The Last 2%

[Remake Hunhan Version]

::

Story By Kim Rang

Sehun - Luhan

Other Exo Member, etc.

Genre : Yaoi, BL, Romance

Rate T

::

Oh Sehun milik Luhan

Luhan milik Oh Sehun

::

.

.

.

Luhan merasa tidak seharusnya dia melakukan ini. Kalau saja ayahnya tahu, pasti beliau akan memasukkan Sehun ke dalam sebuah karung dan menyeretnya. Luhan sadar yang dilakukannya saat ini tidak benar.

Luhan membiarkan seseorang masuk ke dalam apartemennya. Orang yang memang berniat untuk bermalam di apartemennya, bukan sekadar mampir. Tidak diragukan lagi, Luhan sudah gila. Tapi bagaimana mungkin Luhan bisa menolak seseorang seperti Sehun? Selain tampan, dia juga seksi, penuh kehangatan dan kelebihan-kelebihan lainnya. Belum lagi orang itu berhasil membuatnya meleleh. Luhan merasa tidak mungkin membiarkannya pergi begitu saja. Yang jelas Sehun berhasil membuat Luhan merasa tergoda dengan mengatakan akan bermalam di kamarnya. Luhan terpana dengan kata-kata Sehun tadi. 'Aku tidak ingin pergi. Karena aku adalah orang yang akan kau nikahi.' Cara Sehun mengucapkannya membuat Luhan sadar kalau dirinya menciptakan masalahnya sendiri.

'Orang ini akan menghabiskan malamnya di sini.'

Luhan tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Semua yang sedang terjadi saat ini adalah hasil perbuatannya sendiri. Jadi Luhan akan bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan dia yakin bisa melakukannya.

"Aku akan bersikap layaknya pria sejati."

Luhan mempercayai kata-kata Sehun dan membiarkannya masuk ke dalam apartemennya, tapi Luhan tidak menyangka kalau suasananya akan seaneh ini. Untuk menghilangkan suasana aneh itu, Luhan membuka pintu kulkas dan minum, sekalipun dia sedang tidak merasa haus. Sepertinya usaha itu tidak berhasil.

"Kamarku sempit, tidak banyak yang bisa dilihat."

Sebelum Sehun merasa kecewa dengan yang dilihatnya, Luhan sudah terlebih dahulu memberitahunya.

"Rapi."

Sehun berusaha memasukkan makna kalau dia tidak peduli dengan ukuran kamar Luhan.

"Kau yakin akan bermalam di sini."

"Iya."

"Seperti yang kau lihat, aku hanya punya satu tempat tidur. Dan, sudah jelas kita tidak akan berbagi tempat tidur itu."

Luhan sengaja menegaskan kata-katanya. Luhan memang mengizinkan Sehun bermalam, tapi bukan berarti dia akan mengizinkannya tidur bersama. Luhan bertekad bulat tidak akan berada di tempat tidur yang sama dengan Sehun. Dia tidak bisa mempercayai siapa-siapa, termasuk dirinya sendiri.

"Aku akan tidur di lantai."

"Pasti kau tidak akan merasa nyaman tidur di lantai."

Luhan mengatakannya tanpa alasan, padahal Sehun sendiri yang bilang kalau dia akan tidur di lantai. Lagi pula tidak mungkin menyeret Sehun ke tempat tidurnya.

"Maksudku, kalau kau sudah terbiasa tidur di tempat lalu tidur di lantai, pasti kau akan merasa tidak nyaman. Bukan berarti aku mengajakmu tidur bersama."

Sudah dua kali Luhan menegaskan hal itu. Entah kenapa.

"Sediakan saja selimut untukku."

"Aku juga akan memberimu bantal."

"Terima kasih. Kalau begitu aku mandi dulu."

"Apa."

Luhan terkejut. Luhan mengira Sehun mengajaknya mandi bersama. Dia tidak tahu kenapa sampai bisa berpikir begitu.

"Karena aku mau tidur."

Mendengar jawaban Sehun, Luhan ingin segera menghentikan kepalanya untuk berpikir sejenak. Ingin rasanya memukul-mukul kepalanya sendiri. Luhan membuka laci untuk mengambil sikat gigi baru lalu memberikannya pada Sehun.

"Terima kasih."

"Tidak perlu. Di dalam kamar mandi juga ada handuk yang belum dipakai."

"Baiklah."

Sehun mulai membuka jasnya, sedikit ragu karena Luhan menatapnya dengan mata rusanya.

"Karena aku mau mandi, aku harus melepaskan pakaianku."

"Semuanya?"

"Maksudmu?"

"Ah, tidak. Tidak. Lepas saja."

Luhan mengayun-ayunkan tangannya sendiri.

'Luhan. Jangan sampai kau bertindak bodoh. Kumohon.'

Luhan mengambil jas Sehun dengan hati-hati dan memperlakukannya seperti barang berharga. Ketika menggantungnya di lemari baju, Luhan menghela napasnya. Mendengar helaan napas Luhan, Sehun melepas dasinya. Pelan-pelan dan penuh keraguan. Dia yakin, Luhan tidak sengaja menghela napas berat seperti tadi. Selesai dengan dasinya, Sehun mulai membuka kancing kemejanya. Sosok Sehun yang ada di hadapannya saat ini terlihat liar, membuat Luhan kembali menghela napasnya, padahal Sehun baru melepas dua kancing kemejanya.

Sehun menyerahkan dasinya pada Luhan lalu mulai membuka kancing lengan kemeja dan melipatnya ke atas. Akhirnya Luhan bisa melihat lengan Sehun. Otot lengan Sehun terlihat agak tebal dan kuat. Lengan Sehun... besar.

"Aku mandi dulu."

"Aku punya kaus ukuran besar. Kau mau pinjam? Sayang sekali kalau kemeja mahalmu harus basah."

Di balik kata-katanya, Luhan menyimpan sebuah hasrat. Bukan karena dia ingin memakan lengan Sehun, tapi karena dia ingin melihat tubuh Sehun lebih jelas.

"Oke. Aku pinjam dulu."

