.

.

.

The Liar

Disclaimer: Amano Akira

Story by: Aoi The Cielo

Rated: K+ atau mungkin T

Genre: Friendship, Romance.

Pair: HayatoxTsuna, TakeshixHayato, HibarixTsuna

WARNING! BL(BOYS LOVE) BOYXBOY! YAOI! OOC, AU, Typo(s), dll...

.

.

.

Kelabu bergumpal menutupi kecerahan sang langit. Dengan hembusan angin kencang menerpa, beberapa benda-benda ringan berterbangan tidak tentu arah. Berlahan, tetesan kristal cair mulai berjatuhan—memberikan kesan kelam di pagi hari yang merupakan simbol awal rutinisa.

Berdiri mematung di sebuah gang sempit seorang diri, sosok pria berbalut pakaian formal itu hanya dapat membisu. Punggungnya bersandar di dinding kelabu yang agak kotor. Tidak bergerak seinci pun dari tempatnya meski air hujan kian deras mengguyur tubuh, sepasang hazel itu tetap setia fokus memandang sosok lain yang dalam keadaan tidak sadarkan diri di dekat kakinya. Entah siapa orang ini, Tsuna tidak kenal dan pikirannya pun tidak mau bekerja hanya untuk memikirkan kejahatan apa yang dilakukan orang ini.

"Obati tanganmu dulu."

Sepasang iris coklat itu refleks mengalihkan pandangannya ke kedua tangan yang semula jatuh terkulai di kedua sisi tubuhnya. Alis itu sedikit mengernyit saat mendapati tangannya dililit oleh perban. Lilitan kain yang kini terlihat agak usang. Padahal, baru kemarin perban ini melilit luka memarnya namun kenapa dengan mudah kembali kotor?

Tsuna menggeretakkan giginya. Perasaan sesak kembali menghujam dadanya begitu saja. Astaga... Perasaannya ke sosok reven itu benar-benar membuatnya merasa putus asa. Hanya perlu masalah waktu sampai Tsuna kembali ke Tokyo, melakukan rutinitas biasanya dan disibukkan dengan papper work. Namun tunggal Sawada ini tahu bahwa semuanya tidak akan sama lagi. Tidak... Bagaimana bisa sama bila ia akan meninggalkana kesenangan di tempat ini? Bagaimana bisa ia bertahan tanpa memikirkan sosok reven itu?

Sungguh, bukan perkara yang kecil bagi Tsuna bila ingin menetap di tempat ini, namun masalah utamanya adalah kenyataan bahwa ia berbohong. Tsuna memalsukan identitasnya agar bisa cepat keluar dari sini. Ia berkata bahwa dirinya orang biasa, namun nyatanya? Apakah seorang pemimpin di usia muda dengan segala hal kehebatannya adalah orang biasa? Hibari Kyoya... Bukanlah tipe yang menerima kebohongan dan sungguh, Tsuna tidak sanggub membayangkan bahwa sosok itu akan membencinya. Lebih baik Tsuna pergi ketimbang harus menanggung beban akan dibenci oleh sosok itu. Berkesan pengecut memang, namun... Sejak kapan Tsuna tidak pernah pengecut soal urusan ini?

Tsuna mendengus kasar. Pada akhirnya ia tetaplah melakukan hal yang sama. Kabur dari apa yang harusnya ia lakukan dan menjadi seorang pecundang.

"Omnivore."

Tsuna menggigit bibir bawahnya. Seluruh tubuhnya mendadak terasa lemas dan tidak bertenaga. Kenapa hanya dirinya yang dipanggil Omnivore? Kenapa Hibari Kyoya melarangnya untuk patroli malam sementara yang lain diwajibkan? Kenapa Hibari Kyoya memberikannya jam hanya demi memastikan keberadaan dirinya apabila tersesat? Kenapa Hibari Kyoya memperban luka di kedua tangannya dan memandangnya dengan pandangan khawatir? Kenapa Hibari Kyoya memperlakukannya berbeda dengan yang lain? Kenapa—

"Kau di sini huh?"

Tsuna tersentak dan refleks mengangkat wajahnya. Sepasang iris hazel itu dengan mudah menangkap sosok yang ia pikirkan berada di sisi lain gang. Sepasang kelabu itu menatapnya tajam—tidak menyembunyikan moodnya yang buruk sama sekali. Sang Sawada menelan liur paksa. Jantungnya terasa mencelos mendapati tatapan tidak menyenangkan itu.

"Go, gomen, tadi ada pencuri," Tsuna memaksakan senyumannya lalu menunjuk ke sosok yang masih tidak sadarkan diri di dekat kakinya. "Aku sedang menunggu polisi datang, jadi—"

"Pulang."

Deg!

Tsuna bungkam seketika saat suara di tengah guyuran hujan itu jelas terdengar di kupingnya. Nada Kyoya terdengar dalam dan penuh penekanan. Tidak ada penolakan dan sang brunette sangat tahu bahwa apa yang terucap adalah bersifat mutlak. Menunduk, Tsuna memutuskan untuk menurut.

"Waka—"

Eh?

Sepasang hazel itu membola saat merasakan tubuhnya yang mendadak terasa melayang. Kepalanya berdenyut sakit diiringi dengan dengung yang memekakkan telinga. Dan di detik berikutnya, dunia terasa gelap bagi sang brunette. Hanya ada suara seseorang menyerukan sebuah nama. Nama... yang rasanya sudah lama sekali tidak ia dengar.

"Tsunayoshi!"

.

.

.

Rasa pusing seolah memukul kepalanya diiringi rasa nyeri pada bagian perut. Apakah maggnya kambuh? Entahlah... Tsuna tidak terlalu memikirkan hal itu. Rasanya tubuhnya melayang dan segalanya seolah sedang berputar—membuatnya mual di saat yang bersamaan. Meringis seraya memegang kepalanya yang terasa berdenyut sakit, secara berlahan Tsuna mencoba mencari kesadaranya. Ia perlu bangun dan menuntut jawaban apa yang terjadi. Hayato jelas akan marah bila—

"Bagaimana keadaanmu?"

Sepasang kelopak mata itu langsung terbuka dengan sempurna. Mengerjab beberapa kali karena mendadak dibuat buta dengan suasana yang terang, sepasang hazel itu bergerak liar—mencari sumber suara yang sukses mengagetkannya. Dan saat irisnya mendapati sosok berhelai gelap duduk tepat di samping singel bed yang tengah ia tiduri, Tsuna benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Hibari... Sama?" gumamnya bingung dengan suara yang terdengar serak. Tsuna meringis. Kerongkongannya terasa kering sekali. Mengerti apa yang dibutuhkan si brunette, sosok berkulit putih itu meraih segelas air putih yang berada di meja kayu di sampingnya. Kyoya memberikan gelas itu—membantu sang Sawada dengan hati-hati agar dapat sedikit duduk dan meminum airnya.

Berlahan, Tsuna memastikan air itu masuk ke dalam mulutnya dan melegakan rasa haus yang mendera tubuh. Namun lebih dari itu, otaknya dengan cepat mencerna dan mengetahui bahwa ia berada di kamar yang berbeda. Ini bukan kamarnya dan jelas bukan rumah sakit, namun suasana ini benar-benar mirip di Kediaman. Well, pintu geser, lantai beralas tatami, ini jelas mirip seperti di Kediaman Hibari yang merupakan bangunan huni ala Jepang. Tetapi ini di kamar siapa? Bangunan bagian mana?

"Arigatou," ucap Tsuna tulus seraya mengkulum senyumannya. Dapat ia rasakan dadanya terasa hangat saat Bossnya memperlakukannya selembut ini. Sungguh, Tsuna tidak tahu apa yang ia pikirkan namun melihat Hibari Kyoya sebagai sosok yang pertama matanya lihat memberikan kenyamanan tersendiri di dadanya. Hibari Kyoya berada di sisinya... Menemaninya.

Deg!

Diam-diam Tsuna mengepalkan tangannya di balik selimut. Ia menelan liur paksa saat perasaan tidak nyaman membuatnya merasa sesak. Kenapa rasa senang ini selalu justru memberikan rasa yang juga menyakitkan?

"Bagaimana keadaanmu?"

"Ah, umn," Tsuna tersentak. Lamunannya buyar seketika saat Kyoya kembali bertanya. "Aku sudah merasa lebih baik, Arigatou Hibari-sama," jawabnya jujur. Ya, ia sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Lalu alis sang Sawada mengernyit. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah ketika sedang menunggu polisi lalu... Bossnya datang untuk menjemput. "Apa aku... Pingsan?" tebaknya. Kyoya mendengus dan itu sudah cukup menjadi jawaban bagi Tsuna. "Gomen," ucapnya seraya menunduk bersalah—merasa menyusahkan sosok di dekatnya ini.

Sudah tahu ada penyakit Magg, Tsuna jelas makan tidak teratur, ditambah setress, penyakit insomnianya yang semakin parah dan ditambah... Membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Meski beberapa kali perutnya terasa melilit, si Sawada cenderung mengabaikannya—malah terkadang, ia tidak sadar bila perutnya sudah sangat kelaparan bila tiba-tiba ia muntah asam. Sungguh, tidak mendapati dirinya masuk Rumah Sakit justru membuatnya kaget. Well, bila ia masuk Rumah Sakit setidaknya ia bisa... Errr... Lebih lama di kota ini kan?

"Siapa Hayato?"

Eh?

Tsuna langsung mengangkat wajahnya kembali. Sepasang iris coklat itu menatap sosok yang memberikan pertanyaan itu dengan bingung. Darimana... Darimana Hibari Kyoya mengetahui nama Hayato? Sungguh, dapat Tsuna rasakan jantungnya berdegub tidak tenang saat nama itu keluar dari bibir tipis itu. Namun, sebagai sosok yang terbiasa akan kebohongan, sang Sawada hanya dapat memberikan ekspresi bingung meski innernya telah berteriak ketakutan—memikirkan berbagai macam hal buruk yang berujung sebuah kesimpulan. Hibari Kyoya mengetahui identitasnya. Ia ketahuan. Apakah mimpi buruknya benar-benar menjadi nyata sekarang?

"Dia—"

Grak...

Tsuna refleks menoleh ke arah pintu gesernya yang terbuka. Sepasang hazelnya menemukan sosok bertubuh besar yang membawa nampan. Senyuman seketika merekah di belahan bibir itu—benar-benar menyukai kedatangan sosok lain di ruangan ini.

"Oh, Yamamoto-san sudah sadar?" senyuman di wajah sang tamu tak terduga mengembang mengetahui kabar baik yang dilihat matanya. Dengan segera sang Tangan Kanan berjalan mendekati meja dan menaruh nampan yang ia bawa di atas meja kayu yang berada di samping single bad. "Aku membawa obat dan makanan untuk Yamamoto-san," ucap Kusakabe kalem.

"Maaf, aku jadi merepotkan," lirih Tsuna seraya menggosok tengkuknya saat perasaan tidak nyaman bergelayut di dadanya. Kusakabe tersenyum seraya menggelengkan kepala.

"Iie, aku lah yang salah karena tidak memperhatikan keadaanmu. Bila bukan karena Kyo-san yang pertama kali menyadari, pasti Yamamoto-san sekarang berada di Rumah Sakit," ucapnya—sukses kembali membuat sang Sawada menoleh ke sosok sang Boss. Kyoya... Menyadari keadaan tubuhnya? Menelan liur gugup saat debaran senang menghinggapi dadanya, Tsuna sedikit membungkuk ke arah sang reven.

"Arigatou gozaimashu, Hibari-sama," ucap Tsuna tulus. Kyoya mendengus—membuat Tsuna mau tidak mau harus mengangkat kepalanya lagi. Ada perasaan senang yang menggebu-gebu di dadanya saat menyadari Kyoya lah yang pertama kali mengetahui kondisi fisiknya yang memang kurang baik. Namun, dengan cepat Tsuna langsung menyingkirkan euforia itu. "Ne, sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanyanya—takut-takut bila ternyata sudah berganti hari.

"Sekitar 4 jam," jawab Kusakabe. Lalu irisnya memandang nampan yang ia bawa. "Dan sekarang waktunya Yamamoto-san makan siang," peringatnya—sukses membuat Tsuna terkekeh. Oh, entah kenapa sekarang Kusakabe mirip seperti Hayato dan Fuuta di matanya.

"Wakatta, waka—"

Kyoya mengambil alih nampan—membuat dua pasang mata menatap sang Boss dengan bingung.

"Aku akan menyuapimu."

EEEHHH!?

"Ya—YADA!" Tsuna panik. Wajahnya memerah sempurna saat kata-kata super sakral itu mengalun begitu saja. ASTAGA! Sumpah! Tsuna yakin ia salah dengar tadi! "A, aku bisa makan sendiri Kyo—ah! Hibari-sama, aku bisa—"

"Hn?"

Tsuna membatu. Ucapannya tertelan begitu saja saat melihat ekspresi dari sang reven. Tidak ada tanda-tanda atau aura Hibari Kyoya akan memukulnya, namun ekspresi dari pria tampan ini seolah berkata 'tidak ada penolakan'.

"Wa, wakatta," lirihnya pasrah—sukses membuat Kusakabe mati-matian harus menahan senyuman gelinya melihat keptuhan si brunette.

"Kalau begitu aku pergi dulu."

