Sial! Sial! Sial!

Ayahnya benar-benar tidak berperasaan. Yoongi selalu berusaha untuk menyelesaikan tugas dari ayahnya yang dikirimkan melalui e-mail. Setiap mengirimkan tugasnya, selalu ada balasan terima kasih disusul dengan tugas lainnya yang harus ia selesaikan. Bahkan, dihari ulangtahunnya, tidak ada satupun yang mengucapkan selamat padanya. Abaikan Jimin yang memang lupa. Bukan! Tidak mengetahui sama sekali. Yoongi mengusak surai mintnya.

"Yoongi?"

"Eoh?" Yoongi terlihat kebingungan dan perlahan mendongakkan kepalanya. Pantas saja ia mendengar suara yang tidak asing dan ia terpana saat namja itu mengeluarkan sesuatu dibalik punggungnya. Sebuah karangan bunga mawar. "Selamat ulang tahun."

"K-kau?" Yoongi berdiri dan hendak menarik tangannya agar Hoseok keluar. "Ke…" Tiba-tiba Hoseok memeluknya dari belakang dengan sangat erat. Yoongi merasakan Hoseok juga memangku kepalanya di pundak kirinya.

"Aku mohon tetap seperti ini untuk beberapa saat. Aku sangat merindukanmu."

"Hentikan!" Yoongi melepas tangan Hoseok dengan kasar dan menjauh namun dengan tetap membelakangi Hoseok. "Keluarlah. Selagi aku menyuruhmu dengan lembut."

"Yoongi…."

"Pergi!"

Hoseok tersenyum pahit dan meletakkan bucket tersebut diatas menja Yoongi.

"Aku merasa kau tidak adil. Hanya karena kecurigaanmu yang tidak beralasan dan juga…Jimin. Kau benar-benar berbeda Yoongi." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hoseok keluar dari ruangan Yoongi.

.

.

.

Mobil yang dikendarai Taehyung sudah sampai di depan kantor Yoongi. Ini bukan pertama kalinya bagi Jimin untuk datang. Tapi, mengapa kali ini dia begitu gugup? Apa karena dia ingin menyatakan perasaannya pada Yoongi?

"Hyung? Kenapa jadi termenung?"

Jimin menunduk melihat kotak hadiah kecil dipangkuannya. Kotak berwarna hitam dengan pita berwarna abu-abu.

"Aku hanya…gugup."

Taehyung merubah posisinya menjadi menyamping agar bisa melihat Jimin dengan tangan yang masih memegang stir. "Kalau kau seperti ini, aku jadi yakin kalau kau mencintai Yoongi hyung, Jiminnie. Aku juga merasakan gugup saat akan menyatakan cinta kepada Kookie. Tapi, setelah itu, aku merasa lega karena Kookie menerimaku. Hei! Kau bahkan tidak perlu menunggu jawaban iya atau tidak dari Yoongi hyung. Dia jelas-jelas mencintaimu dan kini kau membalasnya. Bukankah itu hadiah terindah di hari ulangtahunnya?"

Jungkook memegang tangan kiri Jimin yang sedari tadi meremas ujung kaosnya. Kebiasaan Jimin kalau sedang gugup. Dingin. Itu yang ungkook rasakan. Dia jadi meyakini perkataan Taehyung kalau hyung kesayangannya sedang jatuh cinta. Seketika eyesmile Jimin terpancar dan membuat kedua sahabatnya menghembuskan nafas lega.

"Aku pergi!" Dengan percaya diri Jimin membuka pintu mobil Taehyung. Melambaikan tangan kepada mereka sebelum memasuki gedung. Setelah menempuh perjalanan panjang karena banyak sekali karyawan yang menyapa bahkan mengobrol sebentar dengannya. Tentu saja mereka sangat gemas dengan sikap Jimin yang pemalu dan jangan lupakan eyesmilenya yang begitu memikat.

"Selamat siang, Tuan." Sapa sekretaris Yoongi.

"Siang. A-apa Yoongi hyu-maksudku tuan Yoongi ada?"

"Maaf Tuan. Saya tidak mengetahuinya. Karena saya baru saja ada urusan."

