IF I LOVE YOU TOO

By: Rieyo

Remake by : Adrien Lee

Original Pair : Adniel & Levi

Main Cast : Park Jimin, Min Yoongi (Suga)

Team Jimin!Top

Team Yoongi!Bottom

a/n : FF ini 1000% milik Rieyo. Aku cuman me remake aja karena wtf suka banget sama ff ini. YEAY FINALLY AKU BISA MENGHUBUNGI KAK RIEYO DAN SUDAH OFFICIALLY DAPET IZINNYA YA! YEAY! Langsung aja deh daripada lama-lama.

.

.

.

.

.

.

[#6 – Positive]

"Lempar kesini!" teriakku pada Erick yang sedang mendribble bola. Aku sudah menunggu di dekat ring untuk bersiap memasukkan bola setelah mendapat operan darinya.

Tapi temanku itu malah melepaskan dribble-nya ketika tiba-tiba Juho menunjuk ke arah luar lapangan, memberi tau sesuatu.

"Lihat! Lihat! Itu Min Yoongi!"

Aku yang baru akan memprotes, tak melanjutkannya karena mendengar nama seseorang yang sudah membuatku berantakan beberapa hari ini. Aku cepat menoleh juga ke arah luar lapangan. Yoongi memang sedang berjalan melintas disana dari arah parkiran. Dia kembali. Finally.

Aku memang sengaja tak menghubunginya dulu sejak itu. Pertama, karena aku tak mau mengganggunya yang mungkin sedang fokus dengan Ibunya. Dan kedua, aku akui kalau memang aku agak takut. Aku masih tak punya keberanian, aku masih khawatir kalau kali ini dia akan menolakku. Aku pasti akan semakin hancur.

Buk!

"Shit!" kutukku begitu terasa hempasan bola ke sisi bahu ku. Tawa Juho dan yang lain terdengar disana.

"Kenapa kau melamun? Jangan-jangan kau terpesona dengan 'nona' Yoongi itu ya?" ledek Juho pula.

Ah demi tuhan, makhluk satu ini memang yang paling menyebalkan diantara semua teman-temanku. Aku bisa paham perasaan Changgu yang diledek olehnya. Tapi aku bukan kesal karena disebut sudah terpesona oleh Yoongi, aku lebih kesal karena dia menimpukkan bola padaku dengan sengaja.

"Wae? Kau cemburu?" gumam ku pula, datar saja sambil keluar dari lapangan. Juho menyahut dengan tawa menyebalkannya lagi. Aku mendekati tas ku dan minum dari botol air mineral ku. Rasanya aku sudah tak berselera untuk main lagi. Aku ingin bertemu dengan Yoongi.

"Kenapa berhenti?!" teriak Erick.

Aku hanya melambaikan tangan menggunakan handuk kecil ku, beralasan kalau aku sudah cape. Padahal aku masih sanggup main untuk beberapa kali match lagi.

Seperti biasa, aku tak begitu mau terlibat dengan obrolan aneh mereka. Aku yang sudah selesai minum dan sedikit beristirahat, kemudian berdiri sambil memakai tas punggung ku.

"Aku duluan!" kata ku sambil melambaikan tangan pada semuanya. Mereka menyahut dengan meneriakiku, tapi aku tak begitu menggubrisnya.

Aku juga sebenarnya penasaran. Apa Zhoumi dan Namjoon benar sudah membereskan semuanya?

.

.

.

.
"Eh Min Yoongi, masih berani datang kesini?" sapa Seulgi, begitu Yoongi baru akan masuk ke ruang senat. Seulgi tersenyum, tapi lebih cenderung meledeknya.

"Aku ingin bertemu dengan Zhoumi hyung."

"Mau apa? Mau macam-macam seperti kau macam-macam dengan Namjoon?" tanpa ragu, Seulgi langsung menyudutkan Yoongi. Beberapa orang mahasiswa senat yang ada disana, hanya diam memperhatikan mereka, dan Yoongi tau tampaknya orang-orang ini sudah terpengaruh semuanya. Tatapan mereka padanya memang lain dari sebelum-sebelumnya.

