.
.
.
Cahaya matahari secara berlahan mengurangi eksistensinya—menyebabkan kehangatan sang surya lambat laut mulai meghilang dan digantikan dengan dinginnya malam yang membelai. Lampu-lampu kota secara pasti mulai menyala guna mengusir kegelapan yang telah menyapa. Kesibukan lain, dari para pejalan kaki yang mayoritas adalah pegawai kantoran dan pelajar terlihat di mana-mana. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing—mengabaikan sekitarnya tanpa perlu untuk mengetahui urusan orang lain.
Menghela nafas lelah seraya mendudukan diri di bangku yang tersedia tepat di jalan trotoar yang ramai akan pejalan kaki, sosok pria dengan helai berantakan melawan grafitasi itu dapat merasaka tubuhnya yang lemas. Punggungnya bersandar di bangku dan dalam hitngan detik, bahunya terkulai—menunjukan betapa ia sangat kelelahan.
Malam baru saja beranjak dan pria brunette ini benar-benar mendapati dirinya kelelahan luar biasa. Okay, ini memang tidak sampai 1 hari full—ia bahkan bisa bekerja lebih dari 24 jam tanpa tidur—namun sumpah! Dirinya tidak pernah merasa setertekan ini sebelumnya.
Helaan nafas kembali si pemilik iris hazel itu keluarkan. Ia melepaskan jas hitam yang membalut tubuhnya dan menggeletakkannya bersama tas kerja yang sudah ia taruh di sampingnya. Melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik leher, Sawada Tsunayoshi meyadari bahwa hawa dingin malam mulai merayapi kuli putihnya. Oh, sekretarisnya—Gokudera Hayato—suda pasti akan merasa panik dan marah bila mengetahui dirinya yang terlihat tidak takut sakit karena angin malam perkotaan yang penuh dengan racun. Sosok yang sudah ia anggab sahabat, partner dan seorang Kakak itu sangat overprotektif namu di sisi lain juga sangat perfectsionis.
Sosok yang biasa dipanggil Tsuna itu tidak bisa menahan senyumannya. Bukan, bukan senyuman geli atau senang yang terukir di belahan bibir tipis itu, melainkan senyuman miris. Kenyataan menyakitkan yang menghantam dadanya—kenyataan yang membuatnya merasa hari ini adalah hari terpanjang seumur hidupnya. Kenyataan bahwa dirinya... Mencintai sosok yang suda ia anggab keluarga sendiri. Ia menyukai Gokudera Hayato lebih dari sekedar keluarga.
Sepasang hazel itu menyendu. Mungkin karena kedua orang tuanya sudah meninggal lah satu-satunya alasan kenapa ia begitu menyayangi Hayato—atau mungkin karena teman semasa kecilnya itu satu-satunya keluarga yang ia punya sekarang meski mereka tidak sedarah sama sekali? Tidak... Sungguh, Tsuna benar-benar tidak tahu sejak kapan perasaan ini muncul dan sialnya... Ia terus memendamnya hingga sekarang. Dan sosok yang menjadi alasannya untuk selalu tersenyum itu... Menyukai orang lain. Ya, pria bermata emerald itu jatuh cinta dengan sosok pemuda jangkung dengan karisma yang mengeluar di setiap senyuman ramahnya yang menghangatkan. Lebih menyakitkan, sosok itu adalah sahabat karibnya sendiri. Sungguh, rasanya Tsuna benar-benar ingin menertawai dirinya sendiri. Ia... benar-benar terlihat menyedihkan.
Ia kalah. Kalah telak. Bukan, ini bukan persaingan merebut hati pria dengan sikap galaknya itu, ini persoalan siapa yang benar-benar Hayato inginkan. Tsuna dengan mudah menebak bahwa Hayato akan langsung memilihnya—bila si brunette bersikap sedikit egois dan menghancurkan sandiwaranya—namun ia tidak seegois itu. Hayato memang akan memilihnya, namun ia yakin pemuda itu tidak akan sebahagia saat bersama Yamamoto Takeshi. Belasan tahun selalu bersama Hayato, bukan hal sulit untuk menebak jalan pikiran dan apa yang pemuda itu rasakan.
Gokudera Hayato adalah satu-satunya orang yang dengan tulus selalu mendukung dan mencoba mempermudah apapun yang Tsuna inginkan. Pria yang tumbuh bersamanya itu satu-satunya orang yang selalu berada di sisinya saat kedua orang tuanya meninggal ketika mereka sama-sama masih di bangku SMA. Pemuda itu satu-satunya harapan yang membuatnya tetap bertahan hingga mereka bisa mencapai puncak seperti sekarang.
Namun...
Tsuna menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara berlahan. Ribuan jarum seolah menusuk dadanya—memberikan rasa sakit di setiap hela nafas yang ia lakukan. Sepasang mata itu terpejam—menyembunyikan hazel yang mulai terasa berat untuk menunjukan kecerahannya. Berbohong dan terus tersenyum—menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan secara terus menerus...
Apakah ia harus melepas Hayato?
Sungguh, benar-benar pertanyaan bodoh. Hatinya dengan cepat dan tegas menolak, namun rasionalitasnya berjalan dengan sangat baik di saat yang bersamaan. Tsuna menarik nafas panjang dan semakin dapat merasakan degub jantungnya terasa di remas. Ia menggigit bibir bawahnya saat secara berlahan, rasa sakit itu kian menjadi.
Malam ini, Yamamoto Takeshi—sosok partner bekerja sekaligus sahabat karibnya—akan melamar Hayato. Mereka memang berpacaran untuk waktu yang lama dan inilah satu-satunya alasan kenapa Tsuna tetap diam. Menikmati zona amannya yang mencoba ikut menikmati suasana meski yang ia berikan hanyalah... sebuah kepalsuan.
Sssshhhhh...
Sepasang mata itu kembali terbuka saat mendengar suara Bus yang berhenti. Mengerjabkan mata beberapa kali, mata sewarna coklat susu itu menatap Bus yang berhenti tepat di sebuah Halte yang tidak terlalu jauh dari tempat duduknya. Bus itu terlihat tidak terlalu penuh, namun beberapa orang yang berbondong-bondong memasukinya terlihat lumayan banyak—mencoba membuat Bus itu mendadak penuh dalam seketika.
Entah apa yang ia pikirkan, Tsuna benar-benar tidak mampu berfikir kembali. Hari ini benar-benar terlalu cepat, namun juga terlalu lamban di saat yang sama. Di detik ini ia harus membuang perasaan itu. Dan saat kaki berlapis sepatu hitamnya melangkah memasuki Bus yang bersiap akan melanjutkan perjalanan kembali, Sawada Tsunayoshi benar-benar tidak tahu hal ini akan merubah hidupnya.
.
.
.
The Liar
Discalimer: Amano Akira
Story by: Aoi The Cielo
Rated: K+ atau mungkin T
Genre: Friendship, Romance.
Pair: HayatoxTsuna, TakeshixHayato, HibarixTsuna
WARNING! BL(BOYS LOVE) BOYXBOY! OOC, AU, Typo(s), dll...
.
.
.
Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja.
Sosok pria yang duduk sendirian di dalam Bus terus mencoba meyakini dirinya sendiri dengan mantra itu. Kedua tangan yang membawa jas dan juga tas kerjanya terkepal erat memegang kedua lututnya. Tubuhnya menegang saat keringat dingin membasahi pelipisnya.
Sebagai orang yang memegang jabatan teratas di sebuah perusahaan besar dengan umur yang masih sangat kelewat muda, Sawada Tsunayoshi benar-benar tahu resiko apa yang akan ia hadapi. Kenyataan dramatis bahwa sosok jenius muda yang mampu menguasai hampir 30% perekonomian di Jepang ini, ternyata hanyalah seorang pria yang sering tersesat—dengan kata lain buta arah. Seharusnya, Tsuna pulang bersama dengan seorang supir yang akan mengantarnya ke mana pun, namun Tsuna memilih berjalan kaki. Seharusnya, ia menaiki kereta karena tidak ada jalur Bus yang akan melewati atau bahkan mendekati kediamannya, namun ia menaiki Bus. Dan seharusnya, Sawada Tsunayoshi turun lebih cepat dan bukannya bertahan hingga ia benar-benar tidak mengenali jalan yang dilalui Bus yang membawanya ini.
Hari sudah beranjak malam dan karena terbuai dengan segala hal yang ada di benaknya, si brunette tidak menyadari bahwa ia pergi terlalu jauh. Kabar bagusnya, ponselnya mati karena kehabisan batrai dan yang terparah, Tsuna tidak membawa uang sama sekali. Sungguh, ia benar-benar tidak berani untuk meminta pertolongan siapapun yang ada di Bus ini tanpa membuat mata-mata mereka memandangnya dengan rendah.
