PARADISE

CHAPTER XXX

.

"Sebuah Akhir"

.

Bagaimana jika, setelah semua yang terjadi di antara mereka, Wu Yifan dan Park Chanyeol memang tidak ditakdirkan bersama. Siapa yang bisa melawan takdir, kan? Bahkan matahari tidak bisa menolak untuk tenggelam, atau kucing yang harus terlahir menjadi kucing. Semuanya berjalan sesuai harmoni alam. Tapi bagaimana jika, untuk satu hal ini, Wu Yifan dan Park Chanyeol adalah sebuah pengecualian.

Yang menyenangkan dari pagi adalah mataharinya, juga kesibukan orang-orang mempersiapkan aktivitas mereka pada saat itu. Lampu-lampu jalan yang meredup, derap langkah kaki yang tergesa, dan klakson-klakson mobil yang memekakkan telinga, adalah pemandangan pagi di sebuah kota yang Yifan saksikan itu. Di sela-sela jarinya, sebatang rokok yang tinggal separuh mengepulkan asap putih. Hawa dingin musim gugur tidak menggoyahkan postur tubuh tinggi laki-laki itu.

Yifan mendengar pintu balkon di belakangnya terbuka. Ia kemudian mendengar langkah kaki berjalan pelan mendekatinya. Langkah kaki yang tidak asing baginya. Sepasang lengan melingkari dadanya bersamaan ketika Yifan menghisap asap rokoknya terakhir kali sebelum mematikannya. Dari posisi ini, suara detak jantung pemilik lengan itu seperti menembus punggung Yifan menuju dadanya, menyatukan iramanya menjadi satu.

"What's wrong?" Tanya Chanyeol.

Tinggi tubuh mereka yang hampir sama membuat Chanyeol bisa menenggelamkan wajahnya pada leher Yifan.

Nothing is wrong. Yifan ingin menjawab itu. Tapi keputusan harus ia buat, karena dengannya menjawab kalimat itu akan membuat otak Chanyeol mengartikannya dengan kemungkinan-kemungkinan lain.

"Sudah lama aku tidak bangun pagi." Adalah jawaban yang Yifan pilih.

Chanyeol mendengus dan Yifan bisa merasakan hembusan nafas pemuda itu di tengkuknya.

"Seandainya aku tidak hilang ingatan, apa kita akan melakukan hal ini sejak lama?" Tanya Chanyeol lagi.

Seandainya kau tidak hilang ingatan, maka kau sudah mati. Karena itu yang selalu kau inginkan sejak lama. Yifan menggigit bibir bawahnya dan mendengus.

"Jika kau tidak hilang ingatan, kita akan melakukan ini, setiap hari, kapan pun." Yifan membalikkan tubuhnya dan menangkup wajah Chanyeol menggunakan kedua tangan besarnya. Bibir mereka kemudian bertemu.

Tapi Yifan tidak akan pernah membiarkan Chanyeol mati.

.

.

.

Kejadian-kejadian yang terjadi di antara waktu kecelakaan hingga proses penyembuhan masih abu-abu bagi ingatan Chanyeol saat ini. Ia hanya ingat bagaimana ia menabrakkan mobil yang Ayahnya belikan untuk kado ulang tahunnya dan bagaimana ia kemudian menjadi manusia yang baru setelahnya.

Hari ini adalah jadwal terapi Chanyeol dengan psikiaternya. Dokter Kim menyarankan untuk melakukan scan ulang di kepalanya dan memeriksa semuanya dengan hati-hati. Ingatan Chanyeol yang kembali secara tiba-tiba adalah sebuah kabar baik juga kabar buruk.

"Apa yang akan terjadi kalau aku bertemu Ayahku lagi?" Tanya Chanyeol.

Hari ini ia datang sendiri. Yifan yang biasanya akan menemaninya, harus memperpanjang izin tinggalnya di Korea.

Dokter Kim menimbang jawabannya. Ia membolak-balikkan catatan di mejanya sebelum mendesah pelan.

"Akan ada dua kemungkinan. Pertama, kau menghadapi dan memaafkannya –di mana hal ini akan menjadi kemajuan terbesarmu—dan kedua, kau akan mengalami serangan hiperventilasi seperti ketika kau bertemu pasanganmu."

Kedua sudut bibir Chanyeol tanpa sadar tertarik ketika mendengar kata pasangan itu.

"Ayahmu adalah stressor terberatmu. Bahkan tanpa kehadiran fisiknya, kau masih akan merasa ketakutan dan tidak mampu untuk melanjutkan hidupmu secara normal. Kau bisa meminum obat selama sisa hidupmu, tetapi selama Ayahmu masih menjadi pemicu stresmu, kau tidak akan ke mana-mana."

Ayahmu adalah bagian dari dirimu. Bahkan ketika kau berhenti menemuinya, DNA yang tertanam di dalam darahmu adalah miliknya. Kau tidak akan pernah bisa lari.

Jemari Chanyeol menekan pelipis kanannya.

"Bagaimana jika aku bertemu dengannya lalu ia tidak akan membiarkan aku pergi? Bagaimana jika ia memasukkanku ke dalam rehabilitasi? Bagaimana jika—" Tenggorokan Chanyeol tercekat.

"Apakah hal itu yang kau takutkan? Bagaimana jika ia menyesali perbuatannya selama ini dan mendukungmu?" Tanya Dokter Kim.

Chanyeol menggelengkan kepalanya. Ayahnya bukan orang yang seperti itu.

"Chanyeol..."

Dokter Kim melihat kembali tatapan pemuda 17 tahun yang ia periksa dulu.

"Kau sudah dewasa dan semua keputusan ada di tanganmu. Kau bisa menolak apapun yang Ayahmu inginkan jika kau keberatan. Dan kau tidak akan ada di pusat rehabilitasi tanpa rekomendasi dari ku." Kata Dokter Kim.

Chanyeol terdiam. Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan bergetar.

"Bagaimana cara untuk memaafkannya?"

.

.

.

"Bagaimana dengan sesimu hari ini?" Tanya Yifan ketika ia dan Chanyeol berbaring di atas tempat tidur.

Chanyeol yang tertidur miring semakin mengeratkan lengannya yang melingkar pada perut Yifan. Kepalanya ia letakkan di atas lengan pemuda yang sedang memainkan rambutnya itu.

"Semuanya berjalan lancar. Aku hanya perlu meminum obatku secara rutin." Jawab Chanyeol pelan. Ia ragu-ragu untuk bercerita tentang pembicaraannya pada Dokter Kim mengenai Ayahnya.

Keduanya kemudian terdiam. Yifan menikmati pemandangan kosong di langit-langit kamar apartemen milik Chanyeol, sementara pemuda itu sendiri menghirup aroma tubuh Yifan yang menguar dari lehernya.

"Aku sepertinya harus kembali ke China untuk beberapa saat." Kata Yifan lagi.

Ia bisa merasakan tubuh Chanyeol menegang mendengar hal itu.

"Why?" Chanyeol melepaskan diri dari Yifan kemudian bangkit.

Yifan mengikutinya duduk dan mengamati gerak-gerik pemuda yang mulai terlihat gelisah itu. Yifan mengejar telapak tangan Chanyeol dan meremasnya. Hal itu membuat Chanyeol akhirnya memalingkan wajah dan menatap Yifan.

"Chanyeol..."

Chanyeol berusaha mempersiapkan diri untuk apapun yang akan Yifan katakan padanya, termasuk perpisahan. Mungkin kali ini, mereka hanya cukup mengucapkannya dengan benar.

"Ayo kita pindah ke Kanada. Ayo kita mulai semuanya dari awal." Ucap Yifan dengan bahasa Koreanya yang beraksen asing. Chanyeol sempat berpikir bahwa ia salah mengartikan kalimat Yifan barusan.

"Aku sudah memikirkannya selama beberapa waktu, aku hanya perlu mengurus dokumen-dokumenku di China dan kita bisa berangkat kapan pun." Kata Yifan lagi, meyakinkannya.

