STRONGER (Sequel)
Kim Jongin x Do Kyungsoo
YAOI
.
.
.
"Oftentimes we say goodbye to the person we love without wanting to. Though that doesn't mean that we've stopped loving them or we've stop stopped to care.
Sometimes, goodbye is a painfull way to say I lov you."
(Somewhere from google)
.
.
.
"Sudah lebih baik?" tanya sosok pria itu seraya melirik sosok di sebelahnya sambil tetap sibuk mengendalikan mobilnya.
Pria yang lebih mungil mengangguk sekilas. Memperbaiki cara duduknya. Lalu menundukkan kepala.
"Terima kasih, Jongin. Sudah mau membantuku." Kyungsoo, pria mungil itu berujar pelan. Takut-takut menunggu balasan Jongin.
Pria di sebelahnya hanya menghela nafas kasar, lalu mengangguk kecil. "Sudah seharusnya sesama manusia saling menolong," katanya.
"Dimana rumahmu?" tanyanya lagi setelah terjadi hening yang cukup panjang.
Kyungsoo tersentak kecil. Memperhatikan jalan disekitarnya lalu buru-buru berkata, "Bisakah kau menurunkan aku disini saja? Mini market tempatku bekeja berlawanan arah dari sini."
"Kau gila?" Jongin menatapnya dengan dingin. Tidak percaya pada Kyungsoo yang lebih memilih bekerja daripada beristirahat.
Menyadari Kyungsoo yang terlihat ketakutan dan duduk gelisah itu, Jongin memelankan nada suaranya. "Kau sebaiknya istirahat saja. Kau baru saja pingsan dan kata dokter tadi kau kelelahan. Dan apa katamu tadi? Bekeja? Memang sebanyak apa tempatmu bekerja itu menggajimu sampai-sampai kau lebih memilih bekerja?"
Kyungsoo mengepalkan kedua tangannya. Agak sakit hati mendengar perkataan Jongin. Memang gaji yang diterimanya tidak seberapa, tidak akan sepadan dengan apa yang sudah Jongin dapatkan. Kyungsoo melirik ke interior mobil yg sedang dinaikinya. Uang Jongin pasti begitu banyak.
Tapi meskipun gajinya begiu sedikit, Kyungsoo masih membutuhkan pekerjaan itu. Bagaimanapun pekerjaan itulah yang mampu menopang hidupnya. Memberikan penghidupan yang cukup kepada Kyungsoo.
"Turunkan aku disini saja," Kata Kyungsoo lagi. Suaranya semakin pelan karena menahan tangis.
"Apa? Kau..." Jongin menghentikan kata-katanya. Tidak tega memarahi Kyungsoo karena melihat kepalanya yang semakin menunduk. Dia tidak sengaja melihat setitik air mata Kyungsoo menetes di tangannya.
Dia menarik nafas pelan, "Ku antar ke tempatmu bekerja. Dimana alamatnya?" ujar Jongin setelah berupaya keras melembutkan nada bicaranya.
"Dan jangan membantah," tegasnya lagi setelah melihat gelagat Kyungsoo yang ingin menolak tawaran Jongin.
Tidak lama mobil hitam itu memutar arah.
.
.
Kyungsoo tidak fokus bekerja. Dia tampak semakin murung dan pekerjannya berantakan. Tidak bisa disangkal Kyungsoo memang masih merasa lelah. Memang kondisinya sudah lebih baik namun kakinya terasa seperti jelly. Pemilik mini market tersebut bahkan harus menegur Kyungsoo beberapa kali karena terlihat berangan-angan. Kyungsoo baru bisa menarik nafas lega setelah diizinkan beristirahat.
Kyungsoo mengalihkan tatapannya dari sekepal nasi di genggamannya ke arah obat-obatan di lantai yang sedang didudukinya. Mengambil obat tersebut lalu mengamatinya. Teringat akan kejadian tadi siang sesaat setelah dia sadar dari pingsannya.