Oh, ayolah! Siapa yang akan mempercayai sosok yang terlihat seperti anak yang baru saja dipecat oleh Bossnya? Okay, Tsuna sangat tahu bahwa ia benar-benar terlihat seperti orang yang frustasi—atau bahkan nyaris gelandangan. Kemejanya tidak rapi kembali, dasinya longgar dengan dua kancing teratas yang terbuka. Jasnya tidak ia kenakan. Tasanya terlihat sangat ringan—karena isinya memang hanya beberapa kertas kopian data yang hanya perlu ia periksa dan acc. Satu-satunya harapan yang ia punya hanyalah Bus ini akan membawanya ke Halte itu kembali hingga ia bisa berjalan ke kantornya dan meminjam telfon agar supir menjemput.
Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan baik—
Bus berhenti untuk yang kesekian kalinya—sukses membuat jantung pemuda berhelai coklat itu berdebar dengan tidak tenang. Panik, irisnya dengan nanar memandang ke luar jendela. Mereka berhenti di sebuah Halte yang tidak ia kenali dan yang lebih parah dari itu... Hanya tinggal ia sendirian di dalam Bus ini. Sudah jam berapa ini? Kenapa mereka tidak kembali ke Halte sebelumnya?
Menelan liur paksa, pemuda yang masih menginjak kepala dua ini memilih bangkit berdiri dan berjalan mendekati sang supir berwajah super galak. Firasat pria brunette ini benar-benar buruk, terlebih melihat ekspresi mengusir sosok yang mengenakan topi dan pakaian formal itu.
"Sumimaesen," Tsuna memaksakan senyumannya—mencoba menyembunyikan rasa panik yang membuat kedua tangannya berkeringat dingin. "Saya adalah penumpang terakhir dan ini sangat larut," mencoba berkata sesopan dan seramah mungkin, Tsuna mempertahankan senyumannya. "Pemberhentian terakhir Bus, apa tidak melewati Halte Vongola?"
"Huh?" alis sang supir terpaut mendengarnya. "Ini adalah Halte terakhir Bus ini," jawabnya—sukses membuat tubuh berbalut kemeja itu membeku. "Bila kau ingin kembali ke Halte itu, besok sekitar pukul 11 akan ada Bus yang akan membawamu ke sana," infonya. Kepala Tsuna benar-benar terasa berputar sekarang. Astaga... Ini mimpi buruk. Serius, ini benar-benar mimpi buruk. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan dan tersesat seperti ini bukan hanya akan membuatnya merasa dilanda bersalah karena meninggalkan berkas yang harus ia priksa, tetapi juga benar-benar membuang waktunya dengan sangat baik.
"Maaf, tetapi bisa kah Anda membawa saya ke Halte itu kembali?" pinta Tsuna. Ia tetap mempertahankan senyumannya. "Saya akan membayar berapapun yang Anda minta dan lagi, bukankah saya adalah penumpang terakhir?" ucapnya—mencoba bernegosiasi. Tidak akan ada yang protes bila hanya tinggal ia satu-satunya penumpang kan?
Sang supir menggelengkan kepalanya. "Uang bukan segalanya bagiku. Anda pikir jarak dari sini ke Halte itu berapa lama?" balasnya—sukses membuat senyuman Tsuna menghilang begitu saja. "Sebaiknya Anda segera keluar, saya ingin segera pulang dan istirahat, Tuan," usir sang supir.
Alis Tsuna terpaut mendengar pengusiran itu. "Tetapi saya pun juga menginginkan hal yang sama. Saya bisa memberikan Anda uang—"
"Tuan, uang bukan segalanya," ulang sang pria. Irisnya memandang langsung sepasang hazel yang terlihat emosi di balik wajahnya yang mengandung ketenangan. "Sebaiknya Anda keluar dan segera mencari hotel—atau taksi bila menemukannya. Bukankah cara itu lebih ampuh dan cepat?"
Tsuna menghela nafas lelah mendengarnya. Ia tidak ingin berdebat dan apa yang dikatakan pria ini memanglah benar. "Kalau begitu, boleh saya meminjam ponsel Anda? Saya ingin menelfon supir—atau taxi ," pinta Tsuna—meminta opsi lain yang lebih mudah.
"Tentu."
Dan Tsuna tidak bisa menahan senyumannya saat sang supir dengan mudah mau meminjamkannya ponsel. Setidaknya, ia jadi bisa memanggil bala bantuan. Sepasang hazelnya menatap sosok yang terlihat sudah memasuki umur setengah abad itu merogoh sakunya. Dan saat sang supir menemukan benda yang ia cari, ekspresi yang dibuat sosok itu membuat firasat buruk Tsuna kembali berteriak.
"Ah... Maaf, ponselku habis batrai."
Tsuna berani sumpah malam ini merupakan malam terburuk baginya.
.
.
.
Melangkahkan kaki di jalan yang sepi nan gelap, Tsuna benar-benar tidak bisa berhenti memeluk tas kerjanya. Sepasang iris coklatnya memandang suasana sekitar yang tenang dimana hanya beberapa lampu jalan yang berjarak berjauhan lah sebagai penerang. Tidak ada bangunan perumahan, tidak ada tempat untuknya sekedar tertidur sejenak. Sungguh, bila tahu ia akan berjalan kaki sejauh ini, Tsuna lebih memilih untuk tidur di Halte tadi. Ia hanya bisa berjalan mengikuti tanah beraspal seraya berdoa di dalam hati semoga tidak ada hewan buas yang mendadak muncul. Well, di sekelilingnya penuh dengan pepohonan yang menjulang dengan bayangan gelap yang seolah menyembunyikan kematian. Ketimbang tidur di Halte dengan nuansa hutan yang menawarkan mati muda, salah satu dari pemegang saham terbesar dan pemimpin dari Vongola ini lebih memilih berjalan meski berujung penyesalan juga.
Ia berada di daerah Namimori—daerah hijau dengan kota kecil dan hutan yang mengelilinginya. Okay, supir Bus itu tidak menyarankan Tsuna berjalan kaki ke kota memang, tetapi pria brunette ini memaksakan diri. Ada salah satu cabang anak perusahaannya di kota kecil ini, dan ia berencana ke sana guna mengemis tempat beristirahat. Astaga... Kenapa keadaannya jadi menyedihkan sekali?
"Kh," Tsuna meringis seraya menurunkan tasnya hingga mencapai perut. Kepalanya terasa berdenyut pusing, dengan perut yang terasa perih. Uh... Gawat. Maggnya kambuh sepertinya. Yah, wajar bila mengingat ia bahkan belum makan malam. Ditambah setress yang melanda... Oh, bagus. Apa ada yang lebih buruk dari ini?
Tsuna duduk berjongkok di tanah—mencoba meredam rasa sakit yang terasa melilit perutnya. Gelap, dingin, dan tidak ada siapapun. Sungguh, rasanya malam ini ia benar-benar sial. Apa dirinya menyerah saja? Duduk di sini dan menunggu pertolongan? Pria berpakaian formal itu menggelengkan kepalanya. Opsi yang ada di dalam kepalanya jelas bukan opsi yang bagus. Dilihat saja sudah ketahuan bahwa akan sangat jarang mobil berlalu-lalang di sini. Memang ia mau menunggu sampai kapan?
Menghela nafas berat saat menyadari perutnya sedikit lebih baik, Tsuna melanjutkan perjalannya. Irisnya memandang sekitar seraya terus melangkahkan kakinya dengan konstan. Ia tidak mau berlari hingga menguras tenaga, namun ia juga tidak mau berjalan terlalu lamban hingga membuatnya akan mati beku karena kedinginan. Meneln liur paksa saat merasakan kerongkongannya terasa kering, Tsuna sadari beberapa rumah mulai terlihat di matanya. Diiringi dengan jalan yang semakin menanjak—membuatnya sadar bahwa tempatnya berada sekarang merupakan di atas bukit. Sepasang hazel itu mengerjab saat melihat cahaya yang agak terang di ujung jalan. Ia mempercepat langkahnya dan tidak bisa menyembunyikan senyumannya ketika menyadari tanda dari cahaya itu.
Tap.