"Tidak. Aku ada perlu lain." jawab Yoongi, pendek dan tak mau memperpanjang. Rasanya akan sangat tidak keren kalau dia meladeni omongan pedas Seulgi.

"Hm. Sepertinya kau lebih suka lelaki yang seperti Namjoon ya daripada Zhoumi." Seulgi masih saja memancing.

Yoongi menghela nafas dalam-dalam, menenangkan diri.

"Aku tidak ada urusan denganmu, Seulgi." katanya sambil mencoba melewati cewek itu.

"Kau sudah bukan anggota senat lagi, Min Yoongi." sela seorang wanita yang dari tadi menyimak mereka. "Tidak perlu datang lagi ke kantor senat, bisa?"

"Ne! Kita semua tidak pernah sudi di dalam senat ada gay menjijikan sepertimu, Min Yoongi!" sahut seorang lelaki yang lain sambil memasang muka jijik.

Seulgi tersenyum puas dan makin meledek Yoongi dengan tatapannya.

"Kau dengar sendiri kan? Lebih baik kau berhenti berkeliaran disini. Kemarin tidak ada kau, kampus ini jauh lebih indah, Min Yoongi." kata Seulgi lagi, kekanakan.

Yoongi menarik nafas dan terus berusaha tenang. Dia tak mau terpancing emosi oleh hal yang tak perlu, macam ini - apalagi menghadapi seorang wanita, sama sekali tak ada di dalam kamusnya.

"Terserah kalian, aku tidak ada urusan dengan kalian—"

Plak!


Seulgi tiba-tiba melayangkan tamparan ke pipi Yoongi, membuat semua orang disana terkejut. Terutama Yoongi tentu saja, dia tak menyangka Seulgi akan sampai berbuat seperti ini padanya.

"Berhenti bersikap manis! Sepintar apapun kau, kau itu tetap gay. Tidak normal!" kata Seulgi, terdengar datar namun sebenarnya penuh kebencian. "Pergi dari sini! Jangan pernah berani lagi menunjukan wajahmu itu dihadapan kami semua. Kita tidak mau ada orang yang tidak normal di lingkungan kita. Pembawa sial dan perusak sepertimu."

Yoongi mengernyitkan keningnya. Ia menahan rasa panas di pipi kiri nya yang barusan di tampar Seulgi, bercampur dengan rasa sakit hati karena hinaan cewek itu. Satu hal yang rasanya semakin Yoongi pahami, Seulgi pasti membencinya karena dia dekat dengan Jimin. Wanita memang unpredictable. Mereka bisa saja tetap bersikap baik, walau kenyataannya mereka menyimpan dendam yang luar biasa.

Tanpa banyak bicara, Yoongi pun akhirnya memilih berbalik pergi. Dia tak mau memperpanjang urusan yang sebenarnya tak perlu ini. Dia lebih baik nanti bicara dengan Zhoumi atau Namjoon, biar mereka yang akan menjelaskan semua pembelaan yang dia punya pada orang-orang itu. Sekarang dia harus sedikit bersabar dengan semua pandangan miring dari orang-orang. Lagipula, sebenarnya dia sudah terbiasa.

Being a gay is not something easy. Tapi daripada dia hanya meratap, dia lebih baik membuktikan pada sekelilingnya, kalau dia bisa menjadi lebih baik daripada mereka.

.

.

.

.
Tubuhku seperti bergetar di dalam karena marah, tapi aku menahannya mati-matian. Kedua tanganku aku kepalkan disamping badanku.

Sial. Berani sekali Seulgi menampar Yoongi dan mempermalukannya di depan orang banyak. Aku sungguh tidak mengenali lagi teman dekat ku itu.
Aku segera menghampiri Yoongi yang sudah berbalik dan bermaksud untuk pergi. Aku menahan dengan memegang kedua bahunya. Dia yang sedang menundukkan kepala tampak terkejut, dan lebih terkejut lagi karena melihatku.

