The Last 2%

[Remake Hunhan Version]

::

Story By Kim Rang

Sehun - Luhan

Other Exo Member, etc.

Genre : Yaoi, BL, Romance

Rate T

::

Oh Sehun milik Luhan

Luhan milik Oh Sehun

::

.

.

.

Ponsel Luhan berdering. Sang pemilik yang sedang menyikat gigi buru-buru keluar dari kamar mandi untuk mengangkatnya.

"Halo?"

[Bisa bicara dengan Xi Luhan?]

Ternyata yang menelepon adalah seorang wanita dan dari nada suaranya, dia terdengar serius.

"Iya. Saya sendiri."

[Annyeonghaseyo, saya dari Agen Perjalanan Orion. Selamat, Anda memenangkan undian yang kami selenggarakan beberapa waktu lalu.]

Luhan terdiam dan menganga tidak percaya, "Saya menang?"

[Iya. Sekali lagi selamat. Anda memenangkan hadiah berupa voucher menginap satu malam di Hotel Arizona dan bisa langsung mengambilnya di kantor kami.]

"Pasti. Saya pasti ke sana."

Karena terlalu senang, Luhan terdengar seakan setengah berteriak.

Voucher menginap! Luhan langsung teringat Jongin dan berharap bisa pergi bersama pemuda itu.

[Hadiah bisa diambil paling lambat tanggal dua puluh dan jangan lupa membawa kartu identitas Anda.]

"Baik. Terima kasih banyak."

Luhan mengakhiri pembicaraan dengan raut wajah senang. Hadiah yang dimenangkannya kali ini tidak hanya sekedar bagus. Ini luar biasa! Tentu saja, semua orang akan senang jika memenangkan hadiah, tapi kali ini rasanya lebih menyenangkan. Tunggu! Voucher menginap di hotel? Sepertinya hadiah untuk pemenang pertama adalah jalan-jalan ke luar negeri.

Luhan langsung menyalakan laptop dan membuka situs Agen Perjalanan Orion untuk memastikan. Ternyata dia tidak berhasil memenangkan hadiah utama: berwisata gratis ke Asia Tenggara.

"Voucher menginap di Hotel Arizona... untuk juara kedua."

Sayang sekali. Sampai saat ini Luhan sudah memenangkan berbagai macam hadiah, tapi dia belum pernah mendapat hadiah wisata ke luar negeri. Dia sudah mencoba beberapa kali tapi belum juga berhasil.

Luhan selalu berpikir, "Kali ini pasti berhasil" , tapi ternyata kali ini dia juga masih belum beruntung. Omong-omong... Hotel Arizona? Lokasi hotel itu di mana ya? Dan, apa yang membuat hotel itu istimewa? Wah, ternyata, tarif hotel itu 300.000 won per-malam. Pasti hotel bintang lima. Tapi, kalau difikir-fikir, kalau dibandingkan dengan wisata ke luar negeri, hadiah ini juga tidak ada apa-apanya.

Meskipun begitu, ini masih jauh lebih bagus daripada hadiah untuk pemenang ketiga, alat rias, dan keempat, voucher isi ulang, yang sudah pernah pria ini menangkan beberapa kali. Inilah pertama kalinya Luhan memenangkan voucher menginap di hotel.

Luhan kembali ke kamar mandi untuk melanjutkan menyikat gigi, membasuh wajah, dan mencuci rambutnya. Begitu selesai, dia langsung keluar kamar mandi dan mulai bersiap-siap. Rasanya masih banyak waktu. Tidak lama kemudian, dia pun bergegas keluar untuk mengambil voucher yang dimenangkannya itu.

Walau harus beberapa kali berganti sarana transportasi, Luhan terus berjalan dengan penuh semangat. Dia tidak tahu mengapa semangatnya begitu menggebu. Bisa jadi karena dia berhasil memenangkan hadiah lagi atau mungkin juga karena hadiah yang dia menangkan ini tergolong mewah. Begitu keluar dari kantor Agen Perjalanan Orion, Luhan pun langsung menyimpan baik-baik voucher itu didalam tasnya. Seketika dia bingung. Sebelum mengikuti undian Orion ini, dia sempat berjanji pada Yixing untuk mengajaknya kalau dia berhasil memenangkan hadiah utama. Tapi yang dimenangkannya ternyata bukan hadiah utama, tidak sesuai dengan harapannya. Bagaimanapun juga, janji harus ditepati. Tapi, Luhan sebenarnya ingin menghubungi Jongin. Bukan Yixing.

"Jongin-ssi, maukah kau menemaniku? Di hotel..."