Sehun sama sekali tidak menolak. Dalam hati Luhan merasa senang dan langsung memberikan sebuah kaus, yang menurut Howon lebih mirip karung, kepada Sehun. Dia ingin melihat Sehun berganti pakaian tepat di hadapannya. Seakan memahami keinginan Luhan, Sehun kembali melanjutkan membuka kancing kemejanya satu per satu. Setiap Sehun membuka satu kancing, Luhan menelan ludahnya. Setelah kancing terakhir, Sehun langsung melepas kemejanya. Luhan lemas melihat dada bidang Sehun. 'Apa yang dia lakukan sampai otonya bisa terbentuk seperti itu?' Rasa pegal yang dirasakan ketika memijat otot Sehun mungkin akan sama pegal akibat membuat adonan menggunakan tepung terigu. Dada Sehun terlihat kuat dan kencang. Pemandangan yang benar-benar menarik.

Sehun memberikan kemejanya pada Luhan dan langsung memakai kaus yang sudah Luhan sediakan. Luhan sendiri sedang berpura-pura tidak memandanginya. Padahal Luhan sedang mengamati tubuh Sehun baik-baik. Kaus itu sendiri terlalu besar bagi Luhan, namun saat Sehun yang mengenakannya, kaus itu menempel sempurna dan menampakkan garis tubuhnya dengan jelas. Bukan berarti Luhan tidak suka melihatnya. Justru sebaliknya, Luhan suka sekali, sampai dirinya merasa kepalanya dihinggapi pikiran-pikiran tak layak.

"Agak kecil, ya."

"Yang penting bisa kau pakai."

'Lalu, apakah dia akan melepaskan celananya sekarang?'

Sehun masuk ke kamar mandi tanpa melepas celananya. Melihat tubuh Sehun dari belakang membuat badan Luhan gemetar. Dia tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Lalu kenapa tiba-tiba dia merasa putus asa hingga hampir gila? Daripada memikirkan yang tidak-tidak, Luhan memutuskan untuk mencari celana dengan ukuran agak besar, yang bisa Sehun pakai.

"Sepertinya celana ini pas."

Yang baru saja dikeluarkannya dari laci adalah celana piyama berukuran besar, yang dibelinya bersama Yixing waktu pergi ke Dongdaemun dengan harga empat ribu won saja. Luhan berpikir kalau dia akan cocok memakai celana itu, tapi sesampainya di kamar dan mencobanya, celana itu ternyata membuatnya terlihat seperti wanita yang sedang hamil. Dia berniat memberikan celana itu pada ayahnya kalau dia pulang ke Rumah Beras.

Luhan bisa mendengar suara air mengalir dari kamar mandinya. Dia sempat bingung di mana sebaiknya dia meletakkan celana itu. Akhirnya dia menggantungkan celana itu di pegangan pintu dan diam-diam menempelkan telinganya di pintu kamar mandi. Sekarang bagian tubuh mana yang sedang dibersihkannya? Keramas? Atau mungkin mandi? Dia ingin tahu sudah sampai mana Sehun menggosok tubuhnya. Walaupun sadar kalau yang dilakukannya sekarang konyol dan tidak benar, Luhan tidak bisa melepaskan telinganya. Sebenarnya dia tidak ingin sekedar menempelkan telingannya saja, dia ingin melihatnya secara langsung. Luhan ingin tahu, di dalam sana, Sehun sedang menggosok tubuh yang mana dan sekeras apa dia menggosok tubuhnya. Luhan ingin melihat tubuh Sehun tanpa sehelai benang pun, dengan mata kepalanya sendiri.

'Apa yang aku lakukan? Dia kan bukan pasien rumah sakit.'

Walau dia sadar yang dilakukannya kurang pantas, Luhan ingin membenturkan kepalanya ke pintu kamar mandi itu. Luhan! Kemana akal sehatmu?

'Aigoo... ya Tuhan. Kenapa Engkau berikan cobaan seperti ini pada hamba-Mu?'

Luhan menempelkan dahinya di pintu kamar mandi. Dan, ketika merasa doanya terjawab, Luhan mulai bisa mengendalikan dirinya. Tapi, di saat yang bersamaan, tiba-tiba pintu terbuka. Ini membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di dada Sehun.

'Aigoo, ya Tuhan.'

Wajah Luhan menempel di dada Sehun. Dada Sehun agak keras. Luhan ingin terus berada dalam keadaan seperti ini, sampai pagi.

'Aigoo...'

Walau terkejut, Sehun tetap bisa menangkap Luhan dengan kedua lengannya.

"Kau tidak apa-apa?"

"Aku... aku tidak apa-apa."

Wajah Luhan tampak seperti anak kecil yang baru saja terlibat dalam sebuah masalah besar. Dengan cepat dia mengangkat wajahnya dari dada Sehun.

"Kau sedang apa?" tanya Sehun.

"Anu... Aku... ini!" jawab Luhan sambil menyodorkan celana piyama yang sedari tadi dipegangnya.

"Celana?"

"Aku rasa kau akan lebih nyaman memakai celana ini daripada celana yang sekarang kau pakai."

"Terima kasih."

"Aku tadi tidak sedang melakukan apa-apa. Sungguh."

Seharusnya Luhan tidak berkata apa-apa dan tenang saja.

"Aku tahu."

Sehun menerima celana yang disodorkan Luhan sambil menahan senyum lalu menutup pintu kamar mandinya.

"Bodoh!"

Luhan berusaha mengembalikan akal sehatnya dan berjalan menuju tempat cuci piring untuk mengambil air. Dia baru saja menuangkan air ke dalam mesin pembuat kopi waktu Sehun keluar dari kamar mandi.

"Celana ini... memang begini ya?"

Luhan tidak bisa menahan tawanya melihat Sehun saat ini. Celana itu terlalu panjang untuk Luhan, tapi ketika dipakai Sehun, celana itu terlihat seperti celana ketat 7/8.

"Sepertinya terlalu ketat untukmu. Pasti tidak nyaman ya? Tapi hanya itu celana ukuran besar yang aku punya."

"Biasa saja sih, tapi rasanya seperti sedang memakai stocking."

Sambil tersenyum, Luhan terus memandangi celana yang menempel di kaki Sehun. Ketika dia sadar, Luhan membalikkan badannya.

"Kau mau kopi?"

"Boleh."

Luhan memasukkan satu sendok kopi ke dalam mesin pembuat kopi lalu menyalakannya. Luhan, yang kemudian membalik badannya, hampir menjerit melihat pantat Sehun. Tampak bulat dan mengagumkan.

'Aku sepertinya benar-benar sedang tidak sehat.'