Tsuna terdiam. Matanya membola sempurna memandang apa yang ada di depannya. Di sana. Tepat di bawah bukit gelap ini, terlihat kota kecil dengan gemerlap lampu yang menyinari malam. Kota yang memang terlihat tidak semegah dan segagah Tokyo itu bersinar di tengah kegelapan hutan yang mengelilinginya. Cahaya kecil yang terlihat hangat dan memancarkan harapan di tengah rasa putus asa yang melanda. Senyuman sang brunette semakin mengembang. Ah... Sebentar lagi ia akan sampai di kota Namimori dan ia akan selamat.
.
.
.
Bruk!
Manjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan yang basah, pria berhelai kecoklatan itu memejamkan kedua matanya yang sudah sangat berat. Ia tidak kuat lagi berjalan dan sialnya, tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Udara semakin terasa membeku dan ia bahkan sudah muntah dua kali karena rasa mual yang melanda. Seluruh tubuhnya terasa sakit dengan udara dingin yang terasa menusuk kulit.
Cukup sudah, Tsuna benar-benar merasa lelah. Ia terlalu munafik menganggab sebentar lagi akan sampai ke kota. Nyatanya, kota yang beberapa jam lalu ia lihat berjarak sangatlah jauh. Hanya terlihat dekat dan yah... Memang dekat bila pergi ke sana dengan kendaraan dan bukanlah berjalan kaki. Tsuna mendengus. Bila ia selamat, saat bangun ia masih hidup, bila ia tidak selamat... Maka ia akan berada di surga, bertemu dengan kedua orang tuanya... atau ia akan berada di neraka? Karena terus-terusan berbohong?
Tsuna menggeretakkan giginya. Mati atau pun hidup, ia sudah tidak terlalu perduli. Toh ada Takeshi yang akan menghibur dan menemani Hayato bila ia mati kan? Hayato sudah pasti akan menangis dan sedih, tetapi luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Berbeda dengan dirinya yang bila hidup... Tetap akan menelan pil menyakitkan dan tetap harus memasang topeng. Ia tetap harus tersenyum, hanya demi agar Hayato juga akan tersenyum untuknya. Bukankah... Senyuman dan kebahagiaan pria itu adalah segalanya baginya?
"Berhenti! Oniisan, berhenti!"
Dapat Tsuna dengar suara seseorang berseru diiringi dengan suara decit rem yang berbunyi nyaring. Sekarang, ia benar-benar bisa mendengar suara geraman mobil bersamaan dengan suara pintu terbuka lalu diiringi derap langkah kaki yang mendekat. Namun, sang Sawada sudah tidak perduli. Ia lelah, dan hanya ingin beristirahat. Bila mereka memang melihat dan berniat menolongnya... Sungguh, Tsuna benar-benar tidak memiliki apapun lagi untuk membuat tubuhnya bergerak dan ikut bersama mereka.
"Astaga! Mayat!"
NANI!?
"Niisan! Niisan! Aku menemukan mayat!"
Perempatan muncul di helai berantakan itu. Tsuna 100% yakin bahwa dirinya masih hidup dan ia malah dikira mayat!? Astaga! Apakah dirinya begitu terlihat menyedihkan sehingga dikira mayat!? Menggeram jengkel, sosok yang mengenakan jas itu membuka kedua matanya. Alisnya mengernyit saat cahaya sukses membutakan pengelihatannya dalam seketika.
"Siapa yang mayat!?" seru Tsuna sewot—tidak terima dikira mayat karena berbaring di atas rumput. Tubuh yang semula berbaring itu bergerak untuk bangun hingga sebelah tangannya menyentuh sesuatu yang empuk tepat di sampingnya. "AKU BUKAN MAY—"
Deg!
Sepasang hazel itu membola sempurna. "AAAAAHHHH!"
.
.
.
Ruangan kecil yang terang dan sedikit lebih hangat ini tidak membuat Tsuna nyaman sama sekali. Wajahnya memucat sempurna, dengan kepala yang benar-benar terasa kosong. Tubuh yang penuh luka dan wajah yang bahkan sudah tidak berbentuk lagi kembali muncul di kepalanya—memberikan guncangan yang membuatnya benar-benar merasa syock luar biasa.
Tsuna berbaring di samping mayat dan sedikit pun ia tidak menyadarinya hingga sepasang kakak-beradik Sasagawa yang membawa mobil barang menghampirinya. Suasana terlalu gelap di sana, ditambah dengan keadaan Tsuna yang terlalu lelah untuk meperhatikan sekitar. Namun, sekarang, setelah melihat mayat dalam keadaan sangat mengenaskan seperti itu secara langsung... Jangankan untuk tidur, untuk memejamkan mata saja Tsuna takut.
"Aku sudah menghubungi kediaman Hibari," sang polisi, dengan rambut afro dan mata hijau itu menatap sepasang kakak-beradik yang sangat dikenalnya. "Itu memang ulah mereka, katanya mereka sedang mengurus mayatnya. Kalian tidak perlu khawatit," jelasnya dengan nada malas seraya menggaruk belakang kepalanya.
Helaan nafas lega terdengar. "Jadi kami bersih kan?" tanya perempuan berhelai orange panjang itu. Sebuah anggukan diberikan oleh sang polisi. Senyuman kembali merekah di bibir perempuan cantik itu.
"Sudah kuduga itu ulah mereka," sosok berkulit tan dengan tubuh atletis menghela nafas berat. "Sepertinya mulai banyak penjahat yang memasuki kota," gumamnya serius. Lalu iris kelabunya menatap sosok yang tengah terduduk di kursi. Sosok itu terus diam dengan wajah yang memucat. Dalam hitungan detik, Sasagawa Ryouhei mengerti situasi pemuda asing itu.
"Apa kita harus membuat laporan untuknya?" tanya Sasagawa Kyoko seraya menatap miris pria yang baru ia temui itu. Sungguh naas, pemuda ini tidak sadar bahwa ia berbaring di samping mayat. Dan melihat reaksi yang diberikan, jelas baru kali ini sosok berhelai berantakan itu melihat mayat yang dalam keadaan mengenaskan seperti itu. Saat mereka di dalam mobil pun pemuda ini tidak bersuara sedikit pun setelah berteriak panik. Bahkan ketika Kyoko dan Ryouhei menanyainya dan mencoba membuat pemuda ini bersuara, sosok ini tetap diam. Seolah bisu dan tuli dengan sekitarnya.
"Dia orang luar dan sepertinya akan lama di sini," Lambo menghela nafas berat. Hal-hal yang berbau keluarga Hibari memang benar-benar merepotkan. "Biar aku yang membuat Laporan, Oniisan, kau bisa membawanya ke Rumah Sakit. Sepertinya... Ia mengalami trauma."
Ryouhei mengangguk mendengarnya. "Wakatta, aku akan—"
"Ti, tidak perlu," sela Tsuna. Semua pasang mata langsung memandang pemuda berwajah pucat itu. Pemuda yang mengenakan setelas jas formal yang berantakan dengan sepasang hazel yang fokus memandang ketiga wajah asing di depannya. Tsuna menelan liur paksa. Ia memaksakan senyumannya. "Bisa kalian pinjamkan aku... Ponsel?" lirihnya—terdengar memohon.
.
.
.
"Seminggu?" alis Tsuna terpaut mendengarnya. Ia yakin hanya perlu beberapa jam untuk sampai ke daerah ini dengan menggunakan Bus, tetapi kenapa bisa Hayato berkata perlu waktu... 1 minggu? Huh? "Jangan bercanda Hayato-kun, kau hanya perlu meminta supir—"
"KAU YANG JANGAN BERCANDA TSUNA!"
Tsuna bungkam seketika. Jantungnya terasa mencelos saat mendadak suara di balik telfon meninggi beberapa oktaf. Apa... Apa yang membuat Hayato begitu marah? Alisnya kian mengernyit saat perasaan tidak nyaman kian bergelayut di dadanya.
"Astaga... Kau tahu betapa paniknya aku saat sadar kau bilang pulang tetapi justru belum sampai juga ke rumah!? Ponselmu tidak bisa aku hubungi dan... Dan... Sekarang tahu-tahu kau berada di Namimori!? Demi apapun itu! Kenapa tidak ada tempat lain saja! Namimori! Kau berada di NAMIMORI!"
Hayato benar-benar menekankan setiap suku katanya dengan nama Namimori. Memangnya kenapa dengan Namimori? Ada apa dengan kota kecil ini hingga Hayato begitu... Bagitu terdengar frustasi seperti ini? Sepasang hazel itu menyendu. Kepanikan dan rasa khawatir yang berlebih itu terasa menusuk dadanya.