"Kalau begitu aku akan melihatnya sendiri. Terima kasih."

"Sama-sama Tuan."

Kini Jimin sudah benar-benar berada di depan ruangan Yoongi.

"Buka. Tidak. Buka. Tidak. Argh! Ini kan kejutan! Jadi aku harus membukanya!" tangannya kembali meraih gagang pintu ruangan Yoongi dan mengangguk pasti. "Se…." Nyanyiannya terhenti saat melihat pemandangan yang ia dapatkan.

Yoongi berpelukan dengan Hoseok?

Jimin langsung menutup mulutnya yang hampir saja mengeluarkan suara isakan. Dia harus pergi dari sini sekarang.

Kejadian ini lagi? Kenapa tidak cukup sekali saja menyakitiku? Bahkan dia melakukan hal yang sama seperti dulu.

"Jimin?"

Jimin begitu mengenal tangan yang memegangnya saat akan pergi dan suara yang menyebut namanya. Orang yang sama. Orang yang dulu menjadi sandaran Jimin saat patah hati karena Yoongi. Jisuk.

BRUKK!

Tangannya masih saja menggantung saat Jimin sudah memeluknya begitu erat bahkan tidak memperdulikan keadaan sekitar. Dengan ragu Jisuk membalas pelukan Jimin dan bahkan mengusap rambut orangenya.

"Apa kejadian itu terulang lagi?"

Jimin tidak menjawab dan malah mengeratkan pelukannya. Jisuk melihat sekeliling dan untunglah saat ini kantor sedang sepi bahkan bisa dibilang tidak ada aktivitas sama sekali. Tapi dia tidak bisa menyangkal kalau CCTV akan merekam hal ini. Cukup lama hingga Jisuk mendengar isakan Jimin berhenti. Ia melepas pelukan dan Jimin malah menunduk.

"Apa kejadian itu terulang lagi?" Jisuk kembali mengulang pertanyaannya dan hanya dijawab anggukan oleh Jimin. Ya ampun! Jisuk ingin tertawa melihat Jimin yang sama sekali belum menghilangkan sifat kekanakkannya. Ia melirik sejenak kotak yang dipegang Jimin. Pasti hadiah untuk Yoongi.

"Kau tidak sopan. Aku berbicara denganmu tapi kau tidak melihatku."

Polos, lugu, dan rapuh. Hal itu terlihat jelas oleh Jisuk saat Jimin perlahan mengangkat kepalanya. Hal berat apa yang dialaminya sampai seperti ini? Trauma masa lalu?

"Ayo kita duduk disana."

Jisuk menuntun Jimin untuk duduk di bangku yang memang dikhususkan untuk bersantai bagi karyawan. Ia meraih tangan Jimin saat mereka sudah duduk. Membuat Jimin tidak jadi menundukkan kepalanya.

"Apa yang kau lihat?"

"Dia…memeluk Yoongi hyung dari belakang. Sama seperti dulu."

Jisuk menahan tawanya dan menggantinya dengan senyuman yang sangat lebar.

"Dengarkan aku. Dulu, kau merasakan hal yang sama. Padahal kau…"Jisuk merasa berat mengatakannya "Bukan siapa-siapanya Yoongi. Tapi sekarang, dia milikmu dan kau juga miliknya. Jadi untuk apa kau menangis? Perjuangkan apa yang menjadi milikmu. Yoongi sangat mencintai, Jimin." Jisuk kembali melirik kotak yang dipegang Jimin. Jimin menyadari dan melakukan hal yang sama hingga tatapannya kembali pada Jisuk. "Kalau aku boleh tau, untuk apa kotak itu?"

"I-ini, hadiah ulangtahun untuk Yoongi hyung. Hari ini dia berulangtahun."

"Benarkah? Tolong sampaikan ucapan selamatku kepadanya. Kalau aku boleh beri saran, lebih baik kau lupakan hal ini. Karena hal ini bisa saja merusak hubungan kalian. Percayalah pada cinta Yoongi untukmu. Karena ini hari ulangtahunnya, kau ajak dia bersenang-senang. Aku yakin dia merasa terbebani. Cinta itu mudah kalau kita tidak mempersulitnya, Jiminnie."