Luhan langsung mengalihkan pandangannya sebelum dia pingsan. Tubuhnya langsung terasa panas dan dia mengipas-ngipaskan tangannya ke wajahnya.

Sambil menunggu kopinya, Sehun membuka-buka buku yang ada di atas meja Luhan.

"Banyak sekali bukumu."

Sehun berkomentar melihat tumpukan buku di samping meja itu.

"Aku nasih punya banyak di luar."

"Di luar?"

"Ini."

Luhan menyibakkan tirai lalu membuka pintu menuju beranda. Sehun yang sudah berdiri di sebelah Luhan hanya bisa berkata, "Wow." Karena ukuran apartemennya tidak terlalu besar, Luhan meletakkan semua bukunya di beranda. Buku-buku itu menumpuk tinggi, hampir mencapai atap.

"Keren, kan?"

"Iya."

"Ini adalah harta karunku." Kata Luhan dengan bangga.

Sehun yang sedang mengagumi tumpukan buku itu sampai-sampai bicara pada dirinya sendiri, "Benar-benar keren."

"Aku... ingin mengumpulkan uangku untuk pindah ke rumah yang lebih besar dan berencana untuk membangun ruangan belajar sendiri, seperti yang sering aku lihat di film-film: ruang belajar yang penuh dengan buku, sampai-sampai kau membutuhkan tangga. Aku ingin punya ruang belajar yang seperti itu."

"O... Baiklah."

"Apanya?"

"Aku akan membuatkannya untukmu."

"Sehun-ssi akan membuatkannya untukku?"

"Iya."

"Ke...napa?"

"Karena aku ingin memilikimu."

Sehun mengatakannya sambil memberikan tatapan terdalamnya untuk Luhan.

"Mmm... Jadi kau akan memberikan segalanya supaya kau bisa memilikiku?"

"Iya."

"Ke...napa?"

"Karena aku ingin menikahimu."

Sehun mulai mendekatkan bibirnya ke bibir Luhan."

Glek. Entah bagaimana kata-kata itu mengalir secara alami darinya.

Luhan merasakan napas Sehun yang mencium bibir atasnya. Napas Sehun terasa hangat dan manis. Di saat Luhan sedang menikmati bibir Sehun, matanya terbuka.

.

Ding dong. Ding dong.

.

Bel kamar Luhan berbunyi.

Luhan membuka lebar matanya dan melepaskan bibir Sehun seraya mengumpulkan nyawanya lagi. Suara seseorang memanggil Luhan. Howon.

'Dia lagi?'

Seperti terkena aliran listrik, baik Sehun maupun Luhan menatap ke arah pintu.

"Luhan!"

Howon terus memanggilnya. Tidak salah lagi. Pasti dia mau meminta nasi dan kimchi.

"Ssst... Aku mohon kau jangan bersuara. Sedikit pun jangan."

Luhan memperingatkan Sehun dan melangkah ke arah pintu.

"Luhan!"

"Apa?"

"Buka pintunya."

"Tidak bisa. Aku sedang mandi." Jawab Luhan singkat.

Tidak mungkin dia membiarkan Howon masuk. Tentunya karena Sehun. Kalau Howon tahu Luhan membiarkan seseorang masuk ke dalam kamarnya dan menginap, dia pasti akan langsung menghubungi Rumah Beras. Jadi Luhan tidak akan membuka pintunya.

"Kau punya sisa nasi atau yang lain juga boleh."

Sesuai dugaan.

"Tidak ada. Aku saja tadi memesan jjampong."

"Serius? Ramyeon? Tidak ada juga?"

Howon terus bicara dan Luhan mulai merasa terganggu.

"Tidak ada. O iya, Hoya... aku hari ini benar-benar lelah. Aku mau tidur. Tolong jangan ganggu aku. Biarkan aku tidur."

"Kau ini! Bagaimana mungkin nasi saja tidak ada?"

"Sudahlah. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Sudah ya. Aku sedang tidak pakai baju."

"Baiklah. Mandilah dan langsung tidur."

Luhan bisa mendengar suara pintu kamar Howon tertutup. Howon sudah kembali ke kamarnya.

"Fiuhhh..."

Sehun menatap Luhan yang baru saja menghela napasnya.

"Siapa?"

"Temanku."

Luhan menjawab pelan dan langsung menuangkan kopi ke dalam cangkirnya.

"Teman?"

"Temanku dari Deoksan. Aku sudah berteman dengannya sejak SD."

Sementara Luhan meletakkan teko, Sehun duduk.

"Kalian tinggal di tempat yang sama?"

"Yang ada di seberang apartemenku ini adalah milik Hoya. Howon. Namanya Howon. Aku biasanya memanggil dia dengan Hoya saja. Kau mau gula?"

"Tidak. Tidak perlu."

Luhan memasukkan satu sendok gula untuk dirinya sendiri dan membawa dua gelas kopi ke meja kemudian duduk berhadapan dengan Sehun.

"Sepertinya kau tidak nyaman karena aku."

"Tidak. Bukan begitu. Hanya saja... aku tidak pernah membiarkan orang asing masuk ke dalam kamar seperti ini."

"Kau tidak punya kakak atau mungkin adik?"

"Aku tidak punya adik. Kakak laki-lakiku ada tiga, dua sudah menikah, yang satu lagi belum. Seperti yang kau lihat, tempat ini tidak terlalu besar. Jadi mereka juga tidak pernah ke sini."

"Kau punya tiga kakak laki-laki?"

"Iya. Banyak, ya. Kakakku yang pertama bekerja sebagai guru SMP. Lalu kakakku yang kedua dan ketiga ada di militer. Kakakku yang kedua ada di Angkatan Udara sedangkan kakakku yang ketiga di Angkatan Darat. Kakakku yang ketiga lulusan Akademi Militer."

"Oo..."

"Bagaimana denganmu? Kau punya saudara? Tidak termasuk kakak sepupu, ya."

"Aku punya dua adik perempuan."

"Jadi kau anak laki-laki satu-satunya dan tertua?"

"Iya."

"Oo.. Apa kegiatanmu hari ini?"

"Masih dengan pekerjaanku, membantu kakak sepupuku. Aku juga bertemu banyak orang."

"Banyak? Bertemu dengan banyak perempuan juga?"

"Tentu saja. Laki-laki dan perempuan."

Mendengar jawaban Sehun, hati Luhan langsung mencelos.

"Kau bertemu banyak perempuan? Apakah mereka cantik?"

