U

ujana /n/ taman

.

Jungkook kembali menatap tajam layar ponselnya yang menampilkan peta daring Geirangerfjord. Yang mana taman kotanya, Jungkook tidak tahu. Mana ada gambar taman di peta, atau lebih tepatnya, mana bisa Jungkook membaca peta.

Pemuda tinggi itu mendengus capek—capek, karena Jimin bilang taman kotanya dekat dengan hotel Jungkook tapi nyatanya Jungkook sudah berjalan selama dua puluh menit dan tak kunjung menemukan taman yang dimaksud Jimin. Damn, si pendek itu.

"Jungkook!" Suara bernada tinggi mampir di telinga Jungkook. Yang dipanggil menoleh, mendapati helaian oranye dan cengiran lebar dari si empunya.

Jungkook mengumpat dalam hati sambil berjalan cepat menghampiri.

"Kupikir kita akan bertemu di taman."

Jimin mengernyit, "Kau ini bicara apa, bocah? Ini tamannya."

Jungkook mengedarkan pandangan. Matahari sudah seperempat jalan, ternyata Jungkook berjalan lumayan lama. Rumput dimana-mana, tidak ada bunga-bungaan, tidak ada bangku, tidak ada lampu hias yang biasa ditata rapi. Jungkook melirik ke balik punggung Jimin, baru menyadari kalau pemuda itu tidak duduk di bangku taman melainkan batu hitam besar yang seperti tersesat di antara hamparan rumput hijau.

Tempat seperti ini apanya yang taman?

"Taman di sini memang sedikit berbeda," celetuk Jimin, seolah tahu isi kepala Jungkook. "Geirangerfjord tidak punya taman yang sesungguhnya."

"Yeah," Jungkook menjawab, sebenarnya lebih merasa nyaman di tempat sehijau dan sesepi ini.

Jimin tersenyum miring, mungkin salah mengira Jungkook tidak menyukai tempat yang dipilihnya. "Lebih mirip tempat menggembala kambing?"

"Iya," Jungkook menjawab lagi, jujur. Senyum jahil mengembang saat ia sadar Jimin mengernyitkan alisnya lebih dalam. "Tapi bukan berarti aku tidak suka, sih…,"

Seketika Jimin melakukan itu lagi. Senyum yang terlihat seperti milik bocah balita. Jungkook tidak tahan untuk tidak terpesona.

"Good," sahut Jimin. "Figured you'd like a view like this since that time you got lost searching for flowers. Lapangan rumput tanpa pohon pinus sepertinya akan kau sukai."

Jungkook mendengus, batinnya protes karena Jimin mengungkit masalah tersesatnya kemarin. Tapi toh yang keluar dari mulutnya malah, "Memang. Aku memang suka."

.


.

Jimin mengajaknya ke sebuah tempat makan yang unik, yang tempat duduknya ada di luar ruangan. Kursinya berupa kayu gelondongan yang diukir dan mejanya dibuat dari batu super besar yang bagian atasnya diratakan. Tidak banyak orang disana dan Jimin menuruti Jungkook untuk duduk di meja paling jauh, lima meter dari meja batu lainnya, dipayungi oleh pohon super rimbun yang Jungkook tidak tahu namanya.

Tempat pilihan Jimin itu nyaman. Jungkook bisa merasakan rambutnya sendiri menggesek pipi karena dipermainkan angin. Jimin juga terlihat nyaman, sejak tadi dia tersenyum-senyum kecil. Jungkook jadi ikut senyum-senyum.

"Aku tidak menyangka kau benar-benar akan datang." Celetuk Jimin setelah beberapa lama.

Jungkook menoleh dan mendapati pemuda di depannya tengah tersenyum miring. Dan, ya Tuhan, Jimin terlihat sangat menarik Jungkook jadi merasa minder.

"Maaf tidak membawa Hoseok bersamaku. Dia sedang asyik berbulan madu dengan kawanku yang satunya." Jungkook menyilangkan kakinya di bawah meja batu, sama sekali tidak merasa menyesal menyuruh Hoseok tinggal di hotel bersama Yoongi.

Jimin terkekeh, wajahnya kentara sekali menahan tawa. "Kalau mereka ke Norwegia untuk berbulan madu, kenapa kau ikut?"

Jungkook mengangkat bahu sok acuh. "Karena kami bodoh seperti itu."

Kali ini Jimin benar-benar tertawa. Suaranya bening dan lembut di antara gesekan daun-daun rimbun. Jungkook merasa seperti sedang memenangkan sesuatu ketika sadar Jimin tertawa karenanya.

"Lagipula," Jimin menyahut, "aku senang mereka mencampakkanmu, kau jadi bisa kesini."

"Aku tidak dicampakkan!" Jungkook menyambar cepat.

"Wow, oke, kau tidak perlu membentakku begitu." Jimin mengangkat kedua lengannya ke udara, berlagak menyerah.

