Clarity

Mereka bertemu di ruang badan konseling, dengan tujuan yang berbeda. "Kim Taehyung, ingin menguasai dunia." / "Park Jimin, ingin menguasaimu. Kalau bisa." A BTS Fanfiction. VMIN. Kim Taehyung x Park Jimin.

.

.

BANGTANSONYEONDAN belong to BIGHIT ENTERTAINMENT

WARNING!

Typo(s), Mature Content (language, alcohol, sex, etc), AU, OOC, and etc.

This is a vmin!switch, jadi dua duanya seme uke ya or seke. I told ya.

PAIR

Kim Taehyung x Park Jimin

.

.

Chapter 6 : Bucket List

.

.

ENJOY!

.

.

Jimin benar-benar tak berhenti untuk tertawa saat Taehyung baru saja menyelesaikan kalimatnya. Jimin tertawa puas sekali sampai rasanya ia harus ke dokter dan mengobati perutnya yang sakit dan kram karena terlalu banyak tertawa.

"Oke, kau mau minta diajari untuk ujian masuk universitas, oke diterima." Jimin menyeka air matanya yang menetes sedikit dari sudut kelopaknya,mendapat tatapan kejam dari Taehyung yang mukanya sudah kusut akibat lelah part time.

"Aku ingin belajar oke, seharusnya kau mendukungku, bangsat, kau meremehkanku?"

Sebentar lagi bulan Oktober datang, itu artinya kenaikan kelas mereka ke kelas tiga juga ulang tahun Jimin yang di depan mata. Awalnya Taehyung bertanya apa saja yang diinginkan Jimin dan Jimin bilang oke dengan apa saja asalkan itu dari Taehyung—yang kemudian mendapat tonjokkan pelan dari Taehyung yang geli akan ke-cheesy-an Jimin—ia akan menerimanya. Lalu Jimin juga bertanya apa yang Taehyung ingin dan ia ingin tiga, dan yang pertama adalah ajari Taehyung agar lulus ujian masuk universitas.

Jimin benar-benar tertawa sampai hampir terjungkir balik dari kursinya dan mencium lantai. Taehyung tak pernah mau belajar, tak pernah masuk kelas, ogah saat bulan-bulan lalu diajak belajar oleh Jimin. Tapi sekarang brandal itu minta dijari. Apakah Taehyung terbentur trotoar atau apa sebelum mereka bertemu?

"Okay Tae, aku akan mengajarimu, sumpah. Tapi heh, kau yang tak pernah mau menyentuh buku kenapa tiba-tiba mau belajar begini astaga?" Jimin menyesap kopinya, berharap tawanya akan reda lalu Taehyung berhenti menatapnya dengan ngambek yang lucu.

Mereka sedang ada di kafe tempat Taehyung bekerja paruh waktu. Jimin menyempatkan datang karena Taehyung bilang ia akan bekerja sedikit lebih lama hari ini. ini pukul sebelas malam dan kafe seharusnya sudah tutup satu jam yang lalu. Pemilik kafe bilang ingin mencoba membuka kafe lebih lama dan Taehyung bilang ia setuju-setuju saja. Jadi di sinilah Taehyung di temani oleh Jimin duduk di kafe menunggu ada pelanggan yang datang.

"Kau tahu kan aku tidak punya keluarga lagi?" Jimin mengangguk paham, Taehyung benar-benar sebatang kara dan paman atau bibinya benar-benar tak mau mengurusnya, dan kakek-neneknya sudah tiada, "Ingat saat kemarin aku bilang aku menemui Ahjussi?" Jimin mengangguk sekali lagi saat Taehyung dengan cheesy-nya minta izin padanya untuk mengunjungi Ahjussi, "Kami bertemu dan aku tak sadar dia sudah begitu tua. Dia adalah satu-satunya orang yang merawatku, secara tak sadar membesarkanku dan memberikanku banyak hal. Aku... ingin membuatnya bangga. Ingin dia hadir di acara kelulusanku, Jim."

