Mereka berdua sampai di apartemen Sasuke dengan keadaan sedikit basah karena hujan masih belum berhenti sepenuhnya, meski hanya rintik-rintik gerimis tapi mereka tetap basah karena tak ada satupun dari mereka yang dengan cerdasnya membawa sebuah payung. Sakura berkata jika ia datang ke supermarket dengan neneknya, dan neneknya pulang terlebih dahulu karena harus menemani kakeknya yang sejak tadi tak henti-hentinya menelepon karena ketakutan.
Sasuke benar-benar ingin tertawa saat membayangkan seperti apa yang Sakura deskripsikan tentang kakek gadis itu yang terus-terusan berteriak ketika lampu padam. Kakinya menendang-nendang gelisah dan giginya yang tak penuh menggeletuk dengan suara yang cukup kencang.
"Kami selalu khawatir untuk meninggalkan Kakek sendirian."
Sasuke menganggukkan kepalanya, wajahnya tampak memandang bingung kepada penghangat ruangannya yang sepertinya rusak. Sudah lima menit sejak ia menyalakannya, tapi benda itu tak kunjung menunjukkan reaksinya. Mungkin yang perlu dikhawatirkan sekarang adalah penghangat ruangannya.
...
...
...
Naruto © Masashi Kishimoto
Like a True Love © Haruka Ryokusuke
...
...
...
Mereka berdua menghabiskan dua bungkus keripik kentangnya, karena pada kenyataannya, biskuit-biskuit itu tak jauh enak dari pada keripiki kentang. Memakannya sembari mengobrol bukanlah hal yang sangat buruk, apalagi keadaan canggung yang sempat tercipta antara mereka sudah lenyap saat Sakura mulai menceritakan tentang keadaan rumahnya.
Seperti kakeknya yang sudah sangat tua harus berteriak dengan suara seraknya karena ingin dipijat. Benar-benar begitu menarik di saat Sasuke sendiri sudah tak lagi dekat dengan kakeknya yang entah bagaimana keadaannya saat ini. Apakah kakeknya itu juga ketakutan dalam kegelapan atau menangis karena tak bisa buang air kecil, Sasuke sama sekali tak mengetahui kabar terbaru darinya saat ini.
Atau karena dia mencoba tak peduli dengan keluarganya. Karena yang terpenting dalam hidupnya saat ini hanyalah kuliah sarjananya yang belum tuntas, pekerjaannya yang dinimatinya meski gajinya tak seberapa dan sewa apartemen.
Setidaknya ia tak memiliki hutang kepada teman-temannya.
"Kupikir kau orang Konoha asli." Sakura mulai bersuara.
Sasuke mengalihkan pandangannya dengan alis terangkat. "Aku memang lahir di Konoha." ucapnya meyakinkan.
"Tapi kau tinggal di apartemen, dan di mana keluargamu? Mereka sedang bekerja?" gadis itu tampak menelusuri setiap sudut ruangan dengan pandanganya, dan mengajukan pertanyaannya itu tanpa beban.
Jujur saja, Sasuke sedikit merasa "kurang nyaman" dengan pertanyaan Sakura yang menurutnya sangat ingin mengetahui hal pribadinya. Tapi ia rasa itu bukanlah hal yang patut dipermasalahkan selagi memang dia berniat hanya untuk bertanya, bukan untuk hal lain maksud Sasuke. Gadis ini masih sangat polos untuk mengetahui urusan orang lain sepertinya.
Dan masih sangat terlalu dini bagi Sasuke untuk menceritakan apa yang bahkan tak ingin diceritakan olehnya karena memang tak ada yang menarik dari kehidupannya. Semuanya mengalir bagai telah terjadwal, dan akan selalu sama selagi ia menandainya di kolom yang benar pada jadwal hariannya yang monoton.
"Aku sendirian di sini, hanya ingin hidup mandiri." pada akhirnya ia menjawab demikian.
Setelah itu, seperti gadis itu mengetahui banyak hal, dia membenarkan ucapan Sasuke. karena menurutnya, laki-laki yang sudah beranjak dewasa layaknya Sasuke sudah sepatutnya hidup mandiri untuk mencicipi kehidupan dunia luar, dan itu adalah tuntutan agar laki-laki dapat terbiasa di saat ia benar-benar harus hidup mandiri.