"Eh!?" Tsuna menatap sang Tangan Kanan Boss dengan tidak percaya. Bagaimana bisa sosok itu membiarkan Hibari Kyoya berduaan dengan dirinya!? Terlebih sang reven akan menyuapinya!? A, astaga! Bukankah Kusakabe adalah penengah yang akan sedikit 'menetralkan' debaran jantungnya nanti!?

Namun, tentu saja. Semua kata-kata yang berkesan memohon agar Kusakabe tidak meninggalkan ruangan ini tertelan begitu saja. Kode keras yang mati-matian Tsuna keluarkan lewat ekspresinya justru diabaikan. Salah mengartikan reaksi yang diberikan Tsuna, sosok berwajah preman itu justru tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya—sukses membuat Tsuna semakin memucat. Sepasang irisnya hanya dapat menatap kepergian sosok itu dengan tidak percaya.

Ku, kusakabe-san... Sepasang hazel itu menatap pintu yang tertutup dengan perasaan campur aduk. Benar-benar tidak peka. Sungguh, Tsuna rasanya ingin sekali mengatakannya. Di depan orangnya langsung agar sosok itu sadar diri. Kode yang diberikan Tsuna jelas 'jangan tinggalkan kami!'. Oh, sepertinya Kusakabe Tetsuya lupa bahwa Tsuna tidak sedang dalam mode Tsundere sehingga salah mengartikan apa yang sesungguhnya si brunette inginkan.

"Ermn...," Tsuna menunduk—memandang nampan yang dipangku Kyoya. Irisnya dengan mudah melihat tangan putih itu sedikit mengaduk bubur yang ada di pangkuannya dan secara berlahan mengangkatnya. Tanpa ia sadari, Tsuna memandang bagaimana Kyoya mengangkat sendok itu, mendekatkan ke mulutnya guna sedikit meniup agar bubur yang masih panas itu tidak membuat lidah sang Sawada terbakar.

Uh... Kuatkan dirimu Tsuna...

Meremas selimut yang ada di atas tubuhnya, dapat Tsuna rasakan jantungnya berdegub tidak tenang. Ia semakin gugup saat mendadak menyadari kedua tangannya sudah sedingin es dan gemetar. Terlebih keheningan yang diciptakan sang reven—membuat Tsuna merasa semakin gelisah di atas kasurnya. Dan saat Kyoya mulai menjulurkan tangannya yang memegang sendok ke arah Tsuna, mau tidak mau si brunette mencondongkan tubuhnya guna melahap bubur yang disodorkan ke arahnya.

Dengan mudah, Tsuna menelan makanan lembut yang masuk ke dalam mulutnya. Panas memang, tetapi tidak terlalu panas juga. Namun lidahnya tidak bisa memastikan apakah makanan yang ia makan enak atau pun tidak. Lidahnya terasa pahit dan hal ini benar-benar mengurangi nafsu makannya.

"Bagaimana?"

Sepasang hazel itu melirik ke sosok yang menyuapinya. Tsuna membatu saat matanya menangkap sepasang metal yang menatapnya dengan lembut. Lebih lagi saat wajah berbingkai rambut hitam itu semakin terlihat tampan saat sebuah ukiran melengkung tipis di belahan bibirnya.

Hibari Kyoya... Tersenyum.

Tsuna mengalihkan pandangannya. Ia menunduk seraya menatap selimutnya yang terasa hangat. Matanya terasa panas saat semua perhatian Kyoya membuatnya merasa bahagia. Perasaan senang ini juga semakin menusuk jantungnya dengan sebilah belati beracun. Semua perlakuan ini tidak seharusnya ia terima. Cepat atau lambat Tsuna akan pergi dari tempat ini. Ia telah berbohong. Ia telah membohongi semua orang yang ada di kota ini bahwa ia adalah Yamamoto Sora. Ia membohongi tentang nama, status sosial dan siapa dirinya yang sebenarnya. Sungguh, Tsuna benar-benar merasa tidak pantas menerima semua perlakuan ini. Terlebih mendapati Hibari Kyoya berada di sisinya. Mengkhawatirkannya dan menyuapinya semangkuk bubur. Ia benar-benar tidak pantas.

"Hibari-sama," Tsuna semakin meremas selimutnya. Dapat ia rasakan matanya terasa panas saat jantungnya berdegub menyakitkan. "Kenapa Hibari-sama memperlakukanku seperti ini?" Tsuna menggigit bibir bawahnya—menahan gemuruh kelam yang memporak-porandakan ketenangannya. "Aku... Aku—"

"Siapa Hayato?"

Tsuna tersentak. Hibari Kyoya menanyakan tentang Hayato kembali tanpa mau mendengarkan apa yang ingin ia sampaikan. Ini pertanyaannya yang kedua. Tentang Sahabat dan juga Saudaranya. Tentang sosok yang dahulu berlabuh di hatinya. Sungguh, bila Hibari Kyoya sudah mengetahui identitasnya, kenapa ia masih menanyakan tentang Hayato?

"Kau mengigaukan namanya," ucap si reven—seolah tahu keterdiaman Tsuna yang enggan menjawab pertanyaannya. Kyoya sendiri tidak mengerti kenapa dirinya begitu berubah hanya bila memikirkan atau berada di dekat pria ini. Yang ia tahu hanyalah ia mau si brunette berada di sampingnya—tertawa bebas dan terlihat bahagia. Namun... Apa yang ia perhatikan akhir-akhir ini membuat dadanya teriris.

Tsuna tersenyum bila berinteraksi dengan orang lain, pemuda brunette itu selalu menampilkan senyuman yang sama dan menunjukan nada seceria mungkin, namun nyatanya... Tidak. Hibari Kyoya baru menyadarinya saat ia memperban tangan mungil yang terluka itu. Tsuna terlihat menahan sesuatu. Sesuatu yang menyakitkan dan semakin hari, semakin ia memperhatikan, sosok ini ingin selalu menyendiri—atau bekerja terlalu keras. Lalu, Kyoya menyadari satu hal yang pasti.

Sosok ini tidaklah merasa bahagia.

Sungguh, Kyoya menyadarinya. Berada jauh dari tempat yang kau sebut rumah. Meski tempat ini menerimamu, membutuhkanmu, bukan berarti tempat ini bisa dianggab Tsuna sebagai rumah kan? Mungkin saja... Ya, mungkin saja Tsuna sangat merindukan rumahnya namun ia tidak bisa mengeluh. Untuk pria seusianya, pergi dari rumah dalam jangka 1 minggu lebih bukan lah lama, namun akan terasa sangat lama dan menyiksa bila ada orang lain... Yang menunggumu di sana. Bila ada seseorang yang sangat si brunette khawatirkan hingga menyebabkannya setress dan jatuh sakit seperti ini.

Dan nama itu terucap dengan sangat jelas.

Saat sang Sawada tiba-tiba merintih. Memegangi perutnya lalu terbangun hanya untuk memuntahkan seluruh isi di dalam perutnya. Kyoya tahu, Tsuna tidaklah mengenalinya saat ia memapah si brunette dan sosok itu justru memanggilnya... 'Hayato-kun' sebelum akhirnya kembali tertidur pulas. Siapa Hayato? Apakah sosok yang penting untuknya hingga salah mengira Kyoya dengan orang asing itu?

"Hayato...," sepasang kelabu itu kembali fokus memandang sosok yang tengah setengah duduk di atas single bed. Sebuah senyuman terukir di belahan bibir pucat itu. Bukan.. Itu bukan senyuman kebahagiaan, melainkan sebuah lengkungan tipis yang terukir di belahan bibir pucat dengan sorot mata yang penuh akan kerinduan. "Adalah orang yang berharga untukku."

.

.

.

Merenggangkan tubuh yang terasa kaku, Sawada Tsunayoshi menarik nafas dalam lalu menghembuskannya secara berlahan. Udara pagi yang sejuk, tubuh yang sehat, oh sungguh, hal yang benar-benar dinantinya! Tidak bisa menahan senyuman, sang Sawada merubah posisinya menjadi duduk di atas single bed. Irisnya memandang ruangan kamar yang selama 3 hari ia tempati dengan penuh minat.

Ruangan luas yang beralaskan tatami ini memiliki 2 buah pintu geser yang saling berhadapan. Yang sebelah kiri Tsuna ketahui berhadapan langsung dengan lorong rumah, sementara sebelah kanan menghadap langsung ke taman kering bernuansa khas Jepang. Sungguh, sangat berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati. Ruangan ini... Berkesan mewah. Yah, tentu saja. Bukankah ini Gedung Inti? Gedung dimana keluarga Hibari melakukan rutinitas privasinya selain makan. Well, Tsuna mengetahuinya saat beberapa teman sesama Penjaga Keamanannya datang berkunjung dan membuat suasana kamar yang biasa begitu sepi dan hening, menjadi penuh dengan canda tawa.

Sungguh, terbaring di atas kasur dan dilarang keluar dari kamar membuatnya merasa seperti tahanan rumah. Oh, terimakasih atas ruangan yang ternyata memiliki Kamar Mandi ini, ia jadi tidak punya alasan untuk keluar melihat-lihat Kediaman Utama. Berkesan tidak sopan untuk orang yang tengah menumpang, namun harus diakui tubuhnya memang sudah sembuh dari kemarin, hanya saja... Yah, Kusakabe tetap melarangnya keluar. Katanya, besok bila Tsuna memang benar-benar merasa baikan, ia diperbolehkan untuk keluar dan kembali ke pekerjaan lamanya.

Haah... Kusakabe Tetsuya terasa seperti seorang pengawal super menyebalkan! Well, ia melarang dirinya untuk keluar dari kamar dan selama 2 hari, Tsuna benar-benar bagaikan seperti dipenjara. Terlebih kenyataan bahwa... Hibari Kyoya tidak mengunjunginya kembali. Kyoya hanya terlihat sekali—ketika sang Sawada sadar—dan setelahnya... Sosok itu tak pernah muncul.

Tsuna menghela nafas berat. Meski ia mati-matian menyatakan bahwa ini bertanda bagus—bahwa berarti ini kesempatan untuk tidak terlalu akrab atau dekat dengan keturunan Hibari itu—hatinya justru semakin merasa sakit. Ketimbang memikirkan bahwa betapa bagusnya Kyoya yang tidak berkunjung, Tsuna jauh lebih senang memikirkan bawah sosok itu tengah sangat sibuk dengan perkamen dan beberapa macam kejadian melindungi Namimori. Entah bagaiman, membayangkan Hibari Kyoya yang tengah serius bekerja dan terlihat bersungguh-sungguh dengan apa yang ia lakukan dapat membuat dadanya terasa hangat.

Hibari Kyoya mungkin terlihat seenaknya dan begitu kejam, namun di mata Tsuna, sosok sang Boss terlihat sebagai seseorang yang paling bekerja keras di sini. Ah... Lihat? Sekali lagi, Tsuna benar-benar memuja sosok itu. Bahkan tanpa memamerkan apa yang dilakukannya, Tsuna tidak bisa menahan dirinya untuk selalu mengagumi apapun yang berhubungan dengan Hibari Kyoya.

Lalu...

Tsuna menunduk. Memandang tatami yang menjadi alas pijakannya. Dadanya terasa kosong saat menyadari perasaan kagum itu diiringi dengan rindu yang tak tertahankan. Oh, sungguh, Sawada Tsunayoshi yakini ia bukanlah murid SMA yang sangat labil dalam hal cinta, namun... Entah bagaimana, dirinya yang jelas hampir berusia kepala tiga ini merasa ingin kabur dari ruangan lalu berlari mencari sang reven. Tidak perlu memeluk atau bahkan menciumnya, tidak perlu untuk saling mengobrol, bahkan Hibari Kyoya juga tidak perlu menyadari keberadaannya.

Melihat siluet sosok itu saja... Sudah lebih dari cukup kan?

Grak...

"Yamamoto-san?"

Tsuna tersentak dan reflek mengangkat wajahnya. Jantungnya terasa mencelos saat Kusakabe mendadak muncul dan sudah berdiri di ambang pintunya yang terbuka. Sendirian. Tanpa ada nampan makanan yang biasa menemani. Tsuna mengerjab beberapa kali—mencoba mencerna keberadaan sosok bertubuh besar yang berada di zona pandangnya.

"Ohayou Kusakabe-san," sapa Tsuna seraya memaksakan senyumannya. "Pagi ini... Aku sarapan dengan yang lainkan?"

Kusakabe tersenyum mendengar ucapan itu. Ia menghela nafas dan mengangguk. "Ee, itu sebabnya, bersiaplah," ucapnya kalem—sukses membuat senyuman Tsuna berubah menjadi senyuman tulus. Makan bersama yang lain—di meja yang panjang itu dan bisa melihat wajah... Hibari Kyoya.

"Hai'!"

.

.

.

Duduk di lantai beralaskan tatami dengan sebuah meja super panjang dan besar yang berada di tengah-tengah ruangan, Sawada Tsunayoshi harus mengakui dirinya merindukan suasana ini. Semua orang berkumpul dan menanyakan tentang keberadaannya—bercerita tentang kejadian yang dilewakan si brunette selama keabsenannya, menanyakan kesehatan si anak baru dan yang paling sering di dengar adalah... Betapa tepatnya keputusan Hibari Kyoya memindahkan Tsuna ke gedung yang berbeda selama perawatan.

Tsuna hanya magg dan sedikit demam. Namun semua orang mengira ia jatuh pingsan karena setress dan mengira tempat seperti Gedung Penjaga Keamanan yang biasa selalu ramai oleh celoteh dan canda tawa yang membahana hanya akan mengganggu kesehatan si brunette. Well, tidak sepenuhnya salah bila mengingat biasanya seluruh penghuni tertidur di atas jam 2 malam, tetapi tetap saja. Bila sudah dalam mode mengantuk, berisik atau tidak toh Tsuna tetap akan tertidur.

