Kita Dijodohkan

Naruto Masashi Kishimoto

Are you fuckin' kidding me? Ini judul katro banget. Pasaran banget. Tapi gue mau bikin yang special imagine gue sendiri. Nikmati aja bro.

.

Hening.

Udara senja itu berjatuhan, menghembuskan dedaunan musim semi. Suasana teras belakang keluarga Uzumaki. Masih seperti biasa. Ada aku, Tou-san, serta Kaa-san yang menyirami bunga.

"Nee.. Tou-san"

Diam. Tak bergeming. Ah sialan, dia masih berkutat dengan lensa kameranya.

"Tou-san!" aku sedikit menaikkan intonasinya.

"Hm?"

Hell, yeah. "Akhir-akhir ini Kaa-san aneh. Dia membaca buku 'Cara Menjadi Mertua Baik'"

"Aneh dari mananya?—"

Aku menyipitkan mata kearah Kaa-san yang bersenandung sambil menyirami bunga. Kalau dipikir-pikir, Kaa-san terlalu muda untuk punya menantu ataupun cucu.

"Lagian, Tou-san juga baca buku itu juga." Wow. Seperti sulap, buku itu sudah berada ditangannya. Menunjukkan didepan mataku. "Kau 'kan mau dijodohin"

Anjay.

Wait.. Whaatttt?! Serius nih?!

Semua berjalan persis seperti dorama di televis-televisi channel swasta. Ini gila. Dan.. tampak bodoh. Aku tertawa memandangi wajahku di kaca. Woi, pliss aku sudah punya kekasih.

But. Who cares?

Aku sama sekali tidak tau dengan wanita mana yang akan aku nikahi nanti. Apakah dia memakai pasta gigi yang sama denganku, apakah dia suka memakai daleman waktu tidur, berapa ukuran celana dalamnya, dia suka makan ramen, atau dia moe tingkat dewa atau tidak.

Aku masih semester 3 woiii!

"Tuan Naruto, Nyonya memanggil anda"

Acara sarapan keluarga berjalan seperti biasa. Kaa-san menyiapkan dan memenuhi piring dengan nasi. Tou-san mebaca Koran paginya dan sesekali menyeruput teh hangatnya.

"Kaa-san" Nadaku memanja. "Serius nih?"

"Hm, apanya?"

"Anu nya itu lho"

Kaa-san menaikkan alis merahnya. Sejenak berfikir apa yang telah terjadi padaku. "Oh. Tentu sayangku. Makan sarapanmu dulu"

"Bukan.. bukan. Aku masih ingin mengantar Kaa-san berbelanja. Masih ingin ikut ambil gambar dengan Tou-san. Ingin main Pokemon Go. Mau cari Pokemon dengan Sasuke" muka kekanak kanakan kutunjukkan dengan polos.

Mereka bersamaan menghela nafas. "Kaa-san ingin belanja dengan menantu. Tou-san pasti ingin ambil gambar cucu. Kalau kau ingin cari pokemon, cari saja dengan anakmu nanti"

Oh shit. "T-tapi aku sudah punya pacar"

Semua diam. Saling bergantian pandang. Pasti berhasil. Aku tertawa cekikan dalam hati.

"Kalo begitu putus kan saja"

Wew, aku cengo. Tidak ada hasil. "Tidak semudah itu Tou-san"

"Naruto.. turuti apa kata Kaa-san atau Kaa-san akan mengganti password wifi"

Oh shit. Well fuckin' asshole. Gue bukan anak SD lagi yaampun. Gila kali. Buat apa sekolah tinggi IT kalo gak bisa hack wifi. Orang tua ku sayang, ketahuilah sesungguhnya kalian menempatkan diriku pada jurusan yang salah.

Haruno Sakura sudah menunggu di gedung olah raga. Memainkan pulpen nya dan menerawang kosong lantai yang bening. Ada sesuatu yang ingin aku katakan, aku ingin menyudahi hubungan.

"Naruto-kun, aku.."

"Aku ingin bicara, Sakura"

"Naruto.. aku ingin putus—"

Hah?! Gila ini cewek.

"—sebenarnya aku selalu gagal move on walau aku sudah berusaha melupakannya. Aku tidak bisa memungkiri. Aku masih menaruh harapan pada Sasuke, aku masih mencintainya. Maafkan aku."