Hati Jimin seolah mencelos dan jatuh ke dasar perutnya. Perkataan Taehyung benar adanya, Taehyung tak punya siapa pun untuk ia buat bangga, tak tahu untuk siapa hasil nanti ia bekerja atau prestasinya. Sepertinya, Jimin juga merasa begitu. Ia merasa tak berhak membuat bangga ayah jahanamnya dan ia tak tahu harus membuat bangga siapa.

"Oke, oke. Alasan diterima." Jimin tersenyum kecil, "Aku akan membuatmu masuk ke Seoul University, mau jurusan apa? Kedokteran?"

Taehyung mendecih sebal mendengarnya, "Tak usah muluk-muluk Jim astaga, aku juga tak yakin bisa jadi dokter yang benar."

Jimin dapat membayangkan bagaimana berantakannya Taehyung jika nanti ia jadi dokter, mungkin gunting dan perban akan tertinggal di dalam tubuh pasiennya atau Taehyung akan memulai operasi tanpa obat bius. "Kalau begitu, tentukan dulu jurusan yang kau mau. Ada beberapa aspek berbeda yang menonjol di setiap jurusan, jadi kau tidak perlu belajar semuanya. Hanya beberapa saja yang perlu dipelajari, tidak perlu semua."

Taehyung mengangguk-angguk paham, ia berdengung sebentar sebelum menepuk tangannya cukup keras, "Akan kupikir nanti, hehehe."

Jimin mendecih sebal saat ia kira Taehyung sudah menemukannya namun bocah itu malah bilang akan memikirkannya. "Terserah. Tapi kalau bisa secepatnya, okay?"

Taehyung tersenyum lebar dan mengangguk semangat, seolah baru saja menemukan semangat hidupnya kembali setelah sekian lama terkubur di dalam lubang. Jimin hanya ikut bahagia, senang dengan Taehyung kini tidak seawut-awutan dulu. Senang jika nanti Taehyung berhasil dan mereka akan tetap bersama.

"Oh Jim, permintaanku masih dua lagi." Taehyung melihat ke arah pintu berkali-kali, mencoba mengecek apakah pelanggan ada yang datang namun tidak apa-apa di sana.

"Ya sebutkan apalagi, kau ini banyak maunya sekali astaga." Jimin menyilangkan tangannya di depan dada, bersandar nyaman pada kursi berbahan kayu itu dan menunggu Taehyung untuk menyebutkan permintaannya.

Taehyung tak pernah meminta apa-apa darinya selain traktir makan siang atau traktir minum soju, itu pun Taehyung sengaja saat melihat Jimin sedang penat dan banyak pikiran. Dan selebihnya, Taehyung tak pernah meminta lebih. Bahkan saat Jimin bilang untuk Taehyung tinggal di apartemennya saja daripada apartemen Taehyung yang sempit itu, ia selalu menolak.

"Aku ingin hadiah darimu, barang apa pun aku akan menerimanya." Jimin hendak memrotes namun Taehyung dengan cepat mengangkat jari telunjuknya di hadapan wajah Jimin. "Aku ingin itu uangmu sendiri, hasil jerih payahmu. Bukan uang si Pak Tua itu, Jim."

Jimin mengangkat alisnya bingung, lalu Taehyung mengenggam tangannya lembut dan mengusap kulitnya pelan, "Jika kau ingin lepas darinya, kau harus bisa hidup tanpanya. Aku ingin kau bisa hidup tanpa bergantung darinya, mandiri dengan uangmu sendiri dan bukan uang darinya. Aku ingin melihatmu bahagia tanpa bantuannya Jim, aku ingin itu saja."

"Woah, Taehyungie, ada apa astaga? Ini seperti kau akan mati besok astaga jangan menakutiku seperti itu."

Taehyung tertawa lepas, ia menemukan raut khawatir Jimin yang benar-benar lucu dan menggemaskan. "Tidak damn, aku masih mau wisuda dengan menggunakan toga dan melempar topi, ingin tinggal di apartemen mewah dan punya mobil sport sepertimu astaga. Aku tak akan mati, okay?"