Chanyeol belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Ia tidak punya paspor, apalagi visa. Ia tidak tahu bagaimana harus mengurusnya. Terlebih lagi, ia tidak tahu harus menjawab ajakan Yifan dengan apa.

"Aku masih harus menyelesaikan sesiku dengan Dokter. Aku harus meminum obat setiap waktu. Aku—" Chanyeol tidak berani menatap Yifan.

Bagaimana jika kali ini kita juga gagal? Bagaimana jika aku mengacaukan semuanya seperti sebelumnya? Apa yang akan orang-orang pikirkan?

Apa yang Chanyeol pikirkan kala itu bisa terlihat seperti potongan-potongan film bagi Yifan. Karena ia juga memikirkannya. Ketakutan dan kekhawatiran itu. Tapi mereka pernah merasakannya dan bahkan melaluinya. Mereka adalah kekacauan itu.

"Tapi apa kau mau bersamaku?" Tanya Yifan lagi.

Chanyeol buru-buru menatapnya dan meremas kedua tangannya.

"Aku mungkin tidak mengatakannya dulu, dan itu adalah sebuah kesalahan. Tapi aku selalu ingin bersamamu."

Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpamu.

Yifan menangkup leher Chanyeol menggunakan tangan kirinya dan menempelkan bibir mereka. Chanyeol membalas pagutan-pagutan lembut Yifan pada bibirnya.

"Beri aku waktu. Aku akan segera menyelesaikan sesiku dengan Dokter Kim dan kita akan berangkat ke Kanada –ke manapun kau mau—secepatnya." Kata Chanyeol ketika mereka berhenti sejenak.

Jika senyuman Yifan saat ini adalah permulaan, maka Chanyeol akan memberikan segalanya demi melihat hal itu seterusnya.

.

.

.

Ajakan Yifan untuk memulai semuanya dari awal lagi membuat Chanyeol terpacu untuk lekas sembuh dan tidak lagi bergantung pada psikiater dan obat-obatan. Meskipun selama Yifan berada di sampingnya, Chanyeol jarang mengalami ketidakstabilan emosi. Entah betul karena ia sudah mulai menjadi normal atau ia hanya sedang menahan diri. Yang ia takutkan adalah ketika semuanya meledak lagi, selama ini ia sendiri adalah sebuah bom waktu.

Dokter Kim mengapresiasi keinginan Chanyeol untuk cepat sembuh. Tapi semuanya tidak ada yang instan, katanya. Seperti pada sesi sebelumnya, Dokter Kim tetap menyarankan Chanyeol untuk menemui Ayahnya dan berbicara dengannya. Dokter Kim bahkan menawarkan diri untuk mendampingi Chanyeol ketika bertemu dengan Ayahnya.

"Apakah itu satu-satunya cara?" Tanya Chanyeol tanpa sadar menggigiti kukunya.

"Bukan satu-satunya cara, tapi salah satu cara terbaik. Dengan ini, kau bisa mengetahui semua yang selama ini Ayahmu rahasiakan. Kau membebaskan diri dari apapun yang selalu mengekangmu selama ini."

Chanyeol menghela nafas panjang.

Pergilah denganku. Kita akan memulai semuanya dari awal.

Setelah menyelesaikan sesinya dengan Dokter Kim sore itu, Chanyeol yang hari itu lagi-lagi pergi sendiri mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Pemuda itu kemudian menempelkan layar ponselnya di telinga kanannya ketika ia menunggu orang yang diteleponnya menjawab. Chanyeol sempat menghentikan sebuah taksi ketika panggilannya terjawab.

"Yifan..." Chanyeol duduk di kursi penumpang taksi itu.

"Kau sudah selesai?" Tanya Yifan dari seberang.

"Iya, baru saja. Aku akan pulang terlambat. Kau tidak usah menungguku." Kata Chanyeol.

Yifan menautkan alisnya. "Kau ada urusan?"

"Aku akan menemui Pengacara Kangin sebentar." Kata Chanyeol.

Yifan sudah akan menutup teleponnya ketika Chanyeol memanggilnya.

"Yifan?"

"Hm?"

"Kita benar-benar akan memulai semuanya dari awal kan?"

Yifan lagi-lagi merasa heran tapi ia menyimpannya dalam hati.

"Tentu saja." Jawab Yifan meyakinkan.

"Tunggu aku." Bisik Chanyeol pelan sebelum menutup teleponnya.

Supir taksi yang sengaja menunggu Chanyeol menyelesaikan pembicaraan di telepon itu kemudian menanyakan tempat tujuannya. Chanyeol mendiktekan sebuah alamat yang ternyata masih ia hafal di luar kepala. Speaker di dalam taksi memutar deretan lagu klasik, tapi tidak ada yang sanggup Chanyeol dengar.

.

.

.

Petang membawa Chanyeol kembali ke tempat itu. Tembok tinggi yang mengelilinginya terlihat dingin. Chanyeol menatap baik-baik bentuk bangunan yang pernah ia tempati sejak ia kecil hingga remaja. Sebuah tempat yang biasanya akan orang-orang sebut sebagai rumah—tapi tidak bagi Chanyeol, karena ia tidak pernah ingin pulang. Dengan tangan gemetar Chanyeol menekan bel rumah itu. Kali ini Kookie tidak ada di halaman. Pemuda itu menunggu selama beberapa menit sebelum memencet belnya lagi ketika tidak ada yang menyambutnya.

Kali ini interkom yang dipasang di dekat pagar rumah itu menyala. Layarnya kosong dan Chanyeol hanya bisa mendengar suara yang keluar dari speaker. Chanyeol ragu-ragu untuk mendekat dan menampilkan wajahnya.

"Siapa?"

Gemetar yang Chanyeol rasakan kini sudah merambat ke seluruh tubuhnya, tapi pemuda itu berusaha tenang dan maju beberapa langkah untuk berdiri di depan layar interkom itu.

"Ini aku." Chanyeol sendiri cukup terkejut dengan suara dalam yang keluar dari mulutnya. Tenggorokannya kering dan lidahnya seperti kelu.

"Ini aku. Park Chanyeol."

Hening. Tidak ada suara yang menjawabnya lagi ketika Chanyeol mengulangi jawabannya. Namun suara klik dari gerbang yang dibuka kunciannya berhasil membuat Chanyeol terlonjak dari tempatnya berdiri. Pemuda itu mengatur lagi nafasnya sebelum menggerakkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah.

.

.

Yifan yang merasa aneh dengan ucapan Chanyeol di telepon kemudian menghubungi Dokter Kim. Ia yakin ada yang tidak beres dengan pemuda itu.

"Apa sesi Chanyeol hari ini berjalan lancar?" Tanya Yifan terburu-buru.

"Aku rasa begitu. Ia cukup stabil seperti sebelumnya. Ia juga sudah bercerita tentang rencana kalian untuk pergi ke Kanada." Jelas Dokter Kim yang sebelumnya sudah memastikan dari catatannya bahwa Chanyeol sudah memberikan izin padanya untuk bercerita ketika Yifan menanyakan keadaannya.

"Apa yang kau katakan padanya?"

"Chanyeol ingin segera sembuh. Ku katakan padanya untuk menyelesaikan urusan dengan Ayahnya agar ia bisa melepaskan diri."

Nafas Yifan tercekat. Pemuda itu memaksakan tubuhnya yang terasa berat untuk bergerak. Ia meraih jaket dan dompetnya sebelum berlari ke luar dari apartemen tanpa sempat untuk menutup teleponnya dengan Dokter Kim.

.

.

Chanyeol mengambil tempat duduk ketika Mr. Park mempersilakannya. Ia sendiri tidak yakin jika kakinya sanggup menopang berat tubuhnya jika ia terus berdiri. Rumah itu begitu sunyi, seperti biasanya. Suasana canggung menjadi latar belakang dua orang laki-laki yang duduk berhadapan itu.