Well, kisah cinta masa muda. Pahit. Sepat. Tidak berasa.

Aku mengantar Sakura keluar dari gedung olahraga. Kami sudah memutuskan hubungan dengan baik-baik. Dan pada akhirnya hubungan yang telah kami bangun akan kembali keawal. Ini sia-sia. Tapi aku tak menyesal. Semua takdir.

Didepan gedung olahraga adalah taman yang biasanya para mahasiswa gunakan untuk belajar, bergurau ataupun berpacaran. Yeah, terkadang berciuman. Seperti—

"Hei, yang itu mirip Sasuke"

Aku melihatnya lebih jeli lagi. Itu Sasuke. Dengan seorang gadis. Hinata Hyuuga. Berciuman. Tidak kusangka. Aku jadi tidak enak berkata demikian tadi. Punggung kecil Sakura bergetar. Titik titik air mata berjatuhan disenja sore yang damai. Nafasnya yang terisak membungkam suasana. Jujur aku turut sedih. Tidak bisa melakukan banyak hal selain merangkul punggungnya dan berkata "semua akan baik-baik saja"

Tiga minggu berlalu. Seusai kuliah aku selalu menuju Game Center. Aku tidak galau, hanya merasa ada suatu beban kecil lepas. Sebenarnya aku belum paham arti pacaran atau putus cinta, yang kurasakan hanya getir dan seperti tidak ada manis manisnya. Bagaimana bisa aku langsung bisa dijodohkan seperti ini. Ini hal gila.

Di bagian sana aku seperti melihat Sasuke, aku ngin menemuinya, mananyakan sesuatu. Dan sialnya sesuatu bergetar di saku ku. Ponselku berbunyi. Kaa-san menelfon dan segera menyuruhku pulang. Oh yeah, tidak beruntung.

Nyatanya aku pulang telat dan berbohong jika ada mata kuliah tambahan. Mobil yang plat nomornya kuketahui milik keluarga Hyuuga terpakir dihalaman rumahku. Ada apa gerangan?

"Tadaima"

"Okaeri, Naruto-kun"

"E-eh. Tuan Hiashi, selamat datag dirumah kami."

Kedua orang tua ku tertawa bersama Tuan Hiashi. Para pria tua itu tertawa seperti kolega atau seperti penanam saham yang bangga akan modalnya. Keh, wait— t-tunggu.. jangan jangan..

"Naruto, jangan gugup begitu. Aku ini akan jadi mertuamu."

Y-yappari. Eh, b-be-berarti, Hinata Hyuuga adalah.. Calon. Istriku. What the fawkk!

Tuan Hiashi menepuk pundakku. "Aku mempercayakan Hinata kepadamu. Sebenarnya aku sangat menginginkan cucu"

Aku tertawa terpakasa, "Bukankah sangan terburu-buru"

"Nah, maka dari itu. Sebelum pernikahan kau boleh menyentuhnya. Ini rahasia keluarga. Kami mempercayaimu."

Haahhhh?! Aku membungkam mulutku dengan kedua tangan. Mukaku memerah. Oiittt, ini mimpi. Bagaimana bisa aku.. lemes gue lemes.. Tuhan tolooonngg.

"Sebulan lagi kami berempat akan menghadiri rapat saham di Italia. Aku ingin Hinata menginap dirumah ini. Tolong jaga dia ne, Naruto"

"Ha-haik"

Bulan April, pada sore hari Keluarga Tuan Hiashi datang kemari untuk mengantarkan Hinata. Jujur aku gugup. Hinata yang notabenenya pendiam, mungkin akan sulit untuk berbicara dengannya nanti. Aku sudah menduga ini, sebagai teman sekelas kami tidak pernah saling bicara.

Eh, bukankah dia berpacaran dengan Sasuke Uchiha? Mereka sudah pernah kissing bukan?

Seharian berduaan dengan orang seperti dia merupakan hal sulit untuk memulai pembicaraan. Aku tidak ingin menyinggung perasaannya untuk mengetahui hal hal yang mengganjal. Tapi nyatanya aku tidak bisa menyembunyikannya. Aku sangat ingin tahu.

Acara tv sangat tidak membantu sama sekali. Aku tak tahu channel favorite nya atau genre film yang ia suka. Dia serasa menyukai semua acara tv yang ku ganti secara acak. Ponsel kami bergetar tapi tidak ada salah satu daru kami untuk memulai berkutat dengan ponsel masing masing.