Hingga Sakura mengulurkan tangannya pada stoples penuh kue kering dari atas meja. Memutar penutupnya dan mengambil satu dari kue berbentuk lingkaran yang buruk itu. "Wow, kue ini enak."
"Kakak iparku yang membuatnya." Sasuke tersenyum kecil setelah menjawabnya, mengingatkannya saat kakaknya datang ke apartemen untuk mengantarkan banyak kue-kue buatan istrinya, katanya ini bukan untuk pamer karena menikahi istri yang memiliki 1001 bakat, tapi untuk memberitahu Sasuke bahwa istrinya memiliki 1001 bakat. Sesungguhnya itu tak ada bedanya.
"Kalau begitu dia sangat berbakat, fantastis." gumam Sakura hati-hati untuk menjaga agar serpihan dari kunyahan kue dimulutnya tidak melompat dan mengotori roknya.
Kemudian keduanya kembali mengobrolkan sesuatu dari objek yang berbeda. Terlarut dalam cerita Sakura tentang neneknya dan dirinya yang sangat sering membuat kue di rumah. Mempelajarinya dari internet, buku resep bahkan bereksperimen dengan resep racikan mereka sendiri, meski hasilnya tak pernah sama seperti apa yang telah mereka siapkan. Bahkan kue itu tak lebih keras dari pada batu.
Karena itu Sasuke menawarinya untuk belajar membuat kue bersama kakak iparnya yang pasti akan sangat senang dengan ini. Apalagi sifat kakak iparnya itu hampir sama seperti Sakura, mungkin mereka akan meramaikan dapur dengan obrolan yang seakan-akan tak ada habisnya.
Dan gadis itu sempat mengomel karena baru menyadari jika Sasuke berbohong tentang "tempat tinggal dekat", jelas sekali jika Sakura tidak menyukainya dan ia berencana untuk mengatakannya pada neneknya meski Sasuke tak yakin jika nenek Sakura akan mengenalinya sebagai laki-laki yang pernah menolak tawaran tumpangan di tengah hujan tadi.
"Nenekku tak pernah suka menerima penolakan orang lain setelah ia mencoba untuk menolongnya. Dia sedikit egois tentang itu."
Sasuke tersenyum kecil. "Baiklah, lain kali. Sampaikan saja salamku padanya, eh.. dan permintaan maaf."
"Kurasa permintaan maaf tak akan berlaku sebelum kau menghabiskan satu stoples kue batu milik Nenek." Sasuke tahu Sakura tak serius dengan ucapannya, karena gadis itu tertawa geli dan mengatakan bahwa dirinya bercanda dan Sasuke tersenyum. "Jangan adukan ini pada Nenekku."
Sasuke mendesah, "Aku tak janji untuk itu."
Hingga waktu menunjukkan pukul enam sore. Hujan telah berhenti dan Sakura berpamitan padanya karena ia harus segera pulang sebelum terlambat. Menemani Sakura di depan gedung apartemen untuk menunggu neneknya datang seperti beberapa jam lalu. Hingga 20 menit kemudian neneknya datang dengan kendaraannya yang masih sama. Seperti dugaan, ia lupa dengan Sasuke tapi mengatakan jika wajah Sasuke begitu familiar. Wanita tua itu benar-benar manis dan ia tak lupa untuk mengembalikan payung.
...
...
...
Pagi tadi Utakata terlambat, dengan alasan ban depan mobilnya bocor dan ia harus menunggu montir yang dipanggilnya datang karena ia tak membawa dongkrak untuk memperbaikinya sendiri. Tsunade tampak menahan emosinya kala itu, mungkin saja jika wanita itu belum menopuse maka Utakata akan disuruhnya menulis alasan keterlambatannya itu di dua lembar kertas pholio untuk memberi pengumuman bahwa ia tak akan mengulainya lagi, seperti di saat Hidan membawa skateboard jeleknya ke dalam kelas.
Tapi tidak, ia menyuruh Utakata untuk duduk di tempatnya dan mengikuti penjelasan singkat sebelum memberikan pengumuman jika dia akan mengadakan kuis di pertemuan berikutnya. Meski kelasnya telah usai, tapi sepertinya Utakata masih dalam keadaan yang sama seperti saat ia diinterogasi secara terang-terangan oleh Tsunade.