Chanyeol memperhatikan laki-laki yang mewariskan DNA di dalam tubuhnya itu dengan seksama. Postur tubuhnya yang dulu tegap itu kini sedikit bungkuk. Rambutnya yang biasa diwarnai hitam kini dibiarkan memutih. Wajah yang selalu dingin dan tanpa ekspresi itu telah diselimuti keriput di sana sini.

Suara langkah kaki yang amat pelan memecahkan keheningan. Chanyeol tidak berani menengok ke arah pemiliknya. Bibi Kim menahan nafasnya ketika ia melihat siapa tamu yang datang petang itu. Dengan tangan kecilnya yang juga sudah berbalut keriput, wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan tanpa bersuara memindahkan cangkir ke hadapan dua orang laki-laki yang masih sama-sama membisu itu.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Chanyeol yang akhirnya menyerah. Ia ingin segera pulang dan mengakhiri semua ini.

Mr. Park tidak langsung menjawab. Ia membetulkan letak kacamatanya beberapa kali sambil mengedarkan pandangannya ke semua tempat, selain pada Chanyeol.

Chanyeol mengepalkan kedua telapak tangannya yang ia letakkan di atas paha.

"Aku datang ke sini untuk menyelesaikan semuanya." Kata Chanyeol.

Mr. Park akhirnya menatapnya. Laki-laki itu membuka mulutnya namun tidak ada suara yang terucap. Laki-laki itu mengatur nafasnya sebelum memulai lagi.

"Kau sudah besar sekarang."

Chanyeol menghembuskan nafas yang tanpa sengaja ia tahan. Suara yang selama ini ia takuti, yang selama ini menjadi mimpi buruknya, Chanyeol semakin membenci suara itu sekarang. Karena suara itu tidak lagi lantang dan menghardik seperti sebelumnya, kini suara itu lirih dan tidak berdaya.

"Aku tidak ingin berlama-lama. Aku hanya ingin mendengar kenapa Aboe—aku ingin tahu tentang Ibu dari Anda." Saat ini rasanya seperti ada gumpalan besar yang memenuhi tenggorokan Chanyeol, membuatnya kesulitan berbicara sekaligus bernafas.

Mr. Park lagi-lagi membetulkan letak kacamatanya. "Kau memang belum berubah." Ujarnya.

Chanyeol menghirup nafasnya dalam-dalam. Perasaan ketika menjadi seseorang yang tidak berguna, tidak penting dan tidak diinginkan menyerang dalam satu waktu. Chanyeol ingin berlari dari tempat itu tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Kepalan tangan Chanyeol meregang tapi kini pemuda itu mencengkeram kain celananya.

"Ibumu menderita Bipolar Disorder ketika kami menikah. Kemudian ia mengalami Postpartum Depression setelah melahirkanmu. Kau pasti sudah membaca rekam medisnya pada dokumen-dokumen itu. Ia berusaha bunuh diri dan mencoba melukaimu beberapa kali."

Mr. Park memperhatikan gerak-gerik Chanyeol yang memalingkan wajah darinya.

"Bahkan sebelum kami menikah, Ibumu telah mengikuti berbagai terapi untuk kesembuhannya. Aku bahkan membuatnya berjanji agar ia tidak bunuh diri." Lanjutnya.

Chanyeol menatap wajah Ayahnya.

"Aku membuatnya berjanji bahwa aku akan membencimu seumur hidup jika ia sampai meninggalkanku." Kata Mr. Park, masih dengan wajah datarnya, ketika ia seperti memahami pertanyaan yang tergambar dari wajah putra semata wayangnya itu.

Chanyeol mengernyit ketika dadanya semakin sesak dan ia mulai kesulitan bernafas. Tapi pemuda itu berusaha mengabaikannya. Ia hanya perlu bertahan selama beberapa saat.

"Aku tahu bahwa ia menderita dengan penyakitnya itu. Aku juga sadar bahwa apa yang ia lakukan bukanlah kemauannya sendiri. Aku sudah berusaha untuk membuatnya bertahan, tapi nyatanya dia tetap meninggalkan aku."

Chanyeol membuka mulutnya ketika nafasnya tersengal.

"Aku harus pergi—"

"Maafkan aku, Chanyeol."

"Aku pikir aku telah melindungimu dengan sikapku padamu selama ini. Aku pikir aku telah melakukan yang terbaik untuk kehidupanmu dengan tidak menyebutkan tentang Ibumu sama sekali, ketika ternyata yang aku lakukan justru sebaliknya. Aku telah menghancurkan segalanya."

Mr. Park melepaskan kacamatanya.

"Aku terlalu mencintai Ibumu hingga aku berpikir untuk menjagamu agar tidak mengalami seperti apa yang dialaminya. Kau begitu mirip dengan Ibumu dan aku tanpa sadar membentukmu agar seperti dirinya."

Chanyeol menekan dadanya. Nafasnya semakin tidak beraturan dan pendek-pendek. Ia tidak sanggup mendengar lebih banyak lagi. Dengan sisa tenaganya, Chanyeol bangkit.

"Tolong buka pintunya." Chanyeol menyeret tubuhnya yang terasa begitu berat.

Wajah tua itu mengikuti Chanyeol hingga ke depan pagar ketika pemuda itu semakin terhuyung. Dan ketika pagar itu terbuka, sosok berpostur tubuh tinggi sudah siap menangkap tubuh Chanyeol ketika ia akhirnya roboh.

Yifan meraup tubuh Chanyeol ke dalam pelukannya ketika ia mengerang kesakitan karena kesulitan bernafas. Rasanya seperti ketika ia tenggelam, dadanya penuh dengan air dan seberapa keras ia berusaha untuk kembali ke permukaan, ia justru jatuh semakin dalam.

Yifan akhirnya bertatapan dengan Mr. Park ketika laki-laki itu menyaksikan putranya sekarat di depan matanya. Chanyeol melingkarkan kedua lengannya pada bahu Yifan dengan semakin erat dan wajahnya ia tenggelamkan di dadanya, menghirup dalam-dalam aroma tembakau dan tubuh Yifan bersamaan.

Banyak yang mengatakan bahwa manusia akan belajar banyak dari kehilangan. Mr. Park telah mengalaminya dua kali, dan ia pikir ia telah cukup banyak belajar darinya, tapi ia tetap melakukan kesalahan. Setelah mendiang istrinya meninggal, ia pikir ia sedang melindungi Chanyeol, ketika nyatanya ia justru sibuk melindungi perasaannya sendiri.

"Penyakit kejiwaan tidak menular, tetapi riwayat penyakitnya bisa menurun pada keturunan yang pernah mengidapnya." Jelas Dokter Choi yang kala itu menjadi psikiater yang menangani istrinya.

Tepat setelah Mrs. Park meninggal, dokter itu memperingatkan Mr. Park untuk lebih mengawasi putra semata wayangnya. Tentu saja Mr. Park akan melakukan segalanya agar apa yang menimpa istrinya itu tidak menimpa Chanyeol, tetapi ia justru menjadi stressor pemuda itu. Ia pikir dengan membatasi pergaulan dan mengatur kehidupan Chanyeol akan membuatnya menjadi seperti orang normal lainnya.

Ketika Chanyeol keluar dari rumah, Mr. Park yang hanya diberi kabar bahwa Chanyeol mengalami kecelakaan terus berusaha mencari keberadaan putranya itu. Tapi kabar lain yang membuatnya semakin terpuruk adalah ketika ia menerima surat gugatan dari tim pengacara mendiang istrinya yang keberatan dengan hak asuhnya kala itu. Ia dianggap telah gagal dalam mengasuh Chanyeol. Ketika ia kalah dalam gugatan itu, ia harus merelakan Chanyeol untuk dirawat oleh tim pengacara Mrs. Park. Ia hanya diberi kesempatan untuk bertemu Chanyeol sekali ketika ia koma dan setelah itu ia hanya bisa mendengar perkembangan putranya itu. Ini adalah kehilangannya yang kedua ketika ia mendengar Chanyeol hilang ingatan. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk berhenti menemui Chanyeol. Barangkali Chanyeol akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik tanpa dirinya.