Luhan memberikan penekanan khusus pada pertanyaannya.

"Karena mereka adalah orang-orang yang harus aku temui. Perempuan dan laki-laki cantik itu. Bahkan aku tadi sempat menurunkan seorang laki-laki manis dan cantik di Stasiun Jeoncheol, waktu aku dalam perjalanan menuju tempatmu tadi."

"Laki-laki manis dan cantik itu ada di mobil yang sama denganmu?"

"Iya."

"Dan kalian duduk bersebelahan?"

"Iya..."

Tiba-tiba Luhan merasa cemburu.

"Di kampungku, pria yang bertemu dengan lebih dari satu wanita atau pria yang dekat dengannya di sebut ddongkae (bajingan)."

Luhan yang berbicara sambil mencibir memandang Sehun yang terlihat bingung karena tidak paham.

"Kau tidak tahu ddongkae?"

"Ooo... ddongkae! Ya Tuhan."

Akhirnya Sehun tahu apa yang dimaksud Luhan dengan ddongkae dan tertawa lepas.

"Jadi kau cemburu?"

"Astaga... Cemburu? Siapa bilang?"

"Luhan-ssi. Kau terlihat lucu ketika cemburu."

"Aku tidak cemburu."

"Baiklah kalau kau tidak cemburu. Jadi, kalau nanti aku duduk bersebelahan dengan si pria manis dan cantik itu di dalam mobilku, tidak apa-apa kan?"

Sehun menyipitkan matanya. Dia berusaha menggoda Luhan.

"Lakukan saja kalau kau memang ingin disebut ddongkae!"

"Hahahaha..."

"Jangan tertawa. Tidak lucu."

"Iya, iya." Sehun menghentikan tawanya dengan terpaksa.

"Sehun-ssi. Karena aku masih mau menulis, kau tidur duluan saja."

Luhan mengatakannya tanpa ekspresi dan bangkit dari duduknya. Sehun langsung meraih tangannya.

"Kau marah?"

"Aku hanya pura-pura marah. Tapi... kau tidak ingin julukan itu kuberikan kepadamu, kan?"

"Tentu saja tidak."

"Baiklah kalau begitu."

Luhan tersenyum puas.

"Tidurlah."

"Baiklah."

Luhan mengeluarkan perlengkapan tidur seperti selimut dan bantal dari lemari. Ketika dia membentangkan selimut, Sehun yang berdiri di sampingnya sibuk menggumamkan kata 'ddongkae' lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.

"Baiklah. Sudah siap."

"Terima kasih."

Melihat Sehun masuk ke dalam selimutnya, Luhan jadi ingin menangkap, mengikat dan menjadikan Sehun sebagai tahanannya. Tapi seketika kesadaran Luhan kembali dan dia pun langsung berjalan menuju meja untuk menyalakan laptopnya.

"Kau tidak takut?"

Sehun menjawab, "Apa?"

"Takut aku akan menangkapmu?"

"Tidak."

"Aku takut. Aku takut, aku akan melakukan itu."

Mendengar jawaban Luhan, Sehun tertawa dan mengatakan, "You are a very lovely deer." Sehun mengatakannya dengan cukup jelas tapi Luhan tetap tidak bisa memahami perkataan Sehun. Luhan minta Sehun mengatakannya dalam bahasa Korea tapi Sehun malah balik bertanya bagaimana mungkin Luhan tidak bisa memahami yang dia ucapkan padahal kalimat itu tergolong mudah. Merasa tersindir, Luhan tak mengacuhkannya.

"Kau ingin lampunya dimatikan?"

Luhan menyalakan lampu belajarnya kemudian mematikan lampu kamar dan berjalan kembali ke mejanya. Walau sempat mondar mandir, Luhan tidak merasakan ada tangan yang mencoba untuk menangkap kakinya. Karena Sehun sudah berbaring di bawah, tidak ada hal lain yang akan terjadi. Luhan harus menyelesaikan skenarionya. Selama dua hari, hari ini dan besok, dia akan mengerjakannya dengan baik sehingga dia bisa mengirimkannya lusa. Tapi... satu kalimat pun belum berhasil dia tulis.

'Aku tidak mungkin begini terus.'

Dia tidak bisa berkonsentrasi.

Dia tidak bisa fokus menyelesaikan skenarionya dan bertanya-tanya apakah Sehun sudah tidur atau belum. Kalau dia masih terjaga, mungkinkah dia memiliki hasrat yang sama dengan Luhan? Otaknya tetap memikirkan Sehun.

'Jangan bertindak bodoh. Lebih baik fokus pada skenario saja.'

Luhan menatap layar laptopnya. Dia berusaha fokus, tapi pikirannya terus melayang ke sana- kemari.

'Apa yang sebaiknya aku lakukan.'

Rasa penasaran itu kembali. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan tengah malam begini. Dia mulai putus asa. Dia tidak bisa berkonsentrasi. Tiba-tiba dia mendengar sebuah suara. Ah, iya. Luhan tidak sendirian malam ini.

Jantungnya berdebar-debar.

Seakan hendak menjalani suntik botoks, tubuhnya tiba-tiba menjadi waspada.

'Apakah dia mau buang air kecil?' Pikir Luhan ketika dia semakin sadar ada yang melangkah mendekatinya.

'Jangan-jangan dia berjalan ke arahku?' pikir Luhan. Seketika wajah Sehun mendekatinya.

Luhan menarik kepalanya karena kaget. Sehun menatap monitor dan bertanya, "Ini yang sedang kau tulis?"

"Iya."

Luhan tidak bisa berpikir dan hampir tidak menjawab pertanyaan Sehun. Aroma tubuh Sehun menyebar.

'Kenapa aroma tubuh orang ini enak sekali?'

Luhan tiba-tiba ingin berubah wujud menjadi vampir yang muncul tanpa suara dan langsung merasakan Sehun sepenuhnya. Sehun membuatnya terangsang dan Luhan ketakutan akan terjadi sesuatu.

Jaraknya dan Sehun benar-benar dekat. Dengan tubuhnya yang besar, Sehun memeluk Luhan dari belakang. Sehun menempelkan wajahnya ke sisi kanan wajah Luhan. Dalam situasi seperti ini, tidak mungkin mulutnya tidak terasa kering.

"Aku boleh melihatnya?"

"Apa? Oh... ini? Tidak boleh." Jawab Luhan sambil mencoba menutupi layar laptopnya.

