Chapter 1 : The Room.

Disclaimer: I do not own the Harry Potter wizarding universe, it belongs to J.K Rowling truly. Saya hanya salah satu dari sekian Muggles yang suka membaca fanfiction, dan kali ini, nekat menulis. Hehe. Since this is my very first fanfiction my apologies for any future mistakes found in the story. Review dari kalian akan sangat membantu!

3 Mei, 1998.

Sinar matahari pagi menembus celah bangunan yang dahulu tertutup rapat oleh tembok-tembok kuat dan besar disekelilingnya. Tembok yang kokoh berdiri seperti benteng, memisahkan setiap orang dibaliknya dari dunia luar, setidaknya itu yang ada di benak Hermione saat ia pertama kali menginjakkan kakinya di Hogwarts. Ia sudah terpukau sejak hari surat itu tiba, tergeletak begitu saja tepat di depan pintu rumahnya, dan mencurigakannya lagi sama sekali tidak menunjukan adanya seseorang yang meletakkan dengan sengaja. Orang iseng? Siapa yang benar-benar punya waktu untuk menyiapkan surat semanis ini untuk mengerjai seseorang. Surat berwarna putih dengan stempel berwarna merah hati dibelakang, Hermione Jean Granger, namanya tertulis dengan tinta hitam pekat yang kontras dengan warna amplop yang membungkus surat itu. Hari itu, Hermione Jean Granger, seorang Mudblood berambut keriting itu, membiarkan takdir menghampiri dan membawanya ke tempat di mana darah tertinggi mendominasi, tempat di mana terang dan gelap menjadi dua sisi yang berperang untuk keabadian. Dan bagi Hermione, tidak ada ruang untuk berdiri di area abu-abu. Dia lahir untuk berperang, tidak ada kata mundur.


Waktu berlalu seperti angin di musim semi. Hermione sampai pada titik dimana ia harus melepaskan kedua orang yang dicintainya, kedua orang yang tidak perlu menggunakan sentuhan sihir untuk membuatnya menjadi orang paling bahagia dibumi. Bahkan jika takdir mengambil apa yang ia punya, tidak ada waktu untuk mundur sekarang. Sang mama mengusap penuh sayang air mata yang tumpah di pipi putrinya itu, "Hermione, Hermione Jean Granger, ini bukan dirimu, penyihir paling cerah dalam abad ini. Sssh. Jangan menangis, kamu tahu semua akan baik-baik saja." Hermione memeluk kedua orangtuanya semakin erat, rasanya semakin berat saja untuk melepas mereka dari genggaman. "Singa kecil, jangan biarkan kegelapan mengambil semuanya dari dirimu. Disana, semua orang disana membutuhkan penyihir cantik kami. Kamu adalah salah satu dari terang itu, 'Mione." Hermione menatap sang papa yang melihatnya dengan senyum penuh keyakinan. "Go Gryffindor!" Katanya lagi. Mereka tertawa meskipun sekarang ini seharusnya itu menjadi hal yang paling berat untuk dilakukan, Hermione tidak sanggup untuk membayangkan apakah ia dapat memperoleh kehangatan seperti ini lagi, kehangatan yang diperoleh dari kedua orang tuanya. Tidak sanggup untuk membayangkan kehilangan mereka.

"Aku akan merindukanmu, Ma, Pa." Ia mengumpulkan kekuatan untuk memegang wajah mereka meskipun dengan tangan yang bergetar. "Aku menyayangi kalian. Selalu." Mr. Granger dan Mrs. Granger mengangguk pelan, dan menariknya ke dalam pelukan sekali lagi. "Kamu adalah terang di tengah-tengah kegelapan bagi kami, putriku, kami menyayangimu. Selalu."

Hermione menghela nafasnya, air matanya mulai membanjiri wajahnya, air mata yang entah sudah kesekian kali tidak bisa terbendung. "M-maafkan aku, maaf," tangisnya semakin kuat tapi ia meyakinkan dirinya sendiri untuk melakukannya meskipun dengan tangan yang bergetar. Kedua orang paruh baya itu berusaha meyakinkan anak mereka dengan senyuman meskipun mereka sendiri tidak dapat menahan kesedihan yang terpancar dari mata mereka, mata yang sudah terlihat lelah karena setiap tangisan. Hanya dalam sehela hembusan nafas juga satu ayunan tongkat sihir, maka semuanya selesai. Setidaknya itu yang Hermione lakukan, "Obliviate."