"Gomen," lirihnya bersalah. Hayato adalah tipe yang hanya lembut kepadanya, dan Tsuna tahu apapun akan pemuda itu lakukan untuknya. Namun... Mendapati sosok yang ia sayang berkata kasar kepada dirinya, membuat Tsuna benar-benar sadar bahwa ia membuat Hayato sangat menderita karena khawatir. "Gomen... Aku membuatmu khawatir. Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir," bisiknya lembut—mencoba menenangkan sosok di balik telfon sana.
Helaan nafas terdengar. "Iie, aku lah yang seharusnya meminta maaf. Gomen... Aku... Aku terlalu khawatir. Aku tidak mau Juudaime kenapa-napa," lirih Hayato. Tsuna terkekeh mendengar panggilan kesayangan Hayato kepadanya. Ya, Juudaime. Panggilan itu melekat saat mereka pertama kali bertemu, saat mereka kelas 5 SD dan Tsuna berumur 10 tahun. "Aku serius dengan ucapanku Juudaime, perlu waktu paling cepat 1 minggu," tambahnya.
"Naze?"
Kembali, helaan nafas terdengar. "Namimori adalah daerah kekuasaan Klan Hibari," umpatan terdengar di balik telfon. "Kota itu aman karena klan Hibari melindungi kotanya dengan sangat overpotektif. Tindak kejahatan atau hal negatifnya sangat minim terjadi, tetapi sebagai gantinya... Untuk keluar-masuk ke dalam kota itu sangatlah sulit. Jangankan pihak swasta, pihak pemerintahan pun takut dengan Klan itu hingga sebagian infrastuktur kota 90% dikelola oleh Klan Hibari. Kota Namimori... Adalah kota milik Klan Hibari," jelasnya.
Ah... jadi dari tadi yang ia dengar adalah nama Klan? Klan Hibari? Jenis Yakuza sepertinya... Tetapi tipe yang menjaga perdamaian. Dan bila sampai menguasai 1 kota seperti ini, tanpa adanya perebutan kekuasaan... Sudah dipastikan Klan ini kuat. Secara berlahan Tsuna benar-benar bisa membaca situasinya.
"Mereka membenci orang luar," gumam Tsuna—menyadari bahwa ia berada di tempat yang berbahaya. Ia baru saja melihat mayat dan bahkan polisi menganggab hal itu biasa saja saat menyadari bahwa itu adalah perbuatan 'mereka'. Bahwa mayat yang terbaring di dekatnya adalah ulah dari klan itu. Tsuna menelan liur paksa. Mendadak ia merasa merinding.
"Benar. Itu sebabnya perlu laporan dan izin untuk masuk ke sana," helaan nafas kembali terdengar. "Juudaime sebaiknya membuat laporan agar mereka tidak macam-macam—ah, ngomong-ngomgong ini nomer siapa?"
"Errr...," sepasang hazel itu memandang ke tiga sosok yang tengah mengobrol—mengerumuni sebuah meja persegi di mana 4 gelas coklat hangat telah tersedia. Tsuna menelan liur paksa. "Di kantor polisi," jawabnya—berharap agar minuman itu tidak cepat dingin.
"Apa Juudaime sudah memberitahu siapa Juudaime sebenarnya?"
"Belum."
"Bagus, jangan katakan yang sebenarnya."
Alis Tsuna terpaut mendengarnya. "Naze?" tanyanya bingung.
"Klan Hibari adalah Klan yang selalu curiga dengan orang asing, terlebih sosok yang memiliki kuasa seperti Juudaime. Mereka tidak akan dengan mudah mempercayaimu dan mungkin akan menahan Juudaime sampai sebulan lebih."
Wajah yang kotor oleh tanah itu horror mendengarnya. 1 bulan! Demi apapun itu, 1 bulan!? Lalu bagaimana dengan pekerjaannya!? Astaga! Sungguh, Tsuna benar-benar ingin berteriak sekarang. Sebenarnya ada apa dengan kota ini!?
"Menyamarlah menjadi pegawai kantoran biasa dengan posisi yang sedikit bagus—Ah, pakai nama Yamamoto Sora—bilang bahwa kau masih adiknya Takeshi tetapi jabatanmu jauh lebih rendah ketimbang dia," jelas Hayato. Tsuna meremas ganggang telfon mendengarnya. Kenapa tidak pakai nama Gokudera saja? Kenapa harus Yamamoto? Gokudera Sora terdengar lebih bagus ketimbang Yamamoto Sora. "Untuk masalah pekerjaan, semuanya akan aku ambil alih bersama Fuuta. Ah ya, Fuuta tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu, baru sekitar jam 2 tadi dia baru bisa tidur."
Perasaan bersalah kembali menghujam dada Tsuna. Fuuta... Anak Yatim Piatuh yang ia temukan di jalan. Bocah yang berbeda 5 tahun darinya tetapi memiliki IQ yang sangat tinggi sehingga dalam waktu singkat sudah dapat mengimbanginya dan mendapat posisi sebagai wakil 2nya. Sawada Fuuta—pemuda manis yang selalu dapat ia andalkan.
"Jangan beritahu Fuuta-kun aku di mana, aku tidak mau dia khawatir," lirih Tsuna. Irisnya menyendu saat perasaan rindu menyentuh dadanya. Ia ingin mendengar suara Fuuta yang memanggilnya 'Tsuna-nii'.
"Tentu," setuju Hayato. Ia tidak mau membuat bocah dengan helai karamel itu lebih khawatir karena Niisannya berada di kota yang berbahaya. Bocah itu bisa saja bergerak sendiri tanpa benar-benar memikirkan sebab-akibat yang akan ditimbulkannya.
"Baiklah kurasa...," Tsuna kembali memandang ke tiga sosok yang masih berbicara itu. Satu-satunya perempuan di gerombolan itu menoleh ke arah Tsuna—memberikan senyuman manis yang mau tidak mau membuat Tsuna harus membalasnya dengan senyuman juga. "Sampai sini saja aku bisa memberitahumu. Sisanya akan kubalas lewat email atau—"
"Ponselmu akan di sita, Juudaime," sela Hayato mengingatkan. Tsuna mengernyit mendengarnya—tidak suka bahwa benda privasinya akan di sita dan sudah pasti... Diperiksa. "Kau harus menghancurkan ponsel atau laptop yang berisi pekerjaan."
Tsuna benar-benar bersyukur karena ia tidak membawa leptop dan beberapa file yang ia bawa hanyalah catatan data keuangan. Ia merogoh ponselnya—memandang ponsel flip yang terlihat agak ketinggalan zaman. Ah... Ia juga hanya membawa ponsel khusus untuk keluarganya dimana hanya 3 nomer yang tertera. Nomer Fuuta, Hayato dan... Takeshi. Ok, sepertinya ponsel khusus untuk pekerjaan tertinggal di kantor.
"Baiklah... Ada lagi?" tanyanya.
"Kurasa cukup."
Tsuna mengangguk mendengarnya. "Okay, Jaa—"
"Jaga dirimu," sela Hayato. Nadanya terdengar khwatir dan putus asa. Tsuna tidak bisa menahan senyumannya. Ia terkekeh seraya menggelengkan kepala.
"Ee, pasti. Kau dan Fuuta-kun juga," setujunya lalu memutuskan sambunga telfon mereka. Tsuna menghela nafas lalu memandang ke arah ketiga orang yang sepertinya telah selesai bercakap-cakap. Senyumannya merekah.
"Aku menelfon keluargaku dan ia menjelaskan semuanya," aku Tsuna jujur. Ia menghela nafas berat. "Jadi izin untukku agar bisa pulang... Bagaimana cara mengurusnya?" tanyanya ragu. Ia tidak ingin terus-terusan merepotkan kedua orang yang telah menolongnya. Terlebih sekarang jam di pos polisi ini sudah menunjukan pukul 3 dini hari.
"Baguslah, jadi aku tidak perlu repot menjelaskan macam-macam," ucap Lambo puas. Ia berdiri seraya membawa segelas coklat hangat. Dengan berlahan ia mendekati sosok yang memiliki tinggi tubuh sama sepertinya dan memberikan coklat yang masih hangat itu. "Kau hanya perlu mengisi formulir, nanti pihak klan Hibari ke sini dan sedikit mengintrogasimu. Mungkin agak lama, tetapi yang terpenting sekarang... Sebaiknya kau beristirahat."
Tsuna tidak bisa menahan senyumannya mendengar ucapan itu. Ia menerima coklat hangat itu dan memandang Lambo dengan perasaan haru. Polisi ini benar-benar tahu apa yang sangat ia butuhkan sekarang.
"Arigatou gozaimashu!"
.
.
.
3 jam.