Kata dokter dia kelelahan dan membutuhkan istirahat banyak. Suhu tubuhnya juga di atas rata-rata. Dokter mengatakan dia juga perlu memperbaiki pola makannya. Kyungsoo tidak kaget dengan itu semua. Apa yang membuat Kyungsoo terkejut justru kehadiran Jongin. Ternyata suara yang didengar sesaat sebelum pingsan memanglah Jongin. Sungguh, Kyungsoo tidak menyangka Jongin akan bersedia membawanya ke rumah sakit. Mengingat perlakuan Kyungsoo yang seakan-akan mencampakkannya dulu.
Kyungsoo menggenggam obat itu. Air matanya tidak dapat dia bendung. Air matanya kembali jatuh untuk Jongin. Lagi dan lagi.
.
.
Kyungsoo menghela nafas panjang, lalu mulai menghitung sudah berapa kali dia menghela nafas hari ini. Menyadari tindakannya itu tidak akan menghasilkan sesuatu, dia lalu merapikan segala barang-barangnya.
Akhirnya shiftnya hari ini berakhir juga. Rasa-rasanya hari ini berlalu cukup lama. Segala masalah seakan bertumpuk menjadi satu. Dia lalu dengan cepat melangkahkan kakinya ke halte bus. Namun gerakannya terhenti melihat Jongin yang sudah berdiri di dekat mobilnya. Di depan minimarket tempatnya bekerja.
Menyadari ada orang lain selain dirinya, Jongin mengalihkan pandangannya. Dia segera menegakkan tubuhnya dan menghadap Kyungsoo.
"Ku antar pulang," hanya itu yang diucapkannya sebelum segera bergegas masuk ke dalam mobil.
Kyungsoo hanya mampu terdiam. Tidak menyangka Jongin akan bersedia bertemu dengannya lagi, bahkan merepotkan diri untuk mengantarkannya pulang.
"Ayo," Kyungsoo baru tersadar telah termenung beberapa saat. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Memilih untuk menerima tawaran Jongin atau menolak.
"em... Aku, pulang naik bus saja." Kyungsoo akhirnya menetapkan pilihan. Dia tidak yakin semuanya akan berjalan baik2 saja bila dia memilih untuk pulang bersama Jongin.
Yang Kyungsoo tidak sangka adalah sikap balasan Jongin. Pria tan itu memilih keluar dari mobilnya secara kasar lalu menarik tangan Kyungsoo dan mendorongnya masuk ke bangku penumpang. Kyungsoo terkejut tentu saja. Dirinya menyadari tubuhnya bergetar kecil.
Jongin tak segera kembali ke tempatnya. Dia dengan cekatan memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Kyungsoo, membanting pintu, lalu bergegas kembali ke tempatnya. Kyungsoo ingin menangis. Dia takut.
.
.
Perjalanan itu terasa lebih panjang tentu saja. Didukung dengan kondisi di dalam mobil yang begitu hening. Jongin seakan-akan tidak sudi menghidupkan radio atau menyalakan pemutar musik. Berbicara dengan Kyungsoo? Jangan berharap. Sedari tadi Kyungsoo hanya mampu meringkuk, memeluk tas lusuhnya, lalu berharap rumahnya segera memunculkan diri.
Jongin meliriknya sebentar, dirinya pun sudah tidak nyaman dengan keheningan ini, namun tidak tahu harus memulai pembicaraan darimana. Dia akhirnya memutuskan untuk tetap diam. Hingga akhirnya Jongin sadar dia tidak tahu harus mengantar Kyungsoo kemana.
"Dimana rumahmu?" tanyanya kemudian. Dia tetap berusaha menjaga suaranya agar tetap stabil dan terkesan tidak mau tahu.
Kyungsoo tersentak kecil lalu mulai menyebutkan daerah tempatnya tinggal. Jongin mengerutkan keningnya, "Ku rasa itu berbeda dari tempat tinggalmu yang dulu."