"Maksudku, aku disini bukan karena aku ditinggalkan mereka." Jungkook cepat-cepat menambahkan, bibirnya ditekan jadi garis tipis yang panjang membuat lesung pipinya yang tidak terlalu dalam terlihat. Kebiasaan dari kecil yang sulit hilang. "Tapi karena aku mau."

Jimin tersenyum lebar. Dia melakukan sesuatu dengan hidungnya, seperti menghirup ingus yang tidak ada. There's something endearing about the gesture, Jungkook jadi ikut tersenyum.

Makanan mereka diantar dan Jungkook mengernyitkan dahi melihat cincangan kentang dan bacon yang disusun rapi diantara jamur dan kacang.

"Aku tidak tahu orang Norwegia sarapan seperti Amerika." Celetuk Jungkook. Berlagak bosan dengan menunya padahal ini kali pertama dia melihat hash brown.

Jimin mengucapkan terima kasih kepada pelayan sebelum memfokuskan perhatiannya ke Jungkook lagi. "Aku juga tidak."

Jungkook menatapnya dengan satu alis terangkat. Tidak percaya.

"Apa?" Jimin mengangkat pandangan dari piring saat sadar pemuda di seberang mejanya memandanginya dari tadi. Mengerti arti ekspresi Jungkook, Jimin mendengus. "Aku memang tidak tahu. Aku baru sekali makan di tempat ini."

Jungkook masih mengangkat alis.

"Aku mengajakmu kesini karena harga makanannya mahal."

Jungkook memutar mata. Jimin menyeringai menang.

"Dan, Jungkook," Jimin mengulum senyum di ujung bibir, "kau tahu 'kan kalau hash brown dan bacon itu sarapan orang Inggris?"

.


.

Jimin tidak bercanda ketika dia bilang makanannya mahal. Si rambut oranye itu bahkan punya keberanian untuk tertawa di balik telapak tangannya saat menyaksikan mata Jungkook yang membesar secara komikal saat tahu besar tagihan sarapan mereka. Mereka hanya makan dua porsi kentang yang bentuknya tidak karuan dan lembaran daging babi yang kelewat tipis, tapi Jungkook harus membayar segini banyaknya?

"Memoroti anak kuliah yang sudah bangkrut itu tindakan kriminal di negaraku, tahu." Jungkook menggerutu saat ia dan Jimin kembali menyusuri jalan setapak yang membingkai lahan berumput hijau.

"Negara kita," Jimin membenarkan. "Aku masih warga negara Korea."

"Kau bilang kau tinggal di Jepang." Jungkook menendang kerikil dengan ujung sepatu, berusaha mengusir harapan untuk bertemu Jimin di tanah kelahirannya.

"Hanya untuk menyelesaikan studi." Jimin menarik bibirnya ke salah satu sisi, ada kerutan tipis terbentuk di dagu saat Jimin melakukannya. "Biologi." Tambahnya setelah selang sepersekian detik.

"Manajemen." Jungkook menimpali singkat, hampir meringis karena pembicaraan tentang perkuliahan selalu membuat kepalanya perih.

"Oh, wow." Jimin menatap sisi wajah Jungkook, sedikit mendongak karena, Jungkook bisa dengan bangga bilang kalau, Jimin satu kepala lebih pendek darinya.

Lengan mereka saling bertubrukan beberapa kali, Jungkook sampai harus menjaga jarak tertentu antara mereka tapi Jimin tidak terlihat terganggu karenanya. Matahari sudah hampir di ubun-ubun tapi angin Norwegia masih saja berhembus sepoi-sepoi. Setidaknya jadi pelipur temporer atas terik surya.

Jungkook melirik rambut oranye Jimin yang ujungnya meliuk tertiup silir angin. "Yeah, wow."

"Aku penasaran bagaimana penampilanmu saat mengenakan seragam kantor." Jimin mendongak lagi, menubrukkan pandangannya ke bekas luka di pipi kiri Jungkook. "You know, kemeja putih, jas, dan kawanannya."

"Aku terlihat gagah mengenakannya." Jungkook membalas cepat, tidak sepenuhnya bergurau. Dia memang terlihat keren dalam balutan jas—atau setidaknya mantan cowoknya berpikir begitu dulu.

"Bet you will." Jimin menggumam, sesuatu di nada bicaranya terdengar mengganjal; tidak sungguh-sungguh.

Jungkook mengernyitkan alis mendengarnya. Jimin hanya tersenyum miring sampai sebelah matanya yang lebih sipit jadi tambah sipit.

"Aku hanya, um," Jimin menunduk, mengamati sepatunya dan Jungkook kemudian dengan sengaja melewatkan satu langkah agar kaki mereka berayun dalam irama yang sama. Jimin melakukannya begitu natural seolah ia tidak sadar ia melakukannya, Jungkook jadi ingin tersenyum. "Kau tidak terlihat seperti orang yang pakai jas Armani dan duduk di kursi kantor."

Jungkook mengangkat alis mendengarnya, sedikit—sedikit—terkejut.

"Oh, ya? Lalu aku terlihat apa, Jimin?"