"Jim..." desahnya, pelan. Aku menatap mata besarnya yang sangat aku sukai itu. Tidak menangis, tidak juga berkaca-kaca, namun aku tau rasa sakit yang teramat dalam ada disana. Wajahnya yang merah padam juga menunjukkan kalau dia sekuat hati menahan perasaannya. Perlahan, dia malah mencoba mengulas senyuman di bibirnya, sangat terlihat dipaksakan.

Aku mengulurkan tangan dan menyentuh pipi kirinya yang tadi ditampar Seulgi, mengusapnya lembut. Senyuman Yoongi memudar, sekarang dia terlihat agak panik. Dia pasti berharap kalau aku tidak melihat apa yang sudah terjadi.

"Jimin!" Seulgi memanggilku dari tempatnya, seolah memberi peringatan.

Aku melihat padanya, dan seperti yang aku duga, dia sedang menatapku tajam – ditambah dengan banyak tatapan aneh dari orang-orang di dekatnya. Aku mengalihkan pandanganku ke sisi yang lain. Ternyata lebih banyak lagi yang melihat. Disana juga ada teman-teman basket ku yang memandang tak percaya, melihat aku sedang mengusap pipi Yoongi.

"Kau apa-apaan?" bisik Yoongi sambil menyingkirkan tanganku. Dia juga langsung bermaksud pergi, berpura-pura tak peduli kalau sudah terlanjur banyak orang yang melihat. Tapi aku jelas tak membiarkannya. Aku menarik tangan Yoongi dan merangkul badannya disampingku.

Yoongi memandangku jengah dan berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilnya tak pernah bisa berhasil melawanku. Aku membawa dia berjalan kembali ke arah Seulgi dan kawan-kawannya. Beruntung, ternyata disana sekarang sudah ada Zhoumi dan Namjoon – aku akan membongkar semua yang sudah aku dengar.

"Jimin, kau sedang ap—" tangan Seulgi berusaha menarik lenganku agar tak merangkul Yoongi, tapi aku cepat menepisnya lebih dulu. Temanku itu tampak shock, aku hanya memberinya tatapan tajam.

"Namjoon, sekarang kau harus memberitahukan kepada semuanya kalau apa yang kau sebarkan itu adalah bohong." kata ku bicara pada Namjoon

Kapten tim basket itu tampak terkejut dan memucat. Zhoumi juga, tapi dia hanya diam memperhatikan.

"Ap-apa maksudmu?" Namjoon tampak mencoba untuk mengelak.

"Aku sudah mengetahui semuanya, Namjoon." ujarku, tetap tenang.

Orang-orang makin mengerubungi kami, dan jadi menunggu kepastian yang sebenarnya. Mereka memandang aku dan Namjoon bergantian.

"Ak-aku tidak paham."

"Berhenti bertingkah bodoh, sialan!" bentakku akhirnya yang tak bisa menahan lagi kesabaranku. Suasana semakin hening dan mencekam. Aku memang orang yang jarang sekali marah secara frontal seperti ini, tapi jika situasinya sudah sangat membuatku muak, aku tak akan bisa terus diam.

"Tenang, Jim." Zhoumi pun angkat bicara.

"Kalau begitu, kau yang bicara! Jelaskan semuanya pada semua manusia-manusia yang sok suci disini. Atau aku akan membongkar semua rencana kebusukan Namjoon dan Seulgi selama ini?!"

Dengan sengaja aku melirik pada Seulgi yang sekarang jadi membelalakan matanya dan wajahnya pun memucat seperti Namjoon.

"Kau adalah satu-satunya orang yang paling bisa dipercaya sama yang lainnya, Zhoumi. Kau juga tidak suka dengan keadaan sekarang, bukan?" kata ku lagi, kembali melihat pada Zhoumi.