Jimin memutar matanya malas, "Lalu kenapa kau tiba-tiba begini padaku aku takut, kembalikan Kim Taehyungku yang tak pernah bicara halus padaku!"

Taehyung lagi-lagi tertawa melihat Jimin yang merajuk seolah mainannya yang ia sayang sudah diambil dan ia menginginkannya kembali. Kini kedua tangan Taehyung yang lebar itu menyelimuti tangan Jimin, mengenggamnya seolah akan hilang terhembus angin jika Taehyung melepasnya satu detik saja.

"Aku takut kehilanganmu Jimin, aku takut." Taehyung memandangi tangan Jimin yang ia genggam dengan tatapan sendu yang menyedihkan. "Melihatmu waktu itu datang padaku dengan babak belur dan bilang kau sempat koma, aku benar-benar takut untuk kehilanganmu Jimin. Aku ingin kau pergi saja dari rumah, hidup bersamaku atau apa pun. Yang terpenting jauh-jauh dari si Pak Tua itu dan kau tak akan menderita lagi. Aku tak mau melihatmu resah hanya karena takut ayahmu memukulimu, aku tak mau melihatmu resah hanya karena nilaimu yang turun satu koma lima. Aku tidak mau kehilanganmu."

Rasanya Jimin ingin memukul Taehyung karena mengubah hawa keberadaan di sini menjadi sangat melankoli dan dramatis, sampai membuat mata Jimin berair dan ingin menangis. Ia tak pernah mendapat perhatian lebih selain dari ibunya, dan kini Taehyung memberikannya dengan sepenuh hati; seolah memberi hidupnya agar Jimin bisa bernapas dengan lancar.

Perkataan Taehyung sangat polos dan inosen, benar-benar dari lubuk hati seseorang yang menganggapmu bahagia dalam hidupnya. Jimin tak pernah merasa hidupnya berharga, tak pernah merasa bahwa ia diinginkan di dunia. Namun saat Taehyung bilang demikian, Jimin berubah pikiran. Setidaknya ada satu yang masih menginginkan Jimin hidup bahagia di dalam peluk lengkung senyuman.

"Aku juga Taehyung, aku tak mau kehilanganmu. Aku tak punya siapa-siapa lagi yang bisa kupercaya selain kau. Aku tak tahu akan bagaimana hidupku saat ini jika tahun lalu aku tidak bertemu denganmu, Tae, mungkin aku sudah jadi boneka hidup si Pak Tua itu?"

"Kau juga sekarang masih, bangsat, kau masih disetir olehnya," Taehyung tertawa saat Jimin menampakkan wajah sebalnya, "ayolah, ikut kerja part time bersamaku atau kerja lainnya. Itu mudah sekali."

"Aku juga dari dulu ingin mencobanya... tapi tak diizinkan." Jimin mengangkat bahunya culas saat Taehyung bertanya kenapa ia tak diizinkan untuk kerja paruh waktu. "Dia bilang itu akan menyita waktu belajarku, dan uang untukku sudah cukup katanya. Kerja paruh waktu hanya membuang-buang waktu."

Taehyung berdecak malas. Pemikiran orang kaya memang selalu aneh. Maksudnya, Jimin bisa bekerja paruh waktu untuk bahan belajar bekerja di masa depan. Taehyung sebenarnya beberapa kali iri dengan kehidupan Jimin yang serba ada dan mewah, keluarga yang masih lengkap—minus ibu kandung, setidaknya dia masih punya ibu tiri—dan terkenal. Tapi setelah tahu Jimin menderita dan sangat terkekang, ia mengurungkan niatnya untuk iri. Dan niat untuk mengeluarkan Jimin lah yang selalu muncul.

"Tapi aku akan mencobanya, doakan saja aku tak ketahuan."

Taehyung menjulurkn tangannya dan mendapat sambutan highfive yang keras dari Jimin, berjabat sebentar sebelum saling menubruk tinju mereka. "Aku menunggu hadiah darimu."

"Aku juga, sangat menunggunya."

.

.