Dan ketika Chanyeol tiba-tiba datang menemuinya, Mr. Park pikir ini adalah kesempatannya untuk meminta maaf dan barangkali ia bisa memperbaiki semuanya, tetapi lagi-lagi sepertinya ia telah melakukan kesalahan. Laki-laki itu tidak siap dengan kehilangan lainnya.

.

.

.

Yifan terlonjak dari tempat duduknya ketika Chanyeol akhirnya membuka matanya. Namun pergerakan dada Chanyeol yang awalnya sudah mulai tenang dan bernafas dengan normal kembali tidak stabil. Pemuda itu terengah sambil mengernyit kesakitan. Yifan yang sudah mendapatkan instruksi dari Dokter yang merawat Chanyeol buru-buru meraih kertas karton di atas meja dan mengembangkannya. Yifan meletakkan mulut kartun itu pada hidung dan mulut Chanyeol dan membimbingnya agar bernafas di dalam karton itu. Chanyeol yang masih setengah sadar menarik dan mencengkeram kaos yang Yifan kenakan. Setelah beberapa menit, nafas Chanyeol mulai kembali beraturan. Yifan menekan sebuah tombol di atas ranjang yang Chanyeol tempati untuk memanggil dokter.

Chanyeol tidak perlu bertanya pada Yifan mengenai keberadaannya saat ini. Bau obat dan alkohol yang begitu kentara membuatnya menduga bahwa ia berada di rumah sakit. Pemuda itu justru mengamati keadaan Yifan yang saat itu berwajah pucat, mata memerah dan rambutnya berantakan.

"Aku tidak memberitahu siapapun kalau aku menemui Ayahku." Kata Chanyeol dengan lirih.

Yifan mendecakkan lidahnya tanpa sadar. "Aku bisa membaca pikiranmu, kay?"

Chanyeol mendengus sebelum meraih tangan Yifan. Dokter Kim yang sudah mendapatkan telepon bahwa Chanyeol mengalami collapse segera datang ke rumah sakit.

"Ketika aku mengatakan bahwa kau perlu bertemu Ayahmu, bukan berarti kau harus melakukannya pada saat itu juga. Kau juga harus melakukan persiapan." Kata Dokter Kim sambil memeriksa keadaan Chanyeol.

Chanyeol hanya tersenyum dan melirik ke arah Yifan dengan kerling jahil di matanya. Chanyeol seperti seorang anak kecil yang baru saja ketahuan melakukan kenakalan. Dan entah kenapa Yifan merasa senyuman itu bukanlah pertanda baik.

.

.

Dan ketika Chanyeol pergi ke toilet sebelum ia diizinkan pulang, Dokter Kim memperingatkan Yifan akan suatu hal yang ia sendiri sebenarnya mulai curiga.

"Apa yang Chanyeol tunjukkan sekarang ini tidak wajar. Kau harus terus mengawasinya. Aku takut dia menahan sesuatu."

Yifan mengernyit tidak mengerti.

"Aku belum tahu apa saja yang terjadi di dalam pertemuan itu, tapi kau sendiri tahu bagaimana Chanyeol melindungi dirinya sendiri. Bukannya terbuka dengan apa yang dirasakannya, ia justru akan menghancurkan diri. " Jelas Dokter Kim lebih lanjut.

Ketika Chanyeol keluar dari toilet, ia memperhatikan Dokter Kim dan Yifan secara bergantian. "Kalian membicarakanku?" Tanya Chanyeol dengan senyuman di wajahnya.

"Ayo kita pulang." Yifan kemudian bangkit dari tempat duduknya setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter Kim dan menghampiri Chanyeol.

Yifan menggandeng tangan Chanyeol sebelum mereka berjalan keluar.

"Mungkin di masa depan aku akan membangun apartemen di dalam rumah sakit." Ujar Chanyeol ketika mereka melewati koridor rumah sakit. Hal itu pasti Chanyeol katakan karena ia sering keluar masuk tempat itu.

Yifan sibuk mencari-cari jawaban yang tepat untuk menanggapinya ketika tanpa sadar genggaman tangan mereka terlepas. Yifan sudah akan menggandeng tangan Chanyeol lagi ketika pemuda itu justru menyimpan tangannya di dalam saku jaketnya. Ketika Yifan melihat ke sekeliling, saat ini mereka tengah berjalan di antara ruang tunggu rumah sakit yang cukup ramai. Banyak orang yang akan memperhatikan mereka dan keduanya tidak terlalu mirip untuk dianggap kakak beradik. Lalu ketika akhirnya mereka sampai di trotoar jalan di mana mereka menunggu taksi, Chanyeol mengeluarkan tangannya dan meraih genggaman tangan Yifan lagi. Sesuatu dalam diri Yifan terasa nyeri.

.

.

.

Sejak pertemuan Chanyeol dengan Ayahnya, Yifan merasa sikap pemuda itu semakin aneh. Tentu saja Yifan tidak mengutarakannya langsung pada Chanyeol, karena hal itu pasti akan membuatnya semakin terbebani. Yifan ingin Chanyeol lebih fokus pada proses penyembuhannya, dari rasa sakit apapun yang selama ini ia rasakan.

Pernah suatu ketika Yifan terbangun pada dini hari, ia melihat sisi kanan tempat tidurnya kosong. Ketika pintu kamar mandi tidak juga terbuka, Yifan akhirnya bangkit dan menemukan Chanyeol duduk di depan tv yang menyala dengan tatapan kosong di matanya. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Yifan jika saja pemuda itu tidak menyentuhnya.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Yifan.

Chanyeol meremas tangan Yifan yang menyentuh pundaknya dan tersenyum kecil.

"Aku tidak bisa tidur." Jawabnya pelan.

Atau ketika Yifan baru saja pulang dari minimarket dan menemukan Chanyeol sedang meringkuk di samping pintu apartemen. Pemuda itu berjongkok sambil memeluk kedua lututnya dengan kepala tertunduk. Yifan ikut berjongkok di hadapan Chanyeol dan menyentuh kepalanya pelan.

"Chanyeol..."

Setelah panggilan yang ke sekian, barulah Chanyeol mengangkat kepalanya. Matanya terlihat sayu dan memerah.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Yifan pelan.

Chanyeol mengamati wajah pemuda di hadapannya beberapa saat sebelum ia akhirnya seperti menyadari kehadiran Yifan.

"Yifan?" Chanyeol menubrukkan tubuhnya pada Yifan yang kemudian jatuh terduduk karena tidak siap dengan gerakan Chanyeol yang tidak terduga. Pemuda itu terengah di pelukannya.

"Kau ke mana saja? Aku sudah menunggu." Kata Chanyeol dengan suara bergetar. Yifan sudah akan mengatakan bahwa ia baru pergi sebentar, tetapi ia kemudian menelannya kembali.

"Ayo kita masuk ke dalam." Ajak Yifan.

Dengan perlahan, Yifan menopang tubuh Chanyeol dan membimbingnya masuk ke dalam apartemen. Tempat yang selama ini Chanyeol –dan Yifan baru-baru ini—tempati merupakan salah satu aset milik Mrs. Park yang diwariskan pada putra tunggalnya. Chanyeol cukup baik dalam mengurus diri ketika ia tinggal sendirian. Ia tidak memerlukan petugas kebersihan dan hanya menggunakan fasilitas yang memang ia butuhkan untuk kegiatan sehari-hari. Selebihnya akan Chanyeol biarkan dan tidak menyentuhnya sama sekali.