Jimin kembali tersenyum dan Jisuk menghembuskan nafas lega.

.

.

.

Setelah merasa wajahnya tidak lagi menampakkan bekas tangisan, Jimin kembali menuju ruangan Yoongi. Namun, ia berpapasan dengan Hoseok yang berjalan sambil menunduk seperti menahan tangis.

"Hoseok sunbae!" Entah mendapatakan keberanian darimana, Jimin malah memanggil dan menghampiri Hoseok yang menghentikan langkahnya karena dipanggil. Bukankah dia sangat benci walaupun hanya menyebut namanya.

"Jimin-ssi?"

"Ah! Jangan memanggilku seperti itu, sunbae. Aku kan lebih muda."

"Baiklah, Jimin. Ada apa?"

"Sunbae membenciku?" Hoseok cukup terkejut dengan pertanyaan Jimin yang to the point.

"Eoh? Tidak. Kenapa aku harus membencimu?"

"Sunbae jangan bohong. Aku tau kok. Pasti karena Yoongi hyung menikahiku dan ditambah lagi Yoongi hyung mencurigai sunbae tanpa alasan. Maafkan aku sunbae. Lalu, masalah di kampusku waktu itu, aku yakin bukan sunbae yang melakukannya."

"Kalau kau memaksa meminta maaf. Aku akan memaafkanmu. Cepat temui Yoongi. Dia pasti menunggumu. Hadiah itu untuknya kan?" Hoseok melihat kotak yang dipegang Jimin. Lalu tatapannya beralih pada Jimin kembali.

"Iya sunbae. Aku mau menemui Yoongi hyung dulu." Jimin sedikit membungkukkan badannya. Lalu, ia membalikkan badan dan menjauhi Hoseok. Namun, baru beberapa langkah, Jimin menghentikan langkahnya dan malah kembali mendekati Hoseok. Dengan beraninya ia menunjukkan tangan kanannya. Dijari manisnya terpasang cincin pernikahan miliknya.

"Sunbae lihat ini kan? Ini pertanda kalau aku adalah milik Yoongi hyung dan sebaliknya. Hanya aku yang boleh menyentuhnya. Bukan orang lain!" Jimin kembali menurunkan tangannya.

Hoseok sedikit tertegun melihat keberanian Jimin. Hingga sosok itu sudah pergi menjauhinya pun, ia masih berada diposisi yang sama.

"Aku masih bingung kenapa Yoongi bisa bertahan dengan bocah seperti itu? Meminta maaf? Huh!" Hoseok tersenyum melecehkan dan kembali melanjutkan perjalanannya.

.

.

.

Bingung, kacau, dan letih.

Hal yang pertama kali yang dirasakan Jimin saat kakinya melangkah masuk ke ruangan Yoongi. Bahkan Yoongi masih tidak sadar kalau Jimin sudah ada dihadapannya. Apa saja yang dibicarakan oleh mereka sampai Yoongi seperti ini? Dengan menundukkan kepala dan menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. Jimin melihat bucket mawar berada di tong sampah. Perlahan, tangan mungilnya mengelus rambut hijau mint milik Yoongi dan membuat Yoongi tersadar. Cepat-cepat Jimin menyembunyikan hadiah dibelakang punggung dengan tangan kirinya.

"Hyung lelah ya?"

Yoongi menggeleng dan tersenyum. Moodnya benar-benar menjadi sangat baik sekarang saat melihat senyuman Jimin. Senyumannya berubah menjadi tawa saat melihat Jimin kembali gugup. Bukankah barusan dia sudah berani mengelus rambutnya?

"Tidak." Yoongi berdiri dan memutari meja dan sampai di posisi Jimin. Tentu saja Jimin langsung menghadap Yoongi agar apa yang dibawanya tidak ketahuan. Dengan tangan gemetaran, ia memberikan hadiah itu kepada Yoongi.

"S-selamat ulangtahun, hyung."