"Sialan, Nyonya Senju." decak Utakata untuk kesekian kalinya. Bahkan ia mengumpat di hadapan pastanya yang telah rata dengan saus. Bahkan kantin yang menjadi tempat favoritnya tak bisa membuat keadaannya membaik. Sasuke prihatin akan hal itu.
"Makanlah sebelum jam selanjutnya. Kau tak ingin mengerjakan ujian dari Profesor dalam keadaan kelaparan bukan?" ucap Sasuke sembari menyuapkan sosis terakhir yang ada dipiringnya, dan meminum cappucinonya
Utakata berdecak kesal. "Kautahu Sasuke? Ini adalah hari terburukku. Ayah-Ibuku bertengkar pagi-pagi sekali, dan sialnya itu di meja makan, membuatku tak berselera untuk sarapan hingga sekarang. Setelah itu aku memilih pergi dengan kecepatan maksimal, bahkan aku tak tahu jika ada orang bodoh yang menjatuhkan pecahan botol bir di jalan. Aku bersumpah jika mata sialanku yang buta.
Dan sekarang apa? Nyonya Senju sialan itu mempermalukanku di depan kelas. Dia boleh menyombongkan dadanya yang besarnya melewati batas dan sialnya menggoda. Tapi dia tak lebih dari jalang berpendidikan sialan—!"
"—Sialan, Utakata, sudah kukatakan berhenti mengumpat dan pikirkan saja ujian nanti!"
Teriakan Sasuke cukup membuat beberapa mahasiswa di kantin menatapnya keheranan, tapi persetan dengan itu, ia tak peduli, yang dipedulikannya saat ini adalah materi apa yang akan keluar dalam ujian kesekian kalinya dari profesor Orochimaru dan ocehan Utakata membuat kepalanya terasa terbakar dan berasap.
"Baiklah, maafkan aku," gumam Utakata sembari menyuapkan pastanya. "Tapi dia tetap sialan dan aku tak akan ikut ujian hari ini."
Sasuke mengernyit, "Tugasmu belum selesai?"
Utakata terkekeh sembari mengacungkan dua jari panjangnya membentuk huruf V, "Aku belum sama sekali."
"Sialan."
"Em.. Sasuke? Ada orang bijak yang melarangku untuk mengumpat. Kurasa aku bisa mengenalkannya padamu, jika kaumau."
Sasuke mengacungkan jari tengahnya pada Utakata yang terbahak dan segera bangkit untuk meninggalkan kantin tanpa menunggu Utakata untuk menghabiskan makanannya, karena ia memiliki hal yang lebih baik dari pada menonton manusia itu. Dan bagaimana bisa ia setenang itu meski tugas-tugasnya belum tuntas? Ujian susulanpun rasanya mustahil dapat diberikan oleh profesor Orochimaru, tapi setidaknya pria itu memberikan dua rangkap tugas yang belum tuntas, atau mungkin lebih hingga jari-jari terasa tak berada pada tempatnya.
Masuk ke dalam ruang kelas biologi yang masih sepi, Sasuke segera menempatkan dirinya pada kursi paling pojok, tempat kesukaannya karena kursi ini berada di samping jendela yang menampakkan langsung pemandangan kota, benar-benar mempu menenangkan kepalanya.
Tak lama kemudian, kelas telah penuh, semuanya telah datang begitupula dengan profesor Orochimaru yang tampak kelelahan di balik kaca mata kecilnya. Semuanya mengumpulkan tugas satu persatu dan proyektor yang menyala menampakkan sebuah soal di atas layarnya.
Soal seperti ini lagi. Dalam satu slide power point itu terdapat lima sampai enam soal dan akan diberi waktu tiga menit setiap soalnya. Cukup kejam karena dengan waktu sesingkat itu mereka hanya bisa menulis 'homina' untuk soal yang terlupakan jawabannya, tak ada waktu untuk memikirkan jawaban dari nomor itu. Daripada harus mengosongkannya dan itu menunjukkan bahwa mereka tak menginginkan nilai meski jawaban itu salah. Jatah menulis—celetuk profesor Orochimaru dengan kekehan menyeramkannya.