Hanya kalimat tanya itu yang melekat dalam kepala Luhan.

Tidak boleh! Bagaimanapun, janji adalah janji dan harus ditepati!

Sambil menelepon Yixing, Luhan berharap sahabatnya itu tidak bisa pergi bersamanya.

"Ini aku." Luhan berujar.

[Ya.]

"Sibuk?"

[Tidak. Ada apa?]

Yixing terdengar baru bangun tidur. Sepertinya dia habis menulis sampai dini hari.

"Aku menelepon karena ingin menepati janjiku."

[Janji? Yang mana?]

"Undian agen perjalanan itu..."

[Kau menang lagi?]

"Tentu saja..." jawab Luhan dengan bangga.

[Keberuntungan tampaknya selalu berpihak padamu. Kali ini apa yang kau menangkan?]

"Voucher menginap di Hotel Arizona."

[O, ya? Serius? Kau tidak bercanda?]

"Tidak. Kau akan menemaniku, kan?"

[Kapan?]

"Pokoknya sebelum tanggal 25, karena setelah itu high-season."

[Sayang sekali...]

Yixing terdengar menyesal.

"Kenapa?"

[Aku harus pergi ke Pulau Jeju tanggal 23.]

Entah mengapa, Luhan lega mendengar jawabannya.

"Ke Pulau Jeju? Untuk apa?" Luhan bertanya dengan nada menyesal, namun dalam hati dia senang bukan kepalang.

[Mm... Anu... Musim dingin ini aku terlibat pembuatan mini seri. Produksinya di Pulau Jeju. Mereka menyewakan kondominium untuk kami gunakan selama proses penulisan skenario.]

Yixing menjawab dengan sangat hati-hati karena merasa tidak enak terhadap Luhan. Mendengar alasan Yixing, raut wajah Luhan seketika berubah.

"Mini seri?"

[Iya.]

"Mini seri?!" Luhan setengah berteriak. "Wow! Selamat. Selamat untukmu..."

Pasti Yixing sedang senang sekali. Sepanjang tahun ini, Yixing sudah beberapa kali menulis naskah. Tentunya dia senang karena akhirnya ada yang akan dijadikan mini seri. Luhan iri. Iri sekali. Memang Yixing tidak menjadi populer dalam sekejap. Tapi kalau mini serinya berhasil mendapat rating tinggi, nama Yixing bisa melambung dalam waktu singkat.

"Selamat, ya. Selamat..." Luhan tidak bisa menyembunyikan rasa irinya.

[Maafkan aku.]

"Hei! Untuk apa minta maaf? Sudahlah. Aku tidak apa-apa."

Bagaimanapun, ini berita bagus. Yixing, yang tidak pernah menyerah menulis naskah, akhirnya berhasil. Tapi, di sisi lain, Luhan tidak bisa menahan rasa kecewanya. Mereka memulai semuanya bersama-sama, apalagi banyak orang mengatakan bahwa karya Luhan jauh lebih baik dibandingkan tulisan Yixing. Perasaan Luhan campur aduk: cemburu, iri, tertekan, kecewa. Memang benar awalnya dia berharap Yixing tidak bisa pergi bersamanya, tapi ketika harapan itu akhirnya menjadi kenyataan, apalagi setelah mendengar alasan Yixing... rasanya pahit.

[Luhan, maafkan aku.]

Yixing tidak bisa berhenti minta maaf.

"Memangnya kau melakukan apa? Sudahlah. Aku tidak apa-apa."

[Sekarang ini kau juga sedang menyiapkan naskah, kan?]

"Iya."

[Kali ini, kau pasti akan berhasil.]

"Tentunya. Tapi... tetap saja kau merusak kesenanganku. Huh!"

Luhan sedih. Bukan karena Yixing tidak bisa pergi bersamanya. Tapi karena Yixing akhirnya berkesempatan untuk membuat mini serinya sendiri.

"Sudahlah. Lebih baik kau suruh aku pergi dengan orang lain saja. Jangan membahas ini lagi."

[Baiklah.]

"Semoga semua berjalan lancar."

Luhan mengakhiri pembicaraan lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Raut wajahnya masih tidak nyaman.

"Hh... Aku iri. Mini seri?"

Kekecewaan yang Luhan rasakan tadi berubah menjadi perasaan iri hati. Bayangkan saja, Luhan sudah berusaha selama beberapa tahun bersama Yixing, tapi Yixing lebih dulu mendapat kesempatan untuk menggarap mini serinya. Luhan tidak bisa menahan rasa cemburu dan putus asanya.