Yoongi tampak menundukkan kepalanya di dalam rangkulanku. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. Aku hanya ingin dia tau kalau aku masih peduli padanya, aku akan membelanya dengan terang-terangan sekarang, aku sudah tak akan menggubris apa kata orang, jika akhirnya mereka harus tau kami memiliki hubungan seperti ini.

Sungguh, aku hanya ingin membuat orang yang aku sayang bahagia dan tidak disakiti lagi. Selain itu, aku juga baru ingat lagi kalau aku sudah berjanji pada Ibu Yoongi untuk melindungi dan menjaga Yoongi. Ibunya sudah menitipkan Yoongi padaku.

"Kau tidak mempunyai bukti bahwa aku dan Seulgi—" Namjoon masih mencoba untuk mendebatku, walau wajah ketakutannya sudah tak bisa ditutupi lagi. Dia pasti memikirkan reputasinya.

"Buktinya ada di kejujuran kalian berdua." sahut ku, datar.

"Kenapa kau melibatkan aku, Jim? Apa salahku? Aku yang selama ini peduli padamu dan tidak mau kau terjerumus gara-gara dekat dengannya..." Seulgi pun menyambung mengungkapkan keberatannya. Wajah cantiknya yang dulu bisa membuatku luluh, sekarang tidak lagi – dia pengkhianat, dan membuatku muak.

"Diam, Seulgi! Aku sudah kecewa padamu." cetus ku, berusaha untuk tidak meninggikan suaraku lagi.

Seulgi tampak semakin terpancing.

"Kau menjadi aneh seperti ini karena dekat dengan si gay ini, Jimin! Aku benci melihatnya! Kau sudah tidak mempedulikan aku lagi. Kau juga sudah tidak peduli pada perasaanku, Jim!" bekas teman baikku itu malah lebih dulu menaikkan suaranya. Kemarahan yang terus terang jarang sekali aku lihat dari Seulgi sebelumnya. "Sekarang kau jujur padaku, siapa sebenarnya dia untukmu?! Kenapa dia menjadi lebih penting? Atau kau ingin sekalian mengaku kalau kau sudah digoda olehnya?! Apa kau diancam?!"

Perhatian langsung berpindah pada perdebatanku dengan Seulgi. Semuanya mungkin bisa paham sekarang, kalau Seulgi memang bermasalah pada Yoongi. Namjoon disini memang hanya orang yang bisa dibilang dimanfaatkan karena kebetulan sangat keberatan sudah disandingkan menjadi kandidat calon ketua senat bersama Yoongi.

"Yoongi adalah kekasihku." tanpa banyak berpikir dulu, aku langsung menyahut Seulgi dengan telak.

Wanita itu terkejut, orang-orang di sekeliling kami dan tentu saja, Yoongi juga. Dia pasti tak menyangka aku akan mengungkapkan semuanya disini.

"Bohong!" seru Seulgi, tak mau terima.

Aku malah tersenyum kecut. Aku benar-benar sudah tak peduli. Biar saja teman-temanku sekarang mungkin sedang berkasak-kusuk di belakangku. Orang-orang disini juga mulai memandangku dengan tak percaya, sekaligus aneh.

"Park Jimin. Berhenti bercanda..." kata Yoongi yang terlihat semakin tak nyaman, sambil berusaha melepaskan tanganku di pundaknya. Tapi aku malah menarik badannya dengan kedua tanganku, dan memeluknya tanpa ragu. Sebelum Yoongi sempat berontak lagi, aku cepat menyentuh dagunya agar menghadapku – dan aku...mencium bibirnya.

Suara terkejut di sekelilingku makin terdengar, beberapa kasak-kusuk mulai ramai. Aku tak mau tau bagaimana wajah Seulgi sekarang.

Go to f-ckin hell you all!

Aku sudah positif jatuh cinta pada Yoongi, dan aku tak mau kalian menggangguku.

.

.

.

.
Yoongi terlihat lebih kurus daripada terakhir aku lihat. Hanya beberapa hari aku tidak bertemu dengannya, tapi terasa sudah sangat lama. Aku mengerti kenapa dia bisa seperti itu, keadaan ibunya pasti membuat dia stress – ditambah lagi oleh sikapku yang seperti orang brengsek waktu itu.