"Tidak boleh?"

"Walau ini hanya naskah, aku tidak bisa mempercayai siapa-siapa."

"Karena teman yang pernah mencuri sinopsismu itu?"

"Tepat sekali."

"Setidaknya beri tahu aku judulnya."

"Si Brengsek Jang Bokgu."

"Si Brengsek Jang Bokgu? Sepertinya menarik."

"Cerita komedi."

"A... judulnya sesuai kalau begitu. Aku ingin membacanya, tapi sepertinya aku harus menahan diri."

"Maaf ya. Aku tidak bisa membiarkanmu membacanya sekarang. Nanti saja kalau sudah kuserahkan, aku akan memberikannya padamu."

"Baiklah. Aku akan menunggu."

Karena jarak yang dekat sekali. Luhan hanya bisa melihat bibir Sehun ketika pria itu tersenyum. Bibir itu. Bibir yang menciumnya. Bibir yang selalu menyebut namanya.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau begitu." kata Sehun sambil meletakkan kedua tangannya di bahu Luhan, yang berhasil membuat Luhan merinding.

"Aku tidur, ya."

Sehun kembali masuk ke dalam selimutnya. Sekalipun tidak menganggunya tetap saja Luhan tidak bisa berkonsentrasi. Dia merasa tidak ada gunanya kalau dia hanya menatap skenarionya. Jadi dia pun memutuskan untuk mematikan lampu mejanya dan tidur.

"Aku juga mau tidur saja. Aku tidak bisa berkonsentrasi."

Luhan berhati-hati melangkah ke tempat tidurnya karena tidak ingin menginjak Sehun yang tidur di lantai.

"Kenapa?"

"Alasan yang memalukan sebenarnya, tapi tentu saja karenamu."

"Aku menganggumu?"

"Aku tidak bisa fokus. Apalagi aroma tubuhmu itu."

Mendengar jawaban Luhan, Sehun bangun.

"Berbaringlah."

Nada tegas dari Luhan membuat Sehun kembali berbaring.

"Jangan bangun. Jangan lakukan apa-apa. dan, jangan bersuara sedikit pun. Karena... kalau kau melakukan itu semua, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan."

Luhan memberikan peringatannya kepada Sehun dan menenggelamkan diri dalam selimutnya.

'Tidur. Aku mohon. Tidur saja.'

Luhan berusaha tidur. Dia pun mulai berhitung. Satu ekor kambing, dua ekor kambing... Lima belas ekor singa, enam belas ekor... satu ekor serigala, satu ekor serigala lapar... Satu ekor rubah lapar.

Tiba-tiba dia membuka selimutnya, bangun, turun dari tempat tidurnya, dan berjalan menuju kulkas untuk meminum segelas air dingin. Kemudian dia kembali menuju tempat tidurnya. Tidak ada tanda-tanda apakah Sehun sudah pulas dalam tidurnya.

"Dibandingkan aku... dia tidak 'lapar' rupanya."

Luhan tidak peduli suaranya terdengar atau tidak, tapi dia terus menggerutu sambil naik ke tempat tidur dan kembali menggelamkan dirinya dalam selimut. Namun, Sehun tiba-tiba bangun.

"Kau punya cotton bud?"

"Cotton bud?"

Sehun yang tiba-tiba bangun membuat Luhan bertanya-tanya kenapa tiba-tiba dia mencari cotton bud di tengah tidurnya. Luhan menyalakan lampu mejanya dan langsung membuka laci untuk mencari apa yang Sehun minta. Ketika mencari, jari Luhan tertusuk jarum rajut yang sempat dibelinya sekitar tahun lalu. Entah ada angin apa, tahun lalu dia mulai merajut. Namun hanya berlangsung tiga sampai empat bulan saja.

Beginilah cara menghabiskan waktu di malam ini, terjaga seperti seekor serigala. Lalu menemukan barang yang usianya cukup lama. Luhan merasa jarum yang ditemukannya tadi akan cukup berguna dalam situasinya saat ini. Dia mengambil dan menggenggam jarum itu, lalu memberikan cotton bud pada Sehun.

Dengan ekspresi datar, Sehun mulai membersihkan telinganya.

"Kau ingin kubantu?"

"Tidak."

Sehun menolak dengan tegas sementara Luhan masih belum habis pikir kenapa Sehun ingin membersihkan telinganya. Luhan pun kembali berbaring. Setelah selesai membersihkan telinganya, Sehun mematikan lampu belajar dan kembali berbaring sambil menghela napasnya. Luhan bisa mendengar jelas helaan napas Sehun tadi. Ini membuatnya kembali merasa tidak tenang. Luhan bisa merasakan suhu tubuhnya meningkat seperti seorang pasien yang membutuhkan perawatan. Ini siksaan. Di dekatnya terdapat seorang laki-laki seksi yang hanya bisa dia pandangi. Tidak lebih. Benar-benar siksaan.

Aneh rasanya jika mereka berdua berada di kamar yang sama namun tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Luhan yang menyadari suhu tubuhnya meningkat tidak bisa berhenti berpikir sama sekali. Untuk tetap menjaga kewarasannya, dia menusuk-nusuk pahanya dengan jarum yang diambilnya tadi, di bawah selimutnya. Satu kali, dua kali, ratusan kali dia menusuk dirinya sendiri, ternyata tidak ada gunanya. Dia tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan. Saat memejamkan mata dan berusaha tidur, dia mendengar sebuah suara yang membuat matanya terbuka. Dia melihat Sehun berdiri di samping tempat tidurnya.

'Hok! Satu serigala yang lapar!'

Luhan menelan ludahnya dan kembali menusuki pahanya dengan jarum.

'Aduh!'

Kalau Sehun menyerangnya, Luhan memikirkan apa yang sebaiknya dilakukannya: menerima perlakuan Sehun atau sebaliknya, melawan. Dia memikirkan kedua kemungkinan itu sambil terus menusuk-nusuk kakinya dengan jarum. Tanpa Luhan tahu alasannya, Sehun menuju kamar mandi. Tidak lama, Luhan mendengar suara air. Sepertinya Sehun sedang mandi. Apa yang membuatnya tiba-tiba mandi?

Luhan menanti Sehun yang tidak juga keluar dari kamar mandi. Menunggu dan menunggu. Luhan membuang jarum yang sedari tadi dibawanya dan sudah tertidur waktu Sehun keluar dari kamar mandi.