Yifan yakin ketika ia meninggalkan apartemen sekitar 30 menit yang lalu, tempat itu masih dalam keadaan rapi dan tertata. Namun ketika masuk ke dalam apartemen kali ini, tempat itu seperti baru saja mendapatkan serangan tornado. Buku dan majalah berserakan, sofa dan kursi yang berantakan, dan bahkan ketika Yifan membimbing Chanyeol masuk ke dalam kamar, pakaian-pakaian yang tertata di lemari sudah berhamburan di lantai.

Apa yang terjadi, Yifan begitu ingin menanyakan pertanyaan itu. Namun ia tetap mengunci bibirnya dan menuntun Chanyeol agar berbaring di atas tempat tidur.

"Jangan pergi." Cegah Chanyeol seraya menarik lengan Yifan.

"Aku tidak akan pergi. Tidurlah." Yifan menggenggam tangan Chanyeol dan mengambil tempat duduk di tepi tempat tidur.

Seperti akhirnya yakin Yifan tidak akan meninggalkannya, Chanyeol kemudian perlahan menutup matanya dan terlelap ke alam mimpi. Setelah beberapa menit, Yifan melepaskan tangannya dan memperhatikan keadaan di sekitar kamar itu. Pandangan Yifan kembali jatuh pada wajah tertidur Chanyeol yang mengerutkan dahinya dan bibir sedikit merengut. Ia belum pernah melihat Chanyeol yang seperti ini.

Yifan kemudian menarik laci meja nakas dengan perlahan sambil sesekali melirik ke arah Chanyeol dan memastikan bahwa ia masih tertidur. Di dalam laci itu tersimpan persediaan obat-obatan yang harus Chanyeol konsumsi setiap hari. Yifan menghitung kapan terakhir kali Chanyeol mengikuti terapi dan membandingkan jumlah obat yang tersisa.

Bagaimana jika kali ini pun Yifan tidak bisa menyelamatkan Chanyeol?

.

.

.

"Kau masih meminum obatmu, kan?" Tanya Yifan pada suatu sore ketika Chanyeol sedang menonton tv—atau entah ia hanya melamun memandang layarnya. Yifan meletakkan segelas air dan obat di hadapannya.

Chanyeol mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.

"Lalu kenapa obatnya di laci tidak berkurang?"

Kali ini Chanyeol menengok dan mendengus sambil memperhatikan Yifan. "Kau menghitungnya?"

"Kau sebaiknya minum obatmu sekarang." Kata Yifan pelan.

"Aku sudah meminumnya, Yifan." Jawab Chanyeol dengan penekanan di setiap katanya.

"Aku bilang lalu kenapa obatnya di laci tidak berkurang?" Nada suara Yifan mulai meninggi.

Keduanya berpandangan dengan sengit.

"Mungkin kau salah menghitungnya." Sanggah Chanyeol.

Kali ini Yifan yang mendengus dengan tidak percaya. "Kau pikir aku bodoh?"

"Berhenti memperlakukan aku seperti anak kecil." Balas Chanyeol sambil bangkit dari tempat duduknya.

"Kalau begitu bersikaplah seperti orang dewasa dan minum obatmu!" Bentak Yifan sambil menahan lengan Chanyeol agar tidak menghindarinya.

Chanyeol berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Yifan tapi ia tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya.

"Aku akan meminumnya nanti." Chanyeol terus mendorong tangan Yifan dari lengannya.

Yifan tidak bergeming. Kesabarannya sudah mencapai batas dan ia tidak bisa membiarkan hal ini berlanjut.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku." Gumam Chanyeol ketika akhirnya ia menyerah dari usahanya untuk melepaskan diri.

Yifan mendecakkan lidahnya. "Bagaimana aku tidak khawatir kalau kau benar-benar mulai bertingkah seperti orang gila? Aku hanya ingin kau meminum obatmu!" Lagi-lagi Yifan tidak bisa menahan amarah di dalam kalimatnya.

Rasa kesal, lelah dan putus asa itu akhirnya memuncak.

"Kenapa kau bersikap seperti Ayahku?!" Kali ini Chanyeol juga mulai membentak.

"Aku memang gila!"

"Aku harus minum obat seumur hidup agar bisa hidup denganmu!"

Cengkeraman tangan Yifan pada lengan Chanyeol melemah. Yifan menelan gumpalan di kerongkongannya dengan susah payah. Chanyeol menarik tangannya dan menyambar gelas dan obatnya hingga berserakan di lantai.

"Chanyeol..." Mungkin kalimat yang Yifan lontarkan sebelumnya memang keterlaluan, tetapi ia bersumpah bahwa semuanya ia lakukan demi Chanyeol.

"Kau pasti lelah. Mungkin sebaiknya kau meninggalkan apartemen ini sementara." Ucap Chanyeol dengan lirih.

Tentu saja Yifan pasti lelah, tapi ia tidak akan pernah meninggalkan Chanyeol, lagi. Kali ini Yifan ingin menepati janji.

"Maaf." Yifan perlahan melangkah mendekati Chanyeol, namun pemuda itu justru berjalan mundur dan menghindarinya.

"Chanyeol—"

"Please. Leave."

"Aku tidak akan meninggalkanmu." Tubuh Yifan membeku.

"Kali ini aku yang memintanya." Kata Chanyeol sambil menatap pecahan gelas di lantai. Godaan itu sungguh menggiurkan.

Yifan mengikuti arah pandangan Chanyeol dan merasakan dadanya sesak.

"Aku akan membencimu seumur hidup jika kau berani meninggalkan aku." Ucap Yifan menyerah dan berjalan menuju pintu keluar.

"Aku membuatnya berjanji bahwa aku akan membencimu seumur hidup jika ia sampai meninggalkanku."

Chanyeol akhirnya jatuh berlutut ketika mendengar suara pintu yang ditutup. Kedua kalimat itu menggema di telinganya secara bersamaan. Pandangannya pada pecahan gelas terkaburkan cairan panas yang menggenang di pelupuk matanya.

.

.

Entah sudah berapa jam pemuda itu duduk di balik pintu apartemen. Beberapa orang yang lewat di koridor memandangnya dengan aneh. Bahkan security yang barangkali mendapatkan laporan dari orang-orang itu datang menghampirinya. Ia jelaskan bahwa ia tidak bisa meninggalkan tempat itu sampai si pemilik apartemen membuka pintunya. Setelah memastikan bahwa ia juga tinggal di apartemen itu, barulah security itu meninggalkannya sendiri. Inilah Yifan yang sedang berusaha menepati janjinya.

Dengan pikiran kacau dan keadaan yang tak lebih sama, Yifan menyandarkan punggungnya dan sesekali menempelkan telinganya di pintu apartemen, berharap ia mendengar sesuatu, apapun dari dalamnya, tetapi nihil. Tentu saja pintu apartemen itu dilapisi pengedap suara. Ketakutan dari berbagai kemungkinan hal yang terjadi di dalam apartemen itu membuat Yifan terdorong untuk masuk, meskipun Chanyeol sudah memperingatkan bahwa ia tidak lagi diinginkan di sana.

Namun bahkan belum sempat Yifan menekan kata sandinya, kenop besi pintu itu akhirnya bergerak. Wajah Chanyeol basah, seperti ia baru saja membasuhnya. Mata pemuda itu bengkak dan berwarna merah. Yifan berdiri di tempatnya seperti orang bodoh. Ia tanpa sadar menghela nafas yang sedari tadi ia tahan. Kedua kaki jenjang yang biasanya kokoh menopang berat tubuhnya mendadak lemas.

"Chanyeol—" Tenggorokan Yifan tercekat dan ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

Chanyeol menggantungkan kunci mobil di sela-sela jarinya dan mengayunkannya di hadapan wajah Yifan. "Kau masih bisa berkendara, kan?" Tanyanya dengan suara yang masih sengau.

Yifan tidak menjawab dan mengikuti Chanyeol yang sudah mulai berjalan.