Jimin menarik napasnya panjang berkali-kali, menghembusnya dengan resah lalu berkali-kali pula berbalik dan hendak pulang. Ia berada di depan pintu rumahnya sendiri. Ia pintu rumahnya sendiri, rumah tempat ayah dan ibunya tinggal maksudnya. Ia memutuskan untuk datang. Jika ia tak dapat izin dari sang ayah untuk kerja paruh waktu, mungkin ibunya bisa?

Jimin tak pernah benar-benar bicara pada ibu tirinya, sudah terlanjur benci semenjak ibunya pergi dari rumah dan perempuan itu sudah langsung dinikahi oleh ayahnya. Ia selalu berspekulasi bahwa ibu tirinya yang menyebabkan perceraian sepihak orangtuanya. Tapi, pamannya bilang bahwa saat koma kemarin, ibu tirinyalah yang selalu ada di sampingnya dan menemaninya.

Hati jimin sedikit tergerak untuk berdamai dengannya, melupakan fakta dia penyebab perceraian meski itu bukan benar adanya fakta atau bukan.

Berkali-kali Jimin menarik tangannya dan berbalik badan, lalu ia kembali mengumpulkan niat dan mencoba untuk setidaknya menyentuh pintu kayu yang ada di hadapannya.

Dan berhasil. Setelah tarikan napas banyak dan tangannya yang tiba-tiba berkeringat banyak sekali, ia berhasil mengetuk pintu besar di hadapannya sebanyak dua kali. Hanya dua kali tapi itu cukup untuk membuat jantungnya berdebar.

Ia sudah meminta tolong pada Taehyung, meminta saran bagaimana ia harus berbicara pada ibunya. Tapi si bangsat itu, tak pernah sekali saja memberi saran dengan baik. ia malah mengalihkan topik dan bertanya apakah ibu tiri Jimin cantik atau tidak. Bedebah sialan.

"Jimin?"

Bam, pintu terbuka dan ibunya lah yang langsung menyapanya. Jimin hampir mati kikuk namun ia memaksakan sebuah ulasan senyum yang canggung.

"Ibu, a-apa kabar?"

.

Jimin duduk di sebuah kursi berbahan rotan di taman belakang rumahnya. Di hadapannya ada sebuah kolam ikan yang cukup besar dengan ornamen air terjun buatan di dindingnya. Ada puluhan ikan koi berenang dengan warna cantik saling berkejaran. Suara air di kolam sangat senada dengan cuaca siang hari ini yang sangat bagus.

Ibunya kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat yang asapnya masih menguar, lalu menaruhnya di meja di hadapannya. Ibunya duduk di kursi yang berseberangan dengannya, tersenyum lembut sekali hampir sehangat sinar mentari.

"Tidak sekolah?" Ibunya tiba-tiba bertanya saat sedari tadi hanya ada suara desau angin dan cucuran air dari kolam, ia terperenjat kecil dan menatap ibunya langsung. "Tenang saja, aku tidak akan memberi tahu ayahmu."

"Bolos?"

Sang ibu tertawa. Ini pertama kalinya mereka berbicara berdua, karena sisanya Jimin menolak bahkan hanya untuk bertatap muka. Suasana canggung sangat terasa akibatnya, Jimin hanya bisa ikut tertawa canggung saat ibunya tertawa.

"Ada apa ke sini Jimin-ah? Tumben sekali," Ibunya bertanya, kemudian menyesap teh hangat di hadapannya perlahan, memejam mata menikmati aroma teh dan gula yang manis menyapa lidahnya.

Jimin menggigit bibirnya, tak tahu harus bicara apa. Ia benar-benar merasa bersalah tidak berperilaku pada ibu tirinya meski sebenarnya ia sangat baik, berkebalikan dengan image ibu tiri dalam drama picisan atau pun film Cinderella.

"A-aku," Jimin menelan ludahnya kasar, "jangan beritahu Ayah, ya?"

Ibunya tertawa kembali, "Tentu, aku tak akan memberi tahunya."