"Kau terlihat lebih kurus, Yoon." aku membuka percakapan lebih dulu, setelah beberapa saat kami masih terdiam.

Mataku kembali meliar, memperhatikannya. Dia memang jadi agak kurus, tapi sama sekali tak mengurangi keindahannya. Dia tetap manis dan membuatku berdebar.

"Ah ya, bagaimana keadaan Ibumu?" aku bertanya lagi, sebelum dia sempat menyahutku. Aku baru ingat belum menanyakan tentang keadaan ibunya.

"Eomma sudah sadar dan sudah mulai pulih." jawab Yoongi pendek. Dia memainkan jemarinya di atas setir, dan tampak tak mau melihat padaku.

"Oh syukurlah..." gumamku, kemudian mendadak jadi semakin canggung. Aku ingin meminta maaf atas perlakuanku padanya waktu itu. Aku yang sudah memakinya dan tak mau mendengarkannya dulu, sungguh seperti manusia tak beradab.

"Darimana kau tau kalau Eomma sakit?" Yoongi memecahkan keheningan, setelah kami malah kembali terdiam.

Aku bergumam lega dalam hati karena ternyata Yoongi masih mau bicara denganku.

"Ne. Aku diberitau oleh Park ahjumma." jawabku.

Yoongi pun akhirnya mau menoleh padaku, untuk pertama kali lagi setelah hampir bermenit-menit kami duduk bersebelahan di dalam mobilnya. Tadi, masalah di senat sudah diselesaikan oleh Zhoumi yang langsung mengambil inisiatif untuk mengadakan meeting dadakan. Disana Seulgi dan Namjoon pun harus mengakui kebusukan mereka. Daripada mendengarkan lagi semua pembahasan yang sudah membuatku muak itu, aku lebih baik mengajak Yoongi untuk menyepi disini, membereskan masalah kami berdua.

"Kau...datang ke rumahku?" pertanyaan Yoongi, membuyarkan pikiranku.

Aku cepat mengangguk pelan.

"Setelah aku memarahimu, aku tidak bisa tidur. Jadi, aku mencoba datang ke rumahmu dan ternyata kau ada di luar kota karena Ibumu kecelakaan." jelasku. "Kenapa tidak memberitauku?!" tanyaku pula.

"Bagaimana aku bisa memberitaumu kalau kau terus saja bicara dan tidak memberikan kesempatan aku untuk bicara!?" kata Yoongi, mengingat lagi kelakuan ku waktu itu.

Aku langsung diam, tak bisa membantah. Aku memang benar-benar brengsek waktu itu, dan aku menyesalinya. Aku jadi ingat nasihat dari Seowoo noona. Aku harus meminta maaf dan mengungkapkan juga perasaanku. Ini mungkin saatnya.

"Aku minta maaf, Yoongi." kata ku, setelah beberapa detik meyakinkan diriku dulu. "Aku sudah sangat jahat padamu. Aku benar-benar brengsek. Aku... tidak bisa menapati janjiku untuk menjadi kekasih yang baik. Kau punya hak untuk tidak memaafkanku, Yoongi-ya. Tapi aku tidak ingin kau membenciku."

Untuk pertama kalinya di sepanjang 20 tahun umur hidupku, aku memohon-mohon seperti ini pada seseorang (yang bukan orangtua ku). Orang yang awalnya tidak begitu aku kenal baik dan tak pernah aku duga akan menjadi penting bagiku. Bahkan wanita-wanita yang pernah aku suka di masa lalu pun, tak pernah ada yang sampai membuatku ingin memohon pada mereka. Hanya lelaki manis di hadapanku ini yang pertama dan satu-satunya. Hanya Min Yoongi seorang.

"Aku tidak mungkin membencimu, Jim." kata Yoongi setelah beberapa saat kami terdiam lagi. Aku baru berharap agar ada sesuatu yang menelanku saja, daripada Yoongi tak mau menanggapi permintaan maafku.