Semua energi Luhan seakan lenyap. Sesampainya di kamar, dia langsung menjatuhkan diri ke atas tempat tidur lalu menghela napas dalam-dalam. Ketika Yixing mengatakan bahwa dia akan segera menggarap mini serinya, Luhan langsung menyelamatinya, karena dia merasa tidak perlu merasa iri. Tapi, tetap saja Luha merasa bahwa semua usahanya, sebesar apa pun itu, sia-sia. Luhan bisa saja mengubungi seorang sutradara yang dia kenal untuk meminta bantuannya, tapi dia tidak mungkin melakukannya. Tidak etis. Luhan sudah pernah meminta sang sutradara membaca naskah buatannya, tapi tidak ada respons. Kalau Luhan menghubungi sutradara itu lagi, dia pasti akan menilai Luhan sebagai orang yang tidak tahu diri.

"Hilang sudah semua energiku."

Semangat Luhan ternyata benar-benar surut. Sekalipun tadi dia menyelamati Yixing dengan tulus, dan berharap suatu saat nanti dia juga akan menerima berita baik, tetap saja Luhan kehilangan energi, seperti sekarang ini... sepertinya wajar. Iya, kan? Dan, di saat-saat seperti ini, Luhan kembali menyesal mengapa dia mengundurkan diri dari kantornya dulu.

Luhan memikirkan apa yang pernah ayahnya katakan, bahwa kesempatan tidak akan datang pada orang yang selalu terburu-buru, dan dia merasa seakan dirinya gagal. Selama ini Luhan melangkah cukup pelan dan kesempatan itu tak kunjung datang. Luhan ragu. Tanpa disadari, satu jam pun berlalu dan dia hanya berbaring saja. Akhirnya dia berhasil mengumpulkan kembali energinya dan tersenyum penuh harapan. Ketika Yixing akhirnya dipercayakan untuk menggarap mini seri, Luhan pun tidak sedang bersantai. Dia seharusnya merasa cukup beruntung karena bisa menerima uang yang cukup banyak dari hasil kerja kerasnya membuat jalan cerita untuk buku bergambar. Belum lagi, dia bisa hidup mandiri di Seoul, tidak pernah terlambat membayar pajak, dan setiap bulan selalu bisa menabung dua juta won, sekalipun setiap bulannya dipotong 50.000 won untuk angsuran unit yang saat ini dia tinggali.

Mungkin tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan Yixing, tetapi ini artinya Luhan bukan sibuk bermain. Sebaliknya, dia justru terus bekerja. Ketika ada yang bertanya siapa itu Luhan, bisa jadi tidak akan ada yang bisa menjawabnya. Luhan penulis tak dikenal. Memberikan judul karyanya, Jiwa Tak Beruntung, sebagai petunjuk untuk mengenali dirinya pun seakan tidak ada gunanya. Mungkin, yang bisa diingat adalah karya Luhan, kisah tentang tidak adanya perbedaan antara bahagia dan tidak bahagia. 'Mengapa, ya, setiap kali merasa gagal dan mencoba mencari tahu potensiku, aku malah menemukan semakin banyak harapan?' Luhan pun tiba-tiba tersenyum.

"Aku pasti bisa."

Dia bangkit. 'Aku pasti bisa. Kalau aku tidak menyerah, aku pasti bisa mendapatkan apa yang kumau. Tidak mungkin perjalananku mulus. Pasti akan ada hal-hal yang tidak menyenangkan. Berharap saja tanpa berusaha tidak akan ada gunanya.'

.

.

.

Luhan mengeluarkan voucher hotel itu dari dalam tasnya. Dia kembali tersenyum mengingat Jongin. 'Tidak ada gunanya merasa iri. Lebih baik aku memikirkan cara untuk memanfaatkan kesempatan baik dari Tuhan ini: menghabiskan malam bersama Jongin.'

Luhan membuka flip ponselnya. Setelah beberapa kali berdeham supaya suaranya terdengar jelas, Luhan menghubungi Jongin.

'Hmm... kenapa dia tidak bisa dihubungi? Aneh.'

Tidak biasanya, nada sambung yang didengar Luhan aneh. Padahal yang berusaha dihubunginya adalah nomor ponsel Jongin. Tapi yang terus menerus dia dengar adalah nada sambung yang tadi. Benar-benar aneh.

'Kenapa, ya?'

Luhan terus mencoba menghubungi Jongin, tapi tetap saja tidak berhasil. Sepertinya ada yang salah dengan jaringan teleponnya. Sudah empat kali berturut-turut Luhan mencoba menghubungi Jongin, tetap saja panggilannya tidak tersambung. Atau, mungkin Jongin sedang ada di daerah pegunungan yang susah sinyal, atau bisa jadi juga dia sedang ada di dalam kereta bawah tanah. Luhan sedang mempertimbangkan untuk mengirim SMS saja ke Jongin, ketika akhirnya Jongin mengangkat teleponnya.