Kyungsoo meremas tangannya. Tidak tahu harus menjawab apa. Lewat lirikan matanya, Jongin berhasil menangkap pergerakan kecil Kyungsoo. "Sudahlah. Tidak usah kau jawab. Mungkin itu salah satu caramu melupakan masa lalu," katanya kemudian. Kyungsoo kembali terdiam.
"Aku hanya mengantarmu karena aku ingin bertanggung jawab sampai akhir. Bagaimana pun aku yang tadi menemukanmu pingsan dan membawamu ke rumah sakit," Jongin mulai berbicara kembali setelah hening yang lama merajai.
Kyungsoo hanya mampu mengangguk, lalu katanyan "Terima kasih."
Jongin kembali terdiam. Inginnya melanjutkan pembicaraan tetapi tidak menyangka respon Kyungsoo hanya sebatas itu. Bila tadi Kyungsoo menjawab berbeda bisa saja Jongin menambahkan berbagai hal lain.
"Aku tidak menyangka kekasihmu itu hanya sanggup memandangmu, tanpa berniat mengantar atau menjemputmu," Jongin sadar ucapannya terdengar kasar, apalagi raut wajahnya yang terlihat ketus saat menyampaikannya. Bila boleh, Jongin ingin memukul bibir dan kepalanya. Dia sendiri tidak menyangka pertanyaan seperti itu yang akan keluar dari mulutnya. Hal itu terdengar seperti, well, entahlah. Bukankah dia terlihat seperti cemburu?
Kyungsoo bingung. Dia tidak paham dengan ucapan Jongin. "Maksudmu?" wajah bingung Kyungsoo masih terlihat sama bagi Jongin. Menggemaskan.
"Apa maksudmu, Maksudku? Tentu saja yang ku maksud lelaki berwajah kotak itu. Bukankah kalian menjalin hubungan?" Inilah yang membuat Jongin terlihat lebih membenci Kyungsoo. Jongin mungkin sakit hati dengan sikap Kyungsoo yang memutuskan hubungan mereka, tetapi dia lebih sakit hati melihat Kyungsoo baik-baik saja, ketika dirinya harus terluka sana-sini. Dia bahkan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana lelaki berwajah kotak itu mengelus kepala Kyungsoo. Memperhatikannya dengan bebas bahkan saat mereka tengah bekerja.
Sudahlah, Jongin sudah muak menjaga perasaan. Biarkan saja Kyungsoo berpikir dirinya cemburu, memang begitulah adanya. Jongin berusaha memfokuskan atensinya pada jalanan di hadapannya, cukup takut sebenarnya dengan jawaban yang akan dilontarkan Kyungsoo.
Sementara di sisi lain, Kyungsoo hanya terdiam, berusaha mencerna perkataan Kyungsoo. "Maksudmu Chen hyung?" tanyanya setelah beberapa saat mencoba menarik kesimpulan.
"Aku tidak mengatakan ingin mengetahui namanya," Jongin memalingkan wajahnya ke jendela. Mengendalikan wajahnya untuk sesaat sambil berpura-pura memastikan jalan yang dilewati adalah jalur yang tepat.
"Tetapi dia bukan kekasihku. Dia hanya orang yang berusaha untuk berbuat baik padaku. Dia memiliki istri dan anak di rumahnya," jawab Kyungsoo pelan.
Jongin hampir menghentikan mobilnya secara tiba-tiba, untung saja segala tindakannya masih dapat dikendalikan. Dia memekik senang di dalam hati. Sesuatu di dalam hatinya tumbuh bersemi. Dia merasa hubungannya dengan Kyungsoo masih dapat diperbaiki. Sedikit rasa menyesal melingkupi hatinya. Seandainya dia bersikap baik kepada Kyungsoo tanpa menunjukkan rasa bencinya, mungkin saja tidak ada rasa canggung seperti saat ini di antara mereka.