Yoongi langsung menerima hadiah itu dan tatapannya terfokus pada Jimin yang tidak berani menatapnya. Pipi chubynya mulai memerah. Niat jahil pun muncul di otak Yoongi. Perlahan ia memegang dagu Jimin agar tidak menundukkan kepala lagi dan….

Chu~~

Ini bukan pertama kalinya bagi Jimin. Karena biasanya Yoongi hanya akan menempel dan sedikit melumat, namun kali ini tidak. Yoongi menginginkan akses lebih untuk membuka mulut Jimin. Sadar hal itu membuat Jimin menahan tangisan ketakutannya, Yoongi merasakan tubuh Jimin yang mulai gemetaran karena takut. Rasa bersalah mulai melingkupi hatinya dan ia pun berniat melepas ciuman itu. Ia tidak ingin Jiminnya ketakutan.

Namun ia tidak bisa. Bukan karena nafsu dan keegoisannya. Tapi Jimin sendiri yang tiba-tiba mengalungkan tangannya dan membuat Yoongi tidak bisa menghentikan ciumannya. Getaran tubuh Jimin semakin terasa. Airmata pun sudah menetes.

Tetap seperti ini hyung! Aku mohon! Biarkan aku egois kali ini saja. Kalau boleh jujur, aku sangat marah padamu hyung. Kau milikku dan aku milikmu. Bukankah begitu anggapanmu selama ini? Tadi aku melihatmu disentuh orang lain dan aku marah. Aku marah! Walaupun aku harus mati ketakutan karena sentuhanmu.

Jimin mulai kehabisan nafas dan ciuman itu terlepas. Yoongi langsung memegang kedua bahu Jimin untuk menahannya agar tidak jatuh karena lemas. Ia tidak kuasa melihat tatapan sayu Jimin dan senyuman lemah untuknya.

BRUKK!

Jimin memeluk dan menangis kencang dipelukkannya. Mungkin orang lain akan marah-marah dan memukuli habis-habisan kekasihnya jika mengalami hal yang dialami Jimin. Tapi Jimin berbeda. Berbeda. Sebenarnya Yoongi bingung hal apa yang membuat Jimin menjadi aneh. Memeluknya dengan sangat erat dan menangis kencang seperti ini didadanya. Yang dia lakukan hanyalah memenangkan Jimin dengan mengusap punggungnya dan menghirup aroma dari rambut Jimin.

"Jimin? Kau kenapa?"

Pertanyaan Yoongi membuat Jimin kembali mengingat kejadian tadi. Dimana Yoongi dipeluk begitu erat oleh Hoseok. Tangan mungilnya mengepal begitu keras hingga buku jarinya memutih.

"Maaf." Ujarnya lirih dan membuat Yoongi semakin mengerutkan keningnya. Sepertinya meminta maaf sudah menjadi hobinya Jimin. "Aku terlalu egois hyung. Membiarkanmu berjuang sendiri hanya untuk mendapatkan cinta dari orang sepertiku. Aku tidak pantas untukmu hyung."

Yoongi ingin melepas pelukan agar bisa menatap Jimin. Dia kesal. Dia kesal mendengar hal itu dari mulut Jimin. Namun Jimin bersikukuh mempertahankan posisinya.

"Biarkan dulu seperti ini hyung. Biarkan aku mengatakan semuanya. Tentang keegoisanku yang terpendam selama ini. Yang aku tutupi dengan sikap manisku agar kau tetap nyaman bersamaku dan tidak menyerah sehingga kau melirik orang lain. Bisakah…bisakah hyung tetap berjuang? Bisakah hyung tetap mencintaiku dan tidak membagi cinta itu? Bisakah hyung tetap bertahan hingga aku sendiri yang akan menghampirimu hyung? Aku…aku tidak mengerti perasaan macam apa ini. Yang aku tau, aku tidak ingin hyung menyerah untuk meraih hatiku."

Kini Yoongi berhasil melepas pelukan. Memegang kedua bahu Jimin dan menatap dalam kedua matanya hingga Jimin benar-benar terkunci. Menghapus airmatanya walaupun kembali menetes.