"Kau hebat sekali Sora! Di saat sakit pun bisa menangkap penjahat!"

"Ah ya, kudengar sebelum pingsan kau menangkap pencuri kan?"

"Hey, hey, apa saat sakit pun kau tetap bisa bertarung? Woah! Kau seperti monster!"

"Nani? Aku bukan monster!"

"Ahahaha... Tetapi kekuatanmu—"

Grak...

Deg!

Bahu sang Sawada mendadak tegang saat mendengar suara pintu yang digeser. Namun, bagaikan telah terprogram dengan baik, tubuh berbalut jas itu langsung mengambil posisi duduk sempurna—mengikuti gerakan penghuni Ruang Makan ini. Dan saat sepasang hazelnya tidak henti memandang sosok yang secara berlahan memasuki ruanga dari ekor matanya, harus Tsuna akui bahwa perasaan rindu yang ada di dadanya seolah menguap.

Sosok bertubuh tegap dengan berbalut yukata hitam itu masih terlihat gagah seperti apa yang ia ingat. Wajah itu tetap tampan, dengan helai hitam yang kontras dengan warna kulit seputih pualamnya. Namun... Ya, Tsuna tahu ada yang berbeda. Sepasang iris metal yang memukau itu terlihat lebih tajam—memancarkan sesuatu yang membuat jantung sang Sawada mencelos. Kemarahan, rasa tidak ingin kalah, lelah dan... Putus asa. Bagaimana semua itu tercetak jelas hanya dengan menatapa sepasang iris kelabu sang Hibari? Bahkan wajah Hibari Kyoya tetap terlihat datar dan kaku bila dilihat sekilas.

Ting...

"OHAYOU GOZAIMASHU HIBARI-SAMA!"

Mengikuti ritual rutin di pagi hari dan meski ia sukses tidak melewatkan setiap ritual yang sudah tubuhnya ingat, irisnya tetap tidak bisa lepas dari sepasang kelabu yang menunjukan kesuraman itu. Dadanya semakin terasa berdenyut sakit saat Kyoya tidak kunjung memandangnya. Hazel itu menyendu. Sarapan pagi ini... Terasa hambar di lidahnya.

.

.

.

Menyelesaikan sarapan yang selalu terasa sunyi dan suram, Tsuna dan beberapa orang langsung berbondong-bondong keluar dari Ruang Makan saat pemipin mereka telah selesai makan dan meninggalkan ruangan. Sungguh, Tsuna rasanya ingin memprotes saat melihat Kyoya yang tidak menghabiskan makannya. Padahal, ia sangat tahu bahwa Kyoya biasanya menghabiskan makannya sampai tidak bersisa. Dan menyadari hal ini mau tidak mau membuatnya semakin merasa... Khawatir.

Apa Kyoya baik-baik saja? Ingin rasanya Tsuna berlari menyusul ke mana arah si reven pergi, namun ia tidak bisa. Tubuhnya digiring menuju ke Gedung Penjaga Kemanan kembali dan tenaganya seolah menghilang begitu menyadari dinding besar yang ia coba buat sebagai batas kedekatan dirinya dan Kyoya.

Ia harus mengesampingkan Hibari Kyoya dan melihat jadwalnya. Ya, setiap Penjaga memiliki waktu dan area yang berbeda. Setiap hari jadwal berbeda akan terpampang setiap kali mereka selesai sarapan. Dan dari sini lah Tsuna tahu di mana tempat ia harus berpatroli. Biasanya akan dibentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 sampai 5 orang dan hal itu memudahkan dalam hal menjaga ruang lingkup wilayah yang cenderung luas.

Eh?

Tsuna mengerjab beberapa kali saat melihat papan yang berisikan jadwal. Alisnya mengernyit saat menyadari keganjalan dari jadwal yang terpampang. Matanya menyipit—memastikan setiap kelompok yang ia baca telah cermat ia baca dan tidak satu pun nama yang terlewatkan.

"Namaku tidak ada," gumam Tsuna—sukses menarik perhatian beberapa mata di sekitarnya. "Sebaiknya aku cari Kusakabe-san dulu," ucapnya—lebih ke diri sendiri dan langsung berlari keluar dari Gedung Penjaga Keamanan menuju lorong panjang penghubung antara gedung tempatnya tidur dengan Gedung Ruang Bersama.

Di gedung itu terdapat Ruang Makan dan juga pusat dari beberapa lorong menuju ke Gedung Utama, Gudang dan gerbang. Tsuna mempercepat langkahnya di lorong kayu—mengabaikan beberapa pelayan perempuan yang mengenakan kimono memandangnya dengan bingung. Semoga saja Kusakabe belum pergi. Biasanya setelah sarapan, Kusakabe akan keluar dari Kediaman atau pergi menemani Kyoya melakukan tugasnya.

Ah!

Senyuman sang brunette langsung merekah saat melihat sosok yang dicarinya berada di Gedung Bersama. Kusakabe terlihat akan berjalan menuju lorong ke Gedung Utama dan berarti, Tsuna harus semakin mempercepat langkahnya. Namun, senyuman di bibir itu menghilang saat melihat sosok lain yang bersama sang Tangan Kanan. Jantungnya kembali berdegub tidak tenang dan tenaganya mendadak terasa menguap. Hibari Kyoya. Tentu saja.

"Ku, Kusakabe—hie!?"

Tsuna refleks menunduk saat sebuah besi silver mendadak nyaris menyerang kepalanya. Dengan cekatan tubuh itu bergerak mundur—menjaga jarak dari sosok pria reven yang tengah menunjukan mood yang buruk. Kenapa mendadak Hibari Kyoya—ah! Tsuna memucat saat menyadari kesalahannya.

Dilarang berlari di lorong!

"Go, gomenasai!" Tsuna membungkuk meminta maaf—merutuki sifat tidak sabarannya hingga melanggar peraturan. Pantas saja Kyoya langsung menyerangnya tadi. "Ta, tadi aku buru-burur jadi—"

Duk!

"Aw!" Tsuna meringis saat pukulan telak mengenai kepalanya. Sakit, tetapi tidak sampai akan membuatnya gagar otak. Meringis seraya memegang kepalanya, sepasang iris coklat itu memandang sang pelaku pemukulan dengan bingung. Kyoya menyeringai—terlihat puas sudah memberikan 'hukuman kecil' untuk si Omnivore yang melanggar peraturan.

Kusakabe tersenyum melihat interaksi kedua pria di depannya. "Ada apa Yamamoto-san?" tanyanya penasaran—membuat Tsuna mendadak teringat kembali tujuannya ingin menghampiri Kusakabe.

"Ah... Itu, kenapa namaku tidak ada di dalam jadwal?" tanya Tsuna bingung. Ia sedikit melirik ke arah Kyoya dan mendapati sang reven juga menatapnya. Pandangan... Yang berbeda saat ia berada di Ruang Makan tadi. Sepasang kelabu itu terlihat lega. Entah karena hal apa. Tsuna menelan liur gugup lalu kembali mengalihkan pandangan ke sosok yang ia berikan pertanyaan.

"Soal itu," Kusakabe melirik ke arah Bossnya lalu kembali melirik ke arah sang Sawada. Ia tersenyum mendapati ekspresi kebingungan Tsuna. "Hari ini kau mendapat tugas patroli bersama Hibari-sama."

Dan Tsuna bersumpah ia mendapati dirinya tidak mampu mengatakan segala hal yang ada di dalam otaknya yang mendadak kalut karena melihat senyuman janggal dari wajah bak preman pasar Kusakabe Tetsuya.

.

.

.

Berjalan di tengah labirin perumahan yang sepi, dengan udara pagi yang berembus lembut dan langit biru yang membentang luas, seharusnya ini menjadi pagi yang pas untuk memulai patroli dengan menyebar senyuman secerah mentari setelah berhari-hari terkurung di dalam ruangan. Namun... Bila mengingat sosok yang berjalan di sampingnya ini adalah Hibari Kyoya, si brunette lebih memilih diam. Bukan, bukan karena jantungnya berdegub kencang, bukan juga karena ia mendadak merasa sangat gugup, ia hanya... Ia hanya mencoba untuk tidak akrab—atau sedikit mencari perkara dengan Kyoya.

Hibari Kyoya bukan tipe yang suka berbasa-basi atau adanya sebuah percakapan yang tidak penting, dan melihat dari ekspresi si reven yang tetap stay datar, membuat Tsuna mulai bertanya-tanya. Ini apa dirinya saja yang kelewat berlebihan karena merasa gugup dan histeris sendiri di saat yang bersamaan atau memang Hibari Kyoya yang memang orangnya kelewat tenang?

Tsuna menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara berlahan. Ia mencoba sedikit menenangkan degub jantungnya yang terus tidak teratur. Setidaknya, ia harus sedikit berpikir rasional. Ya... Dan lagi, kenapa tiba-tiba ia mendapat tugas berdua saja dengan Kyoya? Apa yang pria ini inginkan darinya? Tumben tidak bersama Kusakabe—ah, apa karena Kusakabe sangat sibuk dan dirinya lah yang kebetulan lebih kuat ketimbang yang lain? Alis sang Sawada mengernyit. Tidak... Masih banyak yang lebih kuat, tetapi kenapa justru dirinya yang disuruh?

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Eh?" Tsuna refleks menoleh ke sampingnya. Sepasang iris hazel itu fokus memandang si reven yang melirik ke arahnya sebelum akhrinya memandang ke depan. Alis sang Sawada terangkat bingung lalu ikut memandang ke depan kembali. Apa yang ingin aku tanyakan? Kenapa tiba-tiba Kyoya... Tanpa sadar, Tsuna menelan liur gugup. Sepertinya Kyoya tahu banyak hal yang ingin si brunette katakan.

"Kita akan patroli di mana?" tanya Tsuna jujur. Yah... Tujuan mereka masih belum jelas dan Tsuna belum pernah berjalan ke tempat ini. Sepertinya mereka akan berkeliling pinggir kota karena setahunya, pusat kota berada di lingkungan Vongola Mall sementara arah mereka jelas menjauhi satu-satunya Mall d Namimori ini.

"Lihat saja nanti."

Alis Tsuna terpaut mendengarnya. Untuk apa ia bertanya bila ujung-ujungnya malah dibuat semakin penasaran? "Terus... Kenapa mendadak sekali?" tanyanya kembali. Ia dizinkan bertanya maka si brunette akan memanfaatkannya dengan sangat baik. "Biasanya Hibari-sama dengan Kusakabe-san. Apakah Kusakabe-san sedang sangat sibuk?"

Alis Kyoya terangkat mendengarnya. Irisnya kembali melirik ke samping sebelum akhrinya memandang ke depan kembali. "Iie, aku hanya ingin hanya kita berdua saja yang pergi."

Sepasang hazel itu membola sempurna. Dengan tidak percaya Tsuna menoleh memandang teman ngobrolnya. Irisnya mengerjab beberapa kali mendengar ucapan ambigu yang keluar sebagai jawaban apa yang ia tanyakan. Wajah sang pria mendadak terasa panas saat otaknya mengartikan jawaban yang diberikan Bossnya. Takut ketahuan, Tsuna memalingkan wajah—menyembunyikan rasa malu yang jelas terlihat di wajahnya.

Hibari Kyoya ingin merekah menghabiskan waktu bersama berdua seperti... kencan.

A, ASTAGA! APA YANG AKU PIKIRKAN!?

Tsuna menggelengkan kepalanya cepat—mencoba mengembalikan rasionalitasnya dan menenangkan debaran jantungnya yang kian menggila. Ini tidak baik untuk jantungnya, lama-lama ia yakini bisa terkena serangan jantung di usia muda bila terus dibuat jungkir balik seperti ini oleh Boss tampannya ini. Sedikit berdeham guna menormalkan debaran jantungnya yang meningkat, sang Sawada kembali menatap ke depan. Alisnya terangkat saat menyadari langkah mereka telah memasuki hutan. Bingung, sepasang hazel itu menatap sekelilingnya dengan penasaran. Kenapa mereka masuk hutan? Jadi benar mereka akan menangkap penjahat di dalam hutan? Ini bukan kencan kan? Ini memang bukan kencan kan?

"Apa ada mafia lagi?" tanya Tsuna—curiga kejadian di bukti terulang kembali.

"Iie."

Alis Tsuna terangkat mendengarnya. "Lalu?"

"Lihat saja nanti."

Ish! Serius, ini kata Bossnya ia bebas bertanya,tetapi kenapa Bossnya memberikan jawaban yang justru membuatnya semakin ingin lebih banyak bertanya!? Memutar bola matanya malas, Tsuna memutuskan untuk tidak menanyakan apapun yang berhubungan dengan tujuan atau jalan mereka. Toh Kyoya tidak akan menjawabnya dan justru membuatnya semakin penasaran.

Memilih diam dan dengan setia memandang punggung yang menjadi pemandu jalannya, sepasang hazel itu memandang jas yang dikenakan Kyoya. Irisnya tanpa sadar terfokus memandang kemeja berwarna gelap yang selalu terlihat familier di mata sang Sawada.