.
.
"Turunkan aku disini saja."
Jongin menyerngit. Jujur saja, tidak ada perumahan di sekitar sini. Hanya daerah pertokoan. Menyadari hal itu, Kyungsoo lalu angkat bicara, "Aku harus melewati gedung-gedung itu. Rumahku ada di balik gedung, dan mobil tidak akan bisa masuk. Terima kasih sudah mengantarku, Jongin. Hati-hati di jalan."
Kyungsoo sudah akan membuka pintu mobil ketika suara Jongin kembali terdengar. "Aku antar sampai rumah. Aku tidak yakin kau bisa sampai ke rumahmu dengan kondisi sadar. Aku mencari tempat parkir sebentar."
Kyungsoo sudah akan membantah namun Jongin sudah melajukan mobilnya. Dia lalu pasrah, berpikir ulang seperti apa caranya untuk mengusir Jongin. Dia tidak ingin dilihat Jongin dalam keadaan sangat memalukan. Sudah cukup kondisi seperti ini yang disaksikan Jongin.
Tuk. Tuk. Tuk
Kyungsoo tidak menyadari jika Jongin sudah berdiri di sebelah pintu mobil. Dia tidak bisa lari lagi. Apa boleh buat, sudah terlambat untuk lari dari Jongin kali ini. Dia lalu menarik nafas panjang, mencoba mempersiapkan diri.
Mereka berdua lalu menyusuri jalan kecil. Bekas hujan masih menggenngi jalan, membuat jalanan tersebut tampak kumuh. Jongin tidak menyangka di balik gedung-gedung bagus seperti itu, masih ada bangunan seperti ini. Jongin larut dalam pikirannya, sebelum suara Kyungsoo menyadarkannya.
Mereka telah sampai di sebuah rumah yang sebenarnya lebih layak dipanggil gubuk tua. Dia mengerutkan kening, mencoba mencari jawaban di mata Kyungsoo.
"Aku sudah sampai dengan selamat. Ini rumahku. Terima kasih sudah mengantarku;" Kyungsoo hendak masuk, sebelum tangannya kembali ditahan oleh Jongin.
"Rumahmu? Rumah kita bahkan lebih baik dari ini. Apa maksudmu, Soo?"
Kyungsoo menghela nafas. Bingung harus menjelaskan seperti apa pada Jongin.
"Aku tidak sanggup tinggal di sana Jongin. Terlepas dari ketidak sanggupanku membiayai semua kebutuhan hidupku dan tagihannya yang banyak, aku juga tidak mampu menghilangkan kenangan kita berdua di sana. Maaf Jongin, aku tidak mampu. Aku masih menyimpan kunci rumahmu. Ambillah," katanya parau.
Jongin membelalak tidak percaya. Jadi selama menimbun rasa benci pada Kyungsoo, justru seperti ini kehidupan yang dijalaninya?
"Lepaskan tanganku Jongin."
"Tidak."
"Tapi kau harus pulang, kekasihmu menunggu,"
"Kekasih? apa maksudmu?" Jongin semakin bingung.
"Wanita waktu itu?" kata Kyungsoo teramat pelan sambil menundukkan kepalanya. Jongin terdiam sesaat. Mengambil waktu sejenak untuk memikirkan perkataan Kyungsoo.
"Baekhyun?" tanyanya. Kyungsoo tak menjawab. Dia masih menatap tanah tanpa berani memperhatikan wajah jongin. Berbanding terbalik dengan Jongin yang justru terkekeh pelan. Tidak menyangka akan terjadi kesalahpahaman di antara mereka.
"Astaga Kyungsoo. Dia bukan kekasihku, demi Tuhan," kata Jongin mulai menjelaskan. "Dia adalah istri sahabatku. Aku memang peduli padanya karena dia masih memiliki hubungan darah padaku. Terlebih dia sedang hamil."