Ya, sosok yang mengenakan celana training sebatas lutut dan kaos oblong kebesaran yang melekat di tubuhnya itu terbangun setelah 3 jam tertidur di kursi pos polisi. Tsuna merenggangkan tubuhnya yang terasa sakit semua. Berbaring di atas benda keras, sementara tubuhmu terbias tidur di kursi empuk atau kasur berukuran king size membuat pemuda bermarga Sawada ini merasa lelah luar biasa.
Malam yang sangat panjang itu bagaikan sebuah mimpi buruk, dan sialnya, ketika hazelnya terbuka lalu mendapati ruangan kecil ini menjadi tempatnya berteduh, Tsuna akui dirinya benar-benar ingin menangis darah, atau sekedar berteriak frustasi seraya mengacak helai rambutnya yang sudah berantakan. Oh astaga... Ini semua nyata, bukan mimpi. Ia benar-benar berada di Namimori—dearah kekuasaan Klan terkuat yang menguasai sebuah kota kecil.
"Ohayou Yamamoto-san."
Tsuna menoleh ke sumber suara. Irisnya memandang sosok afro yang terlihat jauh lebih muda darinya menyapa dengan ekspresi datar dan mata yang terlihat mengantuk. Tsuna terdiam untuk beberapa saat mendengar marga Takeshi disebut. Pendengarannya benar-benar merasa asing mendengar nama kluarga itu disebut karena bagaimana pun, marga itu bukan miliknya. Bukan dirinya.
"Ohayou Lambo-kun," senyuman Tsuna merekah—menyambut sapaan sosok polisi muda yang sejak semalam ia repotkan. Aah... Bahkan di tempat asing ini ia tetap harus berbohong. Bukan hanya nama dan statusnya yang kali ini ia palsukan, melainkan ekspresinya ikut turut serta memberikan bumbu-bumbu di atas mangkuk kebohongannya.
"Bagaimana tidurnya?" tanya Lambo berbasa-basi. Tsuna tertawa canggung.
"Nyenyak. Semalam benar-benar hari yang panjang," akunya jujur. Ya, benar-bear hari yang panjang. Setelah Tsuna menghabiskan coklat panasnya, ia diberikan makanan oleh keluarga Sasagawa. Sungguh, Tsuna benar-benar tidak tahu harus membalas apa. Apa lagi sang polisi muda ini memperbolehkannya mandi di pos polisi dan mengenakan pakaian yang sekarang ia kenakan. Well, ia berkeringat karena berjalan entah berapa kilometer, ia juga sempat berbaring di atas rerumputan basah. Dah oh! Jangan lupakan bekas bau busuk mayat dan bekas darah yang menempel di pakaiannya.
Menggunakan pakaiannya lagi? Tidak... Sungguh, Tsuna benar-benar tidak mau menggunakannya lagi, tetapi bila mengingat dirinya yang tidak membawa sepersenpun uang, ketimbang membuangnya, Tsuna lebih memilih menjualnya. Ah... Untung saja Sasagawa Kyoko mau mencucikan pakaiannya.
"Hmn... Yamamoto-san rasanya aku masih ragu bahwa Yamamoto-san jauh lebih tua dariku," gumam Lambo. Ia duduk di kursinya seraya menghadap ke arah Tsuna yang mulai merenggangkan tubuh.
"Yah... Banyak yang berkata seperti itu," akunya geli. Well, umurnya 28 tahun dan wajahnya seperti remaja yang baru lulus SMA. Mungkin, karena hal itu juga beberapa kolagen baru cenderung menganggab dirinya remeh. Ah... gawat. Ia jadi benar-benar merindukan pekerjaannya sekarang.
"Hmn..."
Tidak ada lagi percakapan. Lambo merenggangkan tubuhnya seraya memandang ke luar Pos. Hari sudah beranjak terang—sudah pukul 7 pagi—dan satu jam lagi temannya baru datang. Yah... Shiftnya sebentar lagi selesai dan sosok yang mengaku bernama Yamamoto Sora ini menunggu kakak-beradik Sasagawa kembali datang. Lambo menghela nafs berat. Irisnya kembali memandang ke arah pria yang ternyata 7 tahun lebih tua darinya. Pemuda kantoran yang tersesat karena salah memasuki Bus. Sialnya, ia terhenti di Halte Namimori. Well, ini bukan kali pertama ada seseorang yang dengan terpaksa terheti di Halte itu. Dan sama halnya dengan si pria, sosok-sosok yang tersesat itu di bawa ke Pos—diseret untuk memberikan identitas, ditanya, dan setelah itu menunggu sampai ada seseorang yang menjemput. Orang yang menjemput pun harus memiliki izin. Biasanya, sekitar 2-3 minggu baru izin itu dibuat hingga mau tidak mau, orang-orang yang tanpa sengaja tersesat itu harus menjadi gelandangan—atau bekerja paruh waktu apapun demi sesuap nasi bila mereka kehabisan uang.
Dan masalahnya di sini. Yamamoto Sora menghilangkan dompetnya. Identitas dan uang berada di sana—membuat si brunette benar-benar akan menjadi gelandangan. Bahkan saat perwakilan klan Hibari datang memeriksanya tadi malam pun, Sora terlihat menjawab semua pertanyaan dengan yakin dan lugas. Menjelaskan beberapa hal tanpa keraguan sama sekali. Meski mengetahui wajah dari wakil klan Hibari—Kusakabe Tetsuya—sangatlah menyeramkan, sepertinya Sora tidak terpengaruh akan hal itu. Oh, tetapi entah ada angin apa, keluarga Sasagawa mau menampung Sora. Pria pekerja kantoran itu akan di bawa ke rumah Sasagawa pagi ini.
"Yamamoto-san beruntung sekali," lirih Lambo seraya menghela nafas. Tsuna yang tengah sedikit melakukan pemanasan di dalam Pos seketika menghentikan aksinya dan memandang Lambo dengan bingung. "Umumnya, orang-orang yang tersesat di sini cenderung kesusahan dan sangat terlihat menderita. Mereka akan memucat, memohon dan panik agar cepat diperbolehkan keluar dari kota, tetapi Anda terlihat santai," jelas Lambo.
Tsuna tertawa canggung mendengarnya. Mendapat berbagai macam kesulitan dan pengalaman membuatnya tanggap menghadapi berbagai situasi. Mentalnya telah terbentuk walau ia sempat benar-benar trauma dengan insiden mayat itu, tetapi... Hey! Sekarang pagi dan lagi ia berada di tempat asing kan?
"Umn... Apa aku terliat sesantai itu?" aku Tsuna seraya menggaruk pipinya dengan canggung. Ia memaksakan senyumannya saat memikirkan apa saja yang akan dilakukan selama seminggu. Ponselnya disita—benar-benar disita hingga ia tidak mungkin bisa menghubungi siapapun dan tas yang berisikan beberapa data keuangan salah satu anak cabang perusahaan juga ikut disita. Well, hanya data kecil dan pemeriksaan rutin, bukan hal yang terlalu rahasia. "Sebenarnya aku berencana menjual pakaianku," aku Tsuna jujur.
"Menjual?"
"Ee, aku tidak punya sepersen pun uang atau pun kenalan di sini, jadi aku berencana menjualnya. Mungkin bila aku sangat berhemat, uangnya bisa bertahan hingga keluargaku menjemput?" ucapnya asal.
Lambo tertawa. "Seberapa mahal pakaianmu, Yamamoto-san? Terlebih itu adalah pakaian bekas," ucapnya geli seraya menggelengkan kepala.
Tsuna menghitung-hitung dalam hati. Pakaiannya termasuk pakaian bermerk. Satu setel pakaian yang dikenakannya hampir seharga dengan sebuah motor baru. Tetapi... Hey! Itu pakaian bekas! Dan mau tidak mau pria brunette itu harus menyetujui ucapan Lambo. Ya, itu pakaian bekas, memangnya berapa mereka mau memberikan uangnya?
"Yah, setidaknya aku mencoba," akunya jujur.
"Wah... Ohayou Yamamoto!"
Kedua orang itu sama-sama menoleh ke arah pintu masuk Pos. Di sana, sepasang kakak-beradik Sasagawa berdiri—terlihat telah selesai dengan urusan mereka mengantar sayur-sayuran segar ke Toko.
"Ohayou, Oniisan, Kyoko-san," balas Tsuna ramah. Bukan keinginan Tsuna memanggil sok akrab seperti itu, tetapi karena sepasang Sasgawa ini lah yang memintanya. Kyoko yang lembut tersenyum mendengar sapaan itu.
"Kupikir Yamamoto-san akan lama tidur."
