagi nona." Desis Sehun.

Luhan mengangkat bahunya ringan. "Berarti aku bersamamu," dan Sehun hanya bisa kembali menghela nafasnya.

"Dasar..."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Luhan, jika kau hanya bisa mengganggu para pekerjaku lebih baik kau pulang."

Luhan mendelik sebal. "Aku tidak mengganggulah! Mereka dulu yang memulai. Salah siapa mereka menatap ku tajam, aku tak suka. Aku ingin mencolok mata mereka satu-satu."

"Astaga..." Sehun mendesah lelah. Luhan sungguh ingin melihatnya mati di usia muda.

Sehun melirik Luhan yang kini melipat kedua tangannya. Dagunya terangkat sementara matanya memincing tajam. Bisa-bisanya gadis itu membuat ulah di kantornya. Mengganggu hampir semua pekerja yang ditemuinya dan membuat keributan yang membuat semua pekerjanya kelimpungan.

"Kembali ke ruangan ku." Titah Sehun.

Luhan hanya meliriknya sebentar lalu gadis itu kembali memalingkan wajahnya.

"Luhan. Kembali." Tekan Sehun sambil berusaha menahan amarahnya.

Luhan tak mendengarkan, gadis itu malah berlalu acuh.

"Luhan, jangan mulai lagi. Kita baru bicarakan ini, apa kau ingin mendapatkan hukuman, hm?"

Luhan masih sama, tak menganggap Sehun ada.

"Luhan, jangan buat aku marah. Sekarang kembali ke ruanganku."

"Tidak mau." Balas Luhan acuh.

"Luhan!"

Luhan melirik kecil. Dan ia kembali memalingkan wajahnya. "Aku tak mau Oh Sehun! Kau saja yang kembali, dan urusi semua pegawai centil mu. Aku akan pulang sendiri saja." Luhan berbalik kesal, dan mengambil tas ransel miliknya dengan asal.

"Seenaknya saja, tahu begini aku lebih baik bermain bersama mereka. Setidaknya aku bisa meregangkan ototku." Gerutu Luhan pelan, sambil melangkah kesal.

"Luhan, kembali." Luhan tak mendengarkan dan malah berlalu begitu saja, Sehun menggeram pelan dan tanpa aba-aba ia segera menarik kerah seragam Luhan dan menyeretnya.

"Yak! Lepaskan aku! Kau kasar sekali padaku!" Luhan meronta meminta dilepaskan. Gadis itu memekik keras, wajahnya sudah memerah menahan malu.

"Diam!" Bentak Sehun,ia segera masuk kedalam ruangannya. Menutup pintu kasar dan menguncinya.

Sehun memandang Luhan tajam, tangannya ia lipat di depan dada. "Bisa tolong jelaskan padaku, nona. Mengapa kau begitu senang berbuat ulah?"

Luhan memalingkan pandangannya, dan mendengus pelan.

"Tatap aku saat aku bicara denganmu Luhan." Suara Sehun meninggi saat melihat reaksi gadis itu. Luhan ini benar-benar membuat kepalanya serasa ingin pecah.

Luhan menatap Sehun dengan tajam, menyipit dengan bola mata berkaca-kaca. "Aku tak suka! Aku bosan! Kau bahkan tak peduli padaku dan terus berkutat dengan pekerjaan dan pegawai centilmu! Sudah ku bilang kan, aku tak memulainya! Mereka dulu yang menatap sinis padaku!" Luhan lalu menunduk, tangannya mengepal erat. "Kau juga sama saja dengan mereka! Kau tak mengerti aku, hanya bisa marah-marah dan tak pernah peduli!"

"Sana kembali!" Luhan mendorong bahu Sehun dengan keras. "Aku pulang saja, di sini sama saja seperti di rumah. Aku akan pergi menemui teman-temanku!"