Jimin menghembus napasnya, membuang seluruh grogi dan nervous yang melanda sedari tadi. Ia biasanya tak pernah seperti ini, gugup di hadapan orang lain adalah bukan gayanya. Tapi entah kenapa untuk sekarang... beda cerita.

"Aku ingin minta maaf," Jimin menatap jari-jarinya di atas meja, tak berani untuk menatap sang ibu, "aku membencimu tanpa alasan, aku benar-benar ingin minta maaf. Mengetahui bahwa kau sangat pengertian padaku, itu membuatku semakin bersalah. Aku benar-benar ingin minta maaf."

Tidak ada respon, Jimin dengan takut mendongak kepalanya dan mendapati ibunya menangis. Matanya membelalak kaget dan tak tahu harus berbuat apa. "A-apakah aku salah bicara? Astaga, maafkan aku—"

"Tidak Jimin, tidak, astaga," perempuan paruh baya itu dengan cepat menghapus air mata yang mengalir, "aku bahagia, sangat bahagia."

Sentuhan hangat terasa saat ibunya menggenggam salah satu tangannya dengan kedua tangannya, mengelusnya lembut dan sedikit bergetar, "Aku mengerti sekali kenapa kau tak bisa menerimaku dulu. Aku merasa sangat bersalah menerima lamaran dari ayahmu setelah mengetahui kabar ibumu, bahkan ibumu meninggal di hari pernikahanku. Aku benar-benar bersalah, dan aku patas mendapat penolakan darimu."

"Aku berusaha untuk membuatmu untuk mengakuiku, tapi semakin aku berusaha semakin aku merasa bersalah. Aku sangat mengerti perasaanmu Jimin, hatimu pasti sakit sekali." Ibunya kembali meneteskan air mata, terisak ringan dan masih mengelusi tangan Jimin dengan lembut. "Tapi melihatmu minta maaf padaku, aku juga merasa bersalah karena kau tidak berhak untuk minta maaf. Kau tidak salah sama sekali, aku yang salah karena tak bisa melihat kondisi. Tapi aku juga bahagia karena akhirnya kau mau menemuiku, berbicara padaku, aku sangat bahagia."

Hati Jimin mencelos, ibu tirinya juga punya beban dan perasaan bersalah saat menjadi ibunya. Ia memang egois, hanya ingin semua yang ia inginkan saja, tak ingin menerima keadaan yang baru. Tapi jujur dulu sangat menyakitkan, kehilangan ibu kandung saat ayahnya menikah dengan perempuan baru. Itu benar-benar sakit tatkala Jimin mengingatnya.

"Maafkan aku," Jimin bergumam kecil, "aku seharusnya tidak egois."

"Tidak, tidak. Jangan minta maaf lagi ya? Kau membuat rasa bersalahku bertambah dan bahagiaku berkurang," Ibunya terkekeh, dan Jimin juga.

"Aku selalu menolak fakta bahwa kau ibuku, aku masih sangat... merindukan ibu kandungku." Jimin mengingat wajah mendiang ibu kandungnya dan tersenyum, "Sangat merindukannya."

"Kau pasti sangat merindukannya, aku sangat mengerti hal itu." Perempuan di hadapannya semakin erat mengenggam tangannya, seolah Jimin akan hilang jika ia melepas genggamannya.

Mereka lalu mulai berbicara pada topik awal yang Jimin rencanakan, berpisah dari topik melankoli yang membuat Jimin semakin rindu kepada ibu kandungnya yang mungkin sekarang sudah nyaman tertidur di surga.

.

.

"Bagaimana, bro?"

Jimin mendatangi Taehyung di apartemen kecilnya, mendapati Taehyung sedang mengobrak-abrik apartemennya dan mencari buku sejak kelas satu yang ia simpan entah di mana. Jimin dan Taehyung sepakat membolos hari ini, padahal awalnya hanya Jimin yang ingin membolos tapi Taehyung berakhir ikut-ikutan dan bilang ingin mencari buku di apartemennya.

