Tingkahnya memang berbeda dengan kebanyakan orang. Dia bukan satu-satunya penderita penyakit tersebut. Hanya saja, di lingkungannya hanya dia yang menderita penyakit aneh di mata orang lain. Bukan kesalahan siapa-siapa, dia memang sudah seperti itu sejak kecil.

''Baekhyun-ah. Kau tidak lapar? Kau mau makan? Mau ibu yang menyuapimu?''

Baekhyun masih setia menggenggam mainan kesayangannya, yaitu pisau dapur milik ibunya. Ibunya sudah menangis sejak tadi, karena terus gagal membujuk Baekhyun hanya sekedar untuk makan.

''Hiks hiks, ayo makan baekhyun-ah. Ibu sudah memasakkan makanan kesukaanmu. Kau sangat suka dengan kimchi di bumbui dengan saus pedas kan? Letakkan pisau itu, dan makanlah.''

Pisau tersebut baekhyun arahkan pada lengan kirinya, membuat ibunya menutup mulutnya. Bibir sang ibu terasa kelu dan ingin sekali mencegah perbuatan anaknya, namun beliau urungkan sejak tadi karena takut akan Baekhyun yang semakin menjadi-jadi.

Baekhyun masih setia mengarahkan pisau yang ia genggam ke arah lengannya. Dengan senyuman yang lebar, karena itu sudah menjadi kebiasaan Baekhyun. Mainan kesayangannya antara lain, pisau dapur, gunting, jarum berukuran besar, dan benda tajam lain yang berhasil membuat hatinya senang.

Ibu baekhyun lebih memilih untuk berdiri, berlari menuju telepon rumah dan segera menelfon rumah sakit 'khusus'. Tangan lentiknya masih sibuk mencari nomor telepon rumah sakit yang akan ia hubungi, sedangkan baekhyun mulai menggores lengannya.

''Wah, indah sekali. Sakit hiks, tapi aku senang. Hahaha, aku akan melakukannya lagi.''

Darah segar mengalir keluar dari lengan baekhyun yang tidak bersalah. Baekhyun merasakan sakit yang luar biasa, namun rasa sakit itu tidak sebesar perasaan senangnya. Ia sangat senang, melihat lengannya tergores seperti itu .

Ibu baekhyun, yang sudah selesai menelpon rumah sakit 'khusus' untuk baekhyun, langsung kembali lagi ke kamar Baekhyun. Takut akan tindakan Baekhyun yang membuatnya selalu khawatir.

Dan benar saja, ia melihat putra kecilnya tergeletak tak berdaya dengan darah segar menggenang di sampingnya. Ibu baekhyun membekap mulutnya sendiri, kejadian ini terulang kembali. Langsung saja, ibu baekhyun membopong anak semata wayangnya dan segera membawa baekhyun menuju rumah sakit.

.

.

.

''Bagaimana keadaannya, dokter?''

''Ia terlalu banyak kehilangan darah. Maka dari itu, kami perlu melakukan tranfusi darah untuk anda. Kalau boleh tau, mengapa bisa ada luka sedalam itu di tangan kecilnya? Apa ada pencuri masuk berusaha menerobos rumah kalian?''

Bingung ingin menjawab apa, ibu baekhyun memilih diam dan terduduk di kursi tunggu. Matanya memerah, kemudian ia menangis sekeras mungkin karena keadaan baekhyun yang tak kunjung membaik.

''Apa yang harus saya lakukan, dokter? Hiks hiks… saya sudah berusaha semampu saya. Tapi hasilnya selau sia-sia. Hiks hiks…''

Dokter yang menangani Baekhyun tadi menatap ibu baekhyun agak heran. Tapi, ia akan berusaha bertanya pada ibu Baekhyun secara pelan-pelan agar ibu baekhyun mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

''Memangnya, apa yang sudah terjadi, nyonya?''

Ibu baekhyun berusaha menghentikan tangisannya. Ia mengusap air matanya secara paksa karena ia ingin menceritakan penyakit yang di derita Baekhyun.

''Saya akan menceritakan semuanya dok.''

''Saya akan mendengarkan cerita anda. Kalau bisa, saya akan memberikan solusi yang tepat untuk anda, nyonya.''

Ibu baekhyun menarik nafas panjang, kemudian ia menceritakan semuanya, tidak ada yang terlewat.

''Sebelum ayah Baekhyun meninggal, Baekhyun bukan anak yang seperti itu.''

Dokter yang menangani Baekhyun masih setia mendengarkan cerita selanjutnya.