"Jongin-ssi?"

[Ya. Ini aku.]

"Hampir saja aku menutup teleponnya."

[O, ya?]

"Sulit sekali menghubungimu. Kau ada di mana?"

[Aku sedang ada di Prancis.]

'Prancis!' Di luar perkiraan Luhan, jaringan dan kualitas suaranya cukup bagus. 'Asyik juga, ya. Ternyata ponsel Korea pun bisa digunakan di Prancis.'

"Prancis? Dalam rangka apa?"

[Dinas kantor. Maaf aku tidak memberitahumu.]

'Iya juga. Kenapa dia tidak memeberitahuku?' Rasanya Luhan ingin sekali berkata, 'Kita ini kan pacaran!' Tapi dia menahannya, hanya untuk bersikap sopan kepada Jongin. Luhan sendiri masih agak sungkan untuk menghilangkan kesopanan itu dalam hubungan mereka.

"Bagaimana Prancis? Sampaikan salamku..."

'Apa yang baru saja kukatakan?! Langsung saja sampaikan alasanmu menghubunginya, Luhan!'

"Aku hanya ingin memberitahumu kalau aku baru saja memenangkan voucher menginap di Hotel Arizona."

[O, ya? Hotel itu kan mahal sekali. Dari mana kau mendapatkannya?]

Luhan merasa sangat lega mendengar Jongin juga mengatakan kalau Hotel Arizona berbeda dengan hotel lain.

"Aku menang undian lagi."

[Wah! Kau benar-benar raja undian.]

"Tapi..."

Tiba-tiba Luhan merasa gugup. Sekarang saatnya menguji keberuntungan lagi. 'Mari kita lihat, akan seperti apa hasilnya kalau aku bilang aku ingin dia yang menemaniku menginap di Hotel Arizona. Aku ingin dia yang bertanggung jawab atas diriku di hotel itu.'Sepertinya tidak banyak "pihak bottom" yang terlebih dahulu mengajak pasangannya ke hotel. Tidak akan menjadi hal yang mudah bagi Luhan untuk mengatakannya pada Jongin. Apalagi selama ini tidak pernah ada yang mengajaknya ke hotel. Hubungan Luhan dengan Jongin sudah berjalan selama empat bulan dan yang mereka lakukan tidak lebih dari berciuman.

Belakangan ini banyak pasangan yang baru satu hari bertemu saja sudah saling berciuman. Dalam satu bulan paling tidak mereka berciuman satu kali, atau paling banyak empat kali, dan setelah itu mungkin saja sudah tidur bersama. Beberapa waktu lalu Jongin pernah memberi sinyal kalau dia ingin tidur bersama, tapi Luhan tidak memahaminya. Ajakan untuk tidur bersama seharusnya datang dari pihak dominan dan tanpa sinyal. Hal itu membuat Luhan merasa lebih sulit menyatakan keinginannya pada Jongin.

"Rasanya kalau aku pergi sendiri akan terlihat aneh." Luhan mengatakannya dengan susah payah sampai dia tidak bisa merasakan tangannya sendiri.

[Tidak ada yang bisa menemanimu?]

Sekali lagi, Luhan merasa sangat lega mendengar pertanyaan Jongin. Luhan merasa usahanya sudah separuh berhasil.

"Tadinya aku berniat pergi bersama Yixing, tapi dia ada urusan. Makanya aku bilang... kalau aku pergi sendirian..."

[Sudah pasti akan membosankan.]

"Iya. Betul sekali. Itulah kenapa aku menghubungimu. Siapa tahu kau bisa menemaniku."

[Aku?]

Tentu saja Jongin terkejut. Tidak ada yang tidak terkejut ketika kekasihnya mengajak ke hotel kan? Ajakan ke hotel bisa saja mengandung makna yang lebih serius seperti: 'hentikan pencarianmu dan pacaran denganku saja'.

"Sepertinya permintaanku terlalu merepotkan."

Luhan gelisah karena selama beberapa saat Jongin tidak berkata apa-apa. Jangan-jangan Jongin akan berkata, "Kau tidak tahu malu." kepadanya.

[Tidak. Oke. Aku akan menemanimu.]

Ah! Luhan lega mendengar jawaban Jongin. Jawaban yang sesuai dengan harapannya. Luhan berdebar-debar.

[Tapi... kau memang benar-benar ingin pergi denganku, kan?]