"Ne, Hibari-sama suka warna ungu?" tanya Tsuna tanpa sadar. Tsuna refleks menutup mulutnya rapat-rapat. ASTAGA! KENAPA AKU BERTANYA!? Menggeram jengkel dengan mulutnya yang tidak bisa direm, Tsuna berani bertaruh bahwa tindakannya justru akan memancing percakapan antara dirinya dan Kyoya. Okay, jangan salahkan dirinya kenapa bertanya, salahkan Hibari Kyoya yang membuat si brunette menjadi penasaran. Kyoya selalu menggunakan kemeja ungu, apa karena si reven suka warna ungu? Atau kebetulan ia hanya punya warna ungu dan malas menggunakan warna lain? Bukan maksud Tsuna kelewat perhatian, tetapi... Yah, bila kau terus melihat warna dan model yang sama selama seminggu lebih, bagaimana kau bisa tidak penasaran?

"Biasa saja."

"Selain ungu?"

AAAAHHHH!

Tsuna bersumpah ingin membenturkan kepalanya ke pohon terdekat mendapati mulutnya menanggapi ucapan singkat Kyoya begitu saja. Ia refleks—dan hal ini benar-benar menggali lubang kuburannya sendiri. Bukankah seharusnya ia tidak perlu membuat obrolan dengan Hibari Kyoya!? Astaga!

"Semua warna gelap."

Tsuna mengkatupkan mulutnya rapat-tapat—mencegah mulutnya kembali nyinyir untuk bertanya. Tetapi, jawaban yang diberikan Bossnya kembali membuat Tsuna memutar otak. Bila dilihat, memang kemeja Kyoya warnanya ungu gelap. Jadi opsi bahwa Kyoya memang hanya memiliki warna kemeja ungu gelap adalah benar dan lagi yukata yang selalu dipakai juga berwarna gelap. Well, Kyoya memiliki kulit putih, semua warna jelas akan selalu cocok dengannya. Sosok reven ini... Akan selalu terlihat sempurna mengenakan apapun kan?

Tiba-tiba sebuah pertanyaan terbesit di kepalanya. Pertanyaan yang sejak lama ingin Tsuna ajukan. Mumpung Hibari Kyoya juga terlihat menerima semua pertanyaan... Tsuna menelan liur gugup. Mendadak ia dapat merasakan kembali jantungnya yang berdegub tidak nyaman. Sekarang atau tidak selamanya. Ia hanya ingin bertanya dan sungguh, tidak ada maksud untuk akrab dengan Bossnya sama sekali. Tidak ada. Benar-benar tidak ada.

"Kenapa Hibari-sama ingin aku menjadi Penjaga Keamanan?" Tsuna menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara berlahan. Ini saat yang tepat untuk mempertanyakannya kan? "Aku memang bisa Material Art, tetapi bukankah aku hanyalah... Pendatang?" tanya sang Sawada penasaran. Apakah semua itu untuk menyelidikinya? Atau karena... Untuk mengawasinya lebih ketat?

Kyoya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Si reven hanya diam seraya menyingkirkan beberapa semak belukar dan ranting-ranting yang menghalangi jalan mereka. Tsuna menelan liur paksa seraya mengikuti sosok itu dalam diam—tidak ingin mendesak jawaban apapun. Apa yang ia tanyakan jelas, bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab begitu saja dan sepertinya... Kyoya tidak mau menjawab.

"Entahlah."

Apa? Alis Tsuna terangkat mendengar gumaman yang lebih terdengar seperti bisikan itu. Namun, sang Sawada jelas yakin sosok pemimpin jalannya ini memang berkata 'entahlah'. Memangnya entahlah kenapa? Apa karena keputusan itu diambil secara... Spontan? Tanpa memikirkan atau memperdulikan kemungkinan Tsuna adalah mata-mata yang berniat menyerang dan menghancurkan klan Hibari? Jawaban super pendek itu menimbulkan beribu spekulasi dan pertanyaan baru yang dalam hitungan detik, kembali bertumpuk di kepala si brunette.

"Aku cuma mau kau berada di dalam Klan Hibari," ucap sang reven. Alis Tsuna mengernyit mendengarnya. Jawaban itu masih lah sangat tidak menjelaskan apapun. Apakah Tsuna seharusnya sudah cukup mengerti? Tidak... Ia benar-benar tidak mengerti. Kyoya mau Tsuna masuk Klan Hibari sudah jelas karena kemauan bungsu Hibari ini kan? "Dan bila perlu, margamu juga berubah menjadi Hibari."

"Huh?"

Kyoya mendengus mendengar nada kaget yang diucapkan pria yang ada di belakangnya. "Bukankah lebih bagus marga Hibari?" ucapnya membela diri—sukses membuat sang brunette kehabisan kata-kata hanya untuk menerjemahkan maksud dari pemandu jalannya ini. Apa maksud Hibari Kyoya!? Marganya berubah—diubah maksudnya!? Huh? Kenapa Kyoya ingin—

"Apa maksud Hiba—"

"Jangan panggil aku dengan embel-embel -sama lagi," sela si reven. Ia menghentikan langkahnya—membuat Tsuna yang dibelakang mau tidak mau ikut berhenti. Dan mendadak, sosok bertubuh lebih besar dari si brunette itu berbalik seraya memamerkan sebuah seringa di wajah tampannya. "Panggil aku Kyoya, Omnivore."

Deg!

Sepasang hazel itu membola sempurna saat melihat jalan yang dibukakan sang reven untuk dirinya. Cahaya matahari menyinari padang himawari yang ada di samping sosok berjas hitam itu. Diiringi dengan hembusan angin yang menggoyangkan bunga besar dengan batang yang tebal itu, Sawada Tsunayoshi mendapati dirinya justru terpukau dengan senyuman penuh kepuasan yang terukir di wajah tampan berhiaskan sepasang metal di hadapannya.

Dengan dilatar belakangi padang bunga matahari, sosok Hibari Kyoya yang membelakangi cahaya dan bersembunyi di bawah bayang-bayang pohon terlihat jauh lebih indah. Cahaya matahari terlihat memanjang dan mengintip di sela-sela dedaunan—mencoba menyentuh permukaan kulit seputih pualam sang reven. Terlebih senyuman itu tetap terukir—mempertegas keindahan yang apa matanya tangkap. Sungguh, mengutarakan sosok ini dengan kata-kata takkan sanggub Tsuna lakukan karena akan ada berjuta puitis dan sair yang akan menghabiskan ribuan lembar kertas. Ia mengagumi Hibari Kyoya dan hal itu... Adalah mutlak.

"Kirei..."

Senyuman sang reven semakin mengembang melihat reaksi memuaskan dari sosok brunette di depannya. Sungguh, Kyoya benar-benar tidak menyadari bahwa sepasang iris coklat itu memandang penuh kagum ke arahnya, bukan ke arah padang bunga yang ia tunjukkan.

Tidak ingin membuang-buang waktu, Kyoya langsung berbalik dan melompat menuju padang himawari—sukses membuat Tsuna mengerjab kaget karena objek pandangannya menghilang. Dalam seketika, ia tersadar dari lamunanya dan menatap panik sang reven yang telah meninggalkannya. Si brunette mendekati jalan yang dibuat Kyoya, lalu menunduk memandang ketinggian yang harus ia lompati.

Oh... benar-benar berbahaya. Bila tidak tahu tentang ini, sudah pasti kepalanya akan berdarah. Well, ketinggiannya sekitar 1 meter dengan dasar tanah yang agak berbatu dan itu sangat menjelaskan kenapa semua Himawari ini terlihat lebih pendek. Melompat turun dengan agak berhati-hati, Tsuna memandang ke depan dimana Kyoya terlihat menunggunya di tengah padang bunga.

Dapat Tsuna rasakan perasaan mengelitik di ulu hatinya saat melihat sosok itu berada di tengah ratusan bunga Matahari. Rasa-rasanya... Ini seperti surga. Sungguh, apa ini benar bukan mimpi? Tsuna sudah terbangun kan? Ini nyata kan?

Tsuna mencubit tangannya sendiri—membuatnya meringis karena merasakan sakit. Okay, ini sakit, berarti ini... Benar-benar nyata. Menelan liur paksa, dapat irisnya lihat Kyoya masih di sana. Berdiri seraya menikmati sendiri angin yang berhembus kencang dengan cahaya matahari pagi yang hangat. Dapat ia rasakan debara di dadanya kian kuat—semakin mempertegas perasaan yang semakin besar dan menguap.

Sudahlah... Tsuna benar-benar sudah tidak perduli lagi. Ia menyerah. Sungguh, kali ini, untuk sekali ini saja, ia tidak ingin melarikan diri dari perasaannya. Ya, Tsuna tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sama. Ia tidak mau menjadi pengecut kembali dan mati-matian menyembunyikan apa yang hatinya rasakan. Maka... Ketimbang menekan dan menahannya untuk terus tumbuh, bukankah lebih baik ia membiarkannya dan melihat keindahan apa yang akan tersaji di hadapannya?

Senyuman merekah di belahan bibir itu. Ya, ia sudah memutuskan untuk menerima perasaan ini. Entah apa yang ada di dadanya ini akan tumbuh atau layu, Tsuna tidak perduli. Yang ia perdulikan sekarang hanya satu. Ia mencintai Hibari Kyoya.

Tanpa mau membiarkan Kyoya berpesta sendirian, dengan segera Tsuna berlari mendekati si reven. Ternyata tidak terlalu mudah melewati bunga-bunga indah ini. Ia mati-matian harus memastikan pijakannya tidak membuat salah satu batang terinjak dan merusak keindahannya.

"Ne," Kyoya membuka kedua matanya saat mendengar nada ceria yang mengalun di sebelahnya. Ia menoleh—menatap wajah manis yang merona di sampingnya. "Karena aku dipaksa, jadi... Baiklah, Kyoya-kun."

Dan Hibari Kyoya mendapati jantungnya berdegub lebih kencang saat nama kecilnya dipanggil dengan nada penuh kebahagiaan seperti itu. Membuat sang reven tidak bisa menahan diri untuk mengusap lembut helai kecoklatan itu dan memamerkan senyuman yang sedikit pun tidak bisa ia tahan.

.

.

.

Puas bersenang-senang di padang Himawari yang begitu indah, Kyoya mengajak si brunette berpindah tempat. Mereka sedang patroli ne? Jadi keduanya hanya sama-sama mengelilingi padang bunga yang entah berapa hektar itu seraya menikmati pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Sungguh, seandainya tidak ingat waktu, Tsuna pasti sudah protes saat Kyoya mengajaknya untuk meninggalkan tempat itu.

"Kita akan ke mana lagi, Kyoya-kun?"

Oh sungguh, Tsuna benar-benar menyukai sensasi saat menyebutkan nama kecil sang reven. Hatinya selalu terasa tergelitik setiap nama itu terucap. Terlebih dengan tangan besar yang menggandengnya tanpa sungkan. Terserah dengan perasaannya kepada Hibari Kyoya, Tsuna sudah sangat tidak perduli. Yang ia perdulikan sekarang hanyalah satu. Menikmati waktunya bersama si reven dan membuang semua kebohongan yang ia miliki. Terserah bila Hibari Kyoya mengetahui perasaannya, toh tanpa dikatakan pun, bukankah Kyoya memiliki perasaan yang sama seperti apa yang ia miliki? Mereka bukan anak SMA yang akan malu-malu menunjukan perasaan cinta mereka, mereka bukan remaja yang begitu labil akan perasaan. Mereksa sama-sama dewasa, sama-sama mengerti tentang apa yang harus mereka lakukan saat ketukan perasaan ini menyapa.

"Rahasia."

Oh, sepertinya Hibari Kyoya menyukai permainan rahasia-rahasiaan. Namun kali ini, Tsuna tidak bisa protes. Ia justru semakin dibuat tersenyum mendengar jawaban Kyoya. Kejuatan macam apa lagi yang akan si reven gunakan? Tidak perlu memikirkan terlalu dalam segala hal, Tsuna sangat tahu sekarang Kyoya hanya berniat mengajaknya kencan—dengan dalih berpatroli bersama. Bagus, benar-benar pemaksaan yang pintar.

Memandang sekitarnya dengan penuh minat, Sawada Tsunayoshi harus mengakui mood yang bagus membuat suasana hutan di sekitarnya juga terlihat indah di matanya. Suara burung-burung bernyanyi yang memerdukan pendengaran, teduhnya pepohonan dengan gemerisik suara dedaunan yang saling bergesek dikala angin yang sejuk berhembus, dan garis cahaya matahari yang terlihat memanjang mengintip dari sela dedaunan. Oh, sungguh, kenapa ia tidak menyadari suasana menyenangkan ini? Bahkan saat diam seperti ini, suasana di sekitarnya justru terasa lebih membuatnya nyaman.

Tsuna menarik nafas dalam lalu menghembuskanya secara berlahan. Segar... Rasanya memang benar-benar segar menghirup udara di tengah hutan yang bersih akan polusi ini. Paruh-paruhnya pasti sudah sangat bersih dari polusi berkat berada di kota kecil ini selama seminggu lebih. Ketenangan, bersama dengan sosok yang membuat dadanya selalu terasa hangat dan hidup ini membuat si brunette benar-benar merasa bahagia.

"Hayato yang kau bicarakan," Kyoya tiba-tiba buka suara—membuat Tsuna yang tengah mengobservasi sekitarnya refleks menoleh ke samping. Kyoya tidak menatapnya—pria itu fokus memandang ke depan. "Orang yang seperti apa?"