"Kau memaafkanku?"

Yoongi tersenyum.

"Kau mungkin memang sudah salah, Jim. Tapi kau tidak perlu meminta maaf padaku."

Aku tertegun, dadaku berdebar kencang dengan tidak menyenangkan. Kalimat Yoongi itu sangat dingin. Ok, ini memang resiko yang harus aku ambil – seperti yang dibilang Seowoo noona. Aku mungkin tak akan bisa dengan mudah mendapatkan maaf darinya. Wajar, karena aku sudah sangat keterlaluan.

"Lalu, apa yang harus aku—"

"Terimakasih kau sudah membantuku tadi." potongnya, sebelum aku ingin bertanya apa yang harus aku lakukan, agar kesalahanku itu bisa aku tebus.

"Itu sudah menjadi tugasku, Yoon. Aku sudah berjanji pada ibumu untuk menjagamu."

Yoongi tertawa pelan, akhirnya setelah sejak tadi dia hanya berekspresi datar. Senyumannya yang manis itu ternyata masih bisa aku nikmati.

"Ke- kenapa menertawakanku?" tanyaku pula, tetap gugup meski sudah agak lega.

"Aku bukan menertawakanmu. Tapi...yang tadi itu gila, Jim." katanya, sambil menggelengkan kepala.

"Yang mana? Waktu aku menciummu di depan orang-orang?"

Yoongi masih tertawa kecil sambil mengusap-usap rambut halusnya.

"Kau sangat nekat, Jim." ujarnya lagi. "Aku tidak pernah menyangka..."

"Aku sendiripun tidak pernah menyangka bahwa aku akan jadi seperti ini, Yoon."

Yoongi berhenti tertawa dan kali ini memandangku dengan serius, karena aku sudah lebih dulu menggunakan nada serius di suara ku. Aku balas memandangnya, mencoba meyakinkannya kalau perkataanku bukanlah sekedar kata-kata saja. Aku akan mengatakannya dari hati ku yang sudah aku gabungkan dengan logika ku serta berdasarkan kesaSeulginku yang penuh.

Aku sudah positif, jatuh cinta dan menginginkannya. Aku tak mau kehilangan dia.

"Aku mencintaimu, Min Yoongi."

1 detik

2 detik

3 detik

Dan seterusnya…

Selama beberapa detik, kami hanya terus saling memandang. Dia tampak terpana, mungkin masih tak bisa percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Aku tidak ingin kehilangamu." aku pun menambahi, meski dengan debaran yang semakin tak karuan di dada ku. Cemas setengah mati.

Oh shit, come on Yoongi, say something! Jangan buat aku merasa jadi orang idiot disini.

Yoongi mengerjapkan mata, lalu malah memalingkan wajahnya lebih dulu. Dia memandang ke depan, dan jadi memegang setir cukup erat dengan jemari tangannya. Kalau aku tak salah mengartikan, dia sepertinya sedang gugup juga. Apa pernyataanku terlalu luar biasa? Terlalu mengejutkan? Terlalu konyol?

"Yoon?"

"Kau serius, Jim?" tanyanya tiba-tiba, sambil kembali melihat padaku.

"Aku tidak pernah seserius seperti saat ini, Yoon." sahutku cepat.

Perlahan, senyuman kembali terulas di bibirnya. Senyuman yang selamanya ingin aku lihat dan kalau boleh, ingin aku miliki.

"Aku tidak sedang bermimpi, kan?" tanyanya lagi.

Daripada menjawabnya, aku pun memilih untuk menarik dia ke dalam dekapanku. Biar dia merasakan langsung, kalau ini nyata, bukan mimpi. Dia terkejut, tapi tak mengelak – lagipula dia memang tak akan pernah menang adu kekuatan denganku. Diam-diam, aku menyentuh pipinya dengan tanganku, untuk mencubitnya.