Sudah berselang 1 tahun sejak hari yang mematahkan hatinya itu. Sudah berselang hampir 7 tahun sejak ia pertama kali menginjakkan kakinya di Hogwarts, sekolah sihir dengan tembok kokoh, besar, dan menjulang yang ia pikir bisa melindungi setiap orang yang ada didalamnya. Tapi bukankah apa yang terlihat dari luar juga bisa menipu? Tempat ini, tempat seorang laki-laki seusianya dulu membuat pilihan yang salah, amat salah. Siapa yang akan pernah menduga jika kegelapan yang menyelimuti dunianya kini berawal dari balik tembok-tembok yang menjulang ini.

Tom Marvolo Riddle. Lord Voldemort.

Dia telah menjadi abu. Dia telah pergi.

Begitu juga dengan kegelapan yang datang bersamanya.


Hermione terbangun oleh sinar matahari yang kini menyinari wajahnya, memegang kepalanya yang terasa amat sakit, ia menoleh ke sekelilingnya. Tidak ada seorangpun berada di ruangan gelap dan dingin itu. Hanya ia sendiri, ditemani dengan sedikit reruntuhan di setiap sisi ruangan dan bau hangus yang ditinggalkan sisa pertempuran semalam. Tunggu, aku masih berada di Hogwarts? Ia mengerahkan semua tenaganya yang tersisa lalu mulai melangkahkan kaki kearah jendela di dekat perapian. Hangat sinar matahari kembali menyelimutinya saat ia memandang keluar. Danau Hitam adalah yang pertama kali mengisi pandangannya, matanya beralih ke pepohonan hijau yang tumbuh rimbun di setiap sisi danau. Hermione tersenyum mengingat hari-hari saat Rubeus Hagrid mengajar sebagai profesor Care of Magical Creatures, pelajaran itu selalu mengambil tempat di hutan dekat sisi danau, ia selalu ingin bermain di tepi danau untuk sekedar merasakan dinginnya air menyentuh kulitnya, tetapi tentu saja Hermione adalah Hermione, dia tidak ingin Gryffindor kehilangan poin tahunan hanya karena ia ketahuan melewati kelas.

Lamunannya buyar ketika ia menyadari dirinya tidak berada di Ruangan Asrama Gryffindor. Cormac McLaggen –ya, seseorang yang memiliki tentakel lebih banyak daripada tanaman Snarfalump , dia, Hermione, dan beberapa anggota Dumbledore's Army berada di ruangan Gryffindor saat pertempuran semalam, mereka menghalau Death Eaters yang tersisa, Antonin Dolohov dan Thorfinn Rowle. Yaitu dua Death Eater yang mengikuti dirinya, Harry, dan Ron sampai ke dunia Muggle setelah penyerangan di pesta pernikahan Bill dan Fleur. Dolohov dan Rowle adalah pengikut Voldemort yang diketahui sangat loyal juga bengis, tak terhitung sudah berapa banyak serangan mantra mematikan yang diarahkan kepada setiap orang di ruangan itu. "Bombarda Maxima!", Hermione mendengar suara Cormac yang membuat kedua Death Eaters itu terlempar keluar dari jendela. Mereka berhasil. Tetapi terlambat ketika bangunan ruangan itu mulai retak dan kemudian runtuh menimpa setiap sisi. Entah bagaimana, Hermione Jean Granger, tidak begitu beruntung untuk bisa keluar malam itu. Lalu semuanya menjadi gelap.

Hermione kembali melihat kesekeliling, kali ini pandangannya menelusuri setiap sudut, ruangan itu sangat luas dengan ornamen-ornamen antik berbentuk ular pada dinding dan perapiannya, terdapat bangku-bangku dan meja yang letaknya sudah tidak beraturan, pecahan-pecahan kaca dan lampu berserakan pada setiap bagian karpet hijau tua yang tertutup oleh debu. Matanya kini melabuh ke sudut dimana terdapat rak-rak kayu besar yang merupakan tempat buku-buku diletakkan, ia perlahan mendekat dan mengambil salah satu buku dengan sampul berwarna hitam dengan tulisan besar berwarna emas ditengahnya. Dibalik Sihir Hitam oleh Salazar Slytherin.