Ini menyiksa.

"Hinata, kau pacaran dengan Sasuke?"

"Tidak"

"Kau pernah berciuman dengan nya, 'kan?"

"Y-ya"

Seperti nada jijik tersirat kalau perempuan pendiam sepertinya pernah berciuman.

Semua mendadak hening, tidak ada pembicaraan. Hanya ada percakapan di televisi yang menyiarkan pendapat para menteri olah raga tentang olimpiade di Rio.

"A-aku akan mengambil snack."

Lampu ruang tengah yang menyala terang tiba tiba temaram. Voltase nya sedang turun. Tidak banyak yang harus dilakukan, memanggil petugas listrik biasanya akan slow respon. Jadi kita hanya menunggu agar voltasenya normal kembali.

Lap.

Lampunya padam.

Untunglah Hinata dan aku sudah selesai mandi. Di rumah seluas ini, pastilah Hinata tak tahu banyak tentang lokasi ruangan. Aku mengantar Hinata menuju ke kamarnya. Berhati-hati menaiki satu persatu anak tangga. Hinata memegang erat tanganku hingga sampai didepan pintu kamarnya.

"Kita sampai, ini kamarmu"

"N-naruto-kun. T-ti-tidurlah bersama ku"

H-hah?

Ke-na-pa? Kenapa para wanita selalu menempatkan para pria di situasi yang sulit. Kami duduk berdekatan ditepi ranjang layaknya pengantin baru. Shit dada ku berdegub. Aku tidak tahu bagaimana posisi dia menghadap.

"Naruto, kau disana?"

Tangan mungilnya meraba dadaku, dada kiriku. Jantung ku tepat berdegub kencang disana. Well sialan, ketahuan. Tangannya menelusuri rahangku kemudian menangkup keduanya. "Naruto.." dia berujar pelan.

"Y-ya?"

"Aku ingin kita jujur." Dia diam sejenak, helaan nafasnya bisa terdengar olehku. "A-ku. Sebenarnya, tidak pacaran dengan Sasuke. Dia menyatakan cinta padaku dan dia tiba tiba menciumku"

Oh begitu. "Bagaimana rumor jika dulu kau menyukaiku?"

"I-itu juga benar. Sekarang aku ingin bertanya, apakah kau menyukaiku juga?"

Suasana mendadak begini. Aku tidak bisa menentukan perasaanku sendiri, aku masih pemuda labil yang berumur 24 tahun. Aku tidak bisa berkata jujur, dilain sisi aku senang bisa dijodohkan dengannya tapi aku belum cinta. Ini masih rasa rasa pendekatan yang gampang terombang ambing waktu.

"A-aku.."

Aku tidak bisa jawab.

Kami saling menempelkan jidat, hidung kami bersentuhan. Tangan Hinata bertautan dileherku. Seiring berdetiknya jarum jam, kami memperpendek jarak. Menempelkan bibir kami, bibirnya yang lembab bisa ku rasakan. Tanganku memeluk pinggangnya erat. Merasakan sentuhan bibir kami yang saling menyatu, bertukar nafas, bertukar perasaan yang tak mampu kami ucapkan.

Dengan indahnya bibir mungilnya terbuka. Aku suka ekspresinya, mata yang bening dan tatapan sayu. Menggoda. Ekspresi seolah dia membutuhkanku..

"Aahh.."

Bibirnya berdesah pelan ketika aku memperdalam ciuman. Aku menggigit pelan bibirnya dan menghisap pelan bibir bawahnya, dia mendesah sekali lagi. "Aahh.. Na-ruto.. i-ittai. Ahhk"

Dia mendorong dadaku. Aku tau aku terlalu kasar. "Gommenasai.. Arigatou"

Lampu menyala lagi, remang remang. Kemudian voltase kembali normal. Kami hanya diam, saling menatap dan tak sanggup berkata apa-apa.

.

.

.

.

TBC

a/n : Bhaak, udah berapa lama gue hiatus oeh anjay, wkw. Gue bikin nih fic kaya nya bakal 4 chapterlah. Buat yang nanya fic yg atunya. Pliss jangan tanya dulu, gomen bgt lagi stuck. Jangan lupa review bro