"Aw!" seru Yoongi kaget dan berusaha melepaskan dekapanku, tapi tidak aku lepaskan.

Aku tertawa.

"Sakit?" tanyaku pula dengan jailnya, sambil agak merenggangkan dekapanku agar bisa melihat wajahnya.

Dia menatapku sebal sambil mengusapkan pipinya ke pundakku. Aku pun kembali menyentuh pipinya, mengelus pelan tempat yang tadi aku cubit. Kami jadi saling menatap dengan jarak yang lebih dekat. Suasananya mendadak romantis. Rasa rindu yang aku tahan selama beberapa hari ini, sudah tak bisa aku abaikan lagi.

Dengan menggenapkan keberanian, aku mulai mendekatkan lagi wajahku dengannya. Yoongi ternyata langsung memejamkan matanya, dan itu semakin membuatku tak ragu untuk menciumnya.

Lama kami berciuman, menyalurkan rasa rindu yang sudah kami tahan berhari-hari. Sekaligus menyatukan perasaan kami yang sudah sepenuhnya sama. Dia menyukaiku dan aku juga menyukainya. Tak ada pikiranku untuk sekedar mencoba-coba lagi, tak ada pula rasa penasaran yang ingin aku penuhi.

We're in love each other… It's positive.

.

.

.

.
"Tunggu sebentar, sayang." aku menarik tangan Yoongi begitu dia sudah memberikan helm pada ku dan bermaksud pergi lebih dulu.

"Sssh... tadi kau memanggilku apa, Jim?" Yoongi langsung memelototiku dengan suara yang mendesis penuh peringatan. Kami sedang di parkiran kampus pagi ini untuk masuk kuliah sekitar satu jam lagi. Tadi, aku memang menjemput Yoongi di rumahnya agar dia tak usah bawa mobil. Mulai sekarang, tepatnya dari sejak aku sudah menyatakan perasaanku padanya dan sudah tak mau peduli lagi dengan pandangan aneh orang-orang di kampus, aku memutuskan supaya aku dan dia selalu membiasakan untuk berangkat dan pulang kuliah bersama.

"Kenapa memangnya? Sesukaku mau memanggilmu bagaimana." aku malah balik protes dengan cueknya.

"Ini tempat umum, Jim." Yoongi mendesis lagi sambil menengokkan kepalanya kesana-kemari. Beberapa orang tampak tertangkap sedang memperhatikan kami, tapi begitu aku melihat balik pada mereka, semuanya langsung berpura-pura bego. Huh.

"So what!?" sekali lagi aku menyahut dengan cuek. Aku memegang tangan Yoongi, menyatukan jemari kita dalam satu genggaman. Dia mencoba melepaskan diri, tapi aku tak membiarkannya. Jadinya, sepanjang perjalanan dari tempat parkir menuju fakultas, kami berpegangan tangan seperti pasangan kekasih yang tak boleh dipisahkan. Well, like I care.

"Jimin!"

Sebuah suara familiar yang memanggilku, harus membuatku menoleh. Rupanya teman-teman tim ku yang sedang berkumpul di depan ruang ganti. Tanpa meminta persetujuan Yoongi dulu, aku langsung menariknya menuju teman-temanku.

Lagi-lagi, Yoongi berusaha melepaskan pegangan tanganku, tapi aku tak mempedulikannya.

Mereka tampak kikuk karena aku masih berpegangan tangan di depan mereka. Ini memang pertama kalinya aku menunjukkan kemesraan sejauh ini dengan Yoongi di hadapan mereka, walau sebenarnya mereka sudah mulai terbiasa dengan keadaanku dan Yoongi yang berpacaran – tapi mungkin gestur seperti ini masih belum bisa mereka terima secara cepat. Karena itu, demi menghormati situasi, aku pun dengan berat hati melepaskan tangan Yoongi.

"Kita ada match tadi, tapi sebentar sih." jawab Erick.

"Aiiiiss, kenapa tidak ada yang mengajakku?" kata ku berpura-pura ngambek.

