Taulah kalian pas Mingyu foto dikolam renang pake celana selutut sama kaos oblong gejenya itu. Ide datang dari sana dan juga dari kalimat "Wonwoo mencengkeram lengan berotot Mingyu." Well yang ini saya lupa baca FF punya siapa. Wkwkwkwkwk...
Niatnya oneshot, tapi kalah sama tsunderenya Wonu. Gak lucu aja Wonu yang tsundere bisa langsung mau sama Mingyu dalam satu terkaman. Maklumlah bahasanya tante-tante plis don't judge me. Masukan diterima dengan tangan terbuka tapi jangan nyuruh saya nulis diluar konteks cerita, bisa puyeng. Saya cukup di alur yang ringan dan simpel aja. Gak usah pake dark, angst, mistery atau apalah itu. Angkat tangan kakak~
Kim Mingyu, seorang atlet renang muda yang sedang berada di puncak kejayaannya. Dia berhasil menjadi juara hampir di semua turnamen yang ia ikuti. Muda, tampan, berbakat, dan sangat dikagumi. Baginya, berenang seperti bernafas, memberinya jiwa dan kebebasan. Dalam air, Mingyu bisa menjadi bisu, tuli, bahkan buta dengan semua yang terjadi di luar sana. Dunianya berada disini, di dalam air.
"Mingyu! Waktunya sarapan!"
Sayup-sayup Mingyu mendengar suara pelatihnya dari dalam air. Sejak pagi buta, Mingyu memang sudah menceburkan diri dalam kolam renang hotel untuk menenangkan pikiran.
"Yes Kapten!" Jawab Mingyu setelah berhasil menepi dari kolam renang.
Meski tidak terlalu besar, suasana di hotel itu sangat nyaman. Pelatih Mingyu sengaja memilih hotel bintang tiga ini karena memiliki kolam renang yang sangat luas. Berbeda dengan beberapa hotel kelas atas yang menggali kolam hanya untuk keindahan.
Baru saja Mingyu menarik handuk yang tergeletak di kursi jemur, terdengar suara jeritan dari sisi kolam yang lain. Mingyu tidak yakin dia pria atau wanita tapi seseorang yang tengah berada kolam tersebut benar-benar tidak bisa berenang. Tangannya menggapai tak tentu arah, kepalanya sesekali muncul ke permukaan namun tenggelam lagi.
Sesuai insting, Mingyu dengan segera melompat ke dalam kolam renang untuk menyelamatkannya. Dan disanalah dia, terpaku melihat seseorang yang mulai kehilangan kesadarannya di dalam air. Tangan pria tersebut melambai lemas. Matanya terpejam indah. Beberapa gelembung lolos dari bibirnya yang tipis. Rambutnya begitu lembut seakan diterpa angin musim semi, membuatnya terlihat bagai lukisan hidup.
"Wonwoo!" Terdengar teriakan dari pinggir kolam yang membuat Mingyu tersadar dari lamunannya.
Mingyu mendekat, tangannya menggenggam jari-jari kurus itu dan menariknya dalam pelukan. Melingkarkan sebelah lengannya yang bebas disekitar pinggang Wonwoo. Mingyu menyusurkan jarinya di sepanjang garis bibir bawah Wonwoo sebelum menariknya ke permukaan air.
Dengan segera Mingyu memberikan pertolongan pertama setelah membaringkan Wonwoo di lantai. Beberapa orang mengelilingi mereka dengan wajah khawatir, seorang pria duduk di samping Mingyu sambil terus memanggil nama Wonwoo.
"Wonwoo, bangun kawan."
Seakan mendengar panggilan dari sahabatnya, Wonwoo tersadar dengan batuk hebat setelah menerima dua nafas buatan yang telah diberikan Mingyu. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, dan air masih terus menyeruak dari mulutnya.
"Handuk! Ambilkan handuk!" Mingyu berteriak kasar. Setelah seseorang memberinya handuk, Mingyu langsung menyelimuti tubuh Wonwoo dengan handuk kering dan memeluknya.
"Kau terkejut, tenangkan dirimu. Ambil nafas dan buang secara perlahan. Kau sudah aman. Jangan takut." Mingyu terus memeluk Wonwoo seraya membisikkan kata-kata menenangkan.
Pikiran Wonwoo masih berkabut. Yang dia ingat hanya air, kesunyian dan tekanan di dadanya yang terasa begitu menyesakkan. Namun dia bisa mendengar bisikan menenangkan yang terus berhembus di telinganya. Begitu menyenangkan, seperti udara yang mengalir dengan lembut ke paru-parunya.