Waktu 90 menit rasanya sangat cepat, semuanya telah selesai dan profesor meminta untuk mengumpulkannya dari barisan bangku paling barat. Wajah profesor Orochimaru sudah berubah sedikit karena senyumannya. Dia mengucapkan banyak hal ketika satu persatu mahasiswa dan mahasiswi di kelasnya keluar.
"Aku tak melihat sahabatmu—Tuan Setsuna, Tuan Uchiha. Dimana dia?"
Sasuke menyerahkan tugasnya yang telah ditata elok, "Dia tak bisa mengikuti ujian, Prof."
Profesor Orochimaru tampak menganggukkan kepalanya singkat. "Kurasa dia sadar diri."
Sasuke tak perlu menanyakan itu, dan ia memilih segera pergi sebelum melempar senyum dan izin untuk keluar kepada pria yang selama ini menjadi dosen favoritnya itu. Sepertinya profesor Orochimaru mengetahui jika Utakata belum mengerjakannya—mungkin ia membaca situasinya dengan peraturan yang dibuatnya sebelum memberikan tugasnya beberapa waktu lalu.
Lagi pula bukan hanya kali ini saja Utakata tak mengerjakan tugas dari profesor Orochimaru. Sahabatnya itu sangat sering tak mengumpulkan tugas, bahkan Utakata sangat sering meninggalkan kelas profesor Orochimaru tanpa alasan dan akan kembali di mata kuliah berikutnya. Tapi dia akan senantiasa hadir saat mata kuliah Tsunade dimulai, katanya; tak ada alasan baginya untuk melewatkan hal "indah" dari wanita tua itu.
Ia tahu jika Utakata berniat mengajak Tsunade berkencan di bawah langit berbintang, tapi hal itu tak akan pernah terjadi sebelum Dan—suami wanita itu dikunci di dalam peti jenazah, dan dikubur.
...
...
...
Kepalanya terasa berdenyut nyeri saat ia menerangkan materi pokok di kelas SMU. Setelah ia menghabiskan dua lembar roti tawar tanpa mentega dan selai, pukul tiga sore ia segera berangkat menuju Koju dengan bus umum yang berhenti tepat saat ia sampai di halte yang jaraknya beberapa meter dari gedung apartemennya.
Tentu saja kepalanya sangat menggangguu proses pengajaran kali ini. Mencoba menahannya saat ia menuliskan pengertian singkat tentang materi kali ini, tapi rasanya ia tak bisa menahannya dan pilihan untuk duduk adalah yang terbaik.
"Semuanya, tolong kerjakan tugas dua, nanti kita bahas kalau sudah selesai." ucapnya sembari memegangi dahinya yang tak panas.
Sebenarnya tak ada alasan bagi kepalanya untuk berdenyut nyeri setelah ia mengerjakan soal essay dari profesor Orochimaru dengan lancar tanpa hambatan. Setidaknya ia masih mengingat semua materi yang dipelajari, bukan juga karena masalah Utakata—ia tak pernah memikirkan masalah Utakata dengan terlalu serius, lagi pula memang hal itu tidak pernah menjadi urusannya di saat Utakata tak memintnya untuk membantu orang tuanya yang selalu bertengkar.
Seperti dirinya kurang istirahat. Akhir-akhir ini ia selalu terlambat untuk tidur, mungkin pukul satu dan paling cepat pukul sebelas lebih beberapa menit. Astaga. Ia tak ingin mengalami ini setiap saat.
"Kak Sasuke?" seorang gadis yang duduk di kursi paling depan tiba-tiba mengangkat tangannya, sepertinya Sasuke tak pernah menghafalkan wajahnya. Tampak sangat asing untuk menebak namanya, meski ia telah mengabsennya—dan tidak terlewatkan.
"Ya?"
"Apa kau baik-baik saja?" Sasuke mengernyitkan alisnya mendengar pertanyaan dari gadis manis itu. "Kau tampak kurang sehat. Apa aku benar?"
"Tidak, aku baik-baik saja dan terima kasih." Sasuke memberikan senyum "baik-baik saja"nya kepada gadis itu dan seluruh siswa yang ada di dalam kelas, hingga mereka kembali sibuk dengan tugas yang diberikannya.
Jujur saja, ia bekerja di Koju cukup lama, tapi baru kali ini ada siswa yang benar-benar memperhatikannya, dan caranya bertanya sangat perhatian dengan bumbu kekhawatiran yang sungguh-sungguh. Gadis itu benar-benar manis, Sasuke akan sangat sulit untuk tidak menyapanya ketika berpapasan nanti.