Luhan tadi sempat bergurau, "Aku takut terjadi sesuatu." Sejak mendengar kata-kata itu, suhu tubuh Sehun mulai meningkat dan memanas. Ketika dirinya berniat untuk bermalam di kamar Luhan, dia sudah bertekad untuk tidak melakukan apa-apa pada Luhan.

Keinginan untuk tidur di tempat Luhan muncul tiba-tiba. Awalnya, Sehun hanya berniat mengembalikan tas belanjaan Luhan. Dengan membawa tas itu di tangannya, Sehun kembali naik dan menekan bel kamar Luhan. Tapi di saat memberikan tas itu pada pemiliknya, Sehun jadi tidak ingin pergi. Walau dia tahu kalau Luhan tidak akan membiarkannya masuk, Sehun tetap ingin mencoba peruntungannya. Sambil mengungkapkan keinginannya, dengan ragu Sehun berharap Luhan akan berkata iya. Dia berharap Luhan mengabulkan keinginannya itu. Kalau Luhan berkata tidak, dia akan pergi, karena pria sejati tidak akan memaksakan keinginannya. Dia mengira-ngira jawaban Luhan dan ternyata Luhan mengabulkan permintaannya. Tentu saja dia gembira bukan kepalang. Walau harus tidur di lantai, tidak sedikit pun dia merasa tidak senang.

Sehun senang karena sekarang dia sudah tahu perasaan Luhan sebenarnya, Luhan terang-terangan menunjukkan kecemburuannya dan menyebutnya ddongkae. Bukan. Bukan itu yang membuat Sehun merasa senang sekali. Dia senang karena dia bisa menghabiskan malam ini bersama Luhan. Di satu sisi, Sehun senang. Tapi, di sisi lain, dirinya tersiksa karena dia harus melepaskan Luhan dari pelukannya dan hanya bisa memandanginya saja. Luhan yang cemas sesuatu akan terjadi, memintanya tidur saja. Tapi dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri dan merasakan siksaan tiada henti. Jarak antara Sehun dan Luhan tidak jauh dan menahan dirinya untuk tidak menyentuh Luhan membuat tubuh Sehun semakin bergetar.

Ketidakmampuannya untuk mengendalikan tubuhnya sendiri membuat Sehun bangun dan mencoba membersihkan telinganya. Dia berharap ini akan cukup membantu, tapi ternyata tidak sama sekali. Suara napas Luhan, lalu suara yang timbul karena Luhan bergerak, dan semua yang berhubungan dengan Luhan terdengar dan bisa dia rasakan dengan jelas.

Sehun yang tidak sanggup menahan dirinya bangun dan menatap Luhan. Dia mengalami pergumulan batin. Apakah sebaiknya dia memeluk Luhan atau menepati janji layaknya pria sejati. Perbedaan antara kepala dan hati. Kepalanya berkata sebaiknya dia menahan dan menepati janjinya. Tapi hatinya berkata sebaiknya dia memeluk Luhan. Sehun menatap Luhan sambil mengepalkan tangannya. Dia memilih menjadi pria sejati dan langsung menuju kamar mandi untuk membasahi tubuhnya dengan air dingin sambil berharap Luhan sudah tidur ketika dia selesai mandi.

Sehun merasa lega ketika melihat Luhan sudah tidur. Kalau ternyata Luhan nantinya terbangun, Sehun tidak bisa menjamin kalau dia tidak akan melakukan apa-apa terhadap Luhan. Sehun menatap Luhan yang sedang tertidur lalu mengecupnya. Setelah menunggu reaksi Luhan selama beberapa saat, Sehun kembali berbaring, Luhan tampak tertidur lelap. Sehun sadar kalau dia tidak akan bisa tidur malam ini.

.

.

.

Alarm ponsel Luhan berbunyi. Merasa kurang puas dengan tidurnya, dia menggerutu sambil mencari ponselnya untuk mematikan alarm dan kembali menutupi tubuhnya dengan selimut. Tidak lama dia ingin buang air kecil. Bagaimanapun juga, ini menjadi kegiatan rutin setiap pagi, kan? Akhirnya dia bangun dan turun dari tempat tidurnya setelah mengalami dilema, apakah dia akan menuruti hasrat membuang air kecil atau menahannya. Luhan baru menurunkan satu kakinya ketika dia merasa menginjak sesuatu yang terasa lembut.

'Omo!'

Dia melihat ke bawah dan menemukan Sehun yang sedang menatapnya. Benar juga, Sehun tidur di bawah semalam. Luhan yang kurang tidur sepertinya menginjak kaki Sehun.

"Maaf..."

"Tidak apa-apa. Tidurmu nyenyak?"

"Sakit?"

"Tidak." Jawab Sehun sambil membelai wajah Luhan, yang sesaat kehilangan kata-kata.

"Pasti badanmu sakit semua karena tidur di lantai."

"Tidak apa-apa. Lagi pula aku tidak tidur."

"Tidak tidur? Kenapa?"

"Aku sibuk memandangimu yang sedang tidur."

"Kau tidak tidur dan memandangi aku? Ke... Kenapa?"

"Karena aku merindukanmu."

"Kau pasti lelah karena tidak tidur."

"Kata siapa? Mm... boleh aku memberimu morning kiss?"

Setelah mendapat izin dari Luhan, Sehun langsung mencium bibir Luhan.

"Good morning."

"Me too."

Mereka tersenyum.

"Tunggu sebentar."

Luhan langsung berdiri dan menuju kamar mandi. Walau suasana di antara mereka sedang menyenangkan, kalau Luhan harus menahan lebih lama lagi kemungkinan dia akan mengompol. Setelah keluar dari kamar mandi, Luhan mencuci tangannya. Sehun masuk kamar mandi sesudah Luhan, yang langsung menuju pintu depan untuk mengambil yoghurt yang selalu ada di depan pintunya setiap pagi. Saat dia sedang membuka dua botol kecil yoghurt itu, Sehun keluar dari kamar mandi.

"Minumlah."

"Apa ini?"

"Yoghurt."

"Oo..."

Mereka bersulang.

"Kau mau sarapan apa?"

"Luhan-ssi akan memasakkannya untukku?"

"Tentu saja."

"Aku akan memakan apa pun yang kau berikan padaku."

