INI YANG TERAKHIR GUYS BENERAN

TERIMAKASIH BANYAK BUAT KALIAN YANG SUDAH BERSEDIA MEMBACA DAN MENGIKUTI CERITA INI DARI AWAL SAMPAI AKHIR.

I LOVE YOU GUYS.

SUMPAH TERHARU. KALIAN BENER-BENAR SEMANGATKU

ENJOY!


Suara sirine ambulan terdengar nyaring dari kejauhan. Semua orang yang ada di depan pintu masuk UGD sebuah rumah sakit itu berhamburan menyingkir ketika ambulan berhenti di depan pintu. Seorang petugas ambulan segera turun dari mobil, lalu membuka pintu belakang ambulan itu. Turunlah sebuah ranjang dorong, lalu mereka berlari masuk ke dalam UGD dengan tegesa-gesa.

"Pasien darurat!" seru salah seorang petugs ambulan itu ketika berlari ke dalam area UGD yang ramai.

Hinata Hyuuga sempat mendongakkan wajahnya dari tugas menjahit luka sobek di depannya ketika mendengar suara panik dan sirene ambulan. Tapi kemudian ia mengangkat bahu sembarangan sebelum akhirnya melanjutkan tugas terkutuk menjahit luka kecil ini. Hinata memandang seorang pemuda berseragam SMA ini dengan tatapan lelah.

Ia menurunkan masker yang dipakainya. "Hei, bocah. Kau masih tidak mau bicara?" ujar Hinata.

Laki-laki berambut orange itu menoleh padanya dengan kesal. "Apa dokter juga dibayar untuk jadi cerewet?"

Urat kepala Hinata tercetak jelas. Lalu ia melanjutkan menjahit luka di lengan kiri orang itu, kali ini dengan sentuhan spesial berupa tusukan jarum yang lebih dalam.

"Ah!" seru orang itu marah.

Seragam putihnya tampak lusuh, kentara sekali habis berkelahi atau lebih tepatnya dihajar orang.

"Tak usah begitu malu kalau kau habis dihajar orang lain," ucap Hinata santai.

Bocah itu mendelik. "Aku yang menghajarnya!" bantahnya.

Hinata memutar bola mata. "Tapi dia yang menang bukan? Kau harus banyak berlatih lagi," Hinata kemudian memencet-mencet lengan bocah itu. "Ck, ototmu bahkan terlalu lemah. Tak ada kekuatan."

Bocah itu hampir mengamuk. "Aku kuat! Suatu hari nanti aku pasti akan jdi pemimpin sekolahku. Suzuran!"

Hinata menghentikan aktifitas membuka plester di tangannya. "Kau sekolah di Suzuran? Suzuran yang itu?"

Bocah itu tampak tersenyum karena berhasil membuat Hinata takjub. "Oh yeah, tentu saja. Sekolah laki-laki terbaik di dunia!"

Hinata tahu bocah itu terlalu membesar-besarkan. Seharusnya ia menyadarinya ketika melihat celana biru dongker itu. Bocah itu tidak mengenakan almamaternya yang membuat Hinata tidak sadar bahwa di depannya adalah anak Suzuran.

Mendadak memori-memori akan masa sekolahnya berkelebatan di kepala Hinata. Semua kenangan itu, wajah orang-orang yang mengisi kenangan itu muncul satu persatu di pikirannya. Dadanya jadi agak sesak karena dipenuhi rasa rindu.

"Bagaimana Suzuran sekarang? Masih berisi berandalan yang tidak punya otak?"

Bocah itu mendelikkan mata cokelatnya. "Suzuran sekolah laki-laki terbaik di Tokyo kau tahu? Yah, walaupun memang isinya begundal-begundal, tapi kami ini begundal yang penuh intelektual dan tanggung jawab. Kelompok Suzuran selalu menang baik di tawuran ataupun lomba kecerdasan. Kau tidak tahu Suzuran masuk koran minggu lalu karena memenangkan lomba matematika nasional?"

Entah mengap Hinata tertawa kecil di balik maskernya. Bocah ini begitu mengingatkan Hinata akan sosok dirinya sendiri di masa lalu. Dipenuhi semangat membanggakan sekolah itu.

"Sepertinya Suzuran juga masuk koran karena berkelahi yang menyebabkan kerusakan fasilatas umum?" tebak Hinata.

Wajah bocah itu memerah karena malu, tebakan Hinata sepertinya tepat.

Hinta menempelkan plaster perban itu dengan lebut ke lengan bocah itu. "Sudah selesai, lebih baik aku tidak perlu melihatmu di rumah sakit ini lagi, oke?" Hinata bangkit berdiri dari kursinya, lalu membuka masker dan tersenyum lembut pada bocah itu. "Berkelahilah menggunakan otak, hm? Ini adalah saran dari pemimpin Suzuran."

Hinata berbalik dan melangkah pergi saat anak itu marah-marah dengan wajah yang merah. Hinata berjalan melewati beberapa ranjang yang dipenuhi pasien-pasien pertolongan pertama. Jubah putihnya terhempas saat beberapa orang berlari melewatinya dengan panik. Hinata mengamati beberapa petugas medis yang mendekati ranjang yang baru saja masuk diantar ambulan tadi.

Hinata merengut melihatnya, ia bahkan mengisi laporan pasien di atas meja perawat yang tebuat dari marmer putih itu sambil sesekali melihat keadaan pasien dengan wajah yang cemberut.

"Hinata-san apa kau sesedih itu?" tanya Risa-chan, seorang perawat berperawakan mungil dan berambut hitam.

Hinata memaksakan tersenyum, pasrah. "Bagaimana aku tidak sedih. Aku juga ingin menolong pasien." Hinata menekuk bibirnya.