Ah... Kyoya penasaran ternyata. Mengalihkan pandangan, senyuman semakin mengembang di bibirnya saat sadar si reven sangat ingin tahu sosok Hayato baginya. Bukankah sebenarnya Kyoya bisa mencari informasinya sendiri? Err... Sebenarnya itu lebih berbahaya bila sampai Kyoya melakukan hal itu, namun yah... Untunglah si reven menanyakan langsung kepadanya. Tetapi kepala Tsuna tidak henti berpikir sesuatu yang mengelitik ulu hatinya Apa Hibari Kyoya cemburu? Entah kenapa hal ini membuatnya merasa senang.

"Hayato-kun orang yang terlalu overprotektif denganku... Kami teman masa kecil dan saat kedua orang tuaku meninggal, dia jadi... Yah, selalu menjadi seseorang yang selalu di sisiku. Mungkin bisa dibilang, ialah segalanya untukku—satu-satunya orang yang paling berharga untukku," sepasang hazel itu menyendu—menerawang sahabat dan saudara baginya itu. Uh... Tsuna jadi merindukan pria itu. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah Takeshi menjaga Hayato dengan baik? "Dia cinta pertamaku," aku Tsuna. Lalu ia terkekeh saat teringat betapa patah hati dirinya hingga membuatnya seperti orang bodoh. "Tetapi aku patah hati."

"Ho?" sebelah alis Kyoya terangkat—tertarik saat mengetahui si brunette dibuat patah hati.

"Yah, aku tidak menyatakan perasaanku dan... Err... Hayato justru jatuh cinta dengan sahabat karibku dan mereka berpacaran," Tsuna menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya. Astaga... Bagaimana bisa ia menceritakan semua ini dengan enteng? Tidak ada kesedihan saat ia mengutarakannya, seolah-olah semua itu hanyalah hal yang terlalu klasik namun di saat yang sama juga lucu. "Tidak ada yang tahu aku jatuh cinta dengan Hayato, semua orang mengira aku hanya gila kerja dan olahraga tanpa tahu aku patah hati. Yah... Pengalihanku sangat berguna bukan?" Tsuna langsung merenggangkan ototnya. Ia menyeringai. "Gantinya aku jadi jago Material Art, padahal sebelumnya aku sangat anti kekerasan."

Kyoya mendengus. Jadi di situ asal muasal si brunette ini kuat sekali? Patah hati dan ketimbang bermuram durja, ia memilih meningkatkan rutinitasnya? Benar-benar pengalihan yang bagus.

"Tetapi ternyata perasaanku tidak berubah," Tsuna menghela nafas berat. "Saat itu, temanku berkata ingin melamar Hayato-kun dan aku benar-benar patah hati. Dunia seolah hancur bila membayangkan mereka akan menikah. Kyoya-kun tahu dengan sifat buta arahku kan? Karena melamun... Tanpa sadar aku menaiki Bus dan malah sampai ke halte Namimori. Padaha aku sudah memohon ke Supir Bus agar kembali tetapi supirnya tidak mau dan menyuruhku menunggu sampai besok," Tsuna menggelengkan kepalanya teringat kerjadian di malam itu. Ia benar-benar merasa lelah secara mental dan fisik.

Si reven langsung teringat dengan halte Namimori. Meski namanya Halte Namimori, nyatanya Halte itu berada di luar wilayah Namimori. Bahkan dari kota menuju Halte itu saja membutuhkan 1 jam perjalanan menaiki kendaraan roda empat.

"Supir Bus bilang ada kota di dekat Halte, tetapi aku tidak disarankan ke sana," Tsuna mengernyitkan alisnya. "Tetapi ketimbang harus tidur di Halte yang berada di tengah hutan, aku lebih memilih ke kota. Kupikir jaraknya dekat, tetapi ternyata sangat jauh. Bahkan tidak ada kendaraan yang lewat!" Tsuna horror—teringat betapa menderitanya dirinya. Oh, ia bahkan kelaparan dan magganya kambuh. Hebat, bahkan setelah muntah beberapa kali, Tsuna tetap keras kepala melanjutkan jalannya dan bahkan sempat bekerja untuk Sasagawa bersaudara. "Lalu aku bertemu dengan Sasagawa bersaudara. Mereka menolongku dan mengajakku ke kota. Ah, tetapi sebelumnya, mereka mengajakku ke Pos Polisi," Tsuna melewatkan bagian mayat. Oh, sungguh, ia tidak mau mengingat hal itu.

"Hmn...," Kyoya bergumam. Ia hanya bertanya tentang Hayato dan Tsuna menceritakan semua hal kepadanya. Oh, pria di sampingnya ini benar-benar suka bercerita sepertinya. Dan melihat dari caranya berbicara, dengan mudah si reven menebak bahwa mood pria ini benar-benar sangat bagus. "Apa kau menyukai anak-anak?"

Alis Tsuna terangkat mendengar pertanyaan itu. Kenapa mendadak Kyoya menanyakan tentang anak-anak? "Ee, suka. Kenapa?" tanyanya bingung. Yah... Salah satu alasan kenapa Tsuna mengangkat Fuuta menjadi adiknya dan menggunakan nama Sawada. Fuuta sosok yang sedikit memiliki kemiripan fisik dengannya, dan tanpa pikir panjang Tsuna memutuskan untuk mengadopsinya. Ah... Ia jadi merindukan Fuuta, terutama dengan panggilan 'Tsuna-nii'nya.

"Hari ini jadwalku berkunjung," ucap Kyoya—sukses membuat sepasang hazel itu membola sempurna. Refleks Tsuna langsung memandang ke depan kembali. Irisnya dengan mudah menangkap bangunan besar yang ada beberapa meter di depan mereka. Dan apa yang terlintas di dalam kepalanya ternyata memang benar adanya.

Panti Asuhan!

.

.

.

Sosok yang hanya mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratas yang di buka itu terlihat tertawa bersama 3 orang anak-anak yang mengelilinginya. Kedua lengan panjang sang pria di gulung hingga sikut—membuatnya lebih leluasa untuk bergerak dan menikmati permainan bersama ketiga malaikat kecil yang menurutnya, sangat manis.

Mengawasi di bawah teduhan pohon, si reven hanya bisa bersedekap dada memandang lapangan rumput yang sangat luas itu didominasi oleh anak-anak yang tengah bermain. Ada beberapa permainan di halaman luas ini hingga menambah semangat para manusia mungil itu untuk keluar dari ruangan dan menikmati cahaya matahari. Menyandarkan tubuh di batang pohon yang kokoh, si reven ketahui ia bukanlah tipe orang yang menyukai anak-anak. Namun, melihat senyuman dan tawa lepas si brunette yang tengah bermain dengan banyak anak-anak di sekitarnya mau tidak mau membuat pria tampan ini tidak merasa bosan.

Keputusannya untuk membawa Tsuna ke tempat ini jelas bukanlah keputusan yang salah. Ia agak berbohong bahwa ini adalah jadwal rutinnya berkunjung. Nyatanya Kyoya hanya berkunjung sebulan sekali—saat ia memberikan pakaian untuk mereka semua. Yah... Meski menjadi donatur inti, bukan berarti Kyoya sangat menyukai anak-anak. Ia suka dengan mereka, namun bukan berarti mau bermain bersama dengan wajah-wajah polos itu. Menyadari wajahnya yang cenderung menakutkan dan sifatnya yang tempramental, Kyoya sadar diri bahwa ia tidak cocok dengan anak kecil. Terlebih yang kelewat hyperaktif dan berisik.

Kyoya memandang jam yang ada di tangannya. Alisnya terangkat saat melihat sudah waktunya makan siang. Sepasang kelabu itu refleks memandang ke arah belakang—memandang bangunan besar 5 lantai yang mirip asrama walau sebenarnya, itu adalah Panti Asuhan. Menjadi satu-satunya Panti Asuhan di kota berarti juga harus siap menampung banyak sekali anak-anak yang tidak memiliki orang tua kan?

"Minna~" seorang perempuan berambut hitam pendek keluar dari dalam bangunan. Tubuhnya mengenakan celemek—berteriak mengundang perhatian semua orang yang berada di halaman berukuran setengah Lapangan Sepak Bola. "Sudah waktunya makan siang, semuanya masuk!" perintahnya dan sukses membuat semua anak kecil menghentikan aksi bermain mereka dan berlarian memasuki pintu ganda yang terbuka itu dengan penuh semangat.

Melihat semua anak-anak yang berlarian menuju Panti, Tsuna mau tidak mau ikut berlari. Ia melangkah menuju sosok yang berteduh di bawah lindungan pohon. Senyuman sang Sawada terus mengembang saat sampai di depan Kyoya.

"Mereka benar-benar terlalu enerjik!" Tsuna tertawa seraya mengelap keringat di pelipisnya dengan punggung tangan. "Aku benar-benar lupa bahwa hari ini hari minggu, pantas saja mereka semua banyak yang masih berada di Panti dan tidak sekolah."

"Hmn...," Kyoya hanya bergumam seraya mengambil rerumputan yang menempel di helai kecoklaan itu. "Sudah waktunya makan siang," infonya—membuat Tsuna mau tidak mau menghela nafas. Sepertinya Kyoya memang masih khawatir dirinya sakit. Yah... Tetapi perutnya memang sudah minta makan sih...

"Kita makan di mana?" tanya Tsuna tertarik. Biasanya ia diberikan makan geratis oleh penduduk yang ia bantu. Okay, kenapa lama-lama Tsuna semakin merasa mirip gembel ya di kota kecil ini? Mendapat makanan karena sumbangan. Terdengar menyedihkan, namun dalam prakteknya tidak seburuk apa yang dipikirkan.

"Yamamoto-san, Hibari-san."

Kedua pria itu sama-sama menoleh ke sosok perempuan berambut bob sebahu yang menghempiri mereka. Perempuan cantik itu tersenyum mendapat perhatian kedua pria tampan yang berkunjung hari ini. "Bagaimana bila kalian bergabung dengan kami? Haru sudah memasak makanan yang banyak untuk kalian," tawarnya ramah. Perempuan bernama Miura Haru itu memang Kepala di Panti Asuhan. Wanita cantik dengan senyuman hangatnya itu masih sedikit memiliki hubungan darah dengan Kyoya—membuatnya sedikit pun tidak terpengaruh dengan aura 'kesadisan' sosok yang juga teman masa kecilya itu.

Tsuna melirik ke arah Kyoya mendapati tawaran itu—meminta persetujuan dari si reven. Tidak perlu diberitahu juga ia sudah tahu Kyoya tidak menyukai anak kecil. Well, berada di kerumunan saja membuat si reven terlihat bad mood, apa lagi kerumunan anak kecil yang berisik dan hyperaktif? Oh sungguh, Tsuna benar-benar tidak mau merusak suasana. Namun... Ia sungguh ingin makan bersama dengan para malaikat kecil itu. Pasti menyenangkan bisa mendengar celoteh riang mereka dan ekspresi menggemaskan saat mereka makan dengan mandiri namun mulut yang belepotan makanan.

"Hn."

Dan gumaman singkat itu sukses membuat si brunette tersenyum senang. Ah... Hibari Kyoya benar-benar memanjakannya hari ini.

.

.

.

"Jaa ne Oniichan!"

"Jangan lupa datang lagi Niichan!"

Tsuna tertawa seraya melambaikan tangannya kepada segerombolan bocah-bocah yang mengantar kepergian mereka berdua. "Jaa minna!" terianya senang lalu dibalas lambaian dari para anak kecil itu. Si brunette terkekeh seraya berbalik dan menghadap ke depan dengan normal, irisnya melirik ke samping dimana sosok reven terlihat hanya diam dengan aura super suram yang menyelimuti.

Oh, sungguh, mendapati Hibari Kyoya tidak mengamuk di dalam Panti Asuhan saat mereka sedang menikmati makan siang merupakan hal yang sangat luar biasa bagi Tsuna. Bagaimana tidak? Para anak-anak itu mungkin sudah belajar untuk tidak mengganggu si reven, tetapi... Hei! Berada di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan gerombolan bocah-bocah, ditambah teriakan dan sikap mereka yang kelewat hyperaktif sungguh sesuatu yang sangat membuat Hibari Kyoya tidak tahan.

"Gomen ne, kau pasti tidak nyaman," Tsuna tersenyum bersalah melihat kerutan di dahi si reven. Sepasang iris kelabu itu melirik ke arah Tsuna sebelum akhirnya menghela nafas lelah. Tidak ada kata yang keluar dari Kyoya dan Tsuna tahu sosok ini memerlukan ketenangan, jadi ia lebih memilih diam seraya memandang sekitarnya. Mereka berjalan di jalan bebatuan yang belum di aspal. Terlihat pepohonan yang meneduhi perjalanan mereka, membuat hari yang seharusnya panas jadi terasa sangat menyejukkan.

Setalah ini kita akan ke mana?

Bila Tsuna menanyakan hal itu, dengan mudah Kyoya pasti akan menjawab rahasia. Tsuna tersenyum kecil. Ya, biarlah tujuan mereka menjadi rahasia dan buatlah dirinya terkejut dengan semua hal yang si reven tunjukkan. Ah... Baru setengah hari, Hibari Kyoya sukses membuatnya benar-benar merasa senang seperti ini. Bukankah ia harus memberikan sedikit balasan?

Sepasang iris hazel itu melirik ke sampingnya, menatap sosok reven yang masih berkutat dengan acara berdiam diri. Dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, Tsuna memperhatikan sosok itu. Tubuh tegap yang berbalut kemeja gelap itu terlihat sexy dengan leher berwarna putih dan bagian lengan kemeja yang di gulung hingga sikut. Oh, jangan lupakan dua kancing teratas yang di lepas juga dasi yang dilonggarkan—memamerkan leher seputih pualam yang... menggoda.