Waktu hampir tak bisa diperhatikannya dan tiba-tiba bel pertanda jam bimbingan belajar telah usai berdering sebelum Sasuke menuntaskan pembahasan soal-soal. Menutup kelasnya dengan senyuman terbaiknya dan membiarkan siswa-siswa kelas menengah itu keluar secara rapi. Dan kepalanya masih sangat sakit.
Merapikan mejanya yang tampak berantakan dengan tumpukan buku yang menjadi sumber mengajarnya, dan dimasukkannya ke dalam tasnya, hingga seorang wanita berdiri di ambang pintu sembari memperhatikannya dengan sangat intens.
"Hai, Karin." karena Sasuke menyadari kehadiran wanita berambut merah menyala itu, dan ia rasa wanita itu tak akan membuka mulut sebelum dirinya.
Wanita itu, Karin, menyilangkan lengannya di depan dadanya, masih dengan tatapan yang sama seperti tadi, "Apa yang terjadi?"
"Apa? Kami baru saja membahas soal, dan tidak selesai karena belmu telah berdering."
Sasuke dapat mendengar jika Karin berdecak, "Moegi mengatakannya padaku," ah, sepertinya gadis itu bernama Moegi. Sasuke rasa ia harus mengingatnya. "apa kau sakit? Wajahmu nampak lebih pucat dari biasanya."
Sasuke mendenguskan wajahnya, sebelah tangannya bergerak untuk mengangkat tasnya sendiri, dan ia bangkit dari duduknya. "Tak perlu sekhawatir itu. Aku hanya kurang tidur, mungkin setelah ini aku akan tidur hingga besok pagi."
Sebenarnya itu hanya kalimat penyangkalan agar Karin mempercayainya dan membiarkannya untuk segera pergi dari gedung Koju tanpa ada drama antara mereka, ataupun Sai yang sejak tadi tak kelihatan. Ia pikir lelaki itu tak ada jadwal hari ini, jadi ia tak memikirkan keberadaan Sai yang sama sekali tak berpengaruh apapun.
Sasuke segera melangkahkan kakinya keluar dari ruang kelas, melewati Karin yang tampak bergeming di tempatnya semula tanpa menatapnya yang telah melangkah keluar. Ia tak harus pergi menuju mejanya, karena ia tak meninggalkan barang di sana. Jadi ia bisa langsung pergi menuju halte dan menunggu kedatangan bus selanjutnya.
Mungkin sore ini terlalu dingin, kepalanya terasa semakin nyeri, seperti ada sebuah pencepit yang menjepit pelipisnya dengan sangat kuat, seakan-akan mereka menginginkan kepalanya pecah secara perlahan dengan itu. Minum obat bukanlah hal yang sering ia lakukan, mungkin setelah ia mendapat resep dokter, tidak untuk membeli obat-obatan di toko atau minimarket. Mereka memiliki efek samping yang terlalu tajam.
Dan, yep. Bus telah datang.
Pintu bus dengan otomatis terbuka, membiarkan Sasuke untuk memasukinya. Keadaan bus yang kosong benar-benar menenangkan Sasuke—setidaknya untuk beberapa saat. Mendudukkan dirinya pada kursi yang cukup dekat dengan supir bus gemuk itu. Sasuke hanya tak mau berjalan lagi saat memberikan uangnya.
Perjalanan yang sangat singkat, keadaan bus yang sunyi membuat Sasuke menyadari jika bus telah berhenti pada halte di dekat gedung apartemennya. Memasukkan beberapa koin ke dalam kotak yang tersedia di samping supir dan keluar dari bus setelah supir gemuk itu mengucapkan salam padanya dengan senyuman cerah. Tapi itu sama sekali tak membantu.
...
...
...
Sasuke harus menerima kenyataan jika dirinya sakit pagi ini. Tubuhnya sangat kedinginan meski banyak keringat yang telah membasahi kaos yang dipakainya. Meraba-raba meja di samping ranjangnya untuk menggapai remot AC dan mematikan benda yang hanya mengeluarkan suhu rendah itu. Badannya menggigil dan ia tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk berjalan menuju dapur. Ia ingin teh jahe atau jahe hangat, tapi ia rasa ia tak memiliki jahe ataupun teh.