Risa-chan tertawa kecil yang mirip suara kambing. "Bersabarlah, Hinata-chan. Kau baru beberapa bulan, sekitar lima bulan, bekerja di rumah sakit ini. Anak baru memang selalu banyak cobaan."

"Kurasa hanya aku satu-satunya anak baru yang sudah dihukum untuk 'menjahit luka' setiap pasien di sini. Aku bahkan tidak diijinkan memegang pisau bedah!" Hinata berseru frustasi. "Aku merindukan Peterku," sambung Hinata lemas. Pisau bedah kesayangannya yang bernama Peter kini tersimpan rapi di kotak perlatan medis.

Risa-chan mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba berbisik pada Hinata. Hinata bergerak maju sedikit.

"Aku dengar mereka memperlakukanmu seperti itu karena kau terlalu hebat. Lihatlah, mereka bahkan memasukkanmu di UGD bukannya dokter spesialis. Terlebih lagi, kau terlihat dekat dengan kepala bagian bedah."

Hinata menghembuskan napas panjang. "Kau terlalu polos, Risa-chan." Hinata menatap tajam mata perawat yang dua kali lebih pendek darinya itu. "Mereka menempatkanku di UGD karena Rumah Sakit Universitas Tohoku membenci Hyuuga!"

Risa-chan tampak terkejut berlebihan. "Kenapa?"

Hinata membuang napas mencoba bersabar akan kenaifan ataupun kepolosan perwat yang menjadi teman pertamanya saat bekerja di tempat ini. "Karena Universitas Hyuuga merebut predikat Universitas terbaik nomor tiga di Jepang ini."

"Wow!" seru Risa-chan. "Tapi kenapa nama Universitas itu terdengar tak asing bagiku ya?" tanyanya polos.

Hinata menepuk dahinya sendiri, lalu mengangkat id-card yang menggantung di lehernya kepada Risa-chan. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya pada nama Hinata. "Sialnya pemilik Universitas Hyuuga itu adalah ayahku."

Risa-chan membekap mulutnya dengan wajah seperti baru saja mengetahui fakta kalau bumi itu bundar. "Apakah orang lain tahu—"

"Kau satu-satunya orang yang tidak segera menyadari itu," potong Hinata. Lagipula ia tak ingin Risa-chan terlihat bodoh karena mau berteman dengan Hinata. Hinata ingin jujur padanya.

"Apa kini kau membenciku?" tanya Hinata hati-hati.

Risa-chan mengangkat sebelah alisnya. "Karena kau dari luar negeri?"

Hinata tertawa mirip suara sesak napas, ia menepuk bahu Risa-chan berkali-kali sambil menahan dorongan untuk tidak memukulnya. "Lanjut bekerja sajalah," ucap Hinata sambil tersenyum.

Hinata mengikat rambut sebahunya, lalu melanjutkan mengisi data pasien saat dokter yang menangani pasien darurat ambulan itu berteriak kencang.

"Ini fraktur tingkat tiga! Bawakan aku tukang gergaji Sekarang!"

Jantung Hinata rasanya merosot turun saat mendengar teriakkan itu. Ia berjalan hilir mudik dan bergerak gelisah di atas sepatu hak tingginya. Hinata mencoba menghubungi Kimimaru, teman sesama ortopedis yang berwajah dingin itu. Dengan gelisah ia menekan nomor rekannya itu, kemudian suara mesin penjawab terdengar di telinganya. Ia menjadi semakin gelisah. Kemudian ia tak bisa menahannya lagi, ia nyaris berlari ke ranjang pasien itu. Darah mengalir deras dari kaki seorang anak kecil, berusia sekitaran 10 tahun. Darah itu menggenangi seprei sampai menetes ke permukaan lantai keramik ini.

Dokter separuh baya yang tengah sibuk memeriksa dada anak kecil itu dengan stetoskop, terkesiap saat melihat Hinata berdiri bego di dekat gorden. "Hei, kau! Kau dokter ortopedi bukan?"

Hinata meringis kecil.

"Kenapa kau diam saja saat melihat pasien akan mati?! Cepat kemari!" seru dokter itu.

Hinata baru akan membuka mulut ketika tangannya ditarik paksa oleh dokter itu untuk segera memeriksa pasien. Hatinya sedikit teriris saat menyaksikan tulang kaki seorang anak kecil mencuat menembus daging merah yang basah, ujungnya berupa patahan bergerigi.

Hinata mengambil napas dalam. Ia sedang berada dalam masa hukuman. Tapi... ia memang sudah terlanjur membuat masalah, jadi hal ini tidak akan membuatnya mati. Iya 'kan?

Ia segera menyobek celana panjang yang dikenakan bocah itu bahkan dengan tangan kosong. Beberapa orang bergumam kaget saat Hinata dengan cekatan memeriksa keadaan kaki kanan bocah itu. Lukanya sangat serius.

"Siapkan ruang operasi. Anak ini harus mendapat suntikan bius total pertamanya dalam lima menit. Kubilang lima menit lagi!" seru Hinata.

Suster dan petugas medis lainnya segera berlari untuk mendapat ruang operasi. Dokter paruh baya itu membuka kemeja lusuh yang dikenakan bocah itu. Tanda memar tampak timbul di beberapa tempat pada dadanya yang kurus. Hinata mengerutkan dahinya.

"Apa itu?" tanya Hinata menunjuk sebuah memar yang berwarna biru pekat keunguan.

"Sepertinya bocah ini jatuh dan sesuatu yang tumpul menghantam perutnya." Jawab dokter itu.

Hinata menyipitkan matanya. "Itu tak menjelaskan memar-memar lain disekujur tubuhnya. Kurasa aku bisa bilang kalau anak ini dipukuli."