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Tapi ketika dia menjawab, kedua matanya menyipit membentuk lengkungan sempurna dan dia tersenyum begitu lebar Jungkook bisa melihat gigi depannya yang tidak rata. "Tampan."

Jungkook menggigit bagian dalam pipinya, berusaha menahan senyum yang akan kelewat lebar jika dibiarkan merekah. Jimin di sampingnya terkekeh pendek, tulang pipinya yang tinggi terhiasi semburat merah jambu pucat.

"Aku hanya bercanda," Jimin bilang dan Jungkook harus pura-pura dia tidak kecewa saat dia sadar Jimin secara tidak langsung bilang kalau Jungkook tidak benar-benar tampan.

"Kau sendiri juga tidak begitu tampan." Jungkook menjawab sedikit pedas, kesal pada dirinya sendiri karena sudah melambung terlalu tinggi hanya dengan satu kata candaan dari cowok yang baru dikenal. Cowok yang super-duper atraktif dan punya senyum terbaik, tapi tetap saja baru dikenal.

Jimin mengernyit. "Kau harus lakukan sesuatu terhadap temperamenmu yang pendek itu." Komentarnya.

Jungkook mengangkat bahu. "Aku hanya bercanda." Ujarnya dengan intonasi semirip mungkin dengan Jimin, yang ditiru kembali tertawa di balik telapak tangan. Kalau begini terus, lama-lama Jimin bisa meyakinkan Jungkook untuk ubah haluan menjadi pelawak karena ia merasa dirinya sendiri lucu. Itu, atau Jimin memang selalu tertawa atas hal-hal tergaring sekalipun.

Lengan mereka bergesekan lagi dan kali ini Jungkook tidak bergeser menjauh.

.


.

Jungkook tidak bilang apa-apa saat ia berjalan menyimpang dari jalan dan lurus ke arah batu hitam besar di bawah pohon… trembesi?

"Trembesi." Jimin bergumam lirih dari balik punggung Jungkook, mengikuti yang lebih muda tanpa banyak protes. "Sayangnya ini bukan bulan Mei, padahal kau bisa memotret bunganya."

Jungkook tersenyum sendiri mengingat potret bunga oranye yang sekarang masih tersimpan rapi di memori kameranya

"Aku sudah punya banyak foto bunga ki hujan," sahut Jungkook, kemudian menambahkan, as an afterthought, "apa batunya boleh kita duduki?"

Jimin menatapnya aneh untuk sedetik yang terasa lama sebelum rambut oranyenya berayun-ayun saat yang empunya mengangguk. Jungkook menghempaskan bokongnya saat melihat sinyal oke dari Jimin, mungkin sedikit terlalu bersemangat karena tulang ekornya terasa nyeri. Jimin menahan tawa. Yang ditertawakan pura-pura tidak tahu, alih-alih Jungkook mengusap permukaan batu di tempat sampingnya, mengusir debu halus yang ada disana walaupun usahanya tidak terlalu berhasil. Menepuknya pelan, permintaan untuk Jimin agar duduk di sampingnya.

Jimin menurut. Matanya masih tak lepas dari Jungkook.

"…tidak banyak orang yang menyebut pohon trembesi dengan nama ki hujan." Jimin berujar setelah sekian lama, kalimatnya keluar seolah ia sudah memikirkannya hati-hati.

"Well, yeah, orang-orang menyebutnya begitu di Busan sana."

"Oh!" Jimin berseru. "Kau dari Busan? Kupikir kau tinggal di Seoul bersama Hoseok."

Jungkook menelengkan kepala. "Kampung halaman. Aku pindah bersama Hoseok-hyung saat diterima di Universitas Seoul."

"Ibuku juga ada di Busan," Jimin melirik sosok di sisinya, mencari respon, "aneh rasanya kita bertemu setelah setengah putaran bumi padahal kita bisa berjumpa di Busan."

Jungkook mengulum senyum, berusaha tidak membayangkan pelabuhan kapal dan burung camar dan Jimin berdiri di sampingnya di pinggir pantai Busan. "Yeah, sungguh kebetulan yang beruntung."

"Oh, please," Jimin memperbaiki duduknya, mengangkat kedua kaki hingga ia duduk bersila di atas batu. Lututnya menyentuh sisi paha Jungkook. "This was meant to be."

Jungkook sungguh berharap Jimin benar.

.

.

—U—


ps: menulis jimin disini sangat seru dan sulit di saat yang sama. seru karena rasanya seperti mengeksplor karakter yang benar-benar baru, sulit karena sifatnya terlalu baru rasanya hampir mustahil untuk mencontohnya dari park jimin asli.

i rly enjoy writing this tho. sorry it took so long (padahal gak ada yang nungguin).

1.7k of words bcs i know y'all starving.

pps: ini tidak di proof-read. in fact, saya bertanya-tanya apakah ada yang biasa dan bersedia menjadi proof reader disini? it'll help a lot.

also check out my new semi-canon jikook fic, in love and in love.