Disclaimer © Fujimaki Tadatoshi
WARNING: AU, OOC, Typo(s)
Tambahan: Aomine: 25 tahun, Kagami: 12 tahun.
.
.
.
Malam minggu Aomine yang seharusnya damai karena dia memang seorang bujangan tanpa romansa di hidupnya, harus terusik ketika Aomine keluar dari rumah sewaannya untuk membeli nasi goreng di depan rumah dan dia menemukan seorang anak kecil laki-laki yang mungkin berumur dua belas tahun dengan rambut merah tertidur di depan pintunya. Aomine mengerutkan kening lalu berjongkok untuk melihat lebih dekat yang diduga anak kecil itu. Dia takut-takut akan memegang anak itu karena akhir-akhir ini di lingkungan tetangganya sedang marak gosip tentang tuyul yang membuat warga resah. Ketika Aomine akan memegang anak itu, anak itu lalu membuka matanya dan menampakkan bola mata berwarna merah besar menatapnya.
"H-hey bocah, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Aomine.
Bocah itu malah mengucek-ucek matanya dan hanya menatap Aomine.
"Di mana orang tuamu?" tanya Aomine lagi. Dia tidak pernah mengenali bocah seperti ini di sekitaran rumahnya.
"Tidak tahu," akhirnya bocah itu menjawab.
"Ayo masuk dulu," Aomine mengajak bocah itu untuk masuk agar besok tidak ada gosip dari ibu-ibu arisan kalau dia punya anak haram di luar nikah.
"Jadi di mana rumahmu?" tanya Aomine lagi setelah mereka masuk ke dalam rumah dan Aomine mendudukkan bocah temuannya di sofa ruang tamunya.
"Aku tidak tahu jalannya," jawab bocah itu sambil bermain-main dengan tali sepatunya.
Aomine menghela napas. Mungkin bocah ini terpisah dari orang tuanya dan jadi terdampar di depan rumahnya meskipun rumahnya tidak di dekat jalan raya yang sering ada pawai atau dekat tempat-tempat rekreasi. Atau jangan-jangan anak ini benar-benar tuyul yang dikirim untuk mencuri uangnya? Apakah Aomine harus melemparinya dengan kacang hijau agar tidak menganggunya lagi? Aomine jadi takut sendiri dengan pikirannya.
"Um… siapa namamu?"
"Taiga,"
"Taiga? Kayak tiger? Macan?" tanya Aomine sambil tertawa.
Bocah itu hanya menatap Aomine dengan mengerutkan keningnya. "Nggak."
Aomine langsung menutup mulut.
"Oom namanya siapa?" tanya Taiga.
"Oi bocah, jangan panggil Oom. Aku masih muda." balas Aomine.
"Kenapa? Oom sudah pantas dipanggil Oom."
"Aku masih muda, bocah," Aomine memelototi Taiga. "Panggil onii-chan."
"Kau tidak seperti onii-chan." balas Taiga.
"Memang kau punya?"
"Punya."
"Panggil namaku saja kalau begitu," kata Aomine. "Aomine."
Taiga mengangguk. "Oom Aomine."
"Nggak usah pakai oom!"
"Kenapa?" tanya Taiga dan memandang Aomine dengan matanya yang lebar.
Aomine menghela napas. Memang harus sabar kalau menghadapi anak-anak. "Kau mau makan?"
Taiga mengangguk.
"Tunggu di sini kalau begitu, aku akan beli nasi goreng di depan."
Setelah makan malam bersama dengan nasi goreng depan rumah (yang membuat Aomine kaget sedikit karena Taiga bisa menghabiskan nasi gorengnya yang porsinya memang banyak makanya Aomine langganan), Aomine menyuruh Taiga untuk tidur saat sudah jam sembilan karena anak baik tidur jam sembilan. Untung dia tidak jadi memugar kamar tidur tamu menjadi ruangan game untuk main monopoly jadi Taiga bisa tidur di sana. Besok dia akan mengecek apakah ada laporan mengenai anak dua belas tahun dengan alis aneh hilang saat bekerja. Untungnya dia adalah salah satu perangkat aparat penegak hukum jadi akan gampang mengembalikan anak hilang. Dengan pemikiran itu Aomine beranjak untuk istirahat.
.
Aomine bangun keesokan harinya dan mencium bau masakan dari arah dapur yang hampir tidak pernah dipakainya kecuali membuat air panas untuk mi instan. Aomine tidak bisa memasak dan dia belum mempunyai pasangan hidup. Meskipun Aomine sudah berada di umur yang matang dan dengan finansial yang memadai untuk membangun keluarga sejahtera dengan satu istri cantik dan dua anak seperti program pemerintah, dia masih betah menyandang status belum kawin di KTPnya. Ketika Aomine memasuki dapur, dia melihat Taiga yang sedang membuat sesuatu dengan kompornya.
"Selamat pagi," sapa Aomine lalu duduk di kursi.
"Selamat pagi," balas Taiga lalu menuangkan kopi yang sudah dibuatnya ke gelas dan memberikan kopinya ke Aomine.
"Uh, makasih," jawab Aomine lalu meminum kopinya. Tidak seperti yang diduga, ternyata kopi buatan Taiga lebih enak daripada kopi buatannya sendiri yang dia coba buat beberapa hari lalu. "Kau bisa memasak?"
"Ya," jawab Taiga. "Aku biasa memasak untuk ayahku."
"Di mana ibumu?"
"Ibuku sudah di surga."
"Oh," balas Aomine jadi merasa bersalah bertanya sesuatu yang sensitif. "Taiga, maaf."
"Tidak apa-apa, Oom tidak tahu."
"Hey!" Aomine langsung menutup mulut ketika akan protes ketika Taiga meletakkan piring berisi telur orak-arik dan roti panggang di depannya.
"Aku cuma bisa menemukan telur dan roti di lemari es Oom, jadi aku cuma bisa buat itu." kata Taiga lalu duduk di depannya dan memakan sarapannya sendiri.
"Hmm…" Aomine yang biasanya hanya meminum makanan bergizi atau makan angin dan kali dibuatkan sarapan yang sebenarnya ini sudah elit menurutnya.
"Oke, aku akan berangkat bekerja," pamit Aomine di depan pintu setelah dia sudah selesai sarapan dan mandi dan lain-lain dan bersiap untuk berangkat. "Aku akan mengunci pintunya dan jangan jawab kalau ada siapapun yang mencari. Aku akan pulang jam lima nanti jadi kau jangan kemana-mana."
Taiga mengangguk.
"Oke, aku berangkat."
"Hati-hati, Oom."
Aomine mengangguk lalu mengunci pintunya. Ketika dia sudah di luar pagar dan mengunci gerbang rumahnya, dia berhenti sebentar untuk berpiki. Hanya perasaannya saja atau adegan tadi dia seperti mempunyai istri yang memanggilnya oom? Biarlah.
.
.
.
A/N: pendek soalnya masih prolog lol. main storynya nggak lama bakal di publish ini keliatannya XD
HAPPY AOKA MONTH 3