.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika keduanya masuk ke dalam mobil milik Chanyeol. Setidaknya mobil ini jenisnya berbeda dengan mobil yang Chanyeol gunakan ketika kecelakaan sebelumnya. Mazda itu berwarna hitam, tipe roadster di mana atapnya juga bisa dilipat dalam hitungan detik. Mereka berkendara dalam diam, Yifan masih belum bisa membuka percakapan dengan Chanyeol. Kepalanya masih mencerna apa yang baru saja dan sedang lakukan saat ini.

Chanyeol mengarahkan Yifan agar berhenti sebentar di sebuah minimarket. Ia meminta Yifan menunggu sebentar sementara ia masuk ke dalam minimarket itu. Setelah membawa satu kantung plastik—dengan entah benda apa saja di dalamnya—Chanyeol duduk kembali di samping Yifan yang mengendalikan kemudi.

Chanyeol rupanya ingin bernostalgia dan kembali pada tempat ketika mereka tujuh belas tahun. Lapangan basket yang dulunya terbengkalai itu ternyata sudah diperbaiki dan digunakan kembali. Kawat besi yang dulu mereka gunakan untuk bersandar sambil menikmati ganja pada suatu senja telah berubah menjadi tembok beton dengan pagar berkunci di salah satu sudutnya.

Chanyeol menjilat bibirnya dan melirik ke arah Yifan sesekali sebelum mengubah tempat tujuan mereka kala itu. Bukit yang pernah Chanyeol akui sebagai tempat di mana ia ingin melakukan percobaan bunuh diri sekaligus tempat di mana Yifan mendapatkan hand job dari seorang laki-laki untuk pertama kali ternyata masih sama dan belum berubah. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi keduanya seperti baru kemarin mengunjungi tempat itu bersama. Dan malam ini, mereka mencoba sekali lagi.

Chanyeol menekan tombol pada dashboard mobil dan membuat atapnya melipat ke belakang. Semilir angin yang menggoyangkan dedaunan ikut membelai rambut hitam kedua pemuda itu. Chanyeol mengeluarkan barang-barang yang ia beli di minimarket tadi dan menyerahkan sekaleng bir pada Yifan.

"Kali ini aku tidak membeli pizza dengan topping kimchi." Kata Chanyeol.

Yifan meraba ingatannya dan menggigit bibirnya ketika menemukan maksud pemuda itu.

"Aku tiba-tiba penasaran dengan nasib pizza itu karena kita tidak memakannya malam itu." Kata Yifan. Senyuman tersungging di bibir tipisnya.

"Bibi Kim mengomeliku ketika membersihkan mobil dan menemukan pizza busuk di dalamnya."

"Ew." Keduanya kompak mengernyit sebelum tertawa.

Rasanya aneh ketika beberapa minggu yang lalu Chanyeol tidak bisa mengenali Yifan dan kini mereka tertawa bersama mengenang ingatan yang terkubur selama bertahun-tahun itu.

"Kita harus pindah ke belakang seperti sebelumnya." Kata Chanyeol sambil mengangkat kakinya yang tak kalah panjang dengan milik Yifan dan duduk di jok belakang.

Yifan berharap Chanyeol sempat membeli rokok karena seberapa pun ia berusaha untuk tidak merokok di depan Chanyeol, kebiasaan itu sulit dihilangkan begitu saja. Dan seperti bisa membaca pikiran Yifan kala itu, Chanyeol merogoh kantung plastik tadi dan mengeluarkan sekotak rokok dan sebuah korek api otomatis.

"Happy?" Chanyeol meringis sementara Yifan mengangkat bahunya.

Awalnya Yifan sudah tergoda untuk memastikan bahwa paru-paru Chanyeol akan baik-baik saja jika ia merokok di hadapannya. Namun ketika ia melihat Chanyeol juga menyelipkan lintingan daun tembakau kering itu di antara bibirnya membuat Yifan membatalkan pertanyaannya.

Chanyeol memantik korek api dan keduanya membakar rokok masing-masing bersamaan. Asap tembakau dari dua buah lintingan mengepul di antara kepala mereka. Suasana jatuh dalam hening.

"Fuck—" Chanyeol mengumpat sebelum melemparkan rokok itu dan terbatuk-batuk.

Yifan menghisap rokoknya untuk terakhir kali dan ikut membuangnya sambil mencari air mineral di antara belanjaan Chanyeol tadi. Tetapi pemuda itu sudah menghabiskan satu kaleng bir dalam beberapa teguk.

"Ini karena permulaan atau memang kita yang sudah mulai tua?" Kata Chanyeol dengan kerling di matanya.

Yifan cukup terhibur ketika mendengar umpatan dari mulut Chanyeol setelah sekian lama. Rasanya memang seperti mereka berpisah dalam sekejap, tanpa Chanyeol yang hilang ingatan di antara perpisahan mereka itu.

Keheningan lagi-lagi menyapa, ia seolah-olah sudah bersiap untuk menyusup setiap kali mereka kehabisan sesuatu untuk dibicarakan. Mungkin karena mereka masih terlalu canggung atau topik pembicaraannya yang salah.

Chanyeol menyandarkan kepalanya pada bantalan jok dan memandang ke arah langit yang berwarna hitam. Bulan yang bersinar penuh menjadi satu-satunya penerang di antara mereka.

"Kau tahu apa yang Ayahku katakan ketika aku menemuinya?"

Yifan bersiap untuk mendengarkan, karena hal itulah yang bisa ia lakukan.

"Dia meminta maaf. Ini adalah pertama kalinya aku mendengar hal itu dari mulutnya." Lanjut Chanyeol.

"Dia bilang bahwa ia menyesal telah memperlakukan aku seperti dulu. Bahwa ia tidak sadar."

Yifan membuka lengannya dan secara otomatis Chanyeol duduk mendekat untuk menyandarkan kepalanya pada bahu Yifan.

"Aku sebenarnya berharap ia akan tetap seperti dulu, mengekangku, melakukan apapun untuk menghalangi aku menjalani hidup seperti yang aku inginkan."

"Tapi dia minta maaf padaku. Dengan wajahnya yang menua, jalannya yang bungkuk. Dia bukan lagi monster itu."

Yifan bisa merasakan tubuh Chanyeol bergetar.

"Lalu ketika kau bilang bahwa kau bersumpah akan membenciku jika aku meninggalkanmu..."

Yifan menahan nafasnya.

"Ayahku juga mengatakan hal yang sama pada Ibuku."

"Chanyeol—" Yifan sudah bersiap untuk menjelaskan maksud dari apa yang ia ucapkan tadi tapi Chanyeol menghentikannya.

Chanyeol menegakkan duduknya dan menatap Yifan yang melakukan hal yang sama.

"Tapi Ayahku tidak bersumpah untuk membenci Ibuku. Ia bersumpah akan membenci aku jika Ibuku meninggalkannya." Chanyeol mendengus ketika air mata jatuh di pipi kirinya.

Chanyeol mencengkeram kaos yang Yifan gunakan sebelum berbisik. "Tolong jangan benci aku."

Yifan langsung merengkuh Chanyeol dan memeluknya. Entah apalagi yang bisa ia lakukan untuk menunjukkan perasaannya pada pemuda itu.

"Aku tidak akan membencimu." Yifan terus berusaha meyakinkan.

Ketika tubuh Chanyeol mulai berhenti gemetar, Yifan melepaskan pelukannya dan menyeka wajah pemuda itu.

"Ketika aku melihat Ayahku, aku sadar bahwa waktu telah berubah, bahkan sikapnya. Lalu aku ingat pada malam di mana ingatanku kembali kemudian paginya aku terbangun menatapmu..."

"...aku takut bahwa perasaanmu, perasaan kita juga akan berubah."

Aku juga memikirkan hal yang sama. Entah kenapa Yifan lega bahwa ia tidak sendirian dalam hal ini.

Chanyeol tiba-tiba tertawa. Air matanya sudah berhenti berjatuhan.

"Aku bahkan tidak tahu, aku hanya menduga-duga, perasaan apapun di antara kita. Selama ini aku hanya bergantung pada ucapanmu di lapangan basket itu."