Sehun dengan cepat meraih tangan Luhan dan menahannya. "Luhan, dengar." Sehun mulai melunak, ia mencoba meraih bahu Luhan dan mengusapnya. "Hei, dengarkan aku." Sehun mengusap helai rambut Luhan, dan membenarkan poninya yang kini sudah memanjang.

"Kau marah padaku, eum?" Luhan tak menjawab, gadis itu masih tetap terdiam. Sehun hanya tersenyum kecil. "Aku tau kau kesepian, aku tau mereka membuatmu kesal. Tapi Luhan, kau harus menahan emosimu. Cobalah untuk lebih bisa memahami, jika mereka tak memahamimu cobalah untuk memahami mereka." Sehun menepuk-nepuk kepala Luhan gemas. "Aku tahu, Luhannie ku itu adalah gadis yang baik. Sekarang duduklah, tunggu aku. Sebentar lagi aku pulang dan kau bebas mau pergi kemanapun, akan aku temani."

Sehun menarik tangan Luhan perlahan, membiarkan gadis keras kepala itu mengikutinya.

"Kemarilah." Sehun kini duduk di balik meja kerjanya, kemudian menepuk-nepuk pahanya. "Jika kau bosan sendirian di sana, kau bisa duduk di sini bersamaku."

Luhan menggeleng kecil. "Tak mau, aku bukan anak kecil." Bisiknya pelan.

"Tak apa, lagipula bagiku kau seperti bayi kecil nakal yang tak pernah bisa diam." Luhan cemberut dan Sehun terkekeh pelan, dengan gemas Sehun menarik tangan Luhan menuju pangkuannya.

"Diamlah Luhan, tak perlu malu-malu seperti itu." Sehun mengusap rambut pendek Luhan, ia memeluk gadis itu dan menumpukan dagunya di pucuk kepala Luhan. Dalam hati Sehun kembali tertawa, astaga gadisnya ini sungguh menggemaskan meskipun bar-bar dan memiliki tubuh kerempeng. "Nah diamlah, aku akan mengerjakan tugasku. Kau jangan mengganggu, arrachi?" Sehun menepuk-nepuk pipi Luhan gemas. Dan Luhan hanya mengangguk malas.

Sehun mulai mengerjakan pekerjaannya, memeriksa setumpuk dokumen yang tak pernah absen mengisi meja kerjanya. Ia melirik sejenak kearah Luhan, gadis itu hanya terdiam menopang dagu pada meja. Ia duduk memperhatikan dan sesekali bertanya tentang ini apa, mengapa harus seperti ini Sehun hanya mengangguk pela atau bergumam kecil menjawab pertanyaan Luhan.

"Sehun.."

"Hm."

"Boleh aku pinjam ponsel mu?"

"Untuk apa?" Jawab Sehun malas.

"Ish cerewet sekali, ayolah berikan saja ponsel mu padaku. Ah! Atau kau diam-diam bermain di belakangku ya?" Tuduh Luhan.

"Terserah kau." Sehun berdecak pelan dan menjawab malas. "Ambil sendiri."

"Di mana?" Luhan mendongak menatap Sehun dengan mata bulat yang berbinar penuh.

Sehun bergumam malas menunduk dan dengan cepat mengecup bibir itu gemas melumatnya basah kemudian menghisapnya. "Di kantung celana ku." Jawabnya ringan, tak peduli dengan Luhan yang kini tengah memerah menahan malu.

"Ish, selalu seperti itu." Gerutunya kesal.

"Jangan protes baby, ambil saja."

Luhan mencebikkan bibirnya, dengan kesal tangannya segera menelusup masuk kedalam kantung celana Oh Sehun.

"Bisakah kau pelan-pelan!" Ujar Sehun sedikit berteriak sembari menahan rasa geli saat lengan kurus itu mulai menulusup masuk.