Dokter itu tampak terganggu dengan diagnosa personal dari Hinata. "Bisakah kau tutup mulut? Kakinya tak akan patah seperti itu jika dipukul seseorang."

Hinata baru akan membalas ketika seorang perawat berteriak bahwa ruang operasi sudah siap. Mereka mendorong ranjang pasien itu dengan cepat. Hinata menyadari bahwa bocah kecil itu merintih padanya sambil memegangi perutnya yang lebam.

Hinata mencoba memerika lebam itu dalam waktu sesingkat mungkin. Lalu ia terkejut saat menyadari bahwa lebam itu kini berubah warna jadi agak hijau. Ia pernah melihat kasus seperti ini sekali ketika magang di Inggris. Hanya sekali tapi Hinata sudah lebih dari yakin.

"Panggil dokter bedah kemari!" perintah Hinata pada salah seoarang perawat laki-laki di belakangnya.

"Tapi semua dokter diluar UGD heboh karena rapat dadakan dengan para pemegang saham sombong itu!"

Hinata menggigit bibir. Politik rumah sakit memang lebih menjijikan karena mereka melibatkan nyawa orang di dalamnya.

"Panggil ketua bedah," kata Hinata. "Bilang Hinata sangat membutuhkan bantuannya. Dia akan segera kemari."


Lampu merah yang berkedip di atas pelat bertuliskan 'operating room' berubah menjadi hijau. Bersamaan itu, beberapa dokter dan perawat keluar meninggalkan ruangan dengan desahan lega. Hinata berjalan dengan gontai keluar ruangan, ia masih mengenakan baju operasi hijaunya yang kecipratan darah dan kini sedang berusaha membuka maskernya.

Tiba-tiba tubuhnya di seret dan dilempar sampai punggungnya membentur dinding.

Seorang dokter yang marah mengapitnya, orang itu membuka masker wajahnya.

"Bisakah kau sehari saja tidak membuat masalah?" tanya orang itu.

Shikamaru Nara menatapnya penuh emosi meskipun kilatan lelah terpancar dari mata hitamnya.

Hinata berpura-pura tertawa. "S-sepertinya sulit untuk tidak membuat masalah. Hehe."

Shikamaru menyipitkan matanya memberi peringatan, kemudian dia tampak kalah. Shikamaru melepaskan bahu Hinata. "Kau ini memang tidak pernah kapok." Dia melepaskan penutup kepalanya dan kini rambut nanasnya menjulang tinggi di atas kepalanya. "Kau baru saja melanggar hukumanmu dengan memegang pisau bedah di dalam tadi."

"Dan pisau itu baru saja menyelamatkan nyawa seorang anak kecil," Hinata bersikeras.

"Oh ya, sayangnya pisau itu juga yang akan digunakan kepala UGD untuk membunuhmu nanti. Selamat tinggal, Hinata."

Shikaru berjalan pergi menyusuri lorong ini.

"Tungu, kepala bedah! Dengarkan aku dulu—!"

Protesnya terpotong oleh seorang ibu-ibu bungkuk dengan mata yang besar, kini menarik bajunya,

"Dokter? Bagaimana keadaan Hima?" tanya orang itu.

Hinata terkejut karena tidak segera melihatnya saat keluar ruangan tadi.

"Ah ya, Hima-chan kini sudah dipindahkan ke ruang intensif. Ia akan baik-baik saja, meski dengan sedih aku harus memberitahu anda kalau putri anda tak bisa berjalan dengan normal seperti temannya yang lain."

Ibu itu mengeluarkan suara desahan parau yang tampak sangat dalam. Dia kemudian mulai menangis. Hinata berusaha menenangkannya dan mencoba mengajaknya bicara.

Saat itulah babak baru di dalam kehidupannya dimulai.

.

Hinata menutup pintu di belakangnya dan punggungnya bersandar pada pintu bercat putih itu. Ruangan yang dimasukinya cukup luas dengan tata ruang yang sederhana. Malah kesannya orang yang menempati ruangan ini jarang peduli pada keadaan kantornya. Sebuah tanaman hias dalam pot keramik berdiri menyedihkan di dekat pelakat nama di atas meja.

Ketua Departemen Bedah Rumah Sakit Universitas Tohoku

Shikamaru Nara

"Apa lagi?" tanya Shikamaru sengaja dengan menunjukkan nada lelahnya.

"Aku butuh bantuanmu," kata Hinata dengan mata berbinar.

Shikmaru memutar bola matanya bosan. Hinata sangat gembira ketika pertama kali mengetahui kalau Shikamaru, teman semasa SMAnya bekerja di tempat yang sama dengan Hinata, segera setelah Hinata kebmbali ke Jepang. Orang itu masih tampak sama, bahkan sifat ogah-ogahannya itupun masih tetap melekat kuat padanya.

"Bantu aku," pinta Hinata sekali lagi kini dengan agak dibuat-buat.

"Hinata, demi Tuhan, sekali lagi kau buat masalah—"

"Carikan aku polisi," kata Hinata.

Shikamaru menatapnya heran. "Kau ingin menikah?"

"Kau yang akan menikah dengan Temari-san, ingat?"

Wajah Shikamaru berubah mereah yang ditahan-tahan.

Hinata mendekatkan dirinnya ke meja Shikamaru. Tangannya terkepal di depan wajahnya yang berbinar sedikit menakutkan. "Aku harus membantu bocah yang baru saja kita selesai mengoperasinya. Dia dipukuli ayahnya, bahkan orang gila itu menghantamkan bocah itu ke balkon sampai dia terjatuh dengan tulang kaki patah!"