"Jimin, tanpa kau minta pun, aku akan tetap melakukannya. Bahkan hingga aku mati. Jangan takut! Sejak aku mencintaimu, aku akan tetap berusaha bersamamu."

Jimin tersenyum dan menghapus airmatanya sendiri. Lalu, ia memegang kedua tangan Yoongi.

"Hyung, ayo bersenang-senang!"

"Eoh?" Yoongi menggaruk tengkuknya, "Tapi pekerjaanku masih banyak."

"Ayo!"

.

.

.

Yoongi sebenarnya bisa saja menahan tubuhnya agar Jimin tidak seenaknya saja memba dirinya. Bahkan mereka sudah berada di ruangan Namjoon.

"Appa!"

Jimin meninggalkan Yoongi berdiri di tengah-tengah ruangan sementaradirinya menghampiri Namjoon. Jimin tidak gugup seperti saat menghadapi Yoongi. Mungkin karena Namjoon lebih dulu mengenal Jimin dan Jimin juga nyaman. Begitulah pemikiran Yoongi.

"Eoh? Jimin? Ada apa? Kapan kau datang?"

Jimin tampak malu-malu. "Hm…appa, aku mau pergi dengan Yoongi hyung. Boleh?"

Yoongi tertegun begitu mendapat tatapan tajam dari ayahnya sendiri. Pasti Namjoon mengira dirinya memperalat Jimin agar bisa terhindar dari tugas-tugas yang ia berikan. Mengingat bagaimana sifat pemalas Yoongi yang mendarah daging. Namjoon sendiri tidak mengerti darimana Yoongi mendapat sifat seperti itu.

"Appa! Jangan salahkan Yoongi hyung. Aku yang mengajaknya. Karena hari ini Yoongi hyung berulangtahun."

"Eoh? Benarkah?" Namjoon menatap Jimin dan Yoongi secara bergantian.

"Appa? Appa melupakan ulangtahunku? Huh! Aku fikir appa sengaja memberiku tugas yang banyak karena ingin menjahiliku." Yoongi terlihat kesal dan melipat kedua tangannya di dada serta memberikan tatapan tajam dari mata sayunya untuk ayahnya yang sudah melupakan ulangtahunnya.

Namjoon segera menghampiri Yoongi yang mulai mengerucutkan bibirnya. Kemudian memeluk anaknya.

"Maaf. Appa melupakan hari terpentingmu. Selamat ulangtahun." Namjoon melepas pelukan dan menyuruh Jimin mendekat.

"Kalian boleh pergi."

Jimin terlalu senang hingga tanpa sadar ia memeluk Namjoon begitu erat sampat tubuhnya terangkat. Setelah melepas pelukkan, ia langsung menarik tangan Yoongi.

"Datanglah ke rumah saat makan malam!"

Namjoon tersenyum lebar merasa aktingnya sangat bagus. Memang benar ia memberikan banyak tugas kepada Yoongi karena hari ini adalah hari ulangtahunnya. Tapi sebenarnya ia sudah tau karena sebelum kedatangan mereka, istri tercintanya sudah memberi tahu terlebih dahulu.

.

.

.

"Ayo hyung!" Jimin sangat bersemangat dan membuka seatbelt. Seketika gerakannya terhenti saat melihat ekspresi yang sulit ia mengerti dari wajah Yoongi. "Hyung kenapa? Tidak suka ya?"

"Eoh? Tidak. Aku hanya tidak percaya saja kalau akan ke taman bermain lagi. Ayo!"

Jimin kembali kembali ceria dan membuka pintu. Hal itu dimanfaatkan Yoongi untuk mengambil sesuatu dari laci dashboard mobilnya dan dengan cepat ia masukkan ke dalam saku celananya.

.

.

.

Jimin begitu bahagia sampai-sampai Yoongi bingung berapa banyak cadangan energi yang dimiliki Jimin? Sudah mencoba semua wahana ekstrim, tetapi tetap saja tidak kehabisan tenaga. Padahal, Yoongi sudah benar-benar lelah dan sedikit…sesak. Ia langsung duduk di bangku taman yang berada dekat dengan bianglala. Wahana terakhir yang akan mereka naiki. Jimin bilang sih ingin melihat langit malam.