"Seratus persen sukses," kata Jimin, membantu memunguti beberapa buku yang berserakan di lantai yang sekiranya nanti berguna untuk proses belajar mereka, "ia bilang jika ayah bertanya apa yang akan aku lakukan, ibu akan bilang aku mengambil les di luar sekolah."

"Woah," Taehyung membuka salah satu laci di kolong meja belajarnya, dan memekik saat bertemu dengan buku matematika saat ia kelas satu, yang tentu saja masih suci dan bersih tanpa coretan apa pun, "kau sudah akrab dengannya rupanya, selamat."

"Ya, begitulah. Ternyata dia baik sekali."

Taehyung dan Jimin menumpuk buku yang dibutuhkan di atas meja belajar Taehyung, mungkin ada sekitar sepuluh buku mata pelajaran dari matematika sampai dengan sejarah Korea. Kebanyakan bukunya masih terihat baru karena pasalnya Taehyung sama sekali tak pernah menyentuhnya. Sekali dapat dari sekolah,langsung ia simpan entah di mana.

"Kau sih dulu, egois sekali," ungkap Taehyung sambil duduk di kasurnya, "sudah kubilang kan, tidak semua ibu tiri itu jahat."

"Yang bilang jahat siapa sih?" Jimin mengikuti langkah Taehyung untuk duduk di kasur yang sudah tak terlalu empuk itu, "Timing-nya tidak pas bodoh, dia datang saat ibuku meninggal. Mana mungkin aku bisa langsung menerimanya?"

"Ya, ya, aku akan mencoba mengerti hal itu."

Keduanya menghempaskan tubuh merea berbarengan ke atas kasur, entah sengaja atau tak sengaja tapi mereka mendarat di waktu yang sama. Mereka menggunakan tangan sebagai bantalan, menatap langit-langit apartemen Taehyung yang sudah tidak putih, ada banyak noda kecoklatan di ujung-ujungnya dan bercak tanda lembap.

"Kau sudah tahu mau part time apa?" tanya Taehyung tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamarnya.

"Ada beberapa pilihan," Jimin bergumam pelan, "Pertama, ikut bekerja di cafe bosmu. Kedua, menjadi pengajar tari di sekolah tari pamanku. Letaknya tak jauh dari sekolah, jadi mungkin hmm... lumayan?"

Taehyung mengangguk-angguk paham. Jimin benar-benar tak main-main saat ia bilang menguasai berbagai genre tarian. Awalnya Taehyung anggap Jimin hanya ingin pamer tapi setelah mengintip kelas seni dan melihat Jimin menari, Taehyung membuang spekulasinya. Tarian Jimin benar-benar indah, penuh perasaan pada setiap geraknya bahkan dalam setiap ritme napasnya.

"Ah, aku juga sudah tahu jurusan apa yang akan kuambil," Taehyung kini menoleh ke arah Jimin, dan mendapati Jimin juga sudah menoleh ke arahnya, "Arsitek?"

"Arsitek?"

Taehyung seolah bertanya pada Jimin apakah pilihannya oke dan Jimin malah berbalik tanya kenapa ia memilih arsitek.

"Ya, entahlah, itu keren?" Taehyung mengangkat kedua bahunya, "Dan mungkin kemampuan menggambarku bisa dimanfaatkan."

"Well, jika itu maumu," Jimin bangun dari tidurnya, menatap Taehyung dengan senyum yang sulit diartikan, "bersiaplah berperang dengan matematika dan fisika, sayang."

.

.

"Hah?"

Jimin mengerang frustasi, hampir menghempaskan meja di antara mereka andai saja mereka sedang tidak berada di kafe tempat Taehyung bekerja. Shift Taehyung selesai lima belas menit yang lalu dan Taehyung meminta Jimin untuk datang dan memulai acara belajar mereka. Dan ini baru pembahasan pertama tapi Jimin sudah sangat ingin menyerah.

"Logaritma lima ditambah logaritma dua lima dengan basis yang sama, sama dengan logaritma lima dikali dua lima, sama dengan logaritma seratus dua puluh lima, paham?"