Yifan lagi-lagi mengorek ingatannya.

Inikah rasanya memiliki perasaan yang banyak orang bicarakan itu? Inikah rasanya mencintai seseorang? Chanyeol tiba-tiba merasa takut, karena jika seperti inilah rasanya jatuh cinta, ia sungguh tidak ingin momen ini berakhir maupun kehilangan orang yang ada di hadapannya saat ini. Senyuman di wajah Yifan tiba-tiba memudar, membuat Chanyeol ingin mengetahui isi kepala pemuda itu.

"Do you like me?" Bisik Chanyeol. Kedua lengannya masih melingkar di lengan Yifan dengan posisi tubuhnya yang duduk di atas perut pemuda itu.

Yifan terdiam sejenak sebelum menjawab, "I don't hate you."

Chanyeol mendengus mendengar jawaban itu sebelum meniupkan angin pada wajah Yifan membuat rambut yang terjatuh di dahinya terangkat. Chanyeol tertawa melihatnya.

"I don't hate you too."

Keduanya kembali bertatapan sambil mengeliminasi jarak di antara mereka. Bibir mereka sudah akan bertemu ketika bagian depan topi yang Chanyeol kenakan berbenturan dengan dahi Yifan. Keduanya kembali tertawa.

Tentu saja. Yifan menatap wajah Chanyeol di hadapannya. Tidak pernah ada kata-kata cinta di antara mereka. Tapi siapa yang membutuhkannya jika apa yang mereka lakukan selama ini membuktikan lebih dari makna ucapan itu.

"I still don't hate you." Kata Yifan tanpa sadar.

Chanyeol tertawa ketika Yifan mengingat kalimatnya. "I know." Ucapnya.

Tapi bagaimana jika kali ini, sekali ini.

"I love you." Bisik Yifan.

Chanyeol tertegun.

Bagaimana jika kalimat itulah yang paling mereka butuhkan?

"I love you too."

Mungkin ini adalah salah satu cara bagi mereka untuk saling menyelamatkan satu sama lain? Dari kekacauan itu, dari monster di dalam diri mereka sendiri.

Wajah keduanya saling mendekat hingga mereka bisa merasakan hembusan nafas masing-masing. Chanyeol mengalungkan kedua lengannya pada leher Yifan ketika bibir mereka saling melumat. Tidak ada kecupan lembut atau dua bibir yang menempel dengan naif. Yifan menjilat bibir, dagu dan menghisap perpotongan leher ketika pada saat yang bersamaan tangan Chanyeol mulai bergerak di antara perut Yifan.

Nafas keduanya terengah ketika mereka berhenti sejenak untuk melucuti pakaian masing-masing. Udara dingin yang berhembus tidak menjadi penghalang. Nafas mereka terengah. Bir, rokok dan kata cinta bercampur di antara saliva mereka.

.

.

.

"Bagaimana kabar Mrs. Wu?" Tanya Chanyeol ketika Yifan tengah mengenakan kembali kaosnya.

Yifan mendengus ketika mendengarnya. Setelah apa yang baru saja mereka lakukan dan pertanyaan itu adalah yang keluar dari mulut Chanyeol.

"Aku yakin dia baik-baik saja." Jawab Yifan pada akhirnya.

Chanyeol menatap Yifan yang saat itu menggerakkan kakinya dengan gelisah. Ia kemudian meraih kotak rokok yang terjatuh di bawah jok dan menyodorkannya pada Yifan.

"Aku akan memastikan Dokter Kim untuk membuatmu masuk rehab juga." Kata Chanyeol yang tidak terlalu Yifan pedulikan ketika ia sibuk menyalakan rokoknya.

"Aku sudah lama tidak bertemu Ibuku. Terakhir kali melihatnya adalah ketika dia menikah lagi." Ucap Yifan sambil menjauhkan lintingannya dari tubuh Chanyeol.

"Kau mau menemuinya lagi?" Tanya Chanyeol.

Yifan menggeleng. "Mungkin suatu saat jika kami bertemu tanpa sengaja. Atau jika ia mengundangku di pesta pernikahannya lagi." Kata Yifan setengah bercanda.

Chanyeol ikut menggelengkan kepalanya.

"Aku ingin mendengar ceritamu selama kita tidak bersama." Kata Chanyeol tiba-tiba.

"Kau sudah membacanya."

"Maksudmu kau benar-benar menghabiskan waktu bertahun-tahun memikirkan aku dan tidak menemui siapa pun?" Tanya Chanyeol.

Yifan menghisap rokoknya dalam-dalam. Ia tidak menyangkal bahwa selama berada di China, meskipun Chanyeol selalu berada di kepalanya, tetapi ia sempat bertemu beberapa orang untuk menghangatkan tempat tidurnya.

"Jadi selama tidak bersamaku kau menjadi anggota boyband dan jatuh cinta dengan Pu Chanli lalu meninggalkannya begitu saja?" Chanyeol membuat kesimpulan dan merujuk pada novel pemuda itu ketika Yifan tidak juga menjawabnya.

"Aw." Chanyeol mengerang ketika Yifan menarik telinganya.

"Apa Li Jiaheng itu namamu?" Tanya Chanyeol.

"Itu nama lahirku." Jawab Yifan sambil membuang puntung rokoknya.

Chanyeol merangkul bahu Yifan dan menarik kepala pemuda itu agar bersandar pada bahunya.

"Mungkin kau harus membuat sekuel novelnya." Ujar Chanyeol yang mulai mengantuk.

Yifan ikut memejamkan matanya. Mungkin di sekuel itu ia tidak akan menuliskan kedua tokoh kembali bertemu dan hidup bersama. Mungkin ia akan menulis bagaimana mereka kembali bertemu, mengungkapkan kalimat-kalimat yang belum selesai di antara mereka, dan meskipun pada akhirnya mereka tidak bersama, setidaknya mereka bisa melanjutkan hidup dengan mengetahui perasaan yang pernah ada, agar mereka tidak melakukan hal yang sama pada pasangan mereka selanjutnya.

.

.

.

Matahari akhirnya muncul dari peraduannya dan sinarnya cukup terik untuk menyilaukan dua orang pemuda yang lupa menutup atap mobil mereka. Chanyeol menawarkan diri untuk mengemudi kali ini. Yifan duduk di kursi penumpang di sampingnya. Jalanan Seoul sudah cukup ramai ketika mereka sampai di kota.

Ketika mereka berhenti di lampu merah, Chanyeol meraih tangan Yifan dan menggenggamnya. Kemudian saat lampu menyala hijau, Chanyeol mengemudi dengan hanya menggunakan salah satu tangannya, ketika ia tidak juga melepaskan tangan Yifan. Meskipun Yifan sendiri tidak begitu hafal dengan jalanan Seoul, tetapi ia yakin bahwa saat ini mereka tidak sedang menuju apartemen Chanyeol. Mungkin pemuda itu ingin mampir ke suatu tempat, pikir Yifan kala itu.

Tapi semua perkiraan Yifan terbantahkan ketika Chanyeol membelokkan mobilnya pada tempat parkir rumah sakit di mana ia pernah di rehabilitasi. Chanyeol akhirnya melepaskan tangan Yifan dan tersenyum.

"Kau mau mengantarku ke dalam?" Tanya Chanyeol.

"Kau tidak berkonsultasi dengan Dokter Kim lagi?" Tanya Yifan.

Chanyeol menggeleng. "Dokter Kim sudah menunggu di dalam." Jelas Chanyeol sambil melepaskan sabuk pengamannya.

Tanpa bertanya lebih lanjut Yifan mengikuti Chanyeol hingga ketika sampai lobi pemuda itu seperti menyadari sesuatu.

"Kau hanya datang untuk periksa kan?" Tanya Yifan.

Beberapa perawat dan pasien sudah berlalu lalang di antara mereka.

Ekspresi wajah Chanyeol berubah.