"Hyung?" Jimin yang tampak khawatir menghampiri Yoongi.

"Aku sedikit lelah. Jadi kau mengantri sendirian saja ya?"

"Tapi hyung tidak kenapa-napa kan?"

"Tidak." Yoongi tersenyum dan tetap saja membuat Jimin khawatir walaupun ia membalas senyuman Yoongi. Jimin pun kembali mengantri untuk mendapatkan tiket.

.

.

.

Yoongi tersenyum melihat Jimin yang antusias melihat pemandangan saat mereka hampir mencapai puncak. Mengabaikan rasa sesak yang tak kunjung hilang. Tangan kanannya meraba-raba saku celananya dan…kosong! Saku bagian kirinya juga kosong. Semakin ke puncak, rasanya semakin sesak. Yoongi mulai terbatuk-batuk dan sedikit pucat. Membuat fokus Jimin yang duduk dihadapannya teralih padanya.

"Wajah hyung pucat sekali."

"Bukankah dari dulu memang seperti ini?" Yoongi mencoba bercanda agar Jimin tidak khawatir padanya.

"Aku juga tau hyung. Tapi biasanya bibir hyung kan tidak seperti itu."

"Eoh? Kau memperhatikanku sampai seintim itu?"

"Hyung! Aku serius! Kau…."

Batuknya semakin kencang dan membuat Jimin panik. Astaga! Dia lupa. Bukankah Yoongi sangat sensitif dengan udara dingin. Jimin mulai merasa bersalah dan tiba-tiba ia teringat sesuatu. Jimin mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan Yoongi berdecak melihat benda tersebut. Syal hitam yang merupakan hadiah pernikahan mereka.

"Aku tidak mau memakainya." Yoongi menepis tangan Jimin yang akan memakaikan syal tersebut kelehernya.

Jimin menarik kembali tangannya dan menunduk. Bahunya mulai bergetar. "Hyung, seharusnya aku tidak memaksamu. Aku lupa kalau hyung sangat sensitif dengan udara yang dingin." Selanjutnya Yoongi mendengar suara isakan pelan Jimin dan kembali ditahan olehnya.

"Jimin, jangan menangis! Aku senang sekali bisa menghabiskan waktu denganmu. Aku saja yang terlalu lemah dan tidak bisa mengimbangimu." Jimin tidak juga menegakkan kepalanya dan ia semakin kesal melihat syal di tangan Jimin. "Jimin, pakaikan syal itu untukku."

Jimin menegakkan kepalanya dan tersenyum antusias. Apa tadi dia berakting? Selamat! Yoongi benar-benar terpengaruh. Bukankah Jimin memang seperti itu? Selalu menangis jika dia melakukan kesalahan? Sekarang, syal yang sangat dibenci oleh Yoongi sudah terpasang dilehernya. Tubuhnya memang mulai terasa hangat, namun hatinya sudah mendidih.

Mereka akhirnya sampai dibawah. Penjaga wahana tersebut membukakan pintu untuk mereka dan disaat itulah rintik hujan menyambut. Awalnya hanya gerimis, namun kini menjadi hujan yang deras. Perjalanan untuk sampai di tempat parkir lumayan jauh. Yoongi segera berlari dan terhenti saat merasa Jimin tidak ada bersamanya. Rupanya ia menikmati hujan diantara orang-orang yang berlari mencari tempat berteduh.

Jimin memejamkan matanya dan membiarkan air membasahi wajahnya. Awalnya ia menadahkan tangan kemudian meloncat-loncat bahagia. Yoongi tersenyum sendiri melihat tingkah Jimin. Bukannya berteduh, malah bermain ditengah hujan. Apalagi dia juga mengabaikan tatapan orang-orang yang sudah berteduh. Memang si manis yang kelebihan energi.

"Jimin! Berhenti! Nanti kau bisa sakit!" Teriakan Yoongi yang teredam dengan suara derasnya hujan dianggap angin lalu oleh Jimin. Karena Jimin tak kunjung juga menghentikan permainan kekanakkannya, akhirnya ia menghampiri Jimin.