"Kau kan biasa menjemput Yoongi saat ada kelas pagi, tidak akan sempat kalau bermain bersama kita dulu." sahut Changgu sambil tersenyum-senyum jail.

Juho yang biasanya menjadi biang gossip, blak-blakan dan yang paling bawel diantara kami, entah kenapa kalau ada Yoongi dan aku disini – pasti mendadak alim. Dia akan pura-pura sibuk sendiri, memainkan ponsel dan sebagainya. Aku tidak tau, apa dia malas melihatku dan Yoongi atau dia takut salah bicara kalau terlalu bawel seperti biasanya. Aku bisa menduga, diantara teman-temanku ini, dia pasti yang paling kaget waktu dulu aku membongkar semuanya. Karena kadang, walau dia agak kasar, aku tetap tau, dia adalah tipe orang yang setia kawan. Dia pasti tak mau menyakiti hati temannya dengan sengaja.

"Aku ke kelas duluan ya, Jim. Sudah janji akan membagi tugas dengan teman-teman kelasku." Yoongi tiba-tiba menyela obrolanku dengan teman-temanku.

"Eoh? Mereka masih senang menyontek ya? Seharusnya kau bicara dengan mereka, jangan terlalu sering menyontek, tidak baik." ujarku, songong.

"Aiiish, seperti sendirinya tidak saja!" serang Erick, menyahut kata-kataku.

"Eum. Benar apa kata Erick." sambut Yoongi.

"Loh sayang, kenapa tidak membelaku!?" protesku pada pacarku itu. Panggilan 'sayang' yang belakangan ini suka sekali aku pakai, meluncur begitu saja dari mulutku, membuat Yoongi kembali melotot – dan teman-temanku, langsung terlihat salah tingkah.

"Ah suahlah, aku ke kelas sekarang!" Yoongi menyudahi, dia berpamitan sekenanya pada teman-temanku, sebelum melihat lagi padaku dan memberi isyarat dengan kedipan matanya untuk berpamitan.

Iseng, aku membalas dengan membuat ekspresi mencium dari jarak jauh. Yoongi langsung tak menggubris dan cepat-cepat berlalu.

"Shit! Mataku!" Changgu langsung menimpuk perutku dengan bola basket yang sejak tadi dipegangnya. Dia melihat apa yang aku lakukan barusan. Aku dengan tenangnya tertawa dan mengambil bola basket yang tadi agak menggelinding.

"Ehem, Changgu kau cemburu?!" sambung Juho tiba-tiba yang mendapat celah untuk meledek Changgu.

Erick tertawa saja melihat Juho yang dijitak habis-habisan oleh Changgu.

"Diamlah, aku tidak enak disini ada Jimin." ujar Changgu, yang tumben meladeni ledekannya Juho.

"Jim, berhati-hatilah dengan kutu satu ini!" kata Juho.

"Berani? Kemari hadapi aku dulu!" ujarku sambil menggulung lengan kemeja yang aku pakai, berpura-pura serius ingin membuat perhitungan.

Tawa teman-temanku yang lain pun semakin ramai… dan kali ini aku ikut tertawa lagi dengan mereka.

Rasanya beruntung sekali karena teman-temanku ini tak ada yang berubah padaku. Aku mungkin tak akan pernah tau dengan apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang aku sekarang. Tapi aku cukup melihat dari luar dengan positif. Mereka tak berubah, cara mereka berteman denganku, masih sama. Aku mau mempercayai satu hal saja mulai sekarang, jika aku tak berpikir yang tidak-tidak pada mereka – maka mereka juga tak memiliki niat yang tidak-tidak padaku.

Think positive then you'll get positive thing.

.

.

To Be Continued...

A/N : Halloooooo jarang ya ini cepet updatenya...alhamdulillah sedikitt ada wakttu luang untuk ngedit ini. Jadi weh...aku ga mau banyak bacott nih yaudah deh Selamat membaca...

.

.

See You Next Time~~

.

.

Bandung 00:29