"Tentu saja." Jawab Luhan dengan tulus.

"Kapan pulang?"

[Aku berangkat besok.]

"Besok? Jam berapa kira-kira kau tiba di sini?"

[Sekitar pukul lima sore.]

"Kalau begitu aku akan menjemputmu di bandara besok."

[Tidak perlu. Besok aku akan langsung ke tempatmu dari bandara.]

"Jangan. Aku jemput saja, ya?"

[Sudahlah. Tidak usah. Kau kan tahu bandara ramai sekali. Biar aku saja yang ke tempatmu. Aku tidak ingin merepotkan.]

'Jongin perhatian sekali.'

"Baiklah. Kalau begitu, tolong hubungi aku kalau kau sudah sampai."

[Pasti. Sampai bertemu besok.]

"Aku akan siapkan makan malam untukmu, besok."

Luhan bersikap seperti seorang istri yang sedang menemani sang suami pulang dinas luar kota.

'Aduh. Bagaimana ini? Omo omo omo... omo...' Luhan merasakan wajahnya memanas. Dia tidak sabar untuk menghabiskan malam bersama Jongin. Membayangkannya saja sudah membuat Luhan gugup. Rasanya seperti mimpi.

Kim Jongin. Dia tidak tampan tapi berkharisma dan terlihat pantas mengenakan pakaian apa pun. Dia juga punya selera humor dan perhatian. Kalau tidak salah, Luhan pertama kali bertemu Jongin sekitar delapan bulan lalu, di kelas dance. Di awal pertemuan mereka, Luhan sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa, tapi seiring berjalannya waktu, dia melihat bahwa Jongin ternyata adalah seorang pria yang baik hati. Sebelumnya Luhan memandang Jongin sebagai pria tanpa selera humor, tidak mudah bergaul, dan tidak perhatian. Belum lagi cara berpakaiannya.

Selain itu, dia pun baru berhenti dari kerjanya; semakin terlihat tidak meyakinkan. Namun, dua bulan berlalu dan Jongin menunjukkan ketertarikannya pada Luhan. Mereka mulai menjadi partner dance. Jongin lebih sering menjadi leader dan karena Luhan masih bisa dibilang pemula, Jongin memberikan perhatian lebih. Luhan tidak tahu apakah Jongin selalu memberikan perhatian yang sama kepada partner dancenya yang lain, tapi pada titik tertentu Luhan tahu kalau Jongin memberikan perhatian lebih padanya. Sejak saat itu, Jongin terlihat berbeda di mata Luhan.

Luhan mulai berkencan dengan Jongin dua bulan sejak mereka pertama kalinya menjadi partner dance.

"Sudah pernah makan ssalguksu?" tanya Jongin.

"Belum."

"Mau coba?"

Luhan tidak punya alasan menolak tawaran Jongin. Sejak hari itu Luhan mulai menyukai Jongin. Mereka menjadikan ssalguksu sebagai menu utama dan untuk pencuci mulutnya mereka memilih June Bug. Awal yang baik. Sesudah itu, mereka bisa berkencan tiga sampai empat kali dalam satu minggu. Hubungan mereka menginjak usia empat bulan. Tidak ada kata "Ayo, kita pacaran", tapi Luhan cukup yakin kalau Jongin menganggap hubungan mereka resmi pacaran. Dan, sepertinya Jongin pun beranggapan sama, karena Jongin menyimpan nomor telepon Luhan dengan nama "Luhan-ku". Tentu saja Luhan pun melakukan hal yang sama dengan memasang nama "Jongin-ku".

Ciuman pertamanya dengan Jongin terjadi di bioskop, setelah mereka berkencan selama satu minggu. Jongin tiba-tiba menarik wajah Luhan, yang sedang mencoba mencerna film yang mereka tonton, lalu menciumnya. Setelah itu mereka sudah lebih santai ketika berciuman. Suatu tengah malam, Jongin mengantarkan Luhan pulang dan mereka hampir berciuman. Namun, di saat yang bersamaan, Howon, teman sejak kecilnya, tiba-tiba keluar dari apartemennya yang ada di sebelah apartemen Luhan.

"Kau baru pulang?" Howon menjulurkan lehernya. Seperti biasa, dia sedang memakai pakaian olahraganya yang sudah buluk.

"Iya." Luhan menatap Howon dengan tajam, seolah berkata, "Cepat masuk ke kamarmu." Tapi Howon tidak peduli.

Sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Howon mempertahankan posisinya sampai akhirnya Jongin menyerah, tidak jadi masuk ke dalam kamar Luhan, lalu pulang.

