Love is verb [Remake from Autumn Once More by Meilia Kusumadewi; Love is verb]

Pair : Yoongi x Jimin [BTS]

Rate : T

Status : two-shoot


[BGM : STAY - BLACKPINK]


Pukul setengah enam sore. Tak terhitung banyaknya retwitt yang kudapat dari statusku di Twitter atas penghargaan yang baru kudapat itu. Belum lagi komentar teman-teman dari rekanan kerja yang ramai mengisi. Semuanya mengucapkan selamat. Semua kecuali satu orang yang sebenarnya kunanti-nanti. Yoongi. Aku dan dia memang berteman di Twitter, tapi itu pun baru setelah beberapa bulan kami perpacaran. Alasan Yoongi waktu itu tak kunjung menerima ajakan pertemananku di Twitter pada masa awal-awal kami pacaran adalah karena aku cemburuan. Ih! Siapa yang cemburuan? Aku kan hanya ingin tahu.

Ku telurusi newsfeed di timeline Twitter-ku. Beberapa status teman-teman ku bergantian memenuhi layar iPhone-ku sebelum akhirnya mataku tertumbuk dengan artikel yang diunggah Yoongi di statusnya. Lagi-lagi artikel tentang pekerjaannya. Tampak ramai celotehan teman-temannya di bawah artikel tersebut. Di Twitter, follower Yoongi mencapai dua ribuan, sementara aku hanya enam ratusan. Ternyata Twitt ini dia unggah dua jam setelah statusku. Berarti harusnya dia juga melihat statusku. Terus kenapa belum ada tanggapan dari Yoongi? Oke, kalau sekedar status ringan aku tidak keberatan. Tapi ini aku dapat penghargaan. Dan tidak ada kometar apapun dari dia? Kekesalan tadi siang ternyata masih ada, dan sore ini semakin meletup-letup. Apa dia sudah tidak peduli padaku? Apa dia sudah bosan padaku? Tuhan, kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Aku hanya ingin diperhatikan.

Terdengar suara ketukan di puntu ruang kerjaku. "Masuk." Ternyata yang masuk Yoongi. Wajahnya tampak letih luar biasa, namun seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Ada yang hari ini juara kelas ya?" Dia mendekat, hendak mengacak-acak rambutku seperti biasanya kalau sedang bercanda. Tapi suasana hatiku sedang tidak ingin bercanda, apalagi berbaik-baik ria. Jadi aku pura-pura tidak sadar dengan gerakannya dan berbalik, melangkah menghampiri jendela, pura-pura melihat cuaca di luar.

"Kok tumben mampir ke kantor? Biasanya juga tidak." Kataku ketus, alih-alih menjawab pertanyaannya. Yoongi, sepertinya sadar aku masih marah, menghela napas, dan kemudian mendekat. Tapi dia tetap berdiri dibelakangku. Jarak kami tidak begitu jauh, tapi bisa kurasakan keraguan menguasainya untuk langsung memelukku seperti biasanya kalau aku merajuk. Napasnya kembali mendesah. Seakan-akan habis membawa beban berat.

"Kamu masih marah soal tadi ya? Maafkan aku, Jim. Tadi aku di tengah rapat penting, sementara teleponmu terus berdering. Mana aku lupa mematikan HP, padahal saat itu ada orang-orang penting yang hadir. Kamu kan tahu aku sedang berusaha menggolkan proyek ku. Rapat ini penting bagiku..."

"Tapi kabar yang mau aku sampaikan tadi juga penting. Mana aku tahu kamu sedang rapat. Kamu..." Aku sontak berbalik menghadapnya sambil mendelik marah.

"Kan aku sudah bilang, jam kerja sebisa mungkin jangan saling menelepon, kecuali mendesak. Kita kan sama-sama sibuk. Kecuali, kecuali berita genting. Barulah tidak apa-apa..."ujar Yoongi tak kalah sengit.

"Jadi maksudmu, kabar aku dapat penghargaan itu masalah sepele? Tidak penting? I see. Yeah... I know, I'm just drawing things, and compared to you, you and your energy conservation projects, mine's just a piece of cake, right? Bukan sesuatu yang berharga. Bukan tindakan menyelamatkan dunia sampai kamu sempat menulis status dan tidak mau repot-repot untuk sekedar me-retwitt statusku. Me-retwitt saja kau tidak, boro-boro komentar." Suaraku semakin melengking, dan kini air mataku sudah merebak.