Jimin menjelaskan pelan sekali sembari menuliskannya dengan rapi dan serinci mungkin di atas buku yang Jimin bawa sendiri,dan membiarkan Taehyung nanti menyalinnya tanpa melihat ke bukunya. Menurut Jimin itu metode paling baik karena membiarkan Taehyung mengingat apa yang diajarkan Jimin tadi.

"Ah, itu sifatnya?" Taehyung bertanya dengan semangat, "Ah, karena ini basis lima, logaritma dari seratus dua puluh lima hmm... berapa?"

"Lima pangkat berapa yang hasilnya seratus dua puluh lima sayangku,"

"Ah, tiga?"

"Betul sekali, ulang pekerjaannya."

Taehyung dengan patuh mengulang hitungan yang mereka kerjakan. Meski hanya logaritma dasar, tapi nampaknya Taehyung tak pernah benar-benar belajar sejak kelas satu. Ini pelajaran kelas satu, awal kelas satu tapi Taehyung tampak kesulitan.

"Ya Park Jimin, sepertinya aku tidak cocok dengan matematika, apakah aku harus berganti jurusan kuliah?" kata Taehyung setelah selesai menghitung ulang soal logaritma yang mereka bahas.

"Semua jurusan butuh matematika, ya walaupun golongan sosial tidak terlalu tapi dalam ujiannya mereka tetap memasukkan matematika." Jimin menyandarkan tubuhnya di kursi, sesekali tersenyum saat pelanggan melewati mereka dan menyapa dirinya dan Taehyung. Taehyung semakin terkenal di kafe ini dan Jimin juga. Entah feeling Jimin yang narsis atau bukan tapi pelanggan di kafe ini semakin bertambah sejak Taehyung bekerja

"Ya, sumpah, kepalaku pening sekali, haruskah kita istirahat dulu sebelum lanjut?"

"Ini baru satu soal bangsat, just one fucking maths problem,"

"Satu soal saja membuat kepalaku sakit, apakah tiga puluh soal akan membuatku mati Jimin-ah?" tanya Taehyung panik, "Wah, aku salut padamu yang sanggup belajar matematika selama dua tahun ini."

"Aku jadi bertanya-tanya bagaimana caramu naik kelas astaga," Jimin melipat kedua tangannya, menatap Taehyung sampai matanya menyipit kecil.

"Klasik saja, nyontek." Taehyung melebarkan tangannya seolah bangga apa yang ia lakukan tahun lalu saat ujian kenaikan kelas, "Aku oke dengan pelajaran lain dan bisa mengikuti, tapi untuk matematika, hell no."

"Dan kau akan nyontek lagi tahun ini?" Taehyung mengangguk semangat, menepuk dadanya dua kali seolah itu adalah kebanggaannya selama ini. "Buang jauh-jauh cita-citamu jadi arsitek bangsat, mereka freak matematika. Jangan pilih jurusan yang ada matematikanya."

"Haruskah aku bertapa di dalam gua untuk menentukan jurusan yang aku inginkan?" Jimin mengangkat kedua bahunya tak mau tahu karena itu urusan Taehyung, "Yang penting man, ayolah kita istirahat dulu, aku lelah beres sekolah dan bekerja, kita benar-benar butuh istirahat."

"Ya istirahat saja sana sendiri, aku mau mencari bahan soal lagi."

"Kau ini," Taehyung menutup buku yang terbuka di hadapan Jimin dan merapikannya,"ayolah istirahat denganku, mungkin satu dua ciuman denganku? Ah atau mau menggunakan kamar mandi staff atau ruang ganti?"

Taehyung mengelus pipi Jimin pelan, memainkan jemarinya yang panjang di pipi milik Jimin dan turun ke rahang serta lehernya. Taehyung seolah tak peduli ini di tengah-tengah kafe dan banyak pelanggannya yang menyaksikan.