"Yak, jangan protes baby, ambil saja." Luhan menirukan gaya bicara Sehun dengan sebal. "Ambil saja sendiri! Kau kan punya tangan, pelit sekali! Padahal aku hanya meminjam ponsel, bagaimana jika aku sekarat apa kau juga pilih-pilih dan masih mau mengerjaiku?!" Luhan mengomel kesal dengan suara yang melingking dan memantul di ruangan yang berukuran sembilan kali dua belas meter.

Sehun hanya memutar bola matanya. Ia mendesah pelan, gadisnya ini benar-benar tak bisa diajak romantis.

"Nah ini." Sehun berucap malas sambil menyodorkan ponsel kotak berlayar datar berwarna hitam dengan polet silver berlambang apel yang nampak tak utuh dengan bekas gigitan di sebelah kanannya. "Berhenti merajuk, kau ini sensitif sekali."

"Biarkan saja." Luhan tak peduli, ia lalu meraih ponsel Sehun dan mulai sibuk memainkannya.

Sehun melirik sedikit. "Apa yang akan kau lakukan, gadis nakal."

"Bermain game." Sahutnya acuh. Setelah itu terdengar suara-suara berisik yang saling bersahutan dan memekakan telinga yang berasal dari ponsel yang Luhan mainkan.

"Pelankan suaranya. Aku sedang bekerja dan berkonsentrasi."

"Tak mau. Aku tidak bisa berkonsentrasi bermain jika ponsel payah mu ini tak mengeluarkan suara."

"Dasar." Sehun mendengus geli. Keras kepala dan tak mau mengalah.

"Luhan, kau tak ada pr hm?" Tanya Sehun sambil mengusap-ngusap rambut Luhan. Luhan hanya menggeleng kecil dan kembali fokus pada ponsel Sehun.

"Tak ada?" Tanya Sehun.

"Tak tau." Jawab Luhan acuh, sama sekali tak peduli.

Sehun menghela nafas lagi. Dasar siswi bar-bar. "Kau ini, sungguh..." Sehun mengacak rambut Luhan gemas.

"Ish.. diamlah Sehunnie! Yak! Aku kalah lagi kan!"

"Kau memang selalu kalah." Ejek Sehun. "Terimalah dengan lapang dada."

Luhan melirik Sehun tajam. Dengan gerakan cepat ia meninju bahu Sehun.

"Mengapa galak sekali?" Protes Sehun sambil meringis pelan.

"Mengapa kau menyebalkan!" Balas Luhan kesal. "Jangan mengganggu ku Oh Sehun, atau aku cekik kau!"

"Baiklah-baiklah, aku takan mengganggu. Wanitaku ini kenapa galak sekali padaku?"

Luhan memincingkan matanya, "berhenti membual Oh Sehun, itu menggelikan."

Dasar, Sehun mendengus. Bilang saja kau malu keras kepala. "Ne, baiklah. Jangan marah-marah terus padaku." Sehun kembali menepuk-nepuk kepala Luhan gemas.

"Hm." Sahut Luhan acuh, ia kembali fokus pada game yang dimainkannya. Kali ini dia menyetel volumenya hingga batas maksimum. Membuat Sehun kembali menghela nafas lelah.

Tak lama setelah itu ruangan menjadi hening, Sehun mengernyit heran. Ia melirik pada Luhan. "Kenapa? Kau menyerah?" Tanya Sehun dengan nada yang menyebalkan.

"Hm." Balas Luhan malas. Ia tak menanggapi Sehun yang terus merecokinya.

Luhan membuka aplikasi kamera lalu berpose centil dengan piece sign nya dan senyum sok manis miliknya. Luhan kembali berpose kali ini ia mengarahkan kamera pada Oh Sehun yang fokus berkutat dengan dokumennya. Luhan memotret dirinya dengan Oh Sehun yang memasang wajah datar dan muka dingin sebagai latarnya, ia membentuk ugly face untuk mengejek tampang datar Sehun.

"Sehunnie lihat aku!" Serunya senang, "ayolah, kapan lagi kita bisa berfoto seperti ini. Kau kan sok sibuk sekali."