Tsuna tersenyum mendengarnya. "Aku mudah bangun dan susah tidur di tempat asing," jawabnya jujur. Pria berkulit tan dengan perban di kedua tangannya langsung masuk ke dalam Pos dan merangku Tsuna—sukses membuat pria mungil itu tersentak kaget.
"Kau memang hebat, Yamamoto!" ucapnya dengan nada tinggi yang membuat si brunette meringis karena kupingnya langsung terasa berdengung. "Kalau begitu kami pergi dulu, sampai nanti kepala afro!" ucapnya lalu menyeret Tsuna menuju truk pik-up berwarna putih miliknya.
Lambo bergumam jengkel—tidak suka namanya di ganti-ganti. "Jangan lupa suratmu, tanpa ini kau akan sangat kesusahan, Yamamoto-san," ucapnya lalu memberikan selembar surat dengan cap dan beberapa tanda tangan. Surat izin yang cara penggunannya mewajibkan untuk diperlihatkan setiap ia ingin membeli atau menjual sesuatu. Apapun yang berhubungan dengan transaksi.
Tsuna menghela nafas berat lalu memaksakan senyumannya. "Arigatou, Lambo-kun," ucapnya tulus lalu mengambil selembar kertas itu dan kembali berjalan menuju truk pik-up. Kyoko dan Ryouhei telah menunggu dan dengan semangat si brunette mengambil tempat di samping Kyoko—membuat perempuan berambut panjang itu jadi duduk di tengah-tengah.
"Ne, Yamamoto-san tidur sebentar sekali, apa tidak apa-apa?" tanya Kyoko khawatir saat Ryouhei mulai melajukan mobil mereka.
"Daijobu, aku sudah biasa," akunya jujur. Lalu, rona merah terlihat di wajah manis semi tampan itu. "Sebenarnya... Errr... Bila diperbolehkan, boleh aku meminta sarapan? Sebagai gantinya aku akan bekerja untuk kalian," pintanya malu. Jujur, Tsuna sudah mulai kelaparan lagi, padahal sebelum tidur ia sempat makan.
"Kebetulan sekali kami memang berencana untuk mengajakmu sarapan, Yamamoto!" jawab Ryouhei jujur. Tsuna tersenyum malu mendengarnya. Sepertinya pria berkulit tan ini sengaja mengucapkannya agar ia tidak terlalu merasa malu. "Dan soal pekerjaan, kami memang merencanakan hal itu."
"Eh?"
"Sebenarnya dari semalam kami sudah berunding. Kebetulan sejak kemarin pegawai kami cuti selama 1 bulan karena harus pergi ke Hokaido untuk mempersiapkan pernikahan saudaranya," jelas Kyoko. Ia tersenyum memandang kebingungan di wajah pria di sampingnya. "Dan Yamamoto-san orang kantoran, sudah pasti mengerti komputer kan? beberapa hitungan akutansi? "
Tsuna menelan liur paksa mendengarnya. Jadi semalam saat ia menelfon, itu yang mereka bertiga bicarakan? Astaga... Dirinya sudah dincar jauh-jauh hari rupanya. "Yah... Aku sedikit bisa," aku Tsuna jujur. Ia tersenyum memikirkan pekerjaan baru apa yang akan menantinya. "Arigatou sudah memberikanku banyak kesempatan, bahkan sudah repot-repot mau menolongku padahal aku hanyalah orang asing," ucap Tsuna tulus seraya agak membungkuk.
"Oh, tidak perlu dipikirkan, Yamamoto!" tawa Ryouhei. Ia melirik ke samping kanannya lalu kembali memandang ke depan. "Kau bekerja untuk kami dan kami memberikanmu upah hanya denga tempat tinggal dan makanan—ah, kami hanya bisa memberikan itu, tidak apa-apa?"
"Semua itu lebih dari cukup!" ucap Tsuna antusias. Ia tidak memerlukan apapun saat ini selain tempat berteduh dan makanan. Ah... Tsuna jadi tidak sabar menanti pekerjaan pertamanya. "Ne, jadi Oniisan dan Kyoko-san bekerja sebagai apa?" tanyanya penasaran.
"Kami pengantar sayur," jawab Kyoko. "Jadi, kami membawa sayur dari para petani dan menjualnya ke toko-toko, karena kebun berada di luar wilayah Namimori, jadi kami mendapatkan izin khusus," jelas Kyoko.
Tsuna mengangguk mengerti mendengarnya. Pantas saja semalam merekalah yang menemukan si brunette. Dan saat sepasang kakak-beradik ini pergi, ternyata mereka harus menjual sayur-sayur yang tadi mereka bawa ke Toko. Lalu mereka... Kembali lagi ke Pos? Alis Tsuna terpaut.
"Kalian tidak tidur? Beristirahat?" tanya Tsuna bingung.
"Oh, itu lah sebabnya kami memerlukanmu, Yamamoto," ucap Ryouhei seraya menyeringai senang. "Tugasmu menjaga Toko kami—ya, kami juga memiliki Toko, tetapi bukan Toko sayur, melainkan Toko Baju. Kami memiliki sebuah Toko di Vongola Mall."
Huh? Tukang antar sayur justru membuat Toko baju? Tsuna gagal paham. Apa ini yang namanya revolusi? Bukannya ikut menjual sayuran—atau hal yang berbau tumbuhan—keluarga Sasagawa malah membuat urusan yang berbeda.
"Ehehehe... Itu karena hobiku, Yamamoto-san," aku Kyoko geli. Tsuna refleks menoleh kembali ke bungsu Sasagawa. Perempuan manis itu tersenyum malu. "Aku ingin membuat Toko baju dan tabunganku cukup jadi... Kebetulan yah, aku membukanya saat ada kesempatan," jelas Kyoko jujur.
Tsuna menelan liur paksa. Jadi pekerjaannya adalah jadi kasir di Mall yang ia miliki sendiri? Oh astaga... Tsuna tidak tahu ini kesempatan bagus untuk melihat-lihat salah satu sebagian kecil kekayaannya atau harus tertawa miris karena jadi babu di rumah sendiri. Sungguh, pria brunette ini hanya bisa memaksakan senyumannya dan mulai membicarakan masalah lain.
.
.
.
Mengenakan setelan tuksedo berbuntut, Sawada Tsunayoshi harus mengakui selera seorang Sasagawa Kyoko memanglah sangat tinggi. Ia memandang pantulan dirinya sendiri di depan cermin 1x2 meter yang berada di bilik kecil ini. Well, Toko yang perempuan itu kelola dikhususkan untuk kalangan umum. Dari bayi hingga dewasa. Semua yang ia jual merupakan brand yang terkenal akan kwalitas dan harga yang tidak terlalu mahal. Dan seperti halnya dengan Toko pakaian pada umumnya, pengunjung dominan adalah kaum hawa.
Tsuna tersenyum puas saat teringat ia diarahkan beberapa hal tentang pekerjaannya. Memberitahukan apa saja tugas-tugas yang harus ia lakukan. Hanya melakukan pembukuan setiap hari, mengecek beberapa barang di gudang dengan telitit. Pegecekan barang masuk apakah ada yang cacat atau tidak, mengawasi beberapa pegawai yang bekerja. Jujur, ia tidak menyangka akan diberikan pekerjaan semudah ini. Well, tetapi bagaimana pun ia tidak boleh menganggab enteng kan? Pekerjaan apapun, asalah dilakukan dengan serius, sudah pasti akan menghasilkan yang terbaik. Tidak perduli mudah atau pun sulit.
Lalu kenapa ia mengenakan ini? Jawabannya mudah. Perempuan berhelai orange itu ingin melihat Tsuna mengenakan setelan formal ini—memastikan bahwa tubuh yang sebelumnya hanya mengenakan kaos oblong dan celana selutut ini akan berubah menjadi pangeran.
"Kyaaa! Yamamoto-san cocok sekali!" Kyoko berteriak senang saat melihat Tsuna yang keluar dari ruang ganti. Yah, Tsuna sangat terbiasa mengenakan pakaian formal begitu juga dengan lingkungannya. Jadi, mendengar pujian yang terasa berlebihan itu membuatnya merasa agak malu.
"A, arigatou," ucap Tsuna gugup. Dapat ia rasakan tatapan beberapa pegawai dan pengunjung Toko yang melihat ke arahnya karena teriakan perempuan manis itu. Oh bagus, Tsuna benar-benar tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini. Sedikit berdeham guna menghilangkan rasa gugupnya, Tsuna menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara berlahan.