Tsuna menelan liur paksa. Matanya jadi tidak bisa berhenti menelusuri setiap lekuk tubuh pria yang begitu sempurna ini. Wajah yang tampan, dengan belahan bibir tipis yang sedikit pucat. Bibir tipis itu sedikit terbuka—membuat sang brunette dengan jelas melihat gigi putih yang mengintip dari sela belahan itu. Bagaimana rasa bibir bungsu Hibari? Apakah lembut? Manis? Tadi Kyoya meminum jus jeruk, apa rasanya akan seperti jeruk? Dan saat bibir yang tipis itu menekuk hingga membentuk sebuah seringai, dalam hituang detik sang Sawada tersentak.

"Apa yang kau lihat?"

HIIIIEEEE!

Tsuna refleks memalingkan wajah sebelum wajahnya yang memerah sempurna terlihat Kyoya. A, astaga! Sumpah! Rasanya benar-benar malu ketahuan memperhatikan dengan pikiran kotor seperti itu! Dirinya bahkan tidak pernah berpikir sampai sejauh itu ke Hayato! Ya ampun, aku mesum sekali!

"Na, nandemo nai!" Tsuna merutuki suaranya yang tergagap. Dapat ia dengar suara dengusan Kyoya—sukses membuatnya semakin merasa panik. Apa Kyoya tahu apa yang ia pikirkan? Apa—Aih... Bukankah mereka sama-sama pria dewasa? Tsuna menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya. Apa yang ia pikirkan bukankah sesuatu yang... Normal? Mencintai seseorang hingga rasanya ingin menyentuh mereka. Ini bukanlah sebuah nafsu yang hanya untuk memusakan hasrat biologis, namun ini adalah hasrat untuk saling menunjukan perasaan cinta. Bukankah itu yang namanya... Bercinta? Tsuna tersenyum saat teringat beberapa mimpinya yang tidur dengan si reven. Apa Kyoya juga memimpikannya?

Tetapi tetap saja... Uh, bukankah sangat memalukan dan canggung walau sama-sama dewasa? Tsuna bukan tipe yang berpengalaman dalam hal itu—ah, ia bahkan belum pernah melakukannya meski akan banyak sekali wanita atau bahkan lelaki yang rela memberikan tubuhnya secara cuma-cuma. Tidak, dulu ia terlalu fokus dengan Hayato hingga tidak pernah memikirkan cara ekstream bersenang-senang seperti sex bebas. Dan dalam hal ini... Tsuna jelas masih perjaka.

DOR!

Sepasang hazel itu membola sempurna saat mendengar suara tembakan. Belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, tahu-tahu tautan di tangannya terlepas. Tubuhnya diselimuti oleh sebuah jas dan diseret untuk bersembunyi di sebuah pohon yang paling besar di dekat mereka. Dapat ia rasakan tubuh Kyoya memeluknya—melindunginya dari serpihan kayu bekas tembakan. Tsuna membatu saat hujan tembakan datang tanpa jeda. Otaknya dengan mudah menebak situasi mereka.

Mereka diserang.

Si brunette menggeretakkan gigi. Ada perasaan marah saat kencannya diganggu. Dengan segera tangannya merogoh saku dan menggunakan sarung tangan kulit. Kyoya yang melihat Tsuna yang sudah bersiap langsung melepaskan pelukannya dan kembali berfokus dengan arah datangnya tembakan.

"Alihkan mereka," Kyoya melepaskan jas anti pelurunya dan menaruhnya di kepala si brunette. Membuat Tsuna mengernyitkan alis saat menyadari 2 jas anti peluru kini berada di tubuhnya. "Pindah ke pohon itu," si reven menunjuk pohon yang lebih besar yang agak jauh dari tempat mereka.

"Tetapi jas—"

"Jangan membantah," sela Kyoya. Ia menunduk lalu mengeluarkan kedua tonfanya. Sepasang hazel itu membola sempurna. Tsuna menjadi peralihan dengan dua jas anti peluru sementara Kyoya yang menyerang dan tanpa perlindungan sama sekali? Padahal mereka jelas-jelas memiliki senjata api? Terlebih jumlah mereka masih belum jelas berapa orang!

"Kyoya-kun," Tsuna memohon. Irisnya memandang Kyoya dengan takut—sukses mengalihkan sepasang kelabu itu dari persiapannya untuk menyerang. Tangannya dengan mudah menyingkirkan jas yang ada di kepalanya. "Aku—"

"Omnivore," Kyoya menyela. Ia kembali memasangkan jas itu di kepala si brunette. Bila kepala sampai terkena tembakan, kemungkinan hidup benar-benar kecil dan Kyoya sungguh tidak mau sampai itu terjadi. "Kau meremehkanku?" Tsuna langsung menggeleng saat mendengarnya. Kyoya menghela nafas. "Kita tidak punya banyak waktu, pohon ini tidak akan bertahan lama."

Tsuna menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya saat perasaan tidak terima seolah menghantam dada. Ia tahu, Kyoya sangatlah kuat dan lebih berpengalaman dalam hal ini. Menghela nafas, si brunette mengangguk—menyetujui ide dari si reven.

Kyoya bernafas lega. Mereka tidak punya waktu untuk berdebat dan untungnya Tsuna tidak benar-benar akan membuatnya kesulitan. Mengerti akan posisi masing-masing, mereka sama-sama memunggungi. Tsuna yang akan berlari dan Kyoya yang akan merayap di semak-semak.

"Go!"

Dan tanpa persiapan apapun, Tsuna langsung berlari menembus semak-semak dan ranting yang menghalanginya. Beberapa tembakan mengenai pohon di sekitarnya—membuatnya meringis saat serpihan kayu terbang melukai kulit wajah. Namun Tsuna mengabaikan hal itu. Ia terus berlari hingga kakinya sampai di pohon besar yang tadi ditunjuk.

Menyandarkan punggung ke pohon yang menjad pelindungnya, sepasang hazel itu mencoba mengintip dari mana arah tembakan. Irisnya fokus memandang ke satu titik di sebrang jalan dimana sumber tembakan berasal. Ia menggeram saat menyadari beberapa tembakan masih di arahkan ke pohon tempatnya semula berlindung. Lebih dari dua sepertinya yang menembak. Dan saat Tsuna menatap ke arah Kyoya merangkak, ia harus menahan decak kagumnya saat menyadari si reven telah merayap dengan cepat dan tanpa celah sedikit pun. Pria itu sekarang berjongkok di balik pepohonan yang lain—berjarak sangat jauh dari tempat mereka semula bersembunyi.

Membungkuk seraya mengambil banyak kerikil, Tsuna langsung membungkuk dan bersiap untuk berlari. Irisnya memandang ke arah si reven yang juga memandangnya. Pria itu mengangguk dan dengan segera si brunette melemparkan kerikilnya ke semak-semak di dekat pohon tempatnya pertama kali bersembunyi lalu dengan kecepatan penuh kembali berlari guna berpindah pohon.

DOR! DOR! DOR!

Hujan tembakan mengarah ke tubuhnya dan tempat ia melempar kerikil. Tsuna meringis saat kupingnya terasa berdengung dengan suara tembakan yang mencoba membunuh. Dan saat tubuhnya berhasil belindung di sebuah batu besar, Tsuna kembali melemparkan kerikil ke semak-semak—membuat kamuflase seolah-olah seorang lagi tengah membungkuk berlari di semak-semak. Beberapa tembakan diarahkan ke tempat ia melempar kerikil—membuat si brunette melemparkan beberapa kerikil terakhir ke dekat pohon kedua ia bersembunyi.

Orang-orang itu jelas sangat tahu berapa jumlah orang yang mereka serang. Pasti mereka sudah mengintai dan mengincar Tsuna juga Kyoya sejak di jalan tadi. Sepasang mata coklat itu memandang nanar ke arah partnernya tadi terlihat. Senyumannya merekah mendapati Kyoya sudah tidak berada di sana kembali. Ah... Hibari Kyoya benar-benar profesional, bagaimana bisa sosok itu dengan mudah menyebarang tanpa ketahuan sama sekali? Kyoya bukan ninja yang tiba-tiba bisa menghilang kan?

Tidak ingin membuang waktu, Tsuna langsung mengaktifkan jam tangannya. Hanya 2 orang yang bisa ia hubungi dengan jam ini. Kyoya dan Kusakabe.

"Ya? Ada—kalian diserang?"

Jelas, suara tembakan sepertinya terdengar hingga membuat Kusakabe langsung mengetahui dengan jelas kenapa Tsuna menghubungiya. "Ee," Tsuna membenarkan. "Sekitar lebih dari 2 orang, kami tidak tahu pasti," jelasnya.

"Wakatta, aku akan membawa beberapa orang sesegera mungkin."

Dan kontak pun diputuskan. Tsuna tidak perlu memberitahukan posisinya, toh GPSnya dengan jelas akan memberitahukan posisi mereka.

Hening.

Sepasang hazel itu refleks langsung memandang ke arah tembakan saat menyadari tembakan mendadak terhenti. Apakah Kyoya berhasil? Memegang sebuah batu yang agak besar, Tsuna membungkukan tubuhnya—bersiap-siap melindungi si reven bila sosok itu ternyata tidak berhasil.

DOR! DOR!

Suara tembakan diiringi dengan suara besi yang beradu membuat jantung Tsuna mencelos. Genggaman di sebongkah batu kian menguat diiringi dengan kecemasan yang kian memuncak. Apa yang terjadi!? Sungguh, dirinya jadi gemas sendiri mendapati semak-semak tinggi sukses menghalangi pandangannya.

DOR!

Sepasang hazel itu membola sempurna saat mendapati tembakan yang berasal dari arah yang berbeda. Refleks Tsuna langsung memandang ke sumber suara. Matanya menyipit saat menyadari sosok lain bersembunyi di atas pohon. Ini berbahaya. Ada Snipper yang lain, namun bagusnya sosok itu fokus dengan Kyoya—tidak menyadari Tsuna yang langsung membidiknya. Dengan memperkirakan berat batu dan arah angin, tanpa banyak menunggu kembali Tsuna langsung keluar dari persembunyiannya dan melempar batu yang ada di tangannya.

Trak!

Batu itu sukses mengenai pistol yang dipegang si penembak hingga membuat pistol yang dipegang jatuh ke atas tanah. Tsuna langsung mengambil beberapa batu kembali dan berlari mendekat lalu melemparnya sebelum sosok itu mengambil pistol yang baru.

Duk!

Kedua batu sukses mengenai kepala sang Snipper. Membuat sosok berpakaian serba hitam itu kehilangan kesimbangan dan jatuh dari pohon. Tsuna langsung mempercepat langkahnya menuju pohon itu. Dan saat kakinya sampai di tempat sosok Snipper yang terjatuh, sepasang hazelnya membola sempurna.

Sosok dengan darah yang mengalir pada bagian pelipis wajahnya itu memandang Tsuna. Menyeringai, sosok serba hitam itu mengarahkan moncong pistol ke arah pria yang melemparinya batu.

DOR!

Tsuna meyeringai saat batu yang ia pegang refleks langsung ia lempar hingga kembali mengenai kepala Snipper itu. Memanfaatkan kesempatan, si brunette langsung meninju pria berpakaian hitam itu tepat di bagian ulu hati hingga membuatnya tidak sadarkan diri dalam seketika. Menggeram gemas, Tsuna meninju wajah yang tidak sadarkan diri itu lalu dengan segera mengikat kedua tangan itu dengan sulur pohon yang kuat.

Menggeledah tubuh itu dengan teliti, Tsuna mengambil semua senjata yang dimiliki sosok yang tengah tidak sadarkan diri itu. Ia meringis saat menggerakkan bahunya yang terkena tembakan. Oh, terimakasih dengan jas anti peluru ini, ia jadi tidak menerima tembakan itu secara langsung. Namun, jelas, akan ada memar di bahunya. Sosok itu menembaknya dengan jarak dekat dan beruntungnya, salah membidik sasaran. Kenapa Snipper ini tidak menembak ke arah kepalanya saja langsung? Tsuna horror—tidak ingin membayangkan hal itu terjadi.

"Kau terluka?"

Tsuna refleks menoleh saat mendengar suara berat yang dinantinya. Sepasang iris coklat itu menatap tidak percaya apa yang ia lihat. Jantungnya terasa mencelos melihat warna yang lebih gelap terlihat di bahu si reven—memamerkan lubang pada bagian kemeja dengan cairan yang mengeluarkan aroma besi karat.

"Kyoya-kun!?"

.

.

.

"Omnivore, kau terlalu berlebihan," gumam Kyoya—habis kata-kata melihat tingkah sang Sawada yang tidak henti mengekorinya. Lebih dari itu, bungsu Hibari yang tengah berbaring di futonnya harus menahan rasa gemas saat sosok brunette itu memilih duduk bersimpuh di samping futonnya. Astaga... sungguh, Kyoya sangat tidak menyangka Tsuna adalah orang yang seperti ini. Terlalu berlebihan khawatir. Padahal dirinya hanyalah terkena satu peluru, di bahu pula. Peluru itu sudah dikeluarkan dan mungkin sekitar 1 minggu lagi lukanya akan benar-benar sembuh.

"Iie," Tsuna menggeleng—menolak dibilang berlebihan. "Kudengar sehabis oprasi, ada kemungkinan kau akan demam tinggi—"

"Apa kau mau kupanggil Herbivore?"