"Aku sudah memikirkannya dan aku memang membutuhkan ini." Kata Chanyeol.

"Membutuhkan apa?" Yifan merasa bingung sekaligus takut, pada apapun yang Chanyeol putuskan kali ini.

"Ini. Terapi, rehabilitasi, obat, dokter. Aku membutuhkannya."

"Chanyeol, kau—"

"Aku tidak sabar untuk segera pergi ke Kanada denganmu. Kau tahu apa yang akan aku lakukan di sana?"

Yifan bungkam. Ia masih tidak mengerti.

"Aku ingin menggandeng tanganmu, aku ingin tinggal bersamamu..." Chanyeol menelan ludahnya.

"Aku ingin mencintaimu—" Chanyeol meremas tangan Yifan.

"Tapi sebelum aku melakukannya, aku ingin mencintai diriku sendiri dulu. Aku tahu kau tidak akan membenciku, tapi aku tidak yakin aku akan melakukan hal yang sama pada diriku."

"Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?" Tanya Yifan.

"Ini bukan perpisahan, Yifan. Kau bilang kau masih harus mengurus dokumenmu di China, kan? Anggap saja, ini adalah bagaimana aku menghabiskan waktu untuk menunggumu. Aku akan menjadi Chanyeolmu begitu kau kembali."

Yifan masih akan menyanggah ketika Chanyeol melepaskan tangannya dan berjalan mendekat.

"Kau percaya padaku?"

"Kau harus berjanji kalau kau masih akan di sini ketika aku kembali." Kata Yifan.

Chanyeol tersenyum. "Aku janji."

Meskipun di antara mereka berdua tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali. Tapi kali ini, mungkin sekali ini, mereka bisa saling menepati janji.

.

.

.

Siang itu matahari bersinar terik namun angin berhembus cukup kencang. Pohon Maple yang tumbuh dengan rindang menggugurkan daunnya yang mulai kecokelatan. Bulan September menandai dimulainya musim gugur. Selembar daun dengan dramatis jatuh di atas wajah seorang pemuda yang dengan mata terpejam duduk di kursi taman. Pemuda itu lantas terjaga. Ia membenarkan duduknya yang semula bersandar penuh di kursi itu.

Suasana taman kota itu tampak lengang. Siapa pula yang akan duduk di taman di hari Senin pada jam-jam di mana wajarnya mereka sedang bekerja, bersekolah –atau jika mereka menganggur, mereka bisa jadi sedang membersihkan rumah. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya untuk menghilangkan rasa kantuk.

"Musim gugur adalah musim terbaik, 'kan?"

Wu Yifan tersenyum mendengar bisikan di telinganya itu. Park Chanyeol meringis ketika menyerahkan satu cup kopi pada pemuda itu.

"Kau benar-benar menyebalkan ketika membangunkanku di kursi taman kota waktu itu." Ujar Yifan sambil menyesap kopinya.

"Fuck." Kopi itu tidak bertahan lama di mulutnya ketika Yifan memuntahkannya lagi karena cairan itu membakar lidahnya.

Chanyeol tidak bisa menahan tawanya dan terpingkal. Salah satu matanya menyipit sementara mulutnya menampakkan deretan gigi putih yang rapi. Yifan tidak akan pernah bosan dengan pemandangan itu. Chanyeol kemudian menarik kerah baju Yifan dan menghisap lidahnya. Rasa Americano memenuhi mulut keduanya.

"Ayo kita pulang." Kata Chanyeol ketika ia bangkit dari kursi. Tangannya kemudian terulur dan segera Yifan sambut.

"Aku ingin makan sup gurita." Ujar Chanyeol.

"Di Kanada tidak ada sup gurita dan aku masih belum memaafkanmu karena memaksaku memakannya dulu." Balas Yifan.

"Tapi kau menyukainya, kan?" Chanyeol tidak mau kalah.

Ini adalah musim gugur pertama mereka di Kanada. Ini adalah ketika mereka sadar bahwa mereka tidak perlu saling mencintai dengan benar, mereka hanya perlu saling mencintai ketika bahkan semuanya terasa salah. Barangkali apa yang selama ini mereka sebut kekacauan adalah pendar yang menunggu cahayanya.

Keduanya berjalan dengan tangan saling terkait dan menggenggam. Beberapa orang yang lewat di hadapan mereka sesekali melirik. Pertanyaan ini akan terus muncul di kepala mereka berdua : Why do we need society's approval to love someone? *)

Tetapi saat ini mereka tidak lagi membutuhkan jawabannya. Karena Paradise... adalah ketika aku melaluinya bersamamu.

.

.

.

"If you want a happy ending, that depends, of course, on where you stop your story." – Orson Welles.

END - 24/08/2018 04:12

Halo. Uh, well, akhirnya, ye kan?

Chapter terakhir aja copas + edit chapter pertama T_T kreatif bat nggak.

Author's note kali ini kayaknya bakalan panjang, jadi if you want to skip, haseyo, monggo, go on.

Pertama adalah terima kasih untuk kalian, siapa pun, yang sudah membaca fanfic ini dari chapter pertama dan menunggu hingga chapter ini. Saya tidak bisa menyebutkannya satu-satu, I'm suck at it, tapi I always read and appreciate all of your reviews. Reviews begitu menyenangkan untuk dibaca, like whoa, somebody out there is reading my story, really? Wow, why? Lol. Maka biasanya, setiap kali saya lagi nggak mood nulis atau just down particularly, I'll reread your reviews. Terima kasih lagi.

Kemudian yang kedua adalah permintaan maaf karena membutuhkan ratusan hari untuk menyelesaikan chapter ini. Jawaban normalnya adalah karena kesibukan di dunia nyata, mood dan idk a lot has been happened in my life lately. Jawaban ngawurnya adalah sentimen saya pada fanfic ini. Di chapter sebelumnya saya bilang kalau saya pengen banget serius bikin fanfic ini, tapi ketika sampai di chapter terakhir malah semacam nggak rela mau namatinnya, kayak nggak mau ngelepasin gitu loh aku tu *wtf banget kan*.

Ketiga adalah betapa saya ingin mengingatkan kembali kepada kalian semua pentingnya kesehatan mental. Kita tidak bisa semena-mena mendiagnosa seseorang itu menderita sakit mental kalo nggak ngerti ilmunya, tapi bukan berarti bisa semena-mena juga meremehkan ketika seseorang ngaku kalo dia 'struggling'. You don't know what those people bet by confessing that they're in trouble. So let's support them instead of underestimating their problems.

Oh iya, di dalam fanfic ini, saya banyak sekali menggunakan istilah medis bahkan istilah hukum berdasarkan hasil research serampangan bin ngawur. Mohon untuk jangan ditelan mentah-mentah, ya. Di sini saya ambil bagian dramatisnya aja, teknisnya embuh. Pastikan untuk selalu berkonsultasi pada ahlinya kalau untuk berhubungan dengan dunia nyata.

Keempat adalah lagi-lagi saya ingin berterima kasih pada buku, drama, manga, dan anime yang sudah begitu banyak menginspirasi saya. Fanfic ini tidak akan ada jika saya tidak membaca dan menonton mereka hiks.

Shout out to this masterpieces:

Nana (Anime & Manga-nya)

K-Drama "It's Okay, That's Love" and its OST, ofc.

Novel "Norwegian Wood" oleh Haruhi Murakami

Gabby Dunn's thought in her multiverse's thought T_T

Film-film Anime dari Makoto Sinkai

Wong Kar Wai's

Dan juga quote-quote serta cuplikan film yang saya lupa judulnya

Kelima adalah mohon untuk dukungan teman-teman semua. Barangkali ada yang kesasar atau kangen dengan tulisan saya, bisa mendatangi akun saya di dengan username : mtchn. Hehe.

Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.

Sampai jumpa lagi di cerita-cerita saya selanjutnya.

Dengan cinta,

Mutmut Chan.