"Ne, kalau begitu aku titip toko ke Yamamoto-san ya," ucap Kyoko kalem. Ia tersenyum menatap pria yang lebih tinggi darinya itu. Tsuna mengangguk.
"Ee. Serahkan semuanya kepadaku, Kyoko-san."
.
.
.
Tsuna menelan liur paksa. Semua pekerjaannya selesai dengan cepat hingga membuatnya—sedikit iseng—mencoba melayani pelanggan. Namun, niat baik ingin sedikit menambah pengalaman, dirinya malah sedikit-sedikit ditarik para gadis—meminta perhatian dengan berpura-pura menanyakan dimana letak ini dan itu, apakah warna ini cocok untuknya? Apakah ada ukuran ini? Dan bla-bla-bla sebagainya hingga membuat sang brunette merasa pusing sendiri.
ASTAGA! Sumpah! Salahkan kenapa toko ini tidak ada pelayan prianya! Sungguh, Tsuna benar-benar ingin berteriak dan berlari dari gerombolan gadis-gadis yang seolah sok imut memanggilnya—atau dengan berani menanyai siapa namanya dan meminta nomer ponsel. Okay, ini kelewatan. Gadis-gadis muda di Namimori sepertinya haus akan lelaki berjas sepertinya.
Trauma dengan kejadian yang membuatnya sangat terlambat makan siang—Kyoko memberikan uang makan siang hingga ia bebas untuk memilih makan di mana—Tsuna memutuskan untuk beristirahat. Ia bersumpah tidak akan melayani pelanggan perempuan dan memilih laki-laki saja nanti. Para perempuan itu memiliki parfum yang terlalu mencolok dan yang lebih parah, beberapa yang masih mengenaka seragam sailor terlihat ikut tidak mau kalah meminta perhatiannya.
Duduk sendirian di meja paling pojok restoran cepat saji, Tsuna mencoba memakan ayamnya dengan cepat. Ia tidak punya banyak waktu. Gara-gara dikelilingi banyak perempuan, entah kenapa ia jadi parno sendiri. Jangan-jangan nanti saat ia makan, akan ada perempuan yang ingin ikut makan dengannya? Lalu perempuan yang lain menyusul yang ternyata teman si perempuan yang pertama? Lalu ada yang iri dan sok akrab dengannya? Lalu tiba-tiba perempuan generasi(?) ketiga ikut menempel—
HIIEEEEEEE!
Wajah Tsuna memucat. Ia horror tingkat 12 membayangkan bahwa dirinya akan dikerumuni para gadis. Menelan liur paksa seraya menggigit suapan terakhrinya, sepasang hazel itu memandang sekitarnya dengan awas. Beberapa pengunjung menoleh menatapnya—berbisik dan sepertinya... Membicarakan dirinya? Huh?
Mengerjabkan mata bingung, pria yang berusia kepala dua itu baru menyadari bahwa beberapa meja di pojokan tempatnya makan terlihat kosong, padahal banyak sekali pengunjung di restoran ini. Kenapa mereka tidak menggunakan 2 meja yang jelas kosong ini? Alis sang Sawada kian terpaut—bingung dengan situasi yang tercipta di sekitarnya.
Deg!
BRAK!
HIIIEEEEEE!?
Tsuna histeris saat beberapa detik sebelum benda tumpul itu menghantam mejanya, ia berhasil bergeser ke kiri. Beberapa teriakan kaget turut terdengar menggema seiring dengan kejadian horror yang sukses membekukan suasana. Tidak ada yang bergerak. Semuanya terpaku ke satu objek yang berada di meja makan pojokan restoran cepat saji ini.
"Menghindar eh?"
Tsuna merinding saat suara barritone itu mengalun dengan nada dingin yang penuh cemooh tepat di belakangnya. Seincipun, sang brunette benar-benar tidak bisa bergerak. Oh, terimakasih atas instingnya yang bagus dan refleksnya yang hebat, nyawanya tertolong hingga yang menjadi korban justru meja-san yang sekarang tengah sakaratul maut. Tsuna horror. Tubuhnya mendadak bergetar ketakutan atas ancaman kehilangan nyawa yang ada di depan matanya. Ah, tidak, tepat ada di belakangnya.
"Herbivore yang berani duduk di meja ini hanya memiliki 2 alasan," nada sedingin es itu berbisik. Bahu itu mendadak menegang saat merasakan sesuatu seolah menyentuh helai coklat rambutnya. "Pertama karena Herbivore itu sangat idiot," sepasang hazel membola sempurna saat dari sudut matanya, Tsuna melihat wajah yang berada tepat di samping wajahnya. Tidak menyentuh namun sukses membuatnya menahan nafas. Jantungnya berdegub kencang—menyalurkan adrenalin yang mengirimkan singal tanda bahaya. "Atau karena Herbivore itu adalah orang baru," nafas hangat terasa di pipi kanannya—membuat tubuh yang mengalami tekanan berat itu gemetar. "Kau yang mana, Herbivore?"
Tsuna menelan liur paksa. Ia tahu bahwa dirinya haruslah dengan segera menjawab, namun tekanan atmosfer, ditambah sentuhan ringan yang seolah membelai helai rambutnya ini benar-benar membuat si brunette merasa dipojokkan. A, astaga... Kenapa sebelumnya tidak ada yang memperingatkannya sih!?
"A, aku orang baru... Ya, Yamamoto Sora," jawab Tsuna terbata—takut tingkat dewa bahwa ia akan salah bicara. Salah bicara, nyawanya terancam. Fix, Tsuna benar-benar merasa di ujung tanduk sekarang.
Sosok itu melepaskannya.
Tsuna bernafas lega saat sosok yang tidak diketahuinya itu tidak lagi melakukan kontak fisik dengannya. Kedua bahunya terkulai—mendadak merasa rileks setelah mendapat tekanan batin yang amat sangat.
"Yamamoto-san?"
"Hiiie—" Tsuna refleks membekap mulutnya karena berteriak memalukan. A, astaga! Kebiasaan lamanya benar-benar susah dihilangkan! Menelan liur gugub, sosok brunette itu menoleh ke sebelah kanan dan mendapati tubuh tinggi berotot berdiri menjulang di sana. Dengan wajah ala preman yang siap menghabisi nyawa, tidak lupa dengan ranting di mulut dan rambut roll zaman purba.
Ah...
Tsuna tersenyum canggung dan langsung berdiri. "Konnichi wa Kusakabe-san," ucap Tsuna sopan. Entah bagaimana, kemuculan sosok ini justru meredam rasa takutnya dan menghangatkan suasana. Well, fisik boleh seram, tetapi sikap Kusakabe terlihat seperti sosok dewasa yang benar-benar bisa diandalkan. Kusakabe membalas sapaan Tsuna dengan anggukan—membuat Tsuna tidak lepas memberikan senyumannya mendapati balasan kaku itu. Lalu, sepasang hazelnya menatap sosok yang lebih pendek.
Sepasang hazel dan metal bertemu—sukses membuat Tsuna berjenggit hingga refleks hampir memekik. Sepasang iris kelabu itu penuh intimidasi dan aura negatif, membuat amosfer tekanan yang tidak biasa. Okay, sosok berhelai reven yang mengenakan setelan jas itu sekilas terlihat sangat tampan nan memukau, sayang. Beribu sayang aura yang menakutkan ditambah kedua besi silver terlihat di kedua sisi tangannya—membuat Tsuna kembali mencicit takut.
Ia harus segera pergi.
"Gomensai!" Tsuna membungkukkan tubuhnya. "Aku benar-benar minta maaf karena tidak tahu kalau—"
"Daijobu," sela Kusakabe Tetsuya—sukses membuat sang brunette mengangkat kepalanya. Memandang sosok berwajah menyeramkan itu. Sepasang matanya melirik ke samping—memberikan kode singal bahaya. Menangkap kode itu dengan baik, Tsuna kembali menegabkan tubuhnya.
"Saya benar-benar minta maaf," Tsuna menunduk seraya menggosok tengkuknya. Perasaan tidak nyaman bergelayut di dadanya saat merasakan sepasang iris metal yang tidak henti memandangnya. "Saya undur diri dahulu, Terimaka—"
"Herbivore."
Tsuna membatu. Pergerakannya terhenti dalam seketika mendengar suara barritone yang rendah dan dalam itu. Ya ampun... Apa lagi salahnya? Sungguh, Tsuna benar-benar ingin menangis rasanya. Menelan liur paksa, sosok yang menyamar jadi Yamamoto itu menoleh. Memaksakan senyuman seraya menatap sepasang iris metal yang terlihat tajam itu.