Shikamaru masih menatapnya dengan tatapan datar. "Dan apa yang kau, seorang tukang gergaji tulang, harus lakukan tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga salah seorang dari ratusan pasien ini?"

Hinata menggebrak meja di depannya. "Tentu saja kita harus membantu mereka!"

Shikamaru memejamkan mata. "Hinata, mereka tidak perlu bantuanmu untuk membuat laporan ke polisi."

"Oh, tentu saja mereka membutuhkan bantuanku. Ibu dari anak itu bahkan tidak berani pulang hari ini karena suaminya yang gila sedang menunggu di apartemen sempit mereka. Suaminya mengancam akan membakar seluruh asuransi yang dikumpulkan oleh ibu itu jika lapor pada polisi. Maka dari itu dia meminta bantuanku."

Shikamaru tampak agak tertarik. Dia melempar punggungnya ke kursi empuk di belakangnya dan bergerak ke kanan dan kiri oleh poros rodanya.

"Bukannya aku tidak mau membantu mereka. Tapi jika kau terlibat dalam hal ini, kau akan berada dalam lingkaran itu selamanya. Jika besok ada pasien yang memiliki kondisi yang sama, apa kau juga akan menolongnya?"

"Selama aku mampu, kenapa tidak?"

Shikamaru menghembuskan napas super panjang, dia selalu mengalah jika berdebat dengan Hinata.

"Baiklah, tapi aku tidak punya kenalaan polisi." Kata Shikamaru.

Hinata tampak kecewa.

"Tapi, kurasa aku bisa menawarkanmu sesuatu yang lebih baik lagi."


Kelopak sakura berterbangan terbawa angin musim semi yang berhembus kencang. Langit tampak sangat cerah hingga tak ada satupun awan putih yang terlihat di atas sana. Hinata mendongakkan kepalanya untuk melihat menembus kaca jendela kafe ini. Di luar, trotoar batu dipenuhi oleh pejalan kaki yang kebanyakan orang kantoran kelaparan di jam makan siang.

Hinata merapihkan kemeja biru langit yang dikenakannya, serta mengibaskan debu dari rok putih sepan selutut miliknya. Ia memeriksa sekilas refleksi dirinya sendiri di jendela kafe. Rambut indigo sebahu miliknya tergerai begitu saja, membingkai wajah pucat Hinata yang belum berkeriput sama sekali diusia 27.

"Kau cantik, Hinata-san." Ujar ibu dari Hima-chan yang duduk di sampingnya.

Hinata menoleh, kemudian tersenyum. "Benarkah? Apa aku kelihatan menarik? Temanku memberitahuku kalau temannya yang jaksa yang kita tunggu ini sangat tampan. Dia berharap aku menikah dengan jaksa dan berhenti membuat masalah," kata Hinata sembari tertawa pelan.

Ibu Hima juga tertawa. "Aku yakin jaksa ini akan langsung jatuh cinta ketika melihatmu."

Mereka sedang tertawa bersama ketika seseorang mendekati meja mereka. "Permisi, apa Shikamaru Nara memberitahumu—" orang itu tak melanjutkan kalimatnya.

Hinata mendongak untuk menjawab dengan senang hati, tapi kemudian nafasnya tercekat. Tidak. Sebenarnya aliran darahnya juga terasa berhenti mendadak, menjadikan tubuhnya dingin. Membeku. Matanya terbelalak melihat orang yang berdiri di depannya.

Orang itu bertubuh jangkung dan tegap, kulitnya putih dan rambutnya yang gelap menambah kesan sangarnya. Rambutnya sedikit dinaikkan. Wajahnya... begitu tajam dan lembut dalam waktu bersamaan. Wajah yang sangat dirindukannya. Garis rahangnya terlihat tegas. Dia mengenakan setelan jas gelap dengan dasi merah yang kebesaran. Mata onyx nya. Mata itu...

Sama sekali tidak berubah.

Sasuke Uchiha menatap ke arah Hinata dengan tatapan yang sama. Tak berkedip. Wajahnya yang terkejut mengindikasikan bahwa Shikamaru tak memberitahu informasi lebih detail kepada mereka mereka berdua tentang pertemuan siang ini.

Dunia terasa berputar cepat hingga orang-orang di sekitar mereka hanyalah sekelibat bayangan tak berarti.

"Oh, anda Jaksa teman dokter Nara?" tanya Ibu Hima memecah keheningan yang janggal barusan.

Sasuke mengedipkan matanya berkali-kali seolah baru sadar dari mimpi siang bolongnya. Orang itu menjabat tangan Ibu Hima sembari duduk di kursi sofa hitam, berhadapan tepat dengan Hinata yang masih membeku.

"Sasuke Uchiha," katanya memperkenalkan diri pada Ibu Hima. Lalu dia melepas tangannya dan beralih pada Hinata. Seakan menantikan Hinata untuk menyambut jabat tangan itu.

Hinata menatapnya dengan gugup, butuh agak lama sampai Hinata benar-benar bisa menguasai diri. Jantungnya tak bisa berhenti berdetak begitu kencang sampai ia takut kalau Sasuke bisa mendengarnya. Dengan tangan gemetar, Hinata menyentuh tangan Sasuke, menjabatnya.

Sentuhan itu membuka kembali segala memori tentang mereka berdua.

Hinata mengalihkan pandangannya, berusaha keras menahan rasa panas di matanya.

"Jadi, apa yang bisa kubantu?" tanya Sasuke dengan suara kalem.

Astaga, suara itu. Suara orang itu bertambah berat, terdengar begitu dalam hingga siapapun bisa terhanyut di dalamnya.

Sasuke benar-benar menjadi seorang pria.