"Wonwoo? Jeon Wonwoo?"
Wonwoo membuka matanya perlahan. Dia bisa melihat wajah sahabatnya yang tampak begitu pucat. Namun perhatiannya kemudian teralihkan ketika merasakan gerakan ringan di punggungnya.
"Kau sudah bisa berdiri?"
Wonwoo mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Matanya bertemu dengan senyum seorang pria yang menampilkan sederet gigi putih dengan gigi taring yang lebih panjang dari ukuran gigi lainnya.
"A—Aku bisa berdiri. Terimakasih."
Sahabat Wonwoo, Woozi, membantunya untuk berdiri ketika Mingyu menarik sebelah lengan Wonwoo dengan lembut.
"Sebaiknya kau segera ganti baju sebelum terkena demam." Mingyu memberi saran ketika melihat tubuh Wonwoo masih menggigil hebat.
Sebagai jawaban, Wonwoo tersenyum singkat dan mengangguk. Menumpukan sebagian beratnya pada Woozi meskipun tinggi tubuh mereka terpaut jauh. Saat itulah Mingyu sadar bahwa Wonwoo menggunakan seragam karyawan hotel.
"Dia yang menyelamatkanku?" Tanya Wonwoo pada Woozi saat mereka berdua sudah cukup jauh dari tempat Mingyu berdiri.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak ada, Wonwoo. Ini masih sangat pagi, hampir tidak ada seorangpun yang berenang sepagi itu dan kau malah menceburkan diri."
"Aku tidak menceburkan diri!"
Wonwoo merasa tersinggung mendengar ucapan Woozi. Dia tahu Woozi marah karena khawatir tapi Wonwoo tidak dengan senang hati menenggelamkan diri. Dia tahu dia tidak bisa berenang. Dan Wonwoo juga tidak menyangka akan terpeleset ketika mengambil handuk yang tergeletak di sisi kolam.
"Maafkan aku."
"Tidak apa-apa, aku tahu kau khawatir."
Setelah berganti pakaian, Wonwoo langsung disambut dengan sebuah panggilan dari bagian resepsionis. Seorang tamu secara khusus meminta Wonwoo untuk mengantar makanan ke kamarnya.
"Kamar 213" Ucap Hansol pelan.
"Siapa?" Wonwoo bertanya pada Hansol karena merasa penasaran, yang hanya dibalas dengan gelengan pelan oleh Hansol.
Ketukan pertama, Wonwoo mendengar langkah kaki berat berjalan kesana-kemari. Ketukan kedua, Wonwoo bisa mendengar gerakan tergesa-gesa dari dalam kamar. Karena kesabaran Wonwoo mulai menipis, dia bersiap untuk ketukan ketiga, tapi pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka dengan lebar. Menampakkan seorang pria bertubuh tinggi yang ia temui tadi pagi. Wonwoo tidak sadar tangannya masih terangkat di udara jika Mingyu tidak menggenggamnya.
"Masuk?"
Wonwoo berdeham pelan, mengembalikan kepercayaan diri yang sejenak menghilang. Dia masih ingat wajah Mingyu di kolam tadi pagi, dengan celana selutut serta kaos tanpa lengan berwarna hitam. Rambut basah menutupi sebagian matanya, tapi saat ini Mingyu berbeda.
Wonwoo menarik tangannya dari genggaman Mingyu dan berbalik, mendorong masuk meja berisi berbagai menu sarapan yang telah disiapkan oleh koki hotel. Saat meletakkan piring-piring berisi makanan tersebut, Wonwoo mendengar Mingyu menutup pintu dan berjalan mendekat.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Mingyu pelan seraya duduk di meja makan.
"Luar biasa, terimakasih. Hanya sedikit kering di tenggorokan."
"Kenapa pertanyaan itu sepertinya tidak asing di lidahku? Begitu juga dengan jawabanmu, tidak asing di telingaku." Wonwoo menggeleng pelan mendengar ucapan Mingyu dan terus melanjutkan pekerjaannya. "Mungkin aku pernah menyelamatkanmu di kehidupan sebelumnya."
Dengus rendah lolos saat Wonwoo mendengar ucapan Mingyu. Namun dengan segera mengatur wajahnya kembali ke ekspresi datar namun ramah. Saat selesai menyajikan semua hidangan di meja, Wonwoo menunduk singkat dan mengundurkan diri.
"Tunggu!"
Wonwoo menghentikan langkahnya dan berbalik, "Ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Temani aku sarapan. Please?"