CHU~~

Tubuh Jimin seketika bergemataran. Yoongi hanya ingin menempelkan kedua bibir mereka saja untuk menghantikan Jimin dan memang cara yang ampuh. Tapi sepertinya mereka tidak sadar kalau sudah banyak cahaya flash yang mengambil momen romantis mereka dan beberapa orangtua juga menutup mata suci anak kecil mereka. Jimin menutup matanya dan tiba-tiba ia merasa ada yang aneh. Ciuman itu terhenti dan Yoongi tidak ada dihadapannya.

"Astaga! Cepat tolong orang itu!"

"Panggil ambulans!"

Jimin melihat kebawah dan ternyata Yoongi pingsan.

.

.

.

Seokjin tersenyum bangga karena sudah menata meja makan untuk merayakan ulangtahun anaknya. Tiba-tiba Namjoon memeluknya dari belakang dan mengendusi lehernya. Membuatnya merasa geli.

"Ingat umurmu!"

"Aku selalu mengingatnya."

"Kau ini." Seokjin akhirnya mengelus tangan Namjoon yang melingkari perutnya hingga ponsel Namjoon berbunyi. Tapi tidak langsung diangkatnya.

"Ambil ponselmu."

"Malas."

"Siapa tau penting."

Namjoon malah semakin mengeratkan peluknya dan terpaksa Seokjin yang mengambil ponsel suaminya dari saku celana.

"Jimin?" Seokjin menautkan alisnya membaca nama yang tertera. Jarang-jarang Jimin menghubunginya seperti ini. Apalagi langsung menghubungi Namjoon.

"Jiminnie? Kalian kemana hujan-hujan begini? Nanti kalian sakit bagaimana?"

"E-eomma…Y-yoongi hyung…"

"Jiminnie? Kenapa? Kenapa dengan Yoongi?"

Mendengar nada khawatir Seokjin, Namjoon menghentikn aksinya dan mendengar pembicaraan tersebut.

"Y-yoongi hyung t-tadi merasa sesak….lalu…dia pingsan." Tangisan Jimin semakin menjadi-jadi dan membuat Seokjin khawatir.

"Katakan! Katakan kau dimana nak."

"R-rumah sakit eomma."

"Jiminnie tenang ya? Eomma dan appa akan kesana."

Panggilan dimatikan oleh Jimin.

.

.

.

Suara hujan yang deras membuat Jungkook semakin nyaman dalam gelungan selimut dan pelukkan Taehyung. Mereka menonton film sembari menikmati coklat hangat. Hingga ponsel Taehyung yang berada di meja kecil di sampng sofa berbunyi. Ia segera mengambil ponselnya tanpa mengusik kenyamanan Jungkook.

"Jiminnie? Ada apa?"

"T-tae…Y-yoongi hyung…"

"Jiminnie? Kau dimana? Kenapa kau menangis?"

Jungkook langsung terperanjat dan merebut ponsel Taehyung.

"Hyungie?"

"K-kookie…"

"Hyungie dimana sekarang?"

"R-rumah sakit. Y-yoongi hyung kookie…" Jungkook dapat mendengar dengan jelas bagaimana tangisan Jimin dan itu membuatnya semakin khawatir.

"Iya, iya. Hyung tenang. Kami akan pergi kesana."

Jungkook segera mengembalikan ponsel Taehyung.

"Yoongi hyung ada di rumah sakit hyung. Kita harus pergi. Jimin hyung sangat sedih."

Taehyung terkejut sesaat, "Bersiaplah. Aku akan menyiapkan mobil."

.

.

.

Jimin duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Tubuhnya bergemetar hebat. Selain karena kedinginan, hatinya juga tidak tenang menunggu keadaan Yoongi. Airmata terus mengalir di pipinya. Tangannya masih memegang syal yang sudah basah kuyup yang tadi ia pakaikan untuk Yoongi. Lalu, Jungkook menghampirinya.

"Jiminnie? Apa yang terjadi?"

Entah bagaimana, hati Jungkook tergerak untuk membawa selimut kecil miliknya. Ia langsung menyelimuti Jimin dan memapahnya untuk duduk di kursi kemudian menghapus airmatanya yang terus mengalir.