Ibu Hima menanti Hinata untuk menjelaskan karena dia tahu Hinata sangat bersemangat membantu Ibu Hima, tapi Hinata hanya terduduk tanpa bergerak sedikitpun. Maka dari itu Ibu Hima mulai bicara tentang kondisinya secara panjang lebar. Hinata bahkan hanya bisa mendengar samar-samar cerita Ibu Hima. Kabut masih menyelimuti pikirannya saat ini.

"Hinata-san, tolong salinan dokumen laporan yang sudah polisi berikan pada kita," pinta Ibu Hima.

Hinata agak lamban dalam mengerti maksudnya, kemudian ia menarik map cokelat yang tidak terlalu tebal isinya dari dalam tas. Hinata mengangkat dokumen itu ke tengah meja, dan Sasuke menerimanya.

Ia tersentak kecil saat tangan Sasuke menyentuh tangannya di atas map itu. Agak lama. Hinata tak berani melihat lurus ke mata orang di depannya. Sasuke sengaja tak melepaskan tangannya. Jantung Hinata kini sungguh berdetak kencang sampai membuat tubuhnya gemetar. Darahnya mengalir begitu cepat ke otak sampai membuat Hinata pusing.

Saat itu Sasuke melepas tangannya. Dia tampak membaca sekilas dokumen yang ada di tangannya.

"Aku akan menghubungi Anda lagi, jadi bisakah tolong..." Sasuke menatap Hinata. "Berikan aku nomor yang bisa dihubungi."

Hatinya mencelos saat mata mereka bertemu pandang.

Jantungnya perpacu dengan kecepatan yang sama ketika Hinata terakhir kali menatap mata itu.

Ibu Hina tidak memiliki ponsel hingga Hinatalah yang memberikan nomer teleponya pada Sasuke. Lalu Ibu Hina terkejut saat melihat jam besar di dekat televisi, dia segera berpamitan pada Sasuke karena sudah waktunya bagi Hima untuk disuntik. Mereka melangkah pergi terlebih dahulu. Bergerak canggung, ia nyaris tersandung kaki meja saat akan melangkah.

"Hati-hati," ucap Sasuke mengagetkannya. "Kau masih ceroboh."


Suara alunan musik jazz yang terdengar samar dari audio cafe ini membuat suasana lebih tenang. Aroma kopi yang baru saja dituangi air mendidih sangat membangkitkan saraf Sasuke setelah sempat terhenti tadi. Ia sempat membeku, jantungnya bahkan berdetak tak karuan saat lelaki itu menyadari bahwa tamu yang diharapkan teman brengseknya, Shikamaru, untuk bertemu pada siang ini adalah gadis itu.

Hinata Hyuuga.

Rasanya nama itu telah menghantui mimpi Sasuke selama beberapa kali setiap tahunnya. Ditambah ketika mata Sasuke melihat sendiri Hyuuga Hinata dalam bentuk nyata dihadapannya... rasanya mimpinya selama ini baru saja menjadi nyata. Terlalu nyata hingga Sasuke tak tahu harus bereaksi bagaimana.

Jantungnya masih berpacu kencang saat ia berbicara pada Ibu korban, tapi pikirannya tak bisa lepas dari gadis di hadapannya tadi. Hinata...

Dia sama sekali tak berubah. Dia masih sama cantiknya. Dia masih sama cerobohnya.

Dia terlalu bersinar. Bagaimana mungkin wajahnya sama sekali tak bertambah tua, malah kecantikannya bertambah dengan tampilan dewasanya itu. Matanya masih memiliki pancaran yang sama seperti yang Sasuke ingat. Mata lavendernya yang tajam dengan kelembutan yang luar biasa.

Dia tumbuh menjadi lebih indah.

Sasuke menahan napas ketika tangan mereka bersentuhan untuk pertama kalinya setelah hampir sepuluh tahun. Tangan lembut itu membuatnya ingin menyutuhnya lagi. Sasuke sengaja berlama-lama menerima dokumen itu dari tangan Hinata.

Ya Tuhan. Mengapa sekarang? Mengapa harus gadis itu lagi? Mengapa perasannya masih tetap sama ketika melihat gadis itu lagi?

Sasuke memijit keningnya atas pertemuan ajaib siang ini. Ponsel d saku kantongnya bergetar. Ia memeriksa pesan yang masuk dan mendesah karena bawahannya menyuruh Sasuke segera kembali ke kantor kejaksaan negeri karena setumpuk berkas yang masuk lagi.

Ia baru saja pergi beberapa langkah dari tempatnya duduk tadi ketika seorang pelayan memanggilnya. Pelayan itu mendekat dan menyerahkan benda yang membuat Sasuke kehilangan napasnya sekali lagi.

"Anda meninggalkan ini."

Sebuah syal merah yang sangat dikenalnya itu.

"Jagalah syal ini."

"Sampai kapan?"

"Sampai kau merasa jika benda sini sudah tidak ada artinya lagi untukmu."

Hinata masih memikirkannya sampai sekarang.


Hinata melempar tas maroon miliknya sembarangan, kemudian ia melemparkan tubuhnya sendiri ke atas kasur empuk kesayangannya. Hinata mendesah panjang. Ia berbaring menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Ia sengaja tak menghidupkan lampu. Hanya lampu tidur yang membuat cahaya-cahaya berbentuk bintang kuning di langit kamarnya.

Hawa dingin malam membuatnya bergidik. Sudah beberapa hari sejak pertemuan Hinata dan Sasuke Uchiha, namun jantungnya masih tidak bisa tenang. Kenyataan bahwa Hinata selalu gelisah membuat Shikamaru mengoloknya di tempat kerja. Persidangan untuk kasus Hima tinggal satu bulan lagi.