''Tapi, setelah ayah baekhyun meninggalkan dunia ini, Baekhyun menjadi tertekan karena ia sangat dan sangat menyayangi ayahnya. Bagi Baekhyun, ayahnya adalah segalanya. Ayahnya adalah pahlawan baginya. Ayahnya adalah panutan baginya. Ayah Baekhyun memang berhati lembut dan baik. Namun, karena kecelakaan, ayah Baekhyun meninggal di tempat dan membuat Baekhyun menderita penyakit Bipolar.''

''Bipolar Disolder?''

''Iya dok. Awalnya saya pikir, baekhyun hanya menderita stress biasa. Namun, setelah saya mengamati Baekhyun setiap harinya, ia sering menyakiti tubuhnya dengan benda-benda tajam.''

''Berarti, baekhyun banyak kehilangan darah akibat ulahnya sendiri? jadi, luka dalam yang ada di lengan baekhyun, karena tingkahnya sendiri?''

''Benar, dok. Saya berusaha menyembuhkan Baekhyun dengan berbagai cara. Setiap hari, baekhyun mengkonsumsi 2 pil penenang setiap selesai makan. Saya juga membiarkannya tinggal di rumah, karena ia masih terlau kecil untuk tinggal di rumah sakit jiwa, dok.''

''Pernah tidak, anda menjauhkan Baekhyun dari benda-benda tajam yang selalu ia mainkan?''

''Sering dok. Tapi itu semakin membuat emosinya meningkat dengan cepat. Pernah sekali, saya merampas gunting yang akan ia gunakan untuk memotong jari tangannya sendiri. Dengan bodohnya, saya mengambil gunting itu darinya dan membuang gunting itu jauh-jauh. Tapi apa yang Baekhyun lakukan? Ia malah mengambil pisau kecil yang entah ia dapatkan dari mana sebelumnya, kemudian ia menggores nama ayahnya di tangan kanannya. Bisa anda lihat bekas lukanya, sampai sekarang masih ada, dok.''

Ibu baekhyun kembali menangis. Ia menentang takdir yang sudah di tetapkan Yang Maha Kuasa, terkadang ia menyalahkan Sang Pencipta karena dengan tega mengambil nyawa suaminya dan membuat anaknya menjadi 'gila'. Tapi, ibu Baekhyun kembali menenangkan peikirannya yang dangkal tersebut.

Dokter Oh –dokter yang menangani baekhyun- menepuk pundak ibu baekhyun pelan. Berusaha memberikan dorongan untuk tetap bersabar menghadapi semua cobaan Tuhan. Dokter tampan itu kembali berfikir, namun tangannya masih setia menepuk pundak ibu baekhyun.

''Nyonya, bagaimana kalau mulai saat ini, Baekhyun di serahkan pada rumah sakit 'khusus' dan menyekolahkannya pada sekolah 'khusus' juga? Saya pernah berkunjung ke sana, karena anak saya juga sering berkunjung ke sana untuk menemui temannya. Di sana, mereka –para anak kecil- di didik dan di latih agar menjadi sehat dan tenang. Walaupun tidak separah Baekhyun, setidaknya, bisa anda coba dahulu.''

Kepala wanita paruh baya itu mendongak. Melihat wajah cerah dokter Oh, seperti ia mendapatkan kembali cahaya untuk menerangi jalannya. Ibu baekhyun berfikir, ia akan mendapat sebuah kesempatan. Satu kesempatan, untuk kesembuhan baekhyun.

''Apa tidak terlalu berbahaya untuk Baekhyun?''

''Di sana, bukan tempat untuk orang gila, nyonya. Bisa dikatakan sebuah rumah sakit, juga bisa dikatakan sebagai tempat belajar. Anda bisa mencobanya dulu. Jika baekhyun menjadi lebih baik, maka setidaknya Baekhyun harus tinggal di tempat tersebut untuk jangka waktu yang lama.''

''…''

''Sepertinya, anda tidak rela…''

''Katakan di mana tempatnya, dok.''

.

.

.

.

Rumah pembelajaran untuk anak-anak 'khusus' memang tidak terlalu buruk dika dipandang untuk pertama kalinya. Ibu baekhyun menghela nafas lega, karena semua yang dokter Oh ceritakan benar adanya. Bahkan lebih baik dari yang dokter Oh ceritakan. tempat 'khusus' tersebut nampak seperti sekolah dasar, namun begitu luas dan terlihat menyenangkan.