"YADA!" Tsuna langsung menolak. Mana rela panggilan kesayangan Kyoya untuknya mendadak digantin. Turun pangkat jadi Herbivore pula!

Menghela nafas berat, Kyoya langsung membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan merubah posisinya menjadi menyamping—menghadap si brunette. Mengerti apa yang Kyoya inginkan, Tsuna menelan liur paksa. Dapat ia rasakan pipinya terasa panas. Uh... Bisa-bisanya Kyoya menggodanya di dalam situasi yang seperti ini. Menurut, Tsuna mulai merangkak dan secara berlahan mendekat lalu berbaring tepat di samping sosok yang tengah terluka itu.

Menyeringai puas, Kyoya langsung menyelimut tubuh mereka. Ia masih berbaring menyamping—hendak memandang sosok yang akan menemaninya tidur malam ini. Berlahan, tangan putih itu mengelus helai coklat sang Sawada—membuat sosok yang tengah berbaring kaku itu semakin terlihat salah tingkah. Oh, lihat wajah yang memerah malu itu, benar-benar terlihat manis.

"Tidurlah," bisik Kyoya seraya menarik pria yang lebih mungil darinya untuk lebih mendekat lalu memeluknya. Bahu itu menegang saat tubuh mereka menempal. Dapat Kyoya rasakan nafas si brunette yang tidak teratur di dadanya. Namun, berlahan namun pasti tubuh itu berubah rileks. Nafas Tsuna terdengar teratur kembali. Bahkan, dengan berani kedua tangan itu memegang dada Kyoya—merasakan debaran yang berdentum di dalamnya.

"Kyoya-kun... Gugup?" bisik Tsuna—kaget mengetahui debaran cepat dan tidak teratur dari sosok reven yang memeluknya. Kyoya tidak mengatakan apapun mendengarnya. Ia lebih memilih mengeratkan pelukannya—membuat sang Sawada lebih mendekat dan menempel dengan tubuh berbalut yukata itu.

"Tidurlah," bisik Kyoya lagi. Lebih lirih sekarang. Tsuna terkekeh kecil mendengar perintah itu. Ia bergerak—mencoba menyamankan diri di pelukan pria yang satu futon dengannya. Oh, malam ini mereka benar-benr berbagi futon. Terimakasih atas Kyoya yang lebih menyukai futon ketimbang kasur seperti single bad atau king size.

"Ee," Tsuna mangangguk. Sebuah senyuman terukir di bibirnya saat debaran jantung yang terdengar itu menjadi nada pengantar tidur termerdu yang pernah ia dengar. "Oyasumi, Kyoya-kun," lirihnya.

"Oyasumi," balas Kyoya seraya mengusap helai kecoklatan itu dengan lembut.

.

.

.

Mencoba menggerakkan tubuh, dapat si brunette rasakan badannya susah untuk berpindah posisi. Terlebih mendapati tubuhnya mulai kepanasan. Ada sesuatu yang melilit tubuhnya dan ia tidak suka ini. Mencoba menjauh, si Sawada rasakan lilitan itu semakin erat—membuatnya panik seketika saat tubuhnya dibuat semakin menempel dengan sesuatu yang keras namun juga hangat. Sepasang hazel itu refleks terbuka—kaget dan takut akan sesuatu yang menahannya.

Deg!

Tsuna membeku. Sepasang iris coklatnya membola sempurna saat matanya menangkap wajah tampan yang hanya beberapa cm dari wajahnya. Kulit seputih pualam yang dibingkai helai gelap rambut, sepasang kelabu yang menatapnya lembut, dan... sebuah senyuman tipis yang terukir indah di wajah yang berekspresi penuh kasih sayang.

"Ohayou," sapa Kyoya seraya menunduk dan mengecup singkat kening sang brunette. Sukses membuat rona merah di wajah itu semakin terlihat. Malu, Tsuna menunduk—menyembunyikan wajahnya di dada bidang yang sedikit tertutup yukata.

"O, ohayou," balas Tsuna serak saat menyadari suaranya hanya bagaikana bisikan dan parahanya, terdengar gemetar. Terdengar dengusan geli Kyoya di atasnya. Pria putih itu memeluk tubuh mungil di dekatnya dengan erat seraya menghirup aroma wangi dari helai coklat pria ini. Sesekali ia menciuminya—membuat Tsuna mau tidak mau jadi lebih menempel ke tubuh itu guna menyembunyikan wajahnya yang sudah pasti sangat memerah.

Puas pagi-pagi sudah merasakan Omnivorenya ini, Kyoya melepaskan pelukannya lalu bangkit berdiri—sukses membuat sang brunette yang masih terbaring merubah posisinya menjadi duduk dan menatap bingung sosok reven yang berdiri itu.

"Sudah jam 7, Omnivore," infonya. Lalu sebuah seringai merekah di belahan bibir itu. "Atau kau mau lebih lama di kamar ini bersamaku?" godanya—sukses membuat wajah itu memerah sempurna.

"Be, benar juga!" Tsuna refleks langsung bangkit berdiri. Panik, ia langsung melangkah menuju pintu geser. "A, aku ke kamar dulu, Kyoya-kun," ucapnya gugup dan dengan segera meninggalkan kamar si reven. Terdengar derap langkah panik si brunette hingga mau tidak mau, membuat Kyoya mendengus geli.

.

.

.

Huwaaa! Huwaaa! Huwaaaa!

Tsuna menepuk-nepuk pipinya yang masih terasa panas. Euforia yang ia rasakan jelas terlihat di wajahnya. Menggelengkang kepala seraya mempercepat langkah menuju kamarnya yang berada di Gedung Penjaga Keamanan, sang Sawada ketahui ia telat bangun. Beberapa antrian terlihat di depan kamar mandi, membuat moodnya agak turun drastis bila membayangkan harus ikut mengantri. Haah... Biasanya ia bangun lebih pagi—membuatnya tidak perlu mengantri untuk mandi.

Segera masuk ke dalam kamar dan mengambil perlengkapan mandi, Tsuna terdiam saat irisnya menangkap pakaian yang berbeda dari dalam lemari. Sebuah jas, kemeja putih, dasi dan celana dasar hitam. Di dasar lemari terdapat sepasang sepatu kulit dan sebuah tas kerja yang sangat familier di matanya.

Tsuna menahan nafas. Dapat Tsuna rasakan jantungnya terasa berhenti berdetak saat menyadari semua itu adalah miliknya saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah ini.

Apa... Maksudnya ini?

Sungguh, masih sangat ia ingat bahwa semua pakaian dan perlengkapannya disita saat itu. Okay, memang hanya tas dan ponselnya yang disita, namun saat pakaian dan sepatunya sudah dicuci dan dibersihkan, pihak Hibari juga ikut menyitanya. Lalu kenapa tiba-tiba semua ini dikembalikan? Tsuna menelan liur paksa. Entah kenapa firasatnya terasa buruk.

"Hoy Sora!" Tsuna tersentak lalu refleks memandang ke sampingnya. Di luar pintu geser, terlihat salah satu teman sesama Penjaga Keamanan berdiri. "Kau tidak antri? Nanti air habis!"

Tertawa canggung, sang brunette langsung cepat-cepat menutup lemari kayunya lalu meraih perlengkapan mandi yang sebelumnya memang sudah ia keluarkan. Ia langsung berlari keluar dari kamar—mencoba mengabaikan firasat tidak enak yang terus bergelayut di dadanya.

.

.

.

Menghela nafas berat, Tsuna melangkah menuju Gedung Bersama. Saking syoknya, ia tidak sadar bahwa satu-satunya pakaian yang ada di dalam lemari hanya setelan formal miliknya—membuat si brunette mau tidak mau harus memakainya ketimbang harus memakai baju yang kemarin ia pakai. Setelah sarapan dan melihat jadwal pun, Tsuna mendapati namanya tidak ada lagi di Papan—membuatnya wajib untuk menemui dua sosok yang memang sangat ingin ia temui. Rasanya ini seperti de javu saat ia harus menemui Kusakabe lagi.

Tap.

Sepasang hazel itu membola sempurna. Jantungnya terasa mencelos saat melihat ketiga sosok berdiri di dekat gerbang kediaman yang terbuka. Kyoya yang masih mengenakan yukatanya dan Kusakabe yang terlihat mengobrol dengan seseorang. Seseorang berpakain formal dengan helai perak yang familier. Seseorang yang... Sangat Tsuna kenali.

"Ah!" pria berpakaian formal dengan rambut perak itu memandang ke arah Tsuna. Senyuman merekah di wajah tampan berhiaskan permata emerald itu—sukses membuat tubuh sang brunette membatu saat pria itu berlari mendekatinya. "Juuudaaiimeeee~" dan Gokudera Hayato sukses memeluk—menerjang—tubuh yang sedikit lebih pendek darinya.

"Ha, Hayato-kun?" gumam Tsuna bingung. Irisnya mencoba memandang teman baiknya yang tengah menangis sesegukan seraya mengucapkan beribu maaf dan curahan hatinya dalam satu tarikan nafas yang panjang. Sepasang mata coklat itu menatap ke arah Kyoya dan Kusakabe dengan nanar. Mengerjab beberapa kali, dapat Tsuna rasakan dadanya terasa sesak. Tidak perlu penjelasan, Tsuna sudah sangat tahu tujuan dan apa maksud dari kedatangan pria yang memeluknya ini.

Jadi yang kemarin adalah... Perpisahan?

"Ha, Hayato-kun," Tsuna melepaskan pelukan mereka seraya mencoba menghentikan ucapan-ucapan melanklonis yang biasanya hanya akan membuatnya tertawa. Tidak kali ini. Sungguh, ia benar-benar tidak bisa tertawa atau merasa sikap teman masa kecilnya ini menarik. Tidak bisa. "Daijobu, lihat? Aku tidak apa-apa," ucapnya menenangkan seraya melangkah mundur—membuat pemilik iris emerald itu dengan jelas menatap sosok si brunette.

Hayato menatap fokus pria di depannya. Sosok brunette itu tersenyum—menampilkan senyuman yang sama saat terakhir kali mereka bertemu. Tubuh berbalut pakaian formalnya menampakkan tubuh yang tidak berubah. Oh, benar. Sahabatnya baik-baik saja. Wajahnya tidak pucat atau terlihat sakit sama sekali.

Hayato tersenyum, ia menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Yokatta... Aku benar-benar khawatir," akunya jujur seraya tersenyum memandang sosok yang telah ia anggab saudara itu. Senyuman Tsuna mengembang mendengarnya. Ada perasaan bersalah yang bergelayut di dadanya saat melihat ekspresi lega dari sekretaris pentingnya ini.

"Gomen, sudah membuatmu khawatir, Hayato-kun," ucap Tsuna bersalah. Hayato menggelengkan kepalanya lalu kembali memeluk tubuh itu—menyalurkan perasaan rindu dan khawatirnya tanpa kata-kata yang terucap. Tsuna menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Ia tersenyum meminta maaf melihat kedua sosok yang menonton adegan reuni mereka yang penuh drama. Dan saat sepasang hazel itu bertemu pandang dengan sepasang iris kelabu Kyoya, wajahnya langsung memucat.

Ba, bahaya!

Tahu pasti apa yang menjadi sumber aura 'kamikorosu' itu, Tsuna langsung mengakhiri pelukan mereka. Ia memakasakan senyumannya menatap Hayato yang mencoba menenangkan diri. Ketimbang tiba-tiba melihat si reven mengamuk, Tsuna lebih memilih menghindari kejadian gore yang akan terjadi bila sikap Hayato cenderung seperti 'memprovokasi' terus. Terlebih kenyataan bahwa dirinya sudah mengakui Hayato adalah cinta pertamanya. Well, siapa yang tidak akan cemburu melihat kedekatan mereka? Takeshi yang jelas mengenalnya sendiri saja masih suka cemburu, apa lagi Hibari Kyoya coba?

"Juudaime, ayo kita pulang," ajak Hayato—sukses membuat jantung sang Sawada mencelos. Entah kenapa irisnya refleks memandang sosok reven yang tetap memandangnya. Ia tahu kedatangan Hayato ke sini untuk apa dan Tsuna jelas tidak bisa menolak. Pulang... Entah kenapa kata itu tidak lagi jadi motifasinya. Justru, hal itu adalah sesuatu yang paling ingin ia hindari sekarang. Namun... Bukankah ia tidak bisa menolak? Di sini bukan tempatnya. Ia harus pergi, meninggalkan kota ini bersama kenangannya.

"Ee," Tsuna memaksakan senyumannya. Sepasang hazelnya terasa panas membayangkan dirinya yang tidak mungkin untuk kembali lagi ke tempat ini. Bagaimana bisa ia bertemu lagi dengan Hibari Kyoya yang sudah pasti akan membencinya? Ia berbohong tentang identitasnya... Dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sudah pasti hanya mengawasi dan mencuri kabar tentang si reven dari jauh. Tetapi, setidaknya Kyoya sudah memberikan kenangan yang menyenangkan bukan? Setidaknya, perasaan mereka sejak kemarin dan hari ini adalah sama kan? "Ayo kita pulang, Hayato-kun," lirihnya.

.

.

.

Masuk ke dalam mobil dan duduk di bagian belakang penumpang, Tsuna tersenyum menatap kedua pria yang masih dengan setia berdiri mengantar kepergiannya. Ia menatap kedua pria itu dari jendela mobil yang dengan sengaja dibuka.

"Jangan sungkan untuk kembali dan mampir," tawar Kusakabe ramah.