Wajah Sasuke kembali muncul di langit kamarnya. Hinata menggelepar-gelepar dan berguling di kasur untuk menghapus wajah Sasuke dari pikirannya. Orang itu memang memiliki kesan yang kuat untuk dilupakan.

Hinata sudah akan tidur setelah mandi ketika ponselnya bergetar, Hinata merogoh isi dalam tasnya kemudian menemukan ponselnya yang menyala karena ada pesan masuk.

Hinata terduduk begitu cepat sampai otot lehernya tertarik sedikit.

Kantor jaksa, lantai enam, ruang kasus kejahatan serius. Sekarang juga.

Sasuke Uchiha.

.

Hinata mengetuk pintu abu-abu itu dengan hati-hati, kemudian membukanya perlahan setelah terdengar suara 'hn' dari dalam. Ruangan itu memiliki penerangan yang minim. Sepertinya lampu neon di atas sudah hampir mati. Hinata melangkah dengan hati-hati, ia bahkan hanya mengenakan jaket ungu muda dan rok putih panjang miliknya. Ia sudah hampir tidur tadi.

Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh menit. Hinata berdiri canggung di depan pintu. Ruangan ini sebenarnya luas, namun terlihat penuh sesak oleh tumpukankertas yang menjulang sampai rata-rata setinggi satu meter. Ada empat meja di sini, dan hanya satu meja yang masih diisi dengan seseorang.

Sasuke tampak kelelahan dengan kemeja putih yang lusuh dan dasi longgar serta kancing kerah kemejanya sudah lepas. Dia tampak benar-benar lelaki dewasa yang menggoda. Sasuke duduk di kursinya, kursi hitam itu kelihatan paling besar hingga Hinata menyadari pelakat nama terbuat dari marmer hitam yang ada di meja Sasuke bertuliskan.

Kepala Divisi Kejahatan Serius

Sasuke Uchiha

"Kenapa kau diam saja?" tanya Sasuke membuat Hinata nyaris terjatuh karena kaget.

Hinata berjalan agak timpang ke arah meja Sasuke yang berada di dekat jendela. Ia benar. Rasanya Hinata mencium bau pewangi pakaian yang sangat menyengat. Ia mengernyitkan hidung. "Apa kau baru saja selesai menyetrika?"

Sasuke tampak tekejut seakan telah ketahuan mencuri uang. "Tidak," jawabnya cepat. Dia berdiri, menggigit bibir. "Kupikir kau suka wangi seperti ini."

Hinata tampak gugup setelah tahu alasan konyol itu. Kemudian ia sadar bahwa Hinatalah yang membuka percakapan mereka secara spontan. Kini atmosfir tak nyaman memenuhi udara.

"A-apa yang harus kulakukan?" tanya Hinata mengutuk gagapnya.

Sasuke berjalan mengitari meja kerjanya, lalu duduk di pinggir meja. Dia mengambil beberapa lembar kertas di belakangnya. Lalu mengajukannya pada Hinata.

Dengan ragu Hinata bergerak mendekat, ia tahu mereka harus fokus pada masalah Hima. Tapi rasanya bermain pura-pura tak mengenal ini sangat menyesakkan hati.

"Bukti cctv saat orang itu melempar anaknya melewati balkon. Apartemen mereka ada di lantai empat. Gambarnya tidar terlalu jelas, kualitas rusun, tapi mengingatkan kita jika posisi jatuh anak itu sesuai dengan yang terekan di cctv. Banyak bukti. Orang itu tidak akan bisa menang."

Hinata menganalisa gambar-gambar buram itu. "Baiklah."

Hening lagi.

"Aku akan memenangkan sidangnya," ucap Sasuke entah pada siapa.

Hinata menatapnya, kemudian saat sadar Sasuke juga tengah menatapnya, Hinata segera mengalihkan pandangannya pada lembaran kertas lagi. "K-kau yakin?"

Terdengar dengusan dari Sasuke. "Aku tidak menerima jabatan ini tanpa alasan."

"A-aku hanya ingin Hima benar-benar mendapat keadilan yang sesungguhnya."

Sasuke menatapnya dalam diam. "Kau tak berubah. Kebaikan begomu itu."

Hinata menekuk bibirnya. "Kau juga tidak berubah."

"Apanya?"

Kata 'tampan' hampir saja meluncur dari mulutnya begitu saja. Hinata menggigit bibir. "Kau... masih dingin."

"Itulah pesonaku, ingat?"

Hinata tak bisa mencegah memutar bola matanya. "Jadi apa yang bisa kubantu?"

Sasuke diam agak lama. "Carilah dokumen mengenai kerabat korban, yang berguna saja."

Hinata meletakkan tangannya dipinggang dengan heran. "Kau bisa menyuruh temanmu untuk melakukan itu."

"Bukankah kita setuju untuk tidak membayarku? Jadi kenapa aku tidak bisa menyurhmu membantuku?"

Hinata merengut, tapi kemudian ia melangkah ke tumpukan dokumen yang Sasuke minta untuk diteliti. Mereka diam cukup lama sibuk pada kertas di tangan masing-masing. Hinata tak bisa menahan keinginan untuk melihat ke arah Sasuke sekilas. Astaga, orang itu kini tengah bekerja keras.

"Kau..." kata Sasuke mengejutkannya. Sasuke menoleh padanya. "Sudah menikah?"

Hinata mengalihkan pandangannya dengan cepat. "Belum."

Hening kembali.

"Kalau begitu..." Sasuke mendekat ke arahnya. "Sudah punya anak?"

Hinata mendelik ke arah Sasuke. "Tentu saja belum!"