"Hey, hey. Kenapa jadi histeris seperti itu? Apa segitu pentingnya kalau aku komentar di Twitter-mu? Kan aku juga datang ke sini untuk mengucapkan selamat langsung. Sama saja, kan? Apa perlu seisi dunia tahu komentarku?" Kini tangan Yoongi mengguncang lenganku, sementara air mataku deras mengalir.

"Perlu! Bagiku itu perlu! Bagiku itu berarti kamu peduli dan perhatian padaku. Dan kamu tidak ragu-ragu untuk menunjukan hal itu sama dunia. Menunjukan bahwa kamu memang pacarku. Dan kita saling mendukung. Aku sudah muak. Aku sudah tidak tahan lagi. Kamu tidak pernah perhatian dengan ku. Setiap statusmu di jejaring sosial mana saja selalu ku komentari. Semua fotomu aku like. Sementara aku? Mungkin cuma setahun sekali kamu komentar di Twitter-ku. Di Instagram kamu lebih milih perempuan itu daripada aku."

Aku terus menyerocos tanpa henti, sepenuhnya aku menyadari rahang Yoongi mengertak jengkel menahan marah. "Yeah, yeah. I know I sound childish. Tapi perhatian-perhatian kecil seperti itulah yang menunjukan kalau kau memang benar sayang dengan ku. Perhatian dengan ku. Peduli dengan aktivitasku. Peduli dengan ku!" Kata-kata terakhir itu tersembur begitu keras sampai tanpa sadar tanganku mengibas kerai hingga membentur rangka jendela. Entah ini PMS atau apa, yang jelas saat ini aku marah luar biasa.

Yoongi mengerjap. Tak sepatah kata pun meluncur dari mulutnya. Selama beberapa saat hanya hening yang bergema di ruangan. Senyap. Sesaat kemudian, Yoongi menaruk gagang kacamatanya dari batang hidung, lalu melepasnya. Tangannya yang satu memijit perlahan lekuk di antara kedua mata, sementara kelopaknya terpejam rapat. Kulihat rahangnya mengertak lagi. Tapi aku tidak peduli. Hatiku sakit sekali. Eyeliner dan maskaraku pasti sekarang sudah berlepotan, tapi aku tidak peduli. Tubuhku masih gemetar setelah berteriak-teriak penuh emosi.

Beberapa saat kami hanya berdiam diri. Namun sejenak kemudian, giliran Yoongi yang berkata. "Terus mau mu apa ?"

Karena emosi masih merasukiku, tanpa pikir panjang aku menjawab lantang. "Aku mau kita putus! Aku sudah tidak tahan diperlakukan begini. Kalau untuk masalah seperti ini saja kita tidak sepemikiran, aku tidak bisa membayangkan untuk masalah yang lebih besar. Bagiku ini penting. Perhatian kepada pasangan itu penting. And I deserve more than this." Sesungguhnya mataku berkaca-kaca , tapi setengah mati aku berusaha mencegahnya tumpah lagi. Sakit hati dan kekesalanku sudah terakumulasi terlalu lama, rasanya putus keputusan yang tepat.

Jeda sejenak, lalu Yoongi berkata, "Fine. If that's what makes you happy, what can I say? Aku tidak bisa memaksamu tetap bersamaku. Aku tidak mau memenjarakan perasaanmu. You're right. You deserve better than this. Maafkan aku yang tidak bisa memahamimu. Maaf aku tidak bisa buat kamu bahagia..." sejujurnya aku luar biasa syok mendengar kata-kata persetujuan itu meluncur dari bibir Yoongi. Aku tidakmengira semudah itu dia melepaskanku. Ingin sekali aku meralat ucapanku barusan dan berkata, jangan pergi, Sayang. Aku masih mencintai mu. Maafkan ucapanku tadi. Please. Tapi gengsi ku terlalu tinggi. Aku bergeming, tak mengatakan apa-apa. Yoongi menghela napas untuk yang terakhir kali sambil menatapku. Kemudian berbalik tanpa menengok lagi, membuka pintu, lalu menutupnya. Sekejap aku sempat berharap dia akan membuka pintu kembali, kemudian berkata, I'm just kidding! Gotcha! Tapi yang ada hanya hening.


Tiga minggu berselang...

Cahaya siang menerpa terik di luar. Aku dan Seokjin duduk di salah satu kursi yang menghadap jendela di Union. Kami memang janjian makan siang di sini hari ini. Aku yang meminta kami bertemu. Amarahku waktu itu, saat putus dengan Yoongi, kini sudah berubah dengan penyesalan. Mungkin aku terlalu gegabah mengucapkan kata itu. Karena sudah berminggu-minggu berlalu, tapi aku masih belum bisa melupakan Yoongi.