"Ha, hai'?"
"Kudengar Klan Yamamoto merupakan Klan yang jago menggunakan samurai kan?" tanya sang reven seraya menyeringai—sukses membuat si brunette mendadak horror. Entah kenapa ia langsung mengerti arah pembicaraan ini.
"I, iie," Tsuna menggeleng cepat. "Hanya keluarga inti yang belajar, aku cuma sepupu jauh Takeshi-kun, jadi tidak bisa melakukan hal sehebat itu," kilahnya panik. Gawat! Gawat! Gawat! Ia benar-benar lupa kalau nama Yamamoto memang Klan pengguna samurai—entah aliran apa yang dianut, Tsuna lupa, namun nyatanya memang Yamamoto Takeshi sangatlah jago memainkan samurai.
"Ho...," seringai dari belahan bibir pucat itu semakin mengembang—sukses membuat Tsuna semakin memucat. A, apa yang dipikirkan—
HHIIEEE!?
Tsuna horror tingkat 12 saat tiba-tiba sebuah besi silver terbang ke arahnya dan menancap ke dinding yang berada di belakang Tsuna. Tubuh berbalut pakaian formal itu gemetar. Seandainya ia tidak bergeser, mungkin kepalanya lah yang akan berlubang. Takut, sepasang hazel itu menatap sosok berkulit putih di depannya dengan memelas. A, ayolah... Tsuna tidak melakukan kesalahan lagi kan?
"2 kali bisa menghindari seranganku, kau bilang tidak jago huh?"
AKU MEMANG TIDAK BISA SAMURAI!
Sungguh, Tsuna benar-benar ingin berteriak frustasi, menjambak rambutnya lalu berlari demi menyelamatkan nyawa, tetapi kenyataan pahit situasi yang tengah dihadapi sekarang tidak mendukung niat mulai si brunette. Berlari dan kabur? Mungkin si reven ini akan langsung menembak mati dirinya. Tetap di sini? Mungkin ia akan dipukul sampai mati. Okay, tidak ada pilihan yang bagus sama sekali bila berujung kematian semua.
"A, aku tidak bisa samurai," ucap Tsuna—nyaris putus asa. "Aku cuma lebih sensitif. Terkadang untuk beberapa kasus, aku bisa merasakan firasat buruk, hanya itu," jelasnya jujur. Ya, Tsuna bisa merasakan apakah seseorang berbohong atau tidak dan ia juga bisa tahu kapan nyawanya akan terancam. Sungguh, benar-benar kemampuan yang sampai sekarang sangat ia andalkan untuk kehidupannya bila mengingat jabatan tinggi yang selalu menjadi incaran banyak orang.
Si reven tidak mengatakan apapun lagi, namun sepasang metal itu terus memandangnya seolah tengah menelanjangi si brunette. Tsuna menelan liur paksa—merasa risih dengan tatapan tajam dan ekspresi datar yang sulit dibaca itu.
"Hn," gumam si reven tiba-tiba, lalu melangkah menjauhi meja tempat makan Tsuna begitu saja. Tsuna mengerjab beberapa kali melihat pria jangkung itu melangkah meninggalkannya.
Apa? Apa ini? Kenapa mendadak aku ditinggal?
Bingung, sepasang hazel itu menatap Kusakabe Tetsuya yang sedikit mengangguk ke arah Tsuna lalu mengekori si reven. Mengerjab beberapa kali, hanya satu hal yang ada di dalam kepalanya. Ia selamat, nyawanya tidak jadi diambil. Dewa Shinigami bisa langsung pulang tanpa perlu membawa nyawanya. Dan Tsuna benar-benar tidak bisa menahan desahan lega dari mulutnya. Nyawanya selamat. Nyawanya benar-benar selamat. Haah... Hari ini benar-benar bukan hari keberuntungannya.
.
.
.
Hibari Kyoya
Tsuna baru mengetahui nama dari sosok reven yang nyaris membunuhnya adalah Hibari Kyoya dari beberapa pegawai yang langsung nangis bombay memeluknya. Well, baru beberapa jam ia di tempat ini, sepertinya dirinya suah disukai banyak orang. Tetapi mengesampingkan hal itu, informasi yang diterimanya tentang penerus inti klan Hibari benar-benar informasi penting. Ia harus menghindari bungsu Hibari itu. Kenyataan bahwa anak ketiga dari Klan Hibari gila akan kekuatan dan satu-satunya yang cenderung bertindak mutlak karena anak pertama dan kedua berada di luar negri.
"Yamamoto-sama!" Tsuna menoleh ke arah kanan saat tengah memeriksa beberapa karung pakaian yang baru saja masuk. Sebelah tangan yang memegang papan berisikan list merk pakaian yang dipesan itu terdiam saat menatap salah satu pegawai perempuan menghampirinya dengan terburu-buru.
"Hai'? Ada apa?" tanya Tsuna bingung. Wajah perempuan cantik dengan seragam pegawai yang rapi itu memucat. Keringat membasahi pelipisnya saat sampai di dekat si brunette.
"Hi, Hibari-sama datang."
Tsuna membeku. Wajahnya mendadak memucat horror mendengar kabar mengerikan itu. Tidak perlu bertanya 2 kali, Tsuna langsung tahu siapa Klan Hibari yang dimaksudkan pegawainya. Hibari Kyoya. Tentu saja, pasti Hibari Kyoya.
"Untuk apa dia datang?" tanya Tsuna bingung. Ia mati-matian menekan rasa takutnya. Tidak... Ia tidak boleh terlihat takut. Walau agak trauma gara-gara insiden tadi sore, si brunette tetap harus menguatkan mentalnya. Satu-satunya alasan yang ada di otaknya adalah Hibari ingin meminta uang—pajak menjaga keamanan.
"Sebulan sekali, Hibari-sama memang sudah jadwalnya untuk membeli pakaian di sini," jelas sang Pegawai. Ia menelan liur paksa. "Biasanya yang melayani adalah Kyoko-sama, tetapi... Baru saja saya menelfon Kyoko-sama dan Kyoko-sama ternyata terkena flu."
Dengan kata lain, yang melayani Hibari itu sekarang dirinya!? AAAKKKHHHH! Kenapa kehidupan sulitnya tidak pernah jauh-jauh dari nama Hibari sih!? Semalam ketemu mayat yang ternyata ulah Hibari, terjebak seminggu di dalam kota ini juga gara-gara peraturan yang dibuat Hibari, tidak bisa bekerja dan mengurus pekerjaan gara-gara ponsel dan memegang komputer untuk buka internet dilarang oleh klan Hibari, menyamar gara-gara klan Hibari dan kejadian tadi siang... Ia nyaris mati JUGA KARENA KLAN HIBARI!
ASTAGA!
Tsuna menggelengkan kepalanya—mencoba menjernihkan isi kepala yang sudah berteriak nyaring memintanya menyuruh pegawai lain untuk mengurus orang itu. Well, ia yakin 100% tidak ada yang berani melayani si reven. Yah... Bila berani, pasti mereka sejak tadi melayani si Hibari itu kan? Menghela nafas berat, papan dan pena langsung ia serahkan ke salah satu pegawai.
"Cek dulu apakah semua pesanan dari merk-merk ini semuanya sudah masuk, jangan dibuka sampai saya kembali," ucap Tsuna tegas.
"Hai' Yamamoto-sama."
Tsuna menghela nafas berat. Hari pertama bekerjanya benar-benar bukan hari pertama yang bagus.
.
.
.
TBC
an:
aooiii baacckkk 'A'/
haa... rencana ini ff tuk event hero, tapi ini otak gk bisa diajak kompromi n malah keterusan ngetik _ _"
okay, errr... fic bru lgi. iya thu, malah multi lgi, tpi ini 1827 loh ya walau awal"nya beda pair XD
fic ini cuma 4 chapter kok, gk banyak. mungkin sekitar 1-2 minggu sekali saya akan update... :'
n di chapter ini... yah... Kang Hibari baru muncul setelah 6k karna autofocus ke Tsuna -;
okay~ yg udah baca n berniat ngasih saran, keritik, masukan, pujian, apapun itu selain flame silahkan klik kotak riview, 1 riview dr kalian sangatlah berharga :'3
ah, ada sedikit spoiler tuk lanjutan minggu depan XD
"Anda sangat profesional."
"Berhenti dari Toko Sasagawa, aku menginginkanmu."
Sang brunette jatuh terduduk di atas lantai. Seluruh tubuhnya mendadak terasa lemas dengan kemungkinan terburuk yang sang reven rencanakan.
Jaa nee~ ketemu minggu depan~