Mereka berdua terkejut sendiri dengan jawaban berlebihan dari Hinata. Hinata segera berjongkok kembali, berutat dengan tumpukan kertas. Wajahnya memerah.

"Bagus," respon Sasuke sambil berjalan kembali ke kursinya.

Hinata tak berani memikirkan respon Sasuke itu maupun maksud dibaliknya.

"Aku agak bingung ketika melihatmu yang seorang dokter," kata Sasuke lagi. "Tapi setelah ku tahu kau dokter ortopedi, semuanya jadi masuk akal. Kau tidak menyia-nyiakan kekuatanmu itu."

Hinata menggeram kecil. "Aku menyukai pekerjaanku." Hinata menggigit bibirnya kembali, kemudian dengan pelan ia menyebut nama Sasuke setelah bertahun-tahun. "Sasuke-kun juga kenapa jadi jaksa? Kau menyia-nyiakan otoritas ayahmu."

Sasuke mendengus. "Seseorang pernah berkata untuk membuatku bahagia dengan hidupku." Hinata membeku. "Aku tidak bahagia dengan segala siklus uang perusahaan ayahku. Aku lebih memilih memiliki otoritasku sendiri, menggunakan kekuatanku untuk menjebloskan orang keparat ke penjara, menghasilkan uangku dengan gengi yang tinggi, semuanya kulakukan sendiri."

Hinata memandangnya takjub. Ia tak pernah membayangkan bahwa Sasuke Uchiha berkerja untuk kebenaran. Yah, Sasuke memilih pekerjaan yang tetap menggunakan kekerasan cerdik namun berkelas. Jaksa.

"Kau baru kembali ke Jepang?" tanya Sasuke serak.

Hinata menggigit bibir. "Lima bulan yang lalu. Selama ini ada di Skotlandia dan mengambil spesialisku di London. Koaspun kuhabiskan di Inggris. Lalu akhirnya aku dipindahkan ke Jepang." Hening sekali lagi.

"Bagaimana kau bisa menjadi jaksa?"

"Oh, Naruto merekomendasikanku ke S2 hukum."

"Naruto-kun? Dimana dia sekarang?"

Sasuke tertawa. "Dia masih tertahan di Suzuran," ucapnya kemudian terkekeh melihat ekspresi pucat Hinata. "Percayalah dia sekarang menjadi guru olahraga di Suzuran."

Hinata bisa membayangkan Naruto yang memang selalu bersemangat itu.

"Bagaimana keadaan Fugaku-san?"

"Oh, dia sudah menikmati masa pensiunnya. Obito kini berkuasa seperti kuda liar, tapi dia cukup terampil."

"Lalu Madara-san?"

Sasuke diam agak lama. "Dia sudah lama mati."

Hinata membeku di tempatnya, ia tak menyangka kakek Uchiha itu telah tiada.

"Maafkan aku... aku..."

"Bukan masalah." Sahut Sasuke cepat. Dia memandang Hinata. "Aku akan mengantarmu pulang."


Minggu-minggu setelahnya dihabiskan Hinata dengan kunjungan malam ke kantor Sasuke. Membantu orang itu mengumpulkan dokumen dan segalanya. Sesungguhnya, Hinata hanya ingin melihat Sasuke. Bagaimana orang itu bekerja keras. Bahkan beberapa hari yang lalu Sasuke berada di rumah sakit mendadak, menimbulkan kehebohan karena seorang jaksa tampan yang terkenal ada di rumah sakit. Hinata sempat malu setengah mati mengira Sasuke kesana untuk menemuinya, ternyata orang itu adalah salah satu pemegang saham di rumah sakit Tohou. Hinata masih tak bisa melupakan seringai penuh kemenangan yang menghiasi wajah Sasuke saat dia berjalan melewati UGD.

"Kau masih memikirkan kejadian kemarin?" tebak Sasuke mengagetkannya.

Hinata menggelengkan kepalanya cepat dengan wajah memerah. Ia bahkan tidak sempat ganti baju setelah pulang dari rumah sakit tadi. ia masih menggunakan kemej soft pink dan celana pendek putih di atas lutut. Sasuke masih sama. Masih kelihatan seperti artis yang sedang pemotretan kemeja kerja.

"Yah, kalau aku jadi kau sih memang sudah sepatutunya merasa malu. Bukankah menyerobot masuk rapat pemegang saham dengan meneriakkan namaku itu memang agak memalukan?" Dia tertawa puas.

Hinata menutup wajahnya dengan kertas penuh frsutasi. Segera setelah hal itu terjadi, rumor bahwa Sasuke dan Hinata memiliki hubungan menyebar luas sampai ke sudut rumah sakit.

Hinata berjalan gontai ke meja Sasuke untuk mengembalikan dokumen daftar panggilan telepon. Sasuke mendongak, "Lihatlah ini. Hasil visum anak itu."

Hinata mendunduk untuk melihat gambar di layar komputer tipis itu. Posisinya begitu canggung. Ia nyaris berteriak saat tangan Sasuke menarik pinggang Hinata dan mendudukannya di pangkuan Sasuke agar bisa melihat lebih jelas.

Jantungnya berdegup luar biasa kencang. Darah mengumpul di wajah Hinata, membuatnya merah padam.

Tangan Sasuke tak lepas, melingkari pinganggnya, mencegah Hinata agar tidak kabur.

Hinata mencoba melepas lengan tangan Sasuke yang penuh urat vena itu. Hinata tambah gugup menyadari perbedaan fisik mereka yang begitu besar. Hinata meringkuk begitu kecil di dalam dekapan Sasuke.

"Lihatlah gambar itu," ucap Sasuke tepat di telinganya. Hinata memejamkan matanya merasakan napas berat dan panas berhembus di telinganya yang sangat sensitif.