Hermione terperangah, semuanya hijau, dan ornamen-ornamen di setiap sisi semakin menegaskan bahwa ia sedang berada di…

"Ruangan Asrama Slytherin, kalau kamu memang sedang berusaha menebaknya. Tidak sehangat ruangan asrama kita, bukan? Hermione, ruangan Gryffindor hancur, tentu saja kamu tahu itu McLaggen. Ruangan Ravenclaw dan Hufflepuff dipakai untuk para korban, betul, mereka tidak mau kesini. Hanya ruangan ini yang tersisa jadi Profesor McGonagall berinisiatif menyuruh kami membawamu kesini setelah kamu pingsan, setidaknya ruangan ini memiliki perapian dan tempat beristirahat yang empuk walaupun penuh dengan ular." Lavender Brown, dengan luka halus di pipi dan memar di kakinya menyandarkan dirinya di pintu, selalu terus terang seperti biasanya. Hermione awalnya tidak mengerti mengapa Ron Weasley, si rambut merah sahabatnya itu, menyukai Lav –bagaimana ia lebih suka dipanggil. Mungkin hal itu berawal dari satu tahun kebelakang, dimana Harry, Ron, dan dirinya melewati masa-masa sulit. Lavender selalu ada disana untuk Ron. Hermione tahu, ketika Ron memandang Lavender dengan senyuman yang tulus. Hermione sangat tahu, sahabat terbaiknya itu bahagia. Saat itu dia belajar dan memahami bahwa cinta merupakan kunci untuk mengalahkan kegelapan yang ada.

Karena itu yang dilakukan oleh Lily Potter dan James Potter untuk Harry, memberikan seluruh cinta mereka, dan menukarnya dengan kemenangan.

"Mhm, Lav… Tidak seburuk itu kok. Aku menikmati pemandangannya. Mereka juga punya buku-buku yang tidak bisa aku temukan di perpustakaan. Kemana semua orang?" Ia mencoba bergurau. Rasanya sudah lama tidak berbicara lepas seperti ini. Tahun yang benar-benar berat, memang.

"Oh, 'Mione. Aku pikir setelah pingsan kemarin kamu akan benar-benar berubah," Lavender menggelengkan kepalanya. "Neville sedang mencari ramuan untukmu, rasanya dia pengalaman dengan tertimpa reruntuhan. Para profesor sedang berusaha mengembalikan keadaan seluruh kastil, sungguh, aku masih tidak percaya kita menang! Dan yang lain…. Mereka sedang bersiap untuk kembali ke The Burrow. Kamu tahu, pemakaman Fred." Suara Lavender memelan saat menyebut nama salah satu dari si kembar itu. Hermione memejamkan matanya, ia tidak ingin membayangkan bagaimana rasanya kehilangan anggota keluarga yang sangat dicintai. Sudah cukup.

"Semua akan baik-baik saja, Lav. Mereka keluarga yang sangat kuat. Fred, Fred tidak pergi meninggalkan kita, dia ada sini, di hati kita." Hermione menghapus air mata yang mulai turun membasahi pipinya. Lavender mengangguk pelan dan tersenyum, "Aku akan menunggu bersama yang lain, datang kapanpun kamu siap."


Dengan itu, Hermione kembali sendiri. Singa yang menemukan ketenangan di sarang ular. Dia membayangkan apa yang akan dikatakan Harry dan Ron kalau bertahun-tahun yang lalu mereka menemukannya disini. Tapi semuanya berbeda, sekarang.

Ia menggosok-gosokan kedua tangannya yang sedari tadi dingin, bagaimana ruangan ini bisa begitu dingin? Seperti mencerminkan hati setiap penghuninya. Mungkin Lav benar. Dia kembali berkeliling, langkahnya terhenti melihat sehelai syal berdebu berwarna hitam yang terletak di atas bangku besar ditengah ruangan. Tangannya mengambil syal itu, dan ia membiarkan jari jemarinya mengitari lembut setiap jahitan kain, sutra, gumamnya. Wanginya seperti kayu-kayu yang basah di hari hujan dan dedaunan yang terkena embun dipagi hari. Ia tersenyum. Ia tidak sengaja menyentuh jahitan halus berwarna hijau tua di ujung kain, Hermione membulatkan matanya. Jahitan tersebut membentuk dua huruf kapital dengan titik ditengahnya, sebuah inisial. Dan Hermione tidak akan pernah tahu kemana takdir akan membawanya setelah itu.

D.M