Setelah Jongin pergi, Luhan yang tampak kesal itu masuk ke dalam apartemennya diikuti Howon.

"Aku minta kimchi." Howon berujar.

"Tidak ada."

"Ada di kulkas, kan? Aku minta sedikit saja."

"Ambil saja sendiri."

"Kau pacaran dengannya?" Howon bertanya sambil mengeluarkan wadah kimchi dari dalam kulkas.

"Iya."

"Tapi kenapa tidak terlihat seperti itu."

"Apanya?"

"Menurutku dia bukan pria baik-baik." Howon membuka wadah kimchi dan sibuk mencari wadah kosong lain.

"Ya! Kau sudah tidak ingin hidup, ya?!" Terkejut mendengar jawaban Howon, Luhan berteriak. Tanpa disadari Howon, kuah kimchi yang sedang dipindahkannya itu tidak sengaja menetes di tangannya.

"Aduh. Kau jorok sekali."

"Kalau begitu, aku ambil semuanya ya?"

"Jangan seenaknya."

"Kembali ke percakapan kita tadi. Aku serius. Menurutku pria itu tidak baik."

"Kenapa kau berkata seperti itu?" Luhan kesal karena menurutnya Howon tidak tahu apa-apa tentang Jongin, jadi seharusnya dia tidak boleh sembarangan bicara.

"Firasat."

"Kalau kau sudah selesai dengan kimchi-nya, keluar."

"Kau menyukainya?"

'Pertanyaan Howon tidak penting. Tentu saja aku menyukainya. Kalau tidak, buat apa aku mengencaninya?'

"Iya."

"Tadi kalian hampir berciuman, sepertinya."

"Tapi batal, gara-gara kamu."

"Jangan-jangan tadi kau sempat akan membiarkan dia masuk ke sini?" Howon bertanya sambil mencuci tangannya.

"Memangnya tidak boleh?"

"Sudah berapa lama kau mengenalnya?"

"Empat bulan. Dan, aku sudah berkencan dengannya satu bulan."

"Sepertinya aku harus menghubungi Rumah Beras." Howon mengambil ponselnya, yang langsung disambar Luhan.

Rumah Beras yang dimaksud Howon adalah rumah keluarga Luhan di daerah Deoksan, tempat orang tua Luhan berada.

"Sebaiknya kau cari pria lain saja."

"Kenapa sih, memangnya?"

"Dia tidak tepat untukmu." Howon kembali menegaskan maksudnya. Luhan tak mengacuhkannya dan berniat untuk terus mengencani Jongin. Memangnya Howon tahu apa soal Jongin? Kenapa sih dia harus ikut campur dan mengejek Jongin?

Gara-gara Howon, Luhan baru bisa berciuman lagi dengan Jongin empat hari kemudian. Tapi Luhan merasa puas. Waktu berciuman dengan Jongin, Luhan bertanya-tanya sendiri, apakah ciuman ini akan berlanjut.

Saat yang ditunggu Luhan untuk berbagi tempat tidur dengan Jongin bisa jadi tidak lama lagi. Baru membayangkannya saja, wajah Luhan memerah dan memanas. Memang, jantungnya belum sampai berdebar-debar dan lututnya pun belum bergetar, tapi tetap saja rasanya panas.

Malam pertama. Memang bukan malam pertama yang dirasakan pasangan setelah resmi menikah, tapi apa yang Luhan rasakan tidak bisa dia gambarkan dengan kata-kata. Mereka akan menghabiskan waktu bersama di sebuah hotel, bergenggaman tangan ketika tidur dan siapa tahu akan menciptakan sebuah skandal. Cocok sekali kalau disebut malam pertama.

Luhan berimajinasi. Jongin tidak menolak tawaran Luhan, tentu saja dalam situasi ini rasanya tidak akan ada yang menolak, dan dengan gembira mengiyakan tawaran itu. Sepertinya Jongin juga menanti-nanti hal ini.

Luhan menatap pantulan dirinya di kaca dan berkata pada dirinya sendiri.

"Aku... akan melepas keperjakaanku."

.

.

.

Luhan menunggu Jongin dengan hati berdebar-debar. Sudah pukul lima lewat. Seharusnya Jongin sudah mengambil bagasinya dan mucul, tapi batang hidungnya belum juga terlihat. Pasti Jongin terkejut karena dia tidak mengira kalau Luhan akan datang ke bandara untuk menjemputnya. Yang Jongin tahu, Luhan menunggu kedatangannya di kamarnya. Kemunculan Luhan di hadapannya kali ini, pasti akan membuatnya terkejut sekaligus behagia. Membayangkan reaksi itu, Luhan semakin tidak sabar bertemu Jongin.