"B-baiklah," ucap Hinata sambil menatap layar komputer. Meski begitu pikirannya sama sekali tak bisa bekerja untuk menganalisis visum yang sebenarnya tampak normal itu.

Sasuke memajukan wajahnya, hingga tepat berada di samping wajah Hinata. Hinata tak berani melihat.

Sasuke yang menyadari kegugupan Hinata menjadi gelisah. Pada awalnya ia bermaksud untuk mempermainkan Hinata, tapi reaksi gadis itu seharusnya sudah bisa ditebak dan Sasuke semestinya bisa mengatasinya. Tapi gadis itu terlihat sangat bersemu malu, membuat Sasuke nyaris merosot jatuh dari kursinya. Bagaimanapun juga kenangan terakhir Sasuke dan Hinata adalah ketika Sasuke menyentuh tubuh gadis itu, menjadikannya miliknya semalam. Tangannya bergerak canggung di pinggang Hinata yang kecil.

"Kenapa kau gugup?" tanya Sasuke yang tak digubris Hinata. Gadis itu tak berani memandang matanya, dia tampak seperti kelinci yang terperangkap dalam cengeraman serigala besar.

"Hinata," Sasuke menyebut nama itu. Rasanya nama itu sangat dirundukannya.

Hinata membuka matanya, dia mengerling ke arah Sasuke. "Apa Sasuke-kun... sudah punya pacar?"

Hening. "Dulu tentu saja. Sepuluh tahun adalah waktu yang lama. Sekarang tidak. Tidak pernah ada yang sama."

"Huh?"

"Tidak ada yang sama denganmu. Aku tak bisa berhenti untuk membandingkan mereka denganmu."

Wajah Hinata memerah, dia menundukkan wajahnya.

"Kau sangat cantik," Sasuke tak bisa berhenti untuk mengatakannya. Dia mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata yang merah padam.

Kemudian Sasuke mengecup pipi Hinata yang panas.

"Kau tak berubah. Kau selalu cantik."

Ciuman di pipi itu beralih ke bibir, tapi Hinata mendorong dagu Sasuke dengan wajah yang merah. Dia menyipitkan matanya. "K-kau mau apa?"

Sasuke ikut menyipitkan matanya dengan wajah merah pula. "Menciummu tentu saja."

"Apa kau masiih mencintaiku?" tanya Sasuke.

Sasuke mencium bibir Hinata yang lembut. Rasanya sudah sangat lama ia tidak merasakan kehangatan yang manis seperti ini.

Lalu Hinata membalas ciumannya.

"Aku mencintaimu."

Malam itu semua sudah kembali ke tempat semuanya dimulai.


Hinata melangkahkan kakinya melewati rumput alang-alang yang menjulang tinggi. Ia berjalan menanjak menaiki bukit-bukit berumput ini. Pohon sakura menggugurkan kelopak bunganya dengan begitu indah. Angin musim semi bercampur aroma wangi sakura memenuhi udara di bukit ini.

Hinata berhenti di salah satu gundukan besar, tertutupi rumput hijau yang begoyang tertiup angin.

Ia meletakkan sebuket bunga liar putih ke atas makam yang bertuliskan Itachi Uchiha itu.

Hinata tersenyum menatapnya, kemudian melakukan penghormatan pada makam Itachi. Hinata kembali berdiri, merapikan setelan hitamnya yang jadi kusut. Kemudian ia mendengar suara rumput yang bergesek dibelakangnya.

Sasuke Uchiha muncul dari balik undakan. Orang itu tampak tidak terkejut melihat Hinata, seakan dia sudah menebak bahwa gadis itu akan kemari. Setelah sidang kasus Hima tadi, dimana Sasuke memenangkan persidangan dengan hukuman penjara bagi tersangka sesuai tuntutan yang diinginkannya, mereka melangkah keluar dari gedung pengadilan Tokyo. Ibu Hima menangis dan berterimasih pada mereka berdua penuh air mata. Hinata tersenyum karena berhasil membantu satu orang lagi dalam hidupnya.

Sasuke buru-buru pergi, mengatakan dia harus mengambil pesanannya. Dia bahkan tidak mengantarkan Hinata.

Hinata hanya terlalu senang hingga ia pergi sendiri ke makam Itachi. Ia ingin berterimakasih pada sosok inspirasional baginya itu.

Sasuke kini sudah berdiri di sampingnya. Dia meletakkan satu buket bunga lily ke atas makam Itachi. Kemudian berdoa. Hinata menunggu sampai Sasuke selesai.

"Kenapa hanya memberikan Itachi-kun satu bunga?" tanya Hinata protes.

Sasuke menghadapnya. "Karena satunya adalah untukmu."

Orang itu mengulurkan buket bunga anggrek putih favorit Hinata. Hati Hinata rasanya melebur bersama sinar matahari pagi, begitu hangat.

"Ambil kartu ucapan itu, itu adalah perasaanku." Ujar Sasuke sambil mengendikkan dagu ke arah amplop kecil dari kertas pinus di tengah bunga-bunga.

Hinata mengambilnya, kemudian membuka amplop itu karena penasaran apa yang ditulis Sasuke. Dia tidak pandai menulis puisi.

Matanya tercengang, jantungnya berdegup kencang saat menarik isi dari amplop kecil itu.

Sebuah cincin perak dengan dua berlian kecil di tengahnya, tampak berkilau.

"Menikahlah denganku."

Hinata tak bisa membendung air matanya, ia menerjang Sasuke dan orang itu merengkuhnya ke dalam sebuah pelukan yang kuat.

"Aku mencintaimu."

END

I LOVE YOU GUYS

See you in my next project, perhaps, hahaha. :)