"Kami tidak boleh makan di meja yang sama dengan tamu, Tuan."
"Tidak, kau hanya perlu duduk. Aku tidak suka makan sendiri."
Mingyu mengulas senyum manis sambil menunjuk kursi kosong di hadapannya. Karena takut menyinggung tamu, Wonwoo akhirnya duduk di kursi tersebut setelah menghela nafas singkat.
"Buka mulutmu." Mingyu menyodorkan sesuap makanan ke arah Wonwoo.
"Tuan, kami tidak bo—"
"Makan di meja yang sama dengan tamu, tapi ini tidak dari meja. Ini dari tanganku. Dan panggil aku Mingyu, Kim Mingyu. Entah kenapa, panggilan Tuan terdengar mesum bagiku."
"Terimakasih tapi aku tidak bisa."
Hingga akhir, Mingyu tetap tidak bisa memaksa Wonwoo untuk memakan suapannya. Meski Mingyu lebih banyak berbicara sendiri daripada mengobrol dengan Wonwoo tapi dia senang karena sesekali berhasil mencuri senyuman darinya.
Saat membereskan meja, Wonwoo bergerak dengan sangat efisien dan cepat. Membuat Mingyu sedikit jengkel karena merasa Wonwoo sedang berusaha sekuat tenaga untuk segera meninggalkannya. Dengan licik, Mingyu menarik roda meja dengan kakinya hingga membentur pinggang Wonwoo.
Wonwoo tersentak karena terkejut dan kehilangan keseimbangan. Tubuhnya condong kedepan dengan posisi mengerikan. Sebelah tangannya masih menggenggam kain lap, dan sebelah lagi menggapai udara dengan brutal. Wonwoo menutup matanya rapat, menunggu tubrukan menyakitkan dengan lantai. Tapi lengan kekar menangkap dan memutar tubuhnya. Wonwoo merasakan punggungnya mendarat ringan di pangkuan Mingyu.
"Hei."
Wonwoo membuka matanya perlahan dan pemandangan di hadapannya terasa sangat familier. Lagi-lagi Wonwoo menemukan senyum Mingyu yang mempesona dengan gigi taring yang menarik perhatiannya.
"Apa yang terjadi?" Wonwoo bertanya bingung seraya bergerak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Mingyu.
"Kau tergelincir?" Mingyu tidak melepaskan pelukannya, dan malah mengangkat tubuh Wonwoo hingga akhirnya duduk di pangkuan.
Merasa tidak nyaman dengan posisi tersebut, Wonwoo terus berusaha melepaskan diri dari pelukan Mingyu. Namun Mingyu menahan pinggang Wonwoo agar tetap ditempat.
"Ah—Jangan bergerak, kau membahayakan dirimu sendiri."
Mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Mingyu, Wonwoo seketika bergeming. Dia bisa merasakan sesuatu mengeras di bawah tempatnya duduk. Seketika wajah Wonwoo memerah seperti tomat, matanya menunduk, tangannya kaku di atas pangkuan.
"Ya Tuhan." Wonwoo mengeluh rendah sebelum membawa kedua tangannya ke wajah.
"Jangan panggil Tuhan, panggil namaku."
"Ka—kau mengeras?"
"Aku menginginkanmu."
"Kim Mingyu kau gila!"
"Aku memang gila karenamu."
"Kita baru saja bertemu tadi pagi!"
"Dan kau sudah membuatku jatuh cinta."
"Oh ya Tuhan." Wonwoo kembali menghembuskan nafas frustasi. Pria dihadapannya ini memang sangat tampan. Dengan lengan otot kuat yang sudah dua kali menyelamatkan Wonwoo. Tapi pria ini juga gila.
Tanpa pikir panjang, Wonwoo menarik dirinya dengan kasar. Namun ketika baru sebelah kakinya yang menyentuh lantai, Wonwoo merasakan cengkeraman kuat di pinggangnya. Mingyu mengangkatnya dengan mudah dan memosisikan Wonwoo di pangkuannya. Membuat tungkai panjang Wonwoo melingkar di sisi tubuhnya dengan sangat menggoda.
"Kim Mingyu. Jangan berani macam-macam."
Mendengar ancaman Wonwoo, Mingyu hanya tersenyum miring dan menarik Wonwoo lebih dekat ke arahnya. Setiap inci tubuh mereka melekat, hembusan nafas Mingyu menggelitik dagu Wonwoo seperti belaian.
"Aku tidak ingin macam-macam, aku hanya ingin menciummu."