Dengan cepat dia mengeluarkan minyak wangi dan sedikit merapikan rambutnya. Dia khawatir penampilannya berantakan, karena rasanya sudah cukup lama menunggu kedatangan Jongin. Dia yakin penampilannya sore ini sempurna. Bagaimana tidak? Luhan menghabiskan kurang lebih satu jam untuk menata penampilannya.

Ada sekelompok orang berkumpul dan mereka berisik sekali, beberapa di antaranya berbekal kamera. Pandangan mereka teralih dan mereka pun memusatkan perhatian pada seseorang. Langsung saja mereka mengangkat kamera dan...

'Apakah itu pasangan selebritas?'

Luhan mengambil ponselnya, mengaktifkan fitur kamera, lalu ikut mengalihkan pandangannya ke arah yang sama. Dia ingin tahu siapa yang menjadi pusat perhatian mereka, sampai-sampai dia pun harus menjulurkan lehernya. Luhan tidak tahu siapa yang sedang dipandangi segerombolan orang yang ternyata adalah wartawan itu. Sepertinya yang mereka potret tadi adalah selebritas, tapi Luhan tidak tahu siapa, karena dia tidak bisa melihatnya dengan jelas. Jadi, dia pun ikut memotret pria yang dijadikan objek oleh para wartawan itu. Setelah pria itu berlalu, Luhan dan para wartawan memperhatikan foto mereka masing-masing, para wartawan itu menyadari bahwa pria itu tadi ternyata bukan selebritas, bahkan tidak ada yang tahu dia itu siapa.

'Apa-apaan ini. Bukan pasangan selebritas.'

Kalau saja yang Luhan foto tadi adalah selebritas, pasti dia akan langsung mengunggahnya ke Internet. Tapi karena bukan, jadi tidak ada gunanya. Dia baru akan menghapus foto-foto tadi, ketika tiba-tiba matanya menangkap sosok Jongin yang sedang melangkah keluar dari pintu kedatangan.

'Ohm itu dia!'

Awalnya Luhan tersenyum lebar dan hendak memanggil Jongin, namun tiba-tiba dia menyadari bahwa lelaki itu tidak sendiri. Di sebelahnya ada seorang perempuan yang terlihat seperti cabai, benar-benar seperti cabai. Perempuan itu membungkus dirinya dengan segala sesuatu yang berwarna merah, dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Seketika napas Luhan sesak.

'Siapa dia, ya?'

Seingatnya, Jongin bilang kalau dia pergi ke Prancis untuk keperluan dinas kantor. Lalu siapa perempuan itu? Teman kantor yang juga harus pergi dinas bersamanya? Luhan bingung. Apalagi Jongin dan perempuan itu terlihat senang. Mereka tampak seperti pasangan kekasih, bukan teman kantor. Bukan juga adik atau kakak perempuan. 'Tunggu! Kalau perempuan itu ternyata adalah kekasihnya, berarti Jongin mempermainkanku. Dia menduakanku. Tidak. Tidak mungkin...'

Luhan marah, tapi dia hanya bisa terduduk karena dia tidak memiliki keberanian untuk langsung menghadapi Jongin.

'Bajingan!' Ternyata itulah alasan kenapa Jongin tidak ingin Luhan menjemputnya. Dia merasa bodoh sekali karena menganggap Jongin perhatian padanya. Satu hari sebelumnya Jongin bilang kalau dia tidak ingin merepotkan Luhan, apalagi bandara pasti ramai sekali.

Luhan tidak percaya kalau kemarin dirinya mengajak lelaki, yang pergi ke Prancis bersama perempuan murahan itu untuk bermalam bersamanya di Hotel Arizona. Selama ini Luhan sama sekali tidak tahu kalau dia dipermainkan Jongin.

Luhan pun mengikuti Jongin dan perempuan tadi. Hampir saja dia berada di samping Jongin, namun dia langsung berusaha menyembunyikan dirinya. Sebenarnya Luhan tidak perlu bersembunyi, tapi tetap saja dia ingin bersembunyi.

'Bagaimana mungkin bajingan seperti itu ada di dunia ini?'

Ketika Luhan belum habis pikir tentang betapa menjijikkannya dipermainkan seperti ini, ponselnya berdering. Jongin. Luhan melambatkan langkahnya di belakang Jongin. Luhan menerima telepon tanpa melepaskan perhatiannya dari Jongin. Bagaimana mungkin dia menghubungi Luhan tanpa memedulikan perempuan cabai yang ada disampingnya itu? Luar biasa. Tapi tunggu, jangan-jangan perempuan itu bukan kekasihnya?