Kyungsoo menatap Jongin tidak percaya. Merasa malu dengan pikirannya, dia lalu menundukkan kepala, masih berusaha melepaskan tangan Jongin yang masih giat menahannya.
"Lepas," katanya lagi.
"Tidak berniat mengajakku masuk?"
.
.
Jongin sudah berada di dalam rumah Kyungsoo sekarang. Sepetak ruangan itu terlalu memprihatinkan. Dia bahkan tidak sanggup mendeskripsikannya. Dia hanya mampu terdiam, dengan Kyungsoo yang duduk dalam diam di depannya. Hening merajai mereka dan ruangan itu.
"Kembalilah padaku, Soo," pinta Jongin halus.
Kyungsoo sedikit tersentak lalu menggeleng pelan. "Tidak," jelasnya parau. Dia lalu berusaha menundukkan kepalanya, tidak berani memandang wajah Jongin.
"Tapi aku masih mencintaimu. Hingga detik ini," Jongin masih tak menyerah membujuk Kyungsoo untuk mengabulkan permintaannya.
Kyungsoo berusaha menggeleng kecil sambil menahan tetes air matanya. Dia lalu menjawab pelan, "Aku pun sama masih mencintaimu."
"Lantas apa lagi? Kita sama-sama mencintai, dan kita bisa kembali bersama. Kita bisa bahagia Kyungsoo. Tidakkah kau menginginkan itu?"
Kyungsoo berusaha menarik nafasnya. "Jongin, mungkin aku masih mencintaimu, tetapi aku tidak yakin kau memang masih mencintaiku atau tidak. Kau hanya mengasihaniku, Jongin."
"Kau meragukanku?"
Kyungsoo lalu memberanikan diri menatap Jongin. Menarik nafas pelan lalu cepat-cepat melanjutkan, "Baiklah. Mungkin kau memang masih mencintaiku. Tapi kita tidak mungkin bersama."
"Omong kosong macam apa ini?" Jongin sudah menunjukkan kegusarannya. Dia mulai mengurut dahinya, tidak percaya dengan segala penolakan Kyungsoo.
Kyungsoo kembali terdiam. Tidak berlama-lama, dia kembali membuka mulutnya.
"Jongin, masalahnya hanya ada padaku. Aku yang tidak menginginkan kita bersama."
"Aku yang belum siap menerima perubahan secepat ini, Jongin," lanjut Kyungsoo lagi saat dilihatnya Jongin hendak membebat jawabannya.
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja semenjak kau tinggal."
Jongin mendengus, menyadari pernyatà n Kyungsoo bertolak belakang dengan kenyataan. "Kau tidak baik-baik saja," katanya sambil memalingkan wajah.
"Aku baik-baik saja, Jongin," Kyungsoo tersenyum lembut. "Kalau kita kembali bersama, aku tidak yakin keadaan kita akan tetap seperti dulu. Kau sudah nyaman dengan kehidupanmu saat ini, tanpa aku."
"Jongin, dengarkan aku dulu," lanjut Kyungsoo lagi saat dilihatnya Jongin masih berusaha untuk membantahnya. "Aku sudah terbiasa dengan hidupku saat ini. Tanpamu di sisiku. Aku tidak ingin perasaanku dibebani dengan perasaan bersalah padamu, hanya karena kau mengorbankan segalanya bagiku. Kau masih mempunyai ayahmu bukan? Aku juga tidak ingin kau dihina orang-orang di sekelilingmu, yang tidak mengakuimu dengan baik karena hubungan kita ini."
"Bukannya aku tidak bersedia menderita bersamamu, Jongin. Sungguh, aku ingin menghabiskan waktuku denganmu. Berjuang bersama menepis semua perkataan orang. Tapi aku tidak bisa melihatmu menderita lebih lama lagi;" Kyungsoo menghapus air mata yang dengan kurang ajarnya mengalir deras di pipinya.