Luhan membuka kulkas lalu menutupnya kembali. Di dalam freezer hanya ada katsu daging keju yang dibelinya dari homeshopping dan di dalam kulkasnya hanya ada dua telur dan kimchi. Melihat isi kulkasnya, Luhan mulai memikirkan makanan apa yang bisa dia masak.

"Sepertinya aku hanya bisa membuat sarapan yang biasa-biasa saja."

"Tidak masalah."

Luhan mulai mencuci beras dan memasukkannya ke dalam mesin penanak nasi, lalu dia mengeluarkan katsu dari freezer dan langsung memasukkannya ke dalam oven microwave miliknya. Berikutnya Luhan menuangkan minyak goreng ke penggorengan lalu menyesuaikan suhu.

"Penggorengan ini ku dapat dari undian homeshopping tempat aku memesan katsu ini. lalu, laptop yang ada di meja itu. Aku mendapatkannya lewat lelang umum dengan harga 28.594 won. Dan... tempat tidur serta lemari baju itu adalah hadiah yang aku dapatkan dari sebuah program kuis. Aku juga berhasil memenangkan kamera dari undian produk makanan kecil. Selain yang tadi sudah kusebutkan... masih ada lagi. Jadi isi tempat tinggalku ini sembilan puluh persen adalah hadiah undian atau sayembara. Itulah kenapa banyak orang menjuluki aku Raja Undian. Keren, kan?"

"Tentu saja."

Luhan mengeluarkan katsu daging yang sudah lunak dari microwave dan langsung menggorengnya. Dia pun mengeluarkan sebuah mangkuk dari dalam kulkas dan menyalakan api. Mangkuk itu berisi saus yang dibuatnya sendiri untuk katsu daging. Sup telur pun sudah siap dihidangkan.

Luhan meletakkan nasi yang sudah matang, katsu daging yang sudah dipotong-potong dan disiram saus, sup telur, dan lembaran rumput laut. Tentu saja ada kimchi yang dijadikan sebagai makanan pendamping. Tidak tampak buruk.

"Mari makan."

Sehun mulai menyantap makanannnya. Dia berharap bisa duduk bersebelahan dengan Luhan setiap hari dan menikmati sarapan bersama, seperti yang mereka lakukan saat ini. Sehun ingin bersama Luhan setiap hari. Bukan hanya hari ini.

"Aku tidak punya banyak makanan pendamping, tapi aku mencoba menghidangkan yang terbaik untukmu."

"Enak kok."

"Bagaimana dengan rumput lautnya? Kalau kau makannya begini... akan lebih enak."

Luhan meletakkan satu lembar rumput laut di telapak tangannya. Dia meletakkan sedikit nasi dan kimchi, menggulung lalu memasukkannya ke dalam mulut Sehun.

"Bagaimana?"

"Iya. Enak."

Kali ini giliran Sehun melakukan hal yang sama dan memberikannya pada Luhan. Di saat yang bersamaan Howon masuk. Rupanya Luhan lupa mengunci kembali pintunya waktu mengambil yoghurt tadi.

"Kau sudah masak nasi kan? Ayo kita barter dengan telur goreng."

Howon masuk ke dalam kamar Luhan sambil membawa telur goreng. Kemudian dia terdiam melihat ada seorang pria yang terduduk di samping Luhan. Luhan, Sehun dan Howon hanya saling bertukar pandang tanpa bisa berkata apa-apa.

"Siapa dia?"

"Oh... Ini..."

Luhan menjawab dengan terbata-bata. Melihat pakaian yang dipakai Sehun, Howon mengalihkan pandangannya ke arah tempat tidur dan melihat selimut yang berantakan di bawah tempat tidur Luhan.

"Kalian tidur bersama?"

"Mm... Anu..."

Luhan merasakan keringat dingin mulai mengalir di tubuhnya dan langsung bangkit dari duduknya. Sementara itu Howon mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mulai menekan tombol-tombolnya.

"Kau menghubungi siapa?"

"Rumah Beras."

"Jangan!" Luhan merebut ponsel Howon.

"Kembalikan."

"Tidak mau."

"Kembalikan! Kau ingin mati?"

"Bagaimanapun aku pasti akan mati. Brengsek."

"Kau memasukkan orang asing ke dalam kamar!"

"Lalu kenapa? Aku hanya membiarkannya menginap satu malam saja."

"Sama saja."

"Annyeonghaseyo, namaku Sehun, Hoya-ssi."

Sehun menyela pertengkaran Luhan dan Howon. Howon menoleh dan menatap Sehun. Dia tampak bertanya-tanya bagaimana Sehun mengetahui namanya.

"Aku mendengar kalau kau adalah teman Luhan."

"Aku lebih seperti penjaganya. Penjaganya. Dan, aku tidak akan memaafkanmu." Howon mengatakannya sambil menatap Sehun dengan tajam.

"Aku akan mengambil alih tugas penjaga itu, mulai sekarang."

Sehun berkata dengan tegas sambil terus menatap Howon.

"Apa?"

"Mulai sekarang aku yang akan menjaga Luhan." kata Sehun lagi.

Howon menatap Sehun dengan berani.

"Kata siapa?"

"Kataku sendiri."

"Tunggu! Tunggu dulu! Kalian berdua. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Pertama-tama, kita duduk dulu. Hoya... duduklah dan makan. Sehun-ssi juga. Duduklah."

"Kau menyuruhku duduk? Di situasi seperti ini kau masih bisa menyuruhku duduk!" teriak Howon.

"Memangnya kenapa? Kau berlebihan sekali. Memangnya aku merebut suami orang? Memangnya aku masih di bawah umur? Kenapa kau berlaku menyebalkan seperti itu?"

"Bicara saja terus! Kau ingin aku menghubungi Rumah Beras? Kau ingin aku memberitahukan ini semua kepada kakak-kakakmu?"

"Brengsek kau."

"Kau mesum!"

"Memangnya apa yang kulakukan sampai kau memanggil aku mesum?"

"Kami tidak melakukan apa-apa."

Kali ini pun tanpa diminta Sehun kembali menyela pertengkaran Luhan dan Howon yang sedang sama-sama berteriak.

"Bagaimana aku bisa percaya kata-katamu?"

"Aku pun tidak mempercayai diriku sendiri yang berhasil menahan diri." Jawab Sehun sambil tertawa.

Baik Luhan maupun Howon menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Senang bertemu denganmu, Hoya-ssi."

Sehun menyodorkan tangannya yang balas disambut oleh Howon.