Sehun menatap malas pada Luhan. "Senyum Sehun, senyum!" Luhan menaik turunkan bibir Sehun dengan jarinya. "Ish, kau kaku sekali!" Serunya kesal. Dengan kasar Luhan menekan bibir Sehun membentuk lengkungan yang ia sebut senyum. Timer bergerak otomatis, Luhan masih tetap menekan bibir Sehun tapi ia mulai berpose dengan gaya cheer up miliknya.

"Ish, kau jelek sekali." Protes Luhan, setelah ia melihat kembali hasil bidikan kameranya.

"Lalu aku harus bagaimana?" Tanya Sehun malas.

"Senyumlah Oh Sehun. Datar sekali, dasar muka tembok."

"Baiklah." Ucap Sehun kalem. "Luhan lihat aku." Luhan mendongak melihat Oh Sehun, dan tanpa diduga Sehun mengangkat tangan Luhan lalu dagu Luhan di cengkram kuat-kuat dan bibirnya saling beradu. Sehun melirik sejenak pada arah kamera, ia lalu menyeringai samar tepat setelah itu kamera berbunyi klik dan memerangkap bayang mereka.

"Nah, sudah. Aku sudah tersenyum." Sehun berucap senang mentertawakan Luhan yang hanya bisa mengerjap pelan dengan pipi memerah sampai telinga dan bibir yang dibasahi saliva sampai dagu.

"Kau menyebalkan!" Luhan memukul dada itu pelan, wajahnya ia sembunyikan dibalik bidang dada Oh Sehun.

"Ahaha.. aku memang tampan baby." Sehun tertawa ringan lalu tersenyum menggoda ke arah Luhan.

Luhan mencebikkan bibirnya sebal. "Jangan terus-terusan menggoda ku!" Seru Luhan kesal.

Sehun kembali tertawa, ia lalu mencolek-colek pipi Luhan gemas. "Gadisku manis sekali, eoh. Aku suka. Meskipun galak menyebalkan dan tak pernah berhenti berbuat ulah." Sehun mengecup pipi Luhan. "Aku menyukainya. Ah~~ aku benar-benar ingin menggigit pipi tembamnya." Ucap Sehun sambil terkekeh pelan dan berusaha menggigit pipi Luhan.

"Diamlah Oh Sehun payah! Jangan terus menggangguku, kau menyebalkan!" Luhan menjerit kesal dengan muka memerah padam, dan Oh Sehun. Pria itu kembali tertawa lepas melihat kelakuan gadisnya.

Ah, Sehun benar-benar menyukai gadis bar-barnya.

.

.

.

TBC

.

.

.

Aloha!

Ini ff baru nih, *nyengir kuda, garuk telinga sambil mikirin nasib PoS n Blitz*

kali ini beda, saya buatnya manis-manis salty. Konfliknya juga gk ribet-ribet amat, gak berbelit kaya benang kusut. Di sini saya hanya berfokus sama tingkah Luhan yang pecicilan dan bagaimana Sehun ngehadapin tuh rusa beijing yang centilnya nauzubillah. Mungkin ini genre nya fluffy tapi gak menutup kemungkinan bakalan ada hurt nya atau angsat bahkan bisa aja berujung tragedy hohoho... #Ketawajahat *becanda deng,* tpi intinya ini g murni fluffy pasti ada konflik-konflik pemanis. Dan alur yang saya gunakan bakalan lambat. Karena saya fokus sama moment-moment hunhan, jadi agak maklum ya.

Yang blitz nanti dulu yah... saya lagi bangkitin jiwa psikopat saya yang entah hilang kemana setelah saya nulis ini. Intinya lagi d proses tunggu saja. XD XD

Gimana tanggapannya?

Jadi, lanjut ga nih?

Kalo saya lanjut aja, wong udah terlanjur nulis. Kekekeke.