Dengan tegas Mingyu menarik tengkuk Wonwoo kearahnya, sebelah tangannya membelai rahang Wonwoo menenangkan. Karena terkejut, Wonwoo menutup mulutnya serapat ia menutup matanya. Mingyu yang menyadari itu kemudian menjauhkan diri dan tergelak rendah.
"Kau tidak pernah ciuman?"
"Ten—Tentu saja pernah, tapi tidak dengan pria!"
Mingyu tersenyum lembut, membuat pertahanan Wonwoo sedikit goyah. Tiba-tiba Wonwoo merasa gugup. Pandangan Mingyu begitu memabukkan hingga membuat jantung Wonwoo berkhianat dan mengentak dengan kuat.
Mingyu mengangkat tubuh Wonwoo dan mendudukkannya di meja. Memosisikan diri diantara kaki Wonwoo dengan pas sebelum menunduk, mengecup ringan dagu Wonwoo. Bibir Wonwoo terbuka, nafas hangat menggelitik Mingyu bagai undangan. Tanpa pikir panajang Mingyu menyatukan bibir mereka dengan intensitas yang mencengangkan.
Wonwoo mendorong tubuh Mingyu, melemparkan pukulan tak beraturan di dada bidangnya. Namun Mingyu seakan tak merasakan penolakan Wonwoo dan terus mengecap,memangut, membujuk Wonwoo untuk membalas ciumannya. Jantung Wonwoo berdegup kencang hingga ke gendang telinga. Tubuhnya memanas. Kabut memanipulasi dirinya hingga yang bisa ia lakukan hanya menyerah pada kenikmatan.
"Jangan lari, biarkan aku mencicipimu. Ya, buka bibirmu untukku Wonwoo."
Mingyu kembali menyatukan bibir mereka, lidahnya menerobos masuk mengecap rasa Wonwoo. Membelai, menggoda, dan memancing lidah Wonwoo. Mingyu tidak bisa menghentikan dirinya sendiri, tangannya bergerak tak pasti di punggung Wonwoo. Sapuan demi sapuan hingga erangan gemetar lolos dari tenggorokan Wonwoo.
"U—uuhh."
Ciuman mereka terputus, Wonwoo menggeliat dalam pelukan Mingyu berusaha menjauhkan diri. Mingyu terlalu dipenuhi gairah, indranya dipenuhi aroma Wonwoo. Bukannya melepaskan, Mingyu mendorong Wonwoo hingga tergeletak di atas meja. Wonwoo terkesiap ketika merasakan bibir Mingyu menyapu lekuk lehernya yang sensitif. Meninggalkan jejak-jejak panas disepanjang sarafnya.
"Mingyu."
"Ya, berikan mulutmu... Lidahmu. Manis... Sangat manis."
Mingyu kembali menyapukan bibirnya ke bibir Wonwoo dalam ciuman kasar. Bibir Mingyu yang panas melumat bibir Wonwoo dengan desakan sensual. Mengubah erangan rendah Wonwoo menjadi rintihan.
"Hmmph—Aahh. Ming-"
"Maafkan aku—Ya? Sekali, sekali saja, please?"
Mingyu menciumnya sekali lagi dan Wonwoo mendorongnya dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya.
"Lepas, brengsek!"
Wonwoo turun dari meja dan merapikan letak kemejannya. Kancing paling atas terlepas, rambutnya tidak beraturan, dan bibirnya lembab. Mingyu bergeming mengamati. Dia memang ingin mencium Wonwoo, tapi tidak berniat sampai membuat Wonwoo terlihat seperti habis ditiduri.
Selain baju dan rambutnya yang acak-acakan, bibir Wonwoo membengkak hebat. Begitu ranum dan menggoda. Wajahnya memerah, keringat tipis menghiasi keningnya.
"Jangan. Pernah. Dekati. Aku. Lagi!"
Setelah mengucapkan kata terakhir, Wonwoo segera meninggalkan kamar Mingyu. Meninggalkan Mingyu yang memperhatikan kepergiannya dangan mulut terbuka seperti orang bodoh.
Ya Tuhaaaaann! Selamatkan hamba dari jurang ke-Meanie-an ini! Inget umur lu!
Masa Bodooooh! Wkwkwkwkwkwk
Semoga bisa cepet update dan beres. Maaf bahasa rada kacau, lama gak baca novel nih. Tata bahasa udah kaya gado-gado aja. Ketahuan dosen bisa dicincang gua Wkwkwwkwkwkwk