"Mari kita makan bersama."

Sehun kembali duduk di meja makan sementara Howon memandang Luhan, Sehun dan meja makan dengan bergantian sampai tiba-tiba dia keluar ruangan.

"Awas kalau kau sampai menghubungi ayahku! Pria kejam!"

Luhan memandang ke arah Howon yang menghilang sambil menggerutu. Waktu Luhan berniat meminta maaf pada Sehun, tiba-tiba Howon kembali masuk sambil membawa sebuah kursi.

"Aku pikir kau pergi."

"Kalian berdua punya kursi masing-masing. Lalu, aku harus makan sambil berdiri?"

Howon membuka kursi lipatnya lalu duduk.

"Beri aku nasi."

"Kau ambil saja sendiri."

"Kan kau yang menyiapkan ini semua."

"Kau ini... benar-benar!"

Luhan melirik tajam pada Howon kemudian memberinya satu mangkuk nasi dan sup.

"Seingatku kau pernah bilang tidak punya nasi. Dan sekarang... kau bahkan menyediakan katsu."

"Jadi kau cemburu karena aku punya katsu?"

"Aku tidak bilang begitu. Howon, tolong betulkan pintuku. Mari kita barter tisu dengan makanan. Karena Jongin, aku sampai tidak bisa makan berhari-hari, jadi tolong siapkan makanan untukku. Aku melakukan itu semua untukmu. Tapi waktu aku memintamu untuk menyiapkan makanan untukku, kau selalu bilang tidak ada. Dan, sekarang kau memberinya daging katsu."

Howon terus bicara tanpa istirahat untuk mengambil napas.

"Nih!"

Luhan langsung memasukkan satu potong daging katsu ke dalam mulut Howon.

"Makan."

"Sebenarnya aku sudah curiga waktu kau tidak mau membuka pintu dengan alasan kau sedang mandi semalam."

"Aku kan sudah bilang. Tidak ada yang terjadi di antara kami. Sepanjang malam sama sekali tidak terjadi apa-apa."

Luhan berkata kesal dan menciptakan suasana yang cukup aneh. Sehun dan Howon menatapnya.

"Sepertinya kau kecewa."

"Apa? Bukan. Bukan itu maksudku."

Luhan buru-buru mengubah ekspresi wajahnya kemudian mengambil telur yang dibawa Howon dan memakannya.

Ketika berniat meluapkan kekesalan yang muncul karena kata-kata Howon, ada suara ponsel berdering. Mereka sama-sama mencari dan menerka di manakah ponsel yang berdering itu. Sehun berdiri dan berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil ponsel yang ada di dalam kantong jasnya.

"Halo. Hai, Nickhun."

Sehun berbicara dengan bahasa Inggris yang lancar. Howon hanya bisa terdiam memandangi Sehun yang sedang berbicara kemudian mengalihkan pandangannya ke Luhan. 'Pria Amerika yang sedang berwisata ke Korea.' pikir Howon sambil menggertakkan giginya. Dia kini tahu kalau yang dibicarakan Luhan beberapa waktu lalu adalah Sehun.

"Jadi kau mendapat ide cerita yang bagus waktu menginap di hotel?"

"Diam kau."

"Jadi kau akan menikahinya."

"Sudah diam saja."

"Pria itu tingginya mencapai 190 cm, sangat tampan, dan pandai berciuman?"

"Tutup mulutmu."

"Ya, ya. Terus saja kau sebut Dennis Oh."

Howon membalik badannya dan kembali memandang Sehun yang sedang menerima telepon. Sekarang dia tahu kenapa nama Dennis Oh waktu itu muncul dari mulut Luhan. Melihat Sehun, Howon yakin kalau pria itu keturunan Korea, tapi wajah pria itu tidak tampak seperti orang Korea.

"Dia bukan orang Korea ya?"

"Neneknya dari Amerika."

"Jadi... bagaimana rasanya berciuman dengannya? Enak? Cinta pada pandangan pertama?"

"Tutup mulutmu dan teruskan makanmu." kata Luhan dengan suara pelan.

Sehun kembali bergabung dengan Luhan dan Howon.

"Di desa kami, pria yang tidak bertanggung jawab setelah menghabiskan malam bersama disebut..."

"Ddongkae."

Howon sebenarnya enggan menatap Sehun. Tapi karena Sehun semangat sekali menjawab pernyataannya, mau tidak mau Howon menatapnya.

"Kau sudah tahu rupanya."

"Tentu saja. Aku yang mengajarinya."

Howon menatap Luhan yang menjawab dengan bangga dan kembali ke makanannya.

.

.

.

TBC

.

.

.

Haii ^^

Aku ngaret aja kan updatenya? Ngga ngaret banget? Wkwk

Pokoknya minal aidin aja buat ketidakberdayaan aku buat fast update.

Terima kasih buat kalian yang masih mau menunggu, membaca apalagi sampai mereview. Dan buat yang belum tahu Dennis Oh, dia itu beneran artis Korea, bukan nama lain dari Oh Sehun, cuss cek di mbah gugel, okay~

Mau curhat, boleh?

Jujur aku tahu, apa yang aku lakukan ini bukanlah remake, mungkin ini bisa disebut plagiat, karena mengcopy semua yang ada di novel itu, dan aku tahu aku bukan author yang baik.

Tapi apa yang aku lakukan ini semata-mata cuma karena merasa karakter utama novel ini bakalan lucu kalau di ubah jadi Hunhan, iya ngga sih? Hunhan makes everything better..

Romance di sini ringan banget, tapi manis..

Dan sedikit bocoran, bahwa ngga akan ada adegan anuan (kode buat yang mau nagih rated 17+++) XD

Cerita ini udah setengah jalan, dan aku berjanji sama diri aku sendiri, meskipun ngaret mulu, aku bakalan berusaha buat menyelesaikan ff ini (kalau bisa sih sebelum skripsi tahun depan, kalau bisa lho yaa, haha)

Oh iya, tahu film Luhan yang bakalan tayang tanggal 4 Jan 2017 nanti, The Great Wall? Buat kalian yang ada di daerah Jabodetabek, ada yang mau ikutan nobar sama para HHS? Info selengkapnya ada di akun IG aku ya hun12han20

Minal aidin lagi kalau author notesnya lebih panjang dari anuannya Sehun XD

Sampai jumpa di tahun 2017 yaa, salam 520!

:*

.

Mind to review?

.