Ibu baekhyun, dokter Oh, dan Baekhyun sudah berdiri di halaman depan tempat tersebut. Dokter Oh masih berbicara dengan pemilik tempat ini, sementara Baekhyun masih sibuk menggendong boneka malangnya. Karena Baekhyun mengiris boneka tak bersalah yang ada di gendongannya menggunakan pisau kecil.

Terlihat ada seorang anak laki-laki menghampiri Baekhyun. Matanya melebar karena melihat Baekhyun memegang pisau kecil di tangan kanan. Anak laki-laki itu tidak takut, sama sekali tidak takut. Ia tertarik dengan Baekhyun, karena sedari tadi ia melihat Baekhyun dari atas sampai bawah.

''Hei, siapa namamu?''

Baekhyun menghentikan aktifitasnya. Ia berhenti menyobek bagian mata bonekanya dan beralih melihat anak laki-laki yang ada di hadapannya. Baekhyun menyodorkan pisau kecilnya pada anak laki-laki tersebut. Namun, anak laki-laki itu hanya kaget dan mundur satu langkah. Dan lagi, baekhyun melanjutkan aktifitasnya.

''Apa kau penghuni baru disini? Aku Sehun, Oh Sehun.''

Sehun –anak laki-laki yang tertarik pada Baekhyun- mengulurkan tangannya, bermaksud untuk member salam perkenalan pada Baekhyun. Baekhyun membuang bonekanya, kemudian ia berjalan mendekati Sehun. Dan secara tiba-tiba, Baekhyun menggores jari Sehun menggunakan pisau kecilnya, mebuat darah segar keluar dari jari mungil Sehun.

''Akh ! Kenapa kau melakukan hal itu? Shh, sakit… Eh?''

''Hiks hiks, appa…hiks appaa~''

Sehun mengabaikan rasa perih yang ada di jarinya. Kini, ia melihat Baekhyun berjongkok dan menangis sambil melihat tangan Sehun yang terluka. Sehun menjadi tidak tega. Dengan segera ia menyembunyikan tangannya yang berdarah di belakang tubuhnya dan ikut berjongkok, melihat wajah basah Baekhyun.

''Kau..menangis?''

''Appa..hiks hiks..''

''Kau merindukan appamu?''

Baekhyun tidak menjawab. Masih terisak, namun tidak terlalu keras. Mata sehun beralih pada pisau kecil yang ada di genggaman Baekhyun. Tangan Baekhyun bergetar, seperti terbalut rasa takut yang begitu besar. Secara perlahan, Sehun mengambil pisau Baekhyun dan membuangnya jauh-jauh. Dengan tindakan itu, barulah Baekhyun mau membalas tatapan Sehun. Sehun memperlihatkan senyum tampannya, tapi Baekhyun masih tidak mengekspresikan apapun.

''Mulai sekarang, jangan membawa barang seperti itu lagi, ya. Aku tidak suka, apalagi anak manis sepertimu membawa benda tajam seperti itu. Untuk mengobati rasa rindumu, bagaimana kalau kita bermain di dekat air mancur itu? Kau mau?''

Sehun mengusap air mata Baekhyun, membuat wajah Baekhyun sedikit memerah. Pipi Baekhyun terlihat seperti tomat, karena pipinya begitu chubby dan terlihat menggemaskan.

Mata baekhyun beralih pada tangan Sehun yang berdarah. Ia mengakap tangan tersebut, dan mengusapnya pelan. Sehun langsung menarik tangannya kembali dan menyembunyikan nya lagi di belakang tubuhnya.

''Tanganmu terluka.''

''Oh, tidak apa-apa. Hanya luka kecil. Siapa namamu?''

''Baekhyuuuunnnnn ! Ya ampun, kau darimana saja, sayang?''

Ibu baekhyun yang awalnya kebingungan mencari Baekhyun, akhirnya bisa berafas lega kembali karena melihat anaknya sedang berbicara dengan seorang anak laki-laki yang tampan. Wanita paruh baya bermarga byun tersebut langsung menggendong anaknya dengan penuh rasa kekhawatiran. Di belakangnya, ada dokter Oh yang juga ikut mencari keberadaan Baekhyun.

''Appa?''

Sehun yang melihat ayahnya, langsung berlari kea rah ayahnya dan memeluknya sebentar.

''Jagoan appa ada di sini rupanya. Sedang apa disini, hah? Menggoda perempuan cantik lagi?''

''Ini anak anda, dok?''

Dokter Oh nampak mengangguk.

''Eomma, baekhyun mau main sama Sehun. Ya?''