'Baiklah. Aku ingin mendengar penjelasannya.'

Sambil terus memandang Jongin, Luhan mengangkat teleponnya.

[Halo. Luhan?]

"Iya. Ini aku." Luhan menjawab.

[Aku baru saja sampai. Aku akan langsung ke tempatmu dari sini.]

"Aduh bagaimana ya? Aku sedang keluar."

[Memangnya kau di mana?]

"Aku tadi keluar harus menemui seseorang."

[Lalu, kau akan pulang jam berapa?]

"Sepertinya larut."

Ingin rasanya Luhan menghampiri Jongin dan langsung memukul kepalanya.

[Oh. Baiklah. Jadi bagaimana sekarang?]

"Mm... aku akan menghubungimu, nanti." Luhan terdiam sebentar lalu memutuskan sambungan.

Luhan yang masih terus memandang Jongin kembali bingung. Jangan-jangan Luhan salah duga. Jangan-jangan perempuan itu bukan kekasih Jongin, karena Jongin tampak tidak gugup sama sekali menghubungi kekasihnya di samping perempuan itu. Mungkin saja semua ini hanya salah paham. Luhan baru akan menyapa Jongin dan minta maaf karena dirinya sudah salah paham, ketika dia mendengar jawaban Jongin. Dan, dia pun kaget.

"Kau menghubungi siapa?" tanya perempuan cabai itu.

"Adikku." Jawab Jongin.

'Adik? Adik? Bajingan!'

"Ada apa dengannya?"

"Aku tidak membawa kunci dan dia tidak ada di rumah. Bagaimana aku bisa pulang?"

Luhan membeku. Status Luhan berubah menjadi adik Jongin.

'Bajingan!'

"Kalau begitu, kau ke rumahku saja dulu." Kata perempuan itu sambil merengkuh tubuh Jongin.

Luhan geram melihatnya. Marah. Kesal. Dan, dia pun terduduk gemetar.

"Baiklah. Ayo."

Jongin meninggalkan bandara bersama perempuan itu.

'Bagaimana mungkin dia memperlakukan aku seperti ini?'

Luhan masih tidak percaya. Dia tidak percaya kalau Jongin menduakannya. Selama ini Luhan tidak pernah punya firasat apa-apa. Luhan merasa bodoh karena jatuh cinta pada pria macam itu. Di usianya yang ke-28, ini pertama kalinya Luhan merasa dipermainkan.

'Ternyata Hoya benar'

Luhan jadi ingat perkataannya pada Howon yang biasa dia panggil dengan sebutan 'Hoya' itu. Luhan bilang bahwa Howon tidak tahu apa-apa tentang Jongin, jadi dia tidak berhak mengatakan apa-apa. Ternyata firasat Howon benar.

'Seharusnya aku tidak bersembunyi tadi. Seharusnya aku langsung menampar atau memukulnya.'

Luhan menyesal. Rasa malu ini tidak akan hilang selama tiga generasi dan akan terus menghantuinya tanpa henti.

Luhan yang merasa belum terlambat untuk terang-terangan menanyai Jongin, mencoba mengejar pria itu. Tapi Jongin dan perempuan cabai itu sudah tidak terlihat lagi.

'Cepat juga mereka.'

Luhan terlihat konyol karena dia merasa putus asa dan dipenuhi kekesalan.

'Aku pasti sudah gila. Benar-benar gila. Aku mengajaknya bermalam di hotel bersamaku.'

Luhan berdiri di bawah lampu lalu lintas sambil terus memikirkan apa yang dilihatnya tadi. Tiba-tiba sebuah sedan hitam melintas di depannya.

Sehun, pria yang duduk di dalam sedan itu menatap Luhan yang sedang berdiri dan terlihat tidak keruan. Sehun tersenyum. Walau tampangnya sedang terlihat tidak keruan, di mata Sehun, Luhan terlihat cantik dan lucu.

"Aapakah sajangnim ingin langsung ke Walden Korea?" tanya si sopir.

"Iya."

Dalam sekejap, Sehun sudah lupa akan keberadaan Luhan.

.

.

.

TBC

.

.

.

Haii^^

Ini ff remake dari novel karya 'Kim Rang' dengan judul "The Last 2%".

Aku coba sesuaikan jalan cerita novelnya dengan dunia BL kesayangan kita ini.

Semoga kalian suka yah~

Kalau ada yang nanya di mana Sehun? Next chapt dia bakalan nongol dan menghempas syantik si temsek.

Typo merupakan sebagian dari iman kan? wkwk

.

Mind to review?

.