Pepatah berkata, kita tidak pernah mensyukuri apa yang kita miliki hingga akhirnya apa atau siapa yang kita sayangi pergi meninggalkan kita. Begitulah yang kurasakan saat ini. Sesal luar biasa. Menyesal karena keburu emosional saat itu. Seharusnya aku menunggu hingga emosi ku redam dulu sebelum mengucapkan kata putus. Kini aku bisa melihat permasalahan dengan lebih objektif, dan kusadari aku sudah bersikap egois. Kekanakan, bahkan. Kami memang pasangan yang sibuk, Yoongi bahkan jauh lebih sibuk daripada diriku. Sebenarnya masalah itu bisa dibicarakan baik-baik. Seandainya saja.

Dan sekarang, Seokjin kembali menegaskan hal itu.

"Kamu itu memang kekanakan ya. Masa Cuma gara-gara tidak memberi komentar distatus mu, terus kau putuskan dia ? duh, sayang tau. Kalian itu serasi sekali."

Aku mengangguk acuh tak acuh mesti sebenarnya tertohok mendengar ucapannya. "Aku capek berusaha sendirian, Jin. Aku beri dia perhatian terus apa balasan dari dia ? Komen di Twitter saja setahun sekali. Padahal kemarin aku baru dapat penghargaan. Penghargaan, Jin. And he doesn't even care to give me a simple like. Coba kalau punya orang lain. Pasti dikomentari macam-macam. Belum lagi di instagram. Aku kan pacarnya, kenapa orang lain lebih diperhatikan," ujarku kesal.

"Hahahahaha... Jimin...Jimin, masa cuma gara-gara dia jarang kasih komentar di jejaring sosial, terus kau marah dengan dia ?"

"Eh, tidak Cuma itu. Kalau ditelepon juga kadang susah. Ketemuan juga belakangan jarang," ujarku membela diri.

"Jim, ya iyalah ditelepon susah. Kamu kan nelepon dia pas jam kerja. Kan kau bilang sendiri posisi Yoongi sekarang di perusahaan itu lumayan. Masa dia mau main-main di sana? Teleponan dengan mu sesuka hati, tidak kenal waktu?"

"Oke deh kalau tidak bisa diganggu saat jam kerja. Terus bagaimana dengan akhir pekan ? bahkan saat akhir pekan dia pakai buat kerjaan. Lalu, kapan waktu ku dengan dia pacaran?" Kini dudukku menjadi tegak. Kekesalan yang dulu kembali muncul.

"Kau perhatikan deh. Kan baru belakangan ini dia sibuk seperti itu, Jim. Dulu-dulu kan kalian juga suka jalan bareng. Eh, lagian cowok itu beda dengan cewek, Jim. Dia itu bukannya tidak perhatian denganmu. Buktinya malamnya dia nyamperin buat jemput kamu, kan? Jimin, cowok itu memang tidak mudah berkata-kata. Tidak mudah menyampaikan perasaanya. They show you ther love, we say it out loud," kata Seokjin sambil menyeruput jusnya.

"Maksudmu ?" Alisku mengeryit bingung.

"Coba kau ingat lagi. Kau sendiri kan pernah bilang, Yoongi memang pernah minta ke kamu supaya foto kalian berdua jangan diunggah ke Twitter. Mungkin memang dia risih dengan hal-hal seperti itu. Semua orang kan berbeda-beda, Jim. Dan dia bukannya tidak perhatian dengan mu, cuma dia menunjukannya lewat perbuatan. Kan kamu pernah cerita waktu kalian jalan bareng ke Busan, terus kamu lupa bawa cemilan, terus Yoongi udah nyiapin biskuit buat bekal kamu, karena dia tahu kamu sakit magh. Belum lagi saat kamu dikejar deadline padahal hari itu ulang tahun mu, dia bawa makanan favorit mu, bahkan mijitin kaku mu pas betis mu kram. Kau ingat tidak semua itu?"

Dan aku terhenyak. Ya Tuhan. Aku betul-betul mengabaikan semua itu. Selama ini Yoongi sudah perhatian padaku, hanya saja dengan cara lain. Dengan caranya sendiri. Dan aku terlalu bodoh dan buta untuk menyadari hal itu. Terlalu dibutakan kecemburuan dan keegoisanku sendiri yang haus perhatian cowok itu, tanpa menyadari bahwa perhatianku sendiri pada Yoongi hanya ucapan belaka. Smentara Yoongi, dia tulus memperdulikanku. Dia tahu apa yang aku suka dan berusaha memenuhi semuanya, tanpa perlu banyak mengumbar kata. Langsung dijalani, tanpa banyak kata.