Seandainya aku bisa...

"Ee, tentu," Tsuna memaksakan senyumannya mendengar tawaran itu. Dadanya terasa ditusuk saat sebuah kebohongan kembali terucap di mulutnya. "Jaga kesehatan kalian Kusakabe-san, Kyoya-kun," ucapnya sungguh-sungguh.

"Tentu saja."

"Dan...," sepasang hazel itu memandang kelabu yang terus memandangnya. Sedikit pun tidak ada kata-kata yang keluar dari Kyoya—kalimat perpisahan atau apapun. Ekspresi pria itu pun tetap sama. Datar dan seolah tidak terpengaruh dengan perpisahan mereka yang akan berjangka waktu lama. Tsuna menghela nafas lalu kembali menatap Kusakabe. "Aku titip Kyoya-kun, Kusakabe-san," lirihnya—nyaris memohon.

Kusakabe tersenyum mendengarnya. "Hai' wakatta," ucapnya—mengerti dengan pasti maksud dari si brunette.

"Saa... Kalau begitu, aku pergi dulu. Jaa ne," ucapnya lalu melambaikan tangan diiringi dengan mobil yang mulai berjalan menjauh. Tsuna menghela nafas lalu menutup kaca jendela. Ia menoleh ke belakang—dimana Kyoya dan Kusakabe masih berdiri di gerbang kayu kediaman Hibari. Kedua sosok itu memandang ke arahnya dan saat sepasang hazelnya bertemu dengan iris metal yang terlihat terluka itu, Tsuna benar-benar merasa semuanya hancur.

Ia tidak ingin pergi, sungguh, Tsuna benar-benar ingin berada di sisi Hibari Kyoya. Namun ia memiliki tanggung jawab di Tokyo dan ia tidak mau membohongi sosok reven itu terus menerus. Ia mencintai Hibari Kyoya melebihi apapun hingga... Membayangkan Kyoya akan membencinya adalah hal yang paling ia takuti.

"Aku benar-benar kaget saat semua dokumen yang kuberikan ditolak," ucap Hayato tiba-tiba. Tsuna refleks langsung membalikkan badannya ke depan dan menatap ke sampingnya—mencoba mendengarkan apa yang Hayato katakan meski rasanya ia tak mampu hanya untuk mencerna apa maksud dari ucapan si perak. "Klan Hibari tahu bahwa data diri yang diberikan palsu, mereka meminta data asli."

Huh?

Sepasang hazel itu membola sempurna. Ia menatap Hayato dengan tidak percaya. "Ketahuan?" gumamnya bingung—tidak yakin apa yang ia dengar. Data dirinya ketahuan palsu!? OLEH KLAN HIBARI!?

"Ee," Hayato mengangguk kalem—tidak menyadari nada syock yang keluar dari sosok yang duduk di sebelahnya. "Dengan terpaksa aku memberikan data asli Juudaime setelah mereka mengancam tidak akan mengembalikan Juudaime. Kupikir, mereka akan menahan Juudaime selama beberapa bulan dan memperlakukan Juudaime dengan buruk, tetapi ternyata prosesnya sangat cepat," Hayato mengernyitkan alis saat mengingat keganjalan itu. "Mungkin mereka menginginkan sesuatu—"

"Data asliku kau berikan ke mereka Hayato-kun? Data asli?" tanya Tsuna—mengulang apa yang ia dengar. Ia benar-benar ingin memastikan bahwa apa yang dikatakan Hayato bukanlah sebuah kebohongan. Ah... Tidak, tidak mungkin Hayato berbohong. Sosok ini paling tidak bisa berbohong dengannya dan Tsuna sangat tahu kapan si perak berbohong atau tidak.

Alis pria berhelai perak itu terangkat mendengar pertanyaan Tsuna. Ia menoleh—memandang si brunette yang fokus memandangnya. "Ee, aku memberikannya. Kenapa Juudaime?" tanyanya bingung—mulai merasakan keganjalan dari ucapan dan ekspresi temannya.

Tsuna menatap Hayato dengan tidak percaya. Data aslinya diberikan ke klan Hibari, bukankah berarti... Kusakabe dan Kyoya mengetahui identitas aslinya? Dan Kyoya tidak marah? Sama sekali tidak marah dengan kebohongannya? Berarti apa yang ia dengar sebelum pingsan ternyata memang suara Kyoya? Kyoya yang memanggilnya... Tsunayoshi?

"Irie-san! Putar arah!" teriak Tsuna—sukses mengangetkan sang supir. "Cepat! Kita kembali ke kediaman tadi!" perintahnya mutlak sebelum sosok bernama Irie Shoichi itu bertanya. Senyuman mengembang di belahan bibir Tsuna. Dadanya terasa meletup-letup mengetahui informasi penting ini.

"Kenapa kita kembali, Juudaime?" tanya Hayato bingung.

Tsuna semakin tersenyum. Sepasang hazelnya berkilat saat membayangkan ekspresi Kyoya nanti. "Ada sesuatu yang ketinggalan," ucapnya mantap seraya memandang tidak sabar jalanan yang mereka lalui.

.

.

.

Kusakabe Tetsuya menghela nafas seraya memandang Boss revennya yang masih diam mematung memandang ke arah si brunette pergi. Wajah itu tetap terlihat datar dengan sepasang kelabu yang terluka. Oh, sungguh, bertahun-tahun mengabdikan hidup di keluarga Hibari, Kusakabe sangat tahu Kyoya sekarang tengah sedih. Ini cinta pertamanya dan pemuda brunette itu benar-benar merubah Hibari Kyoya yang ia kenal.

Meski mobil yang ditumpangi pemimpin Vongola crop itu telah menghilang dari pandangan, Bossnya tetap berdiri di depan pintu gerbang—terliha berharap juga putus asa agar sosok itu kembali. Menyedihkan memang, namun... Melihat apa yang si reven lakukan demi Tsuna, Kusakabe harus akui bahwa Sawada Tsunayoshi benar-benar beruntung. Pria tampan semi manis itu sukses mencuri hati Kyoya—membuat si reven berubah menjadi lebih lembut dan cenderung... Mencari perhatian Tsuna.

Bagaimana tidak coba? Saat mereka sadar data diri yang dikirimkan si brunette palsu—setelah memeriksa ponsel Tsuna di mana salah satu pesan menyebutkan nama aslinya dengan nada marah—ketimbang mengambil tindakan menyergab Sawada Tsunayoshi, Kyoya lebih memilih membiarkannya sambil terus mengawasi pergerakan pria itu dan meminta data asli dari seseorang yang mengaku orang kepercayaan si brunette. Hal yang paling menakjubkan adalah saat mengetahui Sawada Tsunayoshi bukanlah orang biasa, Hibari Kyoya bertingkah selayaknya stalker. Ia jadi lebih ketat mengawasi Tsuna. Well, Kusakabe pikir itu karena si reven curiga—meski rasanya aneh bila Kyoya hanya mengawasi tanpa tindakan seperti introgasi dan sebagainya. Terlebih Tsuna dibiarkan tetap berada di dalam Kediaman Hibari hingga membuat Kusakabe, mau tidak mau harus berekting bahwa ia tidaklah mengetahui identitas asli sang Sawada.

Lalu, Kusakabe Tetsuya menyadari sesuatu.

Hibari Kyoya tertarik dengan Sawada Tsunayoshi. Itu sudah sangat jelas terlihat dan rasa tertarik itu kian besar—membuat sang reven tidak sungkan menunjukan perasaannya secara blak-blakan. Entah sejak kapan Kyoya menyadari ketertarikannya ini sebagai rasa suka, tahu-tahu saja si reven telah melakukan sesuatu yang diluar nalar Kusakabe.

Ia membiarkan Sawada Tsunayoshi untuk pulang—meninggalkan Namimori tanpa sedikit pun surat perjanjian atau apapun yang biasanya harus dibuat oleh sang pendatang sebelum meninggalkan Namimori. Kusakabe menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya. Selama 2 hari Tsuna sakit, selama 2 hari itu juga Kyoya mengurus beberapa dokumen sekaligus—mengatur hari di mana ia bisa hanya berdua dengan Sawada sebelum sosok itu pergi pulang ke kota besarnya. Apa yang Kyoya lakukan lebih seperti kencan perpisahan dan Kusakabe hanya dapat menanggapinya dengan ringisan. Cinta pertama Bossnya benar-benar orang yang luar biasa bila mengingat betapa kuatnya Tsuna dan status sosial yang dimiliki pria itu. Berdampingan dengan Sawada Tsunayoshi mungkin, akan sangat berbahaya. Mereka berdua sama secara status. Orang yang diincar nyawanya oleh banyak pihak.

"Kyo-san, sebaiknya kita masuk," saran Kusakabe—tidak tahan berdiam diri di depan gerbang terus menerus. Kyoya mengabaikannya. Si reven tetap diam mematung memandang ke arah sebuah mobil datang. Eh? Sang tangan kanan refleks memandang mobil yang ia yakini adalah mobilnya Tsuna. Ia mengernyit bingung mendapati mobil itu kembali. Terlebih saat mobil itu berhenti tepat di depan Kyoya, sosok sang Sawada berlari keluar dari dalam mobil.

EH!?

Kusakabe syok bukan kepalang saat mendadak pria berpakaian formal itu melompat dan memeluk leher Bossnya. Lebih dari itu, dalam gerakan cepat si brunette menautkan bibir mereka—mencium si reven dalam kecupan singkat namun sukses mengagetkan banyak pihak. Memandang tidak percaya kedua insan yang saling jatuh cinta itu, dapat sang Tangan Kanan lihat wajah Tsuna yang memerah dan ekspresi kebingungan Bossnya.

"Namaku Sawada Tsunayoshi," Tsuna tersenyum. Ia menggenggam kedua tangan yang lebih besar darinya itu serayang menatap sepasang kelabu yang juga memandangnya. "Aku berjanji akan kembali lagi ke sini, Kyoya-kun," janjinya lalu kembali berjinjit guna mempertemukan bibir mereka kembali.

Kyoya tersenyum dengan ucapan dan tindakan pria di depannya itu. Dapat ia rasakan debaran menyenangkan berdegub di dadanya. Ia refleks melepaskan tangan mereka yang saling bertaut lalu merengkuh tubuh itu ke dalam sebuah pelukan.

"Kembalilah lagi ke sini, Tsunayoshi," bisiknya lembut lalu mengecup kuping si brunette.

Tsuna terkekeh mendengar nada yang terdengar memohon itu. "Tentu saja," ucapnya pasti seraya membalas pelukan sosok yang sangat dicintainya itu. Mungkin, berbohong tidak selamanya memberikan dampak yang negatif. Seperti dirinya yang dulu selalu tersenyum meski merasa tersakiti hingga membuatnya nyaris frustasi. Atau ketika ia sengaja menggunakan nama yang bukanlah nama aslinya hanya demi mempermudah urusan dengan penguasa daerah ini hingga membuat si brunette diincar sosok yang merasa sebagai karnivora ini.

Sungguh, berbohong itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan malah itu adalah sebuah dosa. Namun, kebohongan untuk kebaikan, kebohongan untuk menyelamatkan suatu situasi yang genting, dirasa itu bukanlah sesuatu yang salah. Bukankah karena kebohongan juga... Ia bisa bertemu dengan Hibari Kyoya?

Tsuna tersenyum seraya semakin mempererat pelukannya.

Namun sekarang, ia tidak perlu berbohong apapun lagi, ne? Ia akan berkata jujur, ia akan melepaskan perasaannya yang terasa ingin meledak ini. Ia akan mengatakan apa yang ia pikirkan saat ini.

"Aishiteru, Kyoya-kun."

Kyoya tersenyum. Ia merengkuh wajah itu lalu mendekatkan wajahnya. "Aishiteru mo," bisiknya sebelum bibir mereka kembali bertaut guna menghancurkan semua perasaan pahit yang sempat singgah di hati mereka.

.

.

.

END


a/n:

TAMAAATTTTTT! AKHIRNYA TAMAT JUGA WALAU GK RELA /eh

Jujur, sempat bingung ni endingnya enak gimana n berakhir dalam 1 chapter... 12k lebih X'D /gelundungan

gomen atas lambannya uplod fic ini... Ngeditnya yg lama sebenernya /plok tetapi, sekali lagi, terimakasih untuk minna-san yang sudah meriview, fav n follow fic ini m(_ _)m

okay, langsung aja, balasan review~

aiwataru1: Hula~ awawawa... semoga kali ini gk ada typo... Rasanya udah dipriksa tpi tetep aja kecolongan X'D

Ehehehe... semoga yang ini juga suka yak~ aih, akhirnya the Liar tamat ;_;

Hikaru Rikuo: TENANG AJA, DI CHAPTER INI HUBUNGAN MEREKA JELAS KOK ;A;

kiupi alfi: arigatou~ , iya dong~ Hibari ma Tsuna memang harus bersama~ apa lagi di fic ini XD

mika: Nih, di chapter ini full 1827, semoga puas~ XD

Kamiku: Huwaaa Arigatou~ _ ee, ni dah lanjut! semoga suka ya sama endingnya :D

special thanks to:

Ariefyana Puji Lestari, Azriel1827, Hikaru Rikou, Kikuuuu, Meraina Neterya Potter-Snape, fuJOshi07, nanamikiyuri22, tsunakyo1827, AzuMiyuki0 karena sudah mengfave dan mengfollow fic ini m(_ _)m

sampe ketemu di fic selanjutnya~