"Biarkan aku mencintaimu seperti ini," lanjut Kyungsoo lagi pelan sambil mendeksti Jongin yang menunduk. "Biarkan aku menyaksikan kesuksesanmu dari jauh. Hingga kau meraih gelar sebagai CEO perusahaanmu sendiri. Melihat namamu di surat kabar sebagai orang muda yang sukses. Membuktikan pada semua orang bahwa kau tidak boleh dipandang remeh, hanya karena orientasi seksualmu, bahkan oleh ayahmu sekalipun," jelasnya lagi sambil membelai pundak Jongin lembut.
"Entah kau akan berakhir dengan siapa. Kau berhasil melupakanku atau tidak, apakah kau masih akan tetap mencintaiku dan mencariku atau sebaliknya, aku akan tetap mendukungmu. Biarkan aku mencintaimu seperti ini, Jongin. Mari kita berjuang bersama, eum?" Jelas Kyungsoo sambil mengangkat kepala Jongin untuk menatapnya.
"Soo..." Jongin tidak menyangka mereka akan berakhir penuh air mata seperti ini. Dipandangnya Kyungsoo yang juga tidak henti mengeluarkan air mata.
Jongin menarik nafas pelan, mencoba mengerti semua permintaan Kyungsoo dan mencoba mengikhlaskan segalanya.
"Boleh aku menciummu? Untuk terakhir kalinya?" pintanya kemudian.
Dengan tawa penuh luka, Kyungsoo mengangguk. Merasakan wajah Jongin yang perlahan mendekat padanya. Menikmati belaian halus Jongin di pipi lembutnya, mencoba meresapi raca cinta dari kedua bibir yang menyatu dengan lembut.
Ciuman itu tidak berlangsung lama. Hanya sebuah ciuman singkat dan lembut, tetapi mampu menyalurkan segala rasa yang mereka pendam. Sebuah pelukan menjadi tambahan dalam perpisahan mereka.
Jongin melangkah pergi setelahnya. Mengikhlaskan segala rasa yang dimilikinya. Membawa pergi cinta Kyungsoo, dan meninggalkan hatinya bersama Kyungsoo. Mencoba menatap ke depan, dan melihat seperti apa angin akan membawa masa depan mereka.
.
.
.
END (BENERAN END)
Hai. Admin Kais here.
Sejatinya, gue bingung sih. Apa ini bener-bener akhir yang gue harapkan atau tidak. Tetapi sejak awal gue memang gak menginginkan akhir yang klise. Jongin dan Kyungsoo balik sama-sama, terus bahagia, End. Enggak :" karena gue merasa hidup gak sesimpel itu. Ini memang menggantung, meski sebenarnya kalian akan bisa memutuskan apa memang harus berakhir disini atau enggak.
Kalau dalam pikiran gue, jalan hidup tokoh Jongin dan Kyungsoo masih panjang. Gak bisa gue tentuin hanya dalam 1 atau 2 chapter. Akan ada banyak tantangan yang mereka hadapi, entah mereka akan sukses dan kembali bersama, entah mereka akan sama-sama menemukan orang lain dalam hidup mereka, atau mungkin salah satunya memutuskan untuk menyimpan rasa mereka sampai akhir. Bagaimana selanjutnya gue serahkan kepada kalian. Silahkan imajinasi kalian bermain-main.
Mungkin dan hanya mungkin, gue akan melanjutkan ff ini. Kalau ada waktu. Tapi gue gak pernah janji dan gak mau buat janji. Kalau memang imajinasi gue tiba-tiba bermain-main lagi di fikiran gue, gue mungkin akan menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Akhir kata, gue tau memang ff gue kaga ada bagus-bagusnya. Ini ff kaisoo pertama yang gue tulis sejak kuliah, bahkan sampe lulus. Gue harap kalian bisa memberikan respon sama ff ini. Apapun itu, gue terima.
Terima kasih untuk semuanya.
Salam, Admin Kais.