"Tenanglah hyung. Yoongi hyung pasti baik-baik saja."

"I-ini semua salahku. Kalau saja aku tidak mengajak Yoongi hyung ke tempat itu dan bermain hujan, pasti ini tidak akan terjadi."

Lalu Taehyung datang dengan membawa secangkir coklat hangat yang dibeli di kantin rumah sakit dan memberikannya pada Jimin.

"Minumlah ini. Supaya tubuhmu hangat."

Jimin menggeleng. Jungkook mengambil cangkir tersebut.

"Aku bantu ya?"

Jimin tidak kuasa menolak dan pasrah saja saat Jungkook membantunya minum. Rasa hangat mulai terasa ditubuhnya.

"Jiminnie!" Panggil Seokjin sambil berjalan terburu-buru menuju Jimin. Sontak Jimin langsung berdiri dan memeluk Seokjin. Menumpahkan semua tangisannya. Seokjin hanya bisa menenangkan Jimin dengan mengusap punggungnya. Namjoon pun melakukan hal yang sama.

"Eomma, ini salahku. Kalau…"

"Tidak, tidak. Ini bukan salahmu."

Tidak ada bantahan atau jawaban lain dari Jimin. Hanya suara tangisannya yang terdengar. Hingga seorang dokter yang memeriksa Yoongi keluar dari dalam UGD. Jimin langsung melepas pelukan dan menghampiri dokter tersebut.

"Dokter! Bagaimana Yoongi hyung? Dia baik-baik saja kan?"

Dokter tersebut sedikit menahan tawanya melihat kekhawatiran Jimin. Bagaimana tidak? Selama memeriksa keadaan Yoongi, Yoongi terus saja bercerita tentang cengengnya istri manisnya ini. Dan dokter itupun sudah membuktikan sendiri.

"Tuan Yoongi baik-baik saja. Dia memang sangat sensitif dengan udara dingin apalagi karena dia masih mengidap asma ringan. Tapi bukan berarti penyakit ini bisa diabaikan."

"Apa?" Jimin menatap kedua orangtua angkat sekaligus mertuanya secara bergantian. Yang ditatap hanya memalingkan wajah. Jimin menatap mereka seakan-akan berkata bagaimana-mungkin-aku-tidak-tau? Lalu perhatiannya kembali lagi pada dokter dihadapannya. "Apa saya boleh masuk?"

"Tentu saja. Silahkan."

Jimin segera masuk ke dalam dan melihat Yoongi yang terpasang alat bantu pernafasan sedang bercanda dengan suster yang sedang membereskan peralatan yang tadi digunakan. Candaannya terhenti saat melihat Jimin dengan mata sembab menatapnya. Suster tersebut berpapasan dengan Jimin dan menbungkuk hormat. Perlu diketahui kalau Jimin adalah menantu dari pemilik rumah sakit ini.

"Apa kau mau menangis terus-menerus dihari ulangtahunku?" Jimin kembali menghapus airmatanya yang baru saja menetes dan berjalan perlahan mendekati Yoongi lalu duduk di sampingnya.

"Berhenti menjadi suami yang baik hyung! Semua itu membuatku menjadi istri yang buruk karena bagaimana mungkin aku tidak tau kalau kau sakit? Untuk apa kau berkorban untukku? Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa membalas cintamu." Jimin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terisak. Mungkin Yoongi akan mengingat tangisan Jimin dihari ulangtahunya. Yoongi tersenyum dan meraih tangan kiri Jimin lalu mengecupnya.

"Aku tidak percaya kalau kau tidak mencintaiku."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

Udah update.

Setelah berkutat dengan resume yang melelahkan akhirnya aku bisa update chapter ini.

Oh iya, kalian ngerti kan ceritanya? Aku harap sih begitu.

Untuk Guest, jujur author nggak bisa bikin rated M.

Tapi author lagi belajar kok. Memang agak hambar sih ff ini.

Mungkin sekian ocehan nggak penting author.

Jangan bosan nunggu ya?

B ye~~~~~~~~~~~~`

~ 14 ~