"Kau bisa dipecat bosmu, sayang, apa kau begitu horny-nya setiap melihatku hmm?" Jimin mengenggam tangan Taehyung di pipinya, menurunkannya dan menaruhnya di atas meja lalu mengelusnya pelan dan teratur. "Kau ingin aku menciummu and make you begging me to fuck you in that tiny restroom? How dirty,"

"Ya ampun, sangat ingin astaga," Taehyung mendesis sedikit, Jimin sangat ahli menggunakan mulutnya untuk merangsang Taehyung bahkan hanya dengan suaranya, "aku ingin staff lain mendengar kita, mendengar betapa berisiknya aku karenamu. Ingin kau menghancurkanku. Bagaimana?"

"Hmm boleh," Jimin tersenyum manis, "Lima soal untuk ciuman, sepuluh soal untuk blowjob, dan dua puluh soal tuntas i'll fuck you rightaway, bagaimana?"

Jimin tertawa puas sementara Taehyung mengubah mukanya yang tadi antusias menjadi datar dan malas. Sungguh, perubahan drastis wajah Taehyung adalah hal yang paling lucu untuk hari ini.

"Bangsat, tidak jadi."

"Ayolah, tak kasian pada hasratmu yang sudah naik hanya karena dirty talks-ku? Hmm? Tak jadi ingin membuat staff mendobrak pintu kamar mandi dan melihatmu tengah memberiku blowjob?"

Taehyung mencebik kesal, sementara Jimin tertawa penuh kemenangan dan kembali membuka bukunya, menyodorkan pensil dan buku catatan Taehyung ke arah sahabatnya itu yang wajahnya makin tak bersahabat.

"Kuberi tambahan, tiga puluh soal beres aku akan mengikatmu di ranjangku dan aku akan membuatmu berteriak sampai suaramu habis sampai besok pagi, bagaimana?"

"Berisik," Taehyung mengambil pensil yang ada di genggaman Jimin dengan kasar dan menyalin beberapa soal di buku paket miliknya untuk dikerjakan, sementara Jimin terkikik puas sambil mengusap rambut Taehyung sambil berkata 'yes that's my good boy' yang membuat Taehyung ingin melempar buku di tangannya, "jika bukan karena tawaran menggiurkanmu itu aku tak akan mengerjakan soal-soal ini bangsat."

"Hmm, sepertinya ini metode yang benar untuk mengajarkan Kim Taehyung matematika, mungkin sebulan kedepan seperti ini kau lancar logaritma dan trigonometri."

"Ya aku lancar matematika sekaligus tidak lancar berjalan, bedebah," Taehyung mengerutkan dahinya bingung mendapati soal keempatnya yang sudah mulai sulit, "lima puluh soal aku yang akan memasang rantai di lehermu dan aku yang akan membuatmu mendesahkan namaku sampai pagi, deal?"

"Apa pun demi kau sobat," Jimin meminum kopi yang tadi Taehyung bawa untuk mereka berdua dan memandangi Taehyung yang sepertinya tengah bekerja keras menggunakan otaknya yang lama tak terpakai.

"Bangsat ini baru soal ke empat dan kenapa sesulit ini astaga?!" Taehyung menggebrak pelan meja.

Jimin tertawa kembali, "Sepertinya kau tidak akan sampai di lima puluh. Ayolah dua puluh saja, jangan bermimpi terlalu tinggi."

"Bajingan sinting," Taehyung menggeram kembali mendapati ia benar-benar terhenti di nomor empat, "bantu aku sialan kau bilang ingin mengajarkanku?!"

"Oke-oke, faktorisasi kan dulu lalu coret persamaan yang sama,"

"Fuck maths,"

.

.

.

-to be continued-

.

.

Author's notes:

Hai! Maaf ya agak pendek, aku belakangan ini kena writer blocks dan yeah, stuck di bagian ini jadi mungkin aku bikin 3k aja daripada makin banyak isinya makin ngawur :")))

Tadinya aku mau bikin chapter ini fluff tapi sepertinya kurang wkwkwk rencana chapter depan juga bakal aku bikin fluff jadi tunggu ya!

Last, jangan lupa review, fav, dan follow!

I sincerely thank you for you guys because this story is get a lot of positive response, thankyou! :')

[Overflakkie, 2017]