Ibu baekhyun dan dokter Oh terlihat tak percaya. Masih dengan pandangan yang terheran, tapi ibu Baekhyun mengizinkan anaknya untuk bermain bersama Sehun. Baekhyun dan Sehun terlihat sangat bergembira. Ibu baekhyun menangis, menangis karena senang akan keceriaan anaknya yang kembali seperti dulu.

''Saya rasa, anak anda akan betah tinggal disini, nyonya.''

Ibu baekhyun mengangguk setuju. Tapi tiba-tiba matanya beralih pada bangunan samping rumah pembelajaran yang akan di tempati Baekhyun. Dokter Oh ikut melihat arah pengelihatan ibu Baekhyun.

''Itu rumah sakit jiwa yag sebenarnya, nyonya. Disini, hanya menampung anak-anak sampai remaja. Jika mereka sudah bisa dikatakan sembuh, maka mereka di bolehkan pulang. Jika tidak, mereka akan berada di rumah sakit jiwa itu sampai sembuh.''

Drrtt. Drrtt.

Ponsel ibu baekhyun bergetar. Dengan segera, wanita paruh baya itu mengangkat telepo yang ia tidak ketahui namanya.

''Apa benar ini kediaman Nyonya Byun?''

''Benar. Maaf, anda siapa?''

''Ini rumah sakit 'khusus' yang anda hubungi tadi nyonya. Kami sudah sampai di rumah anda. Tapi tidak ada orang…''

''Kalian bisa pergi dari rumahku. Maaf sudah merepotkan.''

.

.

.

.

Keadaan kediaman Park hancur berantakan layaknya kapal pecah. Tuan Park mengamuk seperti orang gila, membantingi apapun yang ada di hadapannya. Pihak kepolisian menjadi takut dan segera menghubungi rumah sakit jiwa terdekat.

Nyonya Park dan anaknya hanya bisa menangis melihat keadaan Tuan Park yang begitu menyedihkan. Penampilannya sangat acak-acakan, dan sekarang beberapa tim medis dari rumah sakit jiwa yang sudah di hubungi oleh pihak kepolisian tadi berusaha menghentikan pergerakan Tuan Park.

Tidak ada cara lain. Mereka menggenggam lengan Tuan Park dengan erat. Kemudian, salah satu tim medis langsung menyuntikkan obat penenang di tangan Tuan Park. Pandangan Tuan Park perlahan mulai mengabur, dan akhirnya ia pingsan di tempat. Semua tim medis tersebut segera membawa Tuan Park menuju rumah sakit jiwa.

Keesokan harinya, Nyonya Park dan anaknya mengunjungi Tuan Park di rumah sakit jiwa di mana Tuan Park menginap. Nyonya Park tidak bisa melihat keadaan Tuan Park terlalu lama karena ia terus saja menangis. Sedangkan anaknya yang sudah berusia 10 tahun, masih ingin melihat wajah ayahnya.

''Appa, kenapa appa menjadi seperti ini? Appa tidak gila, kan? Appa masih sehat kan? Ku mohon bangun, appa. Hiks hiks… appaaa~''

Tangan Tuan Park perlahan mulai bergerak. Di genggamnya tangan mungil anaknya dengan erat. Matanya perlahan terbuka dan langsung mengeluarkan air mata.

''Tenang saja, appa masih sehat. Appa tidak ingin tinggal dan disiksa di jeruji besi, Chanyeol.''

Chanyeol masih bingung dengan ucapan appanya baru saja. Yang ia ketahui sekarang, appanya masih sehat dan tidak gila seperti apa yang dikatakan orang-orang.

''Berarti, appa bisa pulang ke rumah? Akan aku beritahu eomma ya, appa. Eomma akan senang melihat appa sudah sembuh.''

Chanyeol ingin memanggil ibunya yang ada di luar, tapi appanya kembali menggenggam erat tangan Chanyeol.

''Jangan lakukan itu, Chanyeol. Appa tidak ingin ibumu makin syok melihat appa. Hanya kau yang tau bahwa appa tidak sakit. Jadi appa mohon, jagoan kecil appa jaga rahasia ya. Appa janji, appa akan segera keluar dari sini. Hanya sementara, arra?''

Chanyeol terdiam sejenak. Beberapa detik setelahnya, ia mengangguk imut.

''Baiklah. Tapi, appa harus menyanyikan lagu 3 beruang untukku ketika aku mengunjungi appa. Bagaimana?''

''Siap, kapten !''

.

.

.

.

END or TBC?

Review please~