Melirik jam bekernya yang beberapa menit lalu berdering heboh tanpa menyadari jika tuannya sedang kesakitan. Jam beker sialan, ia hampir saja membantingnya kalau saja tidak mengingat jikalau ia tak bisa melakukan itu dengan tubuhnya yang terasa sekaku es, es yang panas.
Tiba-tiba ponselnya berdering heboh di samping jam beker, layar yang kelap-kelip membuatnya dapat melihat si penelepon itu, dan potret Utakata terpampang jelas di sana. Mengambil benda flat itu dan menggeser layarnya untuk menerima sambungan telepon itu.
"Oi, kau ada di mana? Tak biasanya datang terlambat. Profesor Sarutobi belum datang, kau selamat—kurasa."
Sasuke menghela napasnya lelah. "Aku tak bisa datang hari ini. Jiwaku seperti menghuni tubuh zombi yang telah dibekukan." jawab Sasuke dengan suara bassnya yang terdengar serak.
Seperti dugaannya—reaksi Utakata membuat Sasuke meringis karena laki-laki itu memekik cukup dasyat, "Jangan bercanda! Lagipula kemarin kau baik-baik saja, bahkan kau sempat menunjukkan jari sucimu kepadaku. Karma eh?"
"Sia—uhuk!" bagus sekali.
Utakata tampak tertawa cukup kencang di seberang sana. laki-laki itu sepertinya sangat puas mendengar jika sahabatnya sedang sakit. "Ehem, baiklah, semoga kau cepat sembuh. Aku akan ke sana setelah kuliah. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa."
Sasuke tersenyum saat mematikan ponselnya. Utakata memang gila, tapi lelaki itu tetap sahabatnya. Di saat keempat sahabatnya tak ada, Utakata selalu ada—mungkin karena mereka satu fakultas dan selalu mendapat kelas yang sama.
Masih teringat jelas di kepalanya saat mereka melakukan OSPEK pertama kali, membuat yel-yel dan dalam kelompok yang telah dibagi, Utakata adalah peserta paling gila di kelompok mereka, bahkan yel-yel yang dibuatnya sangat gila, Sasuke sempat menyumpahi Utakata karena itu. Tapi ia menarik ucapannya kala ia tahu, Utakata adalah manusia yang sangat peduli. Meski ia tetap gila.
Dan Sasuke kembali mengumpat ketika mendengar bel dari luar. Ingin rasanya ia menutup badannya di balik selimut dan berpura-pura tak mendengar dentingan bel dari luar sana, tapi sosok itu seakan-akan tak bisa membedakan mana yang disebut bel dengan mana yang disebut permainan thumb.
Menyerah dengan sebuah umpatan, Sasuke menyibakkan selimutnya dengan kasar dan mulai bangkit dari tidurnya dengan sangat hati-hati. Tubuhnya terasa benar-benar sakit. Berjalan gontai menuju pintu utama setelah berteriak kepada tamunya itu untuk menunggu.
Ia tak perlu sebuah sisir meski rambutnya berantakan, dan ia harus dikejutkan dengan sosok sang tamu yang berdiri di depannya dengan senyuman lebar yang tampak tak bersahabat untuk ditonton pada pukul delapan pagi. Sasuke bersumpah akan menjedukkan kepalanya pada daun pintu di saat tamunya itu mengatakan sesuatu. Atau bahkan tak perlu menunggu sosok itu untuk membuka mulutnya, karena apapun yang akan menjadi alasannya bertamu ke apartemen sepagi ini bukanlah hal baik yang mampu membuat kepala Sasuke membaik.
"Halo, Sasuke, akutahu kau merindukanku."
Sialan, senyuman itu lagi!
...
...
Tbc
...
...
a/n : Kemarin terpaksa diunpublish, ada kesalahan yang sangat mencolok :/ sorry banget atas ketidaknyamanannya, dan yah, saya update :') semoga kesalahannya terbayar di sini, nggak dibaca ulang soalnya buru-buru, semoga nggak banyak typo :')
Diusahakan update asap, do'akan ada waktu! Dan makasih buat Lea yang ngenalin Pitch Perfectnya :D love you!
Thanks for your supporting, c u!
Sign,
HR.