"Hey, honey, just like John Mayer said, love is a verb. And that's how it is with men. Trush me, I know it. They show it you. And guess what, hei... Kau mau kemana, Jim?" Seruan Seokjin tak kuhiraukan. Aku sudah bangkit dari kursiku, bergegas keluar dari kafe, menuruni tangga mall, dan mengejar taksi yang melintas.

"Taksi!" Tanganku melambai, dan sebuah taksi putih melambat kemudian berhenti di hadapanku. Begitu sudah duduk di dalam, aku berkata. "Tolong antar saya ke Apartemen daerah Hongdae. Yang cepat ya, saya buru-buru." Saat ini, aku hanya ingin bertemu Yoongi. Dan meminta maaf. Jika memang masih sempat.


Kring.. kring

Sudah lebih dari lima menit aku memencet bel, tapi tidak ada jawaban. Pintu apartemen Yoongi tetap bergeming. Kucoba menelepon dia, tapi malah mailbox.

Di mana kamu, Oppa?

Setelah hampir setengah jam menunggu tanpa hasil, dengan lunglai aku akhirnya beranjak pergi. Mungkin aku sudah terlambat. Mungkin ini balasan untukku karena bersikap egois. Saat lift turun menyusuri tiap lantai bangunan, seperti earworm, tiba-tiba sebait lirik lagu John Mayer melintas di benakku, When you show me love, I don't need your word. Yeah love ain't a thing. Love is a verb. Dan air mataku perlahan mengalir. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Ya Tuhan aku tidak pandai bersyukur. Cuacanya memang pas dengan suasana hatiku sekarang. Dan aku terus berjalan.

"Jimin.. Jimin!"

Yoongi! Suara Yoongi langsung menyentakku dari lamunan. Aku sontak berbalik dan langsung berhadapan dengan sepasang mata tajam yang memandangku dengan mengernyit. "Kau sedang apa disini? Barusan kamu dari atas? Aku tadi ke minimarket sebentar, telur dan susu di kulkas sudah habis. Hei, matamu kenapa? Kamu habis menangis ?" Dan sebelum aku tahu apa yang terjadi, Yoongi sudah menarikku ke pelukan dan mendekapku erat. "Mencari ku ya, sayang? Rindu dengan ku? Sama. Aku juga, rindu sekali dengan mu." Dan aku sempat diam, kaget dengan gerakannya barusan. Tapi hanya sedetik aku diam, detik berikutnya aku balas memeluk Yoongi erat.

"Maafkan aku, Oppa. Aku..."

"Sudah, sudah. Tidak usah diungkit lagi. Aku yang salah kok. Kurang perhatian dengan mu ya? Maaf ya. Kemarin memang beneran sibuk. Proyekku sudah diambang finish jadi aku harus berkonsetrasi penuh." Lalu hening, sementara kami terus berpelukan, menuntaskan rindu, membiarkan relung-relung yang sempat kosong kembali terisi.

Sesaat kemudian, Yoongi berkata, "Apakah akan membuatmu senang ketika seisi dunia tahu aku begitu perhatian dan romantis padamu?" Dia mendorongku sedikit, kemudian menatapku lekat-lekat. "Karena jika itu memang akan membuatmu bahagia, aku akan melakukannya."

Ditanya begitu, senyumku terkulum danaku menjawab. "Tidak. Cukup aku dan Tuhan saja yang tahu, Oppa. Tak perlu semua orang tahu."

Benar, tak perlu cintanya diumbar, dipamerkan di ruang publik, dan diketahui seluruh dunia. Cukup aku saja yang tahu. Aku saja sudah cukup.


More than words. Is all you have to do to make it real. Then you wouldn't have to say, that you love me. Cause I'd already know. -Extreme


Haaaaiiii~~ I'm back again !

saya ingat banyak ff yang belum selesai, tapi apadaya anak semester akhir ini tertahan dengan tugas-tugas dan sebenarnya saya sedang UTS tapi ada jeda satu hari, akhirnya saya melanjutkan ff ini.

Dimohon untuk selalu rnr yaa, ff saya memang sedikit yang me-review tapi saya akan berusaha untuk menyelesaikannya (walaupun lama, hehe)

adakah yang mau berteman dengan saya di rl ? hehehehehe

Sekali lagi, terimakasih sudah membaca